NovelToon NovelToon

Selembut Sutra

Bab 1

Lift dalam sebuah apartemen mewah sedang meluncur cepat turun ke lantai bawah. Namun, ketika lift sedang berada di tengah apartemen, tanpa ada tanda-tanda peringatan apa pun, tiba-tiba saja lift itu mendadak berhenti di tengah-tengah gedung apartemen mewah itu dan seluruh lampu menjadi padam. Terdengar suara roda-roda gigi lift berderit tajam, sinar dari lampu-lampu apartemen mewah itu pun menjadi berkedip-kedip lalu padam. Seketika itu juga apartemen mewah itu menjadi gelap gulita.

Semenit yang lalu lift itu tampak bekerja dengan baik, mulus melesat naik turun, tetapi menit yang sekarang tiba-tiba lift itu menjadi diam, tidak bergerak seperti ini.

Ada dua orang penumpang yang berada dalam lift itu, mereka tampak ketakutan. Ruangan di dalam lift itu diliputi keheningan dan rasa ketakutan yang mencekam.

“Oh….!” Terdengar suara ada suara seorang pria dalam lift yang gelap itu. “Seperti biasa listrik padam lagi! Apartemen ini terlihat sangat mewah tetapi mengapa fasilitas apartemen ini sangat buruk?” Gumam pria itu.

Pria itu adalah salah satu penghuni apartemen mewah itu. Dia sudah terbiasa menghadapi gurauan konyol dalam apartemen mewah itu.

Dan satu lagi penumpang lift itu adalah seorang wanita bernama Bintang Caroline. Bintang menderita Claustrophobia, yaitu phobia rasa takut atau cemas yang berlebihan terhadap ruangan yang sempit dan tertutup. Gejala ini akan muncul ketika penderitanya berada di dalam ruangan yang sempit dan tertutup, seperti terkunci di dalam ruangan sempit seperti dalam lemari atau toilet dalam waktu yang lama, atau bisa juga di dalam terowongan, gudang bawah tanah. Itulah yang dialami Bintang saat ini.

Bintang tidak menanggapi perkataan pria itu. Dalam kegelapan, pria itu memandang ke arah Bintang. Namun, Bintang hanya bisa terdiam. Dia tidak sanggup berbicara atau pun menggerakkan tubuhnya.

Tubuhnya seakan lumpuh total, karena dilanda ketakutan. Bintang mencoba menenangkan dirinya. Dia menyakinkan dirinya bahwa dia pasti baik-baik saja dan akan selamat.

Tetapi apa yang sedang dia lakukan saat ini sia-sia belaka.

Dirinya tetap takut akan kegelapan. Tubuh gemetar, seperti orang yang sedang kedinginan. Keringat dinginnya mengucur dengan derasnya. Detak jantungnya berpacu dengan kecepatan tinggi. Bintang juga merasakan dirinya langsung pusing seketika itu.

Pria itu mendengar suara Bintang seperti orang yang sedang ketakutan hebat, lalu bertanya pada Bintang, “Apakah kamu baik-baik saja?”

Ingin rasanya Bintang menjawab pertanyaan pria itu atau bahkan ingin rasanya dia menjerit saat itu juga. Namun, pita suaranya terasa kaku sekali. “Tidak, aku tidak baik saat ini.” Sahutnya dalam hatinya.

Jari-jari tangan dan kaki Bintang pun terasa sangat kaku saat ini. Kedua matanya terpejam sangat rapat. Bintang mencoba memaksakan dirinya membuka kedua matanya yang terpejam itu, namun apa daya, kedua matanya tidak bisa dibuka. Bintang menyadari tidak ada guna dia mencoba semua itu. Semua usahanya gagal total untuk mengatasi phobia-nya itu. Dia menyadari tidak ada setitik cahaya pun masuk ke dalam lift itu. Napasnya mulai tersengal-sengal.

“Jangan khawatir! Ini tidak akan lama.” Kata pria itu dengan tenangnya.

Sikap tenang pria ini membuatnya marah.

“Mengapa pria ini tidak panik sedikit pun?” Tanyanya dalam hati. Ingin rasanya dia menuntut bahwa atas dasar apa pria ini berani menjamin bahwa listrik pasti akan menyala sebentar lagi. Bukankah listrik padam seperti ini biasanya akan berlangsung sampai berhari-hari?

“Hei, cewek! Katakan apa saja! Apakah kamu baik-baik saja?” Tanya pria itu lagi khawatir akan keadaan Bintang saat ini.

Bintang merasakan ada sebuah sosok tangan yang sedang meraba-raba dalam kegelapan menyentuh lengan kirinya. Langsung saja Bintang melonjak kaget.

“Tenang saja!” Kata pria itu. Lalu buru-buru pria itu menarik kembali tangannya. “Kamu menderita Claustrophobia ya? Maksudku kamu takut akan ruangan yang sempit dan tertutup?” Tanya pria itu lagi pada Bintang.

Dalam kepanikan, Bintang menganggukkan kepalanya, seolah-olah pria itu melihat gerakan kepalanya.

Sepertinya pria itu bisa merasakan kepanikan dan ketakutaan Bintang saat itu. Pria itu berusaha mencoba menenangkan hati Bintang yang sedang panik, “Tidak ada yang perlu dicemaskan. Kalau listriknya tidak segera menyala, pasti petugas dalam apartemen akan mencari orang-orang yang sedang terperangkap di lift, seperti kita saat ini.”

Bintang mendengar adanya udara yang sedang berdesir dan mendengar bunyi suara pakaian yang sedang dilepaskan.

“Aku baru saja melepaskan jaketku. Aku juga menganjurkanmu untuk melakukan hal sama sepertiku.” Ucap pria itu lagi.

Saat pria itu memasuki lift itu, secara tidak sengaja Bintang sempat melihat pria itu secara sepilas.

Pria itu adalah aeorang pria yang masih muda, dengan badan tinggi atletis serta pakaiannya terkesan santai, namun mewah. Saat itu Bintang enggan untuk menyapa atau pun memandangi pria itu duluan. Dia hanya sibuk mengamati deretan nomor yang menyala pada pintu lift.

Bintang juga sempat menyadari bahwa pria itu sempat mengamati dirinya selama beberapa saat setelah masuk ke dalam lift. Meskipun mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Keduanya sama-sama diliputi rasa canggung yang biasa dilanda dua orang yang tidak saling kenal berada dalam satu lift. Dan akhirnya pandangan pria itu mengikuti arah mata Bintang yang menghitung lantai demi lantai menuju ke bawah.

Sekarang Bintang seakan mendengar suara jaket pria itu yang terjatuh di bawah lantai lift.

“Perlu bantuanku tidak?” Tanya pria itu dengan nada ringan yang sepertinya dipaksakan.

Pria itu maju selangkah ke arah bunyi tarikan napas Bintang yang terdengar berat dan tidak teratur itu. Pria itu mendengar suara benturan dalam lift. Ternyata Bintang melangkah mundur menjauhkan diri dari pria itu.

Pria itu berusaha menenangkan dirinya dengan memegang pundak Bintang dengan lembut.

“Hei! Jangan takut!” Sapa pria itu dengan lembut. “Jangan khawatir! Semuanya akan baik-baik saja.” Lalu pria itu meremas bahu Bintang untuk mencoba membesarkan hati Bintang yang sedang panik dan ketakutan. Lalu pria itu mencoba melangkah mendekati Venus.

“Mau apa kamu?” Kata Bintang dengan nada tinggi.

Bintang pun tidak menyangka dia sekarang sudah bisa menggerakkan bibirnya untuk mengucapkan sebuah kalimat. Kini Bintang sudah bisa berbicara walaupun suaranya masih terdengar agar serak.

“Aku mau membantumu membukakan blazermu. Kalau kamu merasa kepanasan, kamu akan sulit bernapas dan besar kemungkinan kamu akan sesak napas.” Kata pria itu. “Dan ngomong-ngomong, siapa namamu?” Tanya pria itu lagi. “Ini blazermu.” Kata pria itu sambil mengembalikan blazer milik Bintang ke tangannya.

“Namaku Bintang Caroline. Terima kasih.” Jawab Bintang sambil menerima blazer miliknya dari tangan pria itu.

“Bintang? Ehm.... Sebuah nama yang unik dan cantik. Secantik orangnya. Perkenalkan namaku Felix Dirgantara.” Kata pria itu tersenyum memperkenalkan dirinya pada Bintang sambil mengulurkan tangannya tanda perkenalan diri.

Ternyata pria itu bernama Felix Dirgantara.

Bintang menerima uluran tangan pria itu sambil tersenyum juga.

“Senang berkenalan denganmu, Bintang. Mungkin sebaiknya kamu juga membuka beberapa kancing kemejamu. Menurutku kancing kemejamu akan membuatmu gerah dan panas.”

Lalu Felix menghampiri Bintang dan berniat ingin membantu membukakan kemeja Bintang.

Tetapi, Bintang menolak dengan wajah ketakutan berteriak pada Felix, “Jangan! Tidak usah! Terima kasih! Jangan mendekat!” Ujar Bintang dengan wajah yang ketakutan.

Apa yang terjadi pada Bintang selanjutnya?

Apakah ada dewa penolong yang menolong mereka saat mereka masih terjebak di lift itu?

Nantikan jawabannya pada bab berikutnya…………..

Bab 2

“Jangan takut! Aku hanya ingin membantumu membukakan kancing kemejamu, biar kamu tidak kepanasan dan sesak napas. Hanya itu saja. Tenang saja, saya tidak berniat jahat padamu, Bintang!” Kata Felix menenangkan hati Bintang. “Bukankah kemejamu terbuat dari katun?” Tanya pria itu lagi.

“ Ya.” Sahut Bintang singkat.

“Kemeja yang sangat cantik. Seingatku, kemejamu berwarna putih.”

“Ya.”

“Kamu pasti bukan orang sini.” Ujar pria itu

dengan santainya.

“Aku memang bukan orang sini. Aku sedang berkunjung ke sini selama seminggu. Aku akan pulang ke tempat asalku besok pagi.”

“Apakah kamu sedang mengunjumgi seseorang yang tinggal di gedung ini?”

“Ya. Teman sekamarku waktu aku masih kuliah, dan suaminya.”

“Oh, begitu. Apakah kamu merasa sudah agak baikan? Apa kamu mau duduk?” Tanya Felix. Lalu kedua tangan pria itu ingin menyentuh pinggang Bintang.

Dengan cepatnya, Bintang menjawab, “Tidak…! Tidak…! Aku tidak ingin duduk!” Kata Bintang sambil menepis tangan Felix.

“Aduh kenapa aku jadi salah tingkah menghadapi wanita cantik ini?!” Umpat Felix pada dirinya sendiri dalam hati atas tindakannya yang gegabah yang dia lakukan barusan.

“Jangan membuat orang yang sudah panik bertambah panik.”

Tubuh Bintang masih merapatkan diri pada dinding lift, seolah-olah sedang menghadapi satuan regu tembak yang siap menembak dirinya.

Bintang mengambil napasnya lalu menghembuskannya kembali. Saat itu pikiran Bintang sangat tegang menghadapi situasi saat ini.

“Baiklah, Bintang. Kamu jangan takut padaku. Aku orang baik-baik.” Kata Felix lagi pada Bintang.

Tiba-tiba saja lampu telah menyala dan mulai kelihatan berkedip-kedip. Kemudian tidak berapa lama menyala terang benderang. Roda-roda gigi lift perlahan-lahan mulai bergerak kembali dengan entakan yang tidak terlalu keras. Setelah itu, lift meluncur ke bawah lagi.

Bintang dan Felix saling memandang dalam jarak yang sangat dekat. Keduanya sama-sama menyipitkan matanya. Namun, saat itu terlihat wajah Bintang tampak sangat pucat. Sedangkan wajah Felix berkerut penuh dengan rasa khawatir terhadap kondisi Bintang.

Felix menjahili Bintang dengan menumpangkan tangannya kembali di atas bahu Bintang. Bintang seakan tampak nyaris kehilangan kendali dirinya.

“Nah, benar kan? Aku bilang juga apa. Semuanya sudah kembali dengan normal. Kamu tidak perlu khawatir.” Kata Bintang dengan santainya sambil tersenyum kembali pada Bintang.

Bintang tidak membalas senyuman Felix itu. Tetapi, Bintang malah kembali menjaga jarak pada Felix, layaknya dua orang asing yang tidak saling mengenal satu sama lain. Bintang mulai melangkah menjauhi Felix. Bintang kembali ke tempat semula dia berdiri. Bintang berdiri diam di sudut lift.

Tiba-tiba Bintang merobohkan dirinya, jatuh ke dalam pelukan Felix. Dia mencengram kuat-kuat bagian depan baju Felix dengan kedua tangannya yang lembab karena keringat. Felix bisa merasakan bahwa seluruh tubuh Bintang gemetar, seperti orang yang sedang ketakutan.

Dalam hati Bintang, dia sangat bersyukur karena bahaya yang dia alami sudah lewat. Dan dia juga sangat berterimakasih pada Felix karena Felix lah yang telah berhasil menenangkan hati Bintang selama berada di dalam lift.

Bintang telah berhasil juga menguasai dirinya menjadi tenang menghadapi phobia-nya di dalam lift. Bintang harus mengakui bahwa dirinya tadi mengalami ketakutan yang hebat ketika sedang berada dalam ruang yang sempit dan gelap itu.

Beberapa menit kemudian, mereka berdua sampai dengan mulus tanpa hambatan di lobi.

Sesampainya di lobi, pintu lift langsung terbuka.

Felix memapah Bintang yang saat itu sedang dalam keadaan setengah sadar. Disenderkannya Felix di kursi lobi.

Lalu Felix berkata pada Bintang, “Kamu tunggu di sini sebentar, aku pergi tidak lama.” Kata Felix pada Bintang.

Bintang diam saja, tidak menjawab pertanyaan Felix. Mata Bintang setengah terbuka, dan setengah terpejam. Bintang masih dalam keadaan mabuk berat karena phobia yang dia rasakan saat di lift tadi.

Melalui kaca jendela lobi, Felix melihat orang-orang lalu lalang di jalanan dan trotoar. Jalanan sempat menjadi macet gara-gara lampu lalu lintas menjadi tidak berfungsi. Suasana di jalan raya tampak kacau balau saat itu.

Tiba-tiba ada seseorang yang datang menghampiri dirinya dan memanggil namanya, “Pak....! Pak Felix...!” Kata seorang satpam penjaga apartemen itu, buru-buru menghampiri Kevin.

“Aku baik-baik saja, pak.” Sahut Felix pada satpam itu dengan cepat.

Ternyata Bintang ditinggalkan Felix begitu saja di tengah-tengah keramaian dalam kondisi seperti sekarang. Dan Felix tidak berniat memberikan penjelasan yang panjang lebar pada pak satpam ini.

“Aku mau kembali ke atas.” Kata Felix dengan singkat.

“Baik, pak.” Sahut satpam ini. “Bapak tadi sedang berada dalam lift pada saat listrik padam?” Tanya satpam ini merasa khawatir pada Felix.

“Iya, pak. Jangan terlalu mengkhawatirkan diri saya. Saya baik-baik saja. Terima kasih.” Sahut Felix pada satpam itu.

Lalu dia melangkah pergi meninggalkan satpam itu. Lalu melangkahkan kakinya menuju arah lobi, dimana tempat Bintang ditinggalkan tadi.

Sesampainya di lobi, dengan sigap, Felix menggendong tubuh Bintang. Lalu Felix menyandarkan tubuh Bintang pada dinding lift.

Kemudian dicondongkannya tubuh Bintang ke arah belakang untuk menekan tombol lift. Tidak lama kemudian pintu lift terbuka. Dan dengan segera dia masuk ke dalam lift itu sambil terus menggendong tubuh Bintang yang sedang lemas. Untung saja di dalam lift tidak ada orang.

Segera dia menekan tombol lift yang akan membawa mereka ke lantai 25. Pintu lift segera menutup dan mereka berdua pun segera dibawa meluncur sampai ke atas lantai 25.

Bintang masih terlihat tidak bereaksi dalam gendongan Felix, lemas tidak berdaya. Badan Bintang masih terlihat lemas sekali dan terlihat sekali-sekali Bintang mengeluarkan suara ******* yang sangat lemah.

“Kamu akan baik-baik saja, Bintang. Sekarang kamu sudah selamat. Kamu akan baik-baik saja. Jangan Khawatir.” Gumam Felix sambil menggendong tubuh Bintang.

Dari tubuh Bintang, tercium aroma minyak wangi yang sangat harum sekali. Felix sangat meyukai aroma minyak wangi Bintang itu. Rambut Bintang mengenai leher dan dagu Felix dan dia merasa sangat menyukai sentuhan rambut Bintang itu.

Tidak berama lama, pintu lift sudah terbuka. Mereka sudah sampai di lantai 25. Lalu Felix berjalan di koridor menuju ke ruang apartemen miliknya.

Felix menahan tubuh Bintang dengan sebelah tangannya agar tidak terjatuh ke lantai. Lalu dengan perlahan-lahan dia membungkukkan badannya, lalu mengambil blazer, jaket, dan tas mereka yang terjatuh di lantai. Lalu dia mengangkat tubuh Bintang kembali dan membopongnya menyusuri koridor hingga sampai di apartemennya yang terletak paling ujung. Lalu dengan hati-hati menurunkan Bintang.

“Kita sudah sampai di apartemenku.” Bisik Felix pada Bintang sembari mengeluarkan sebuah kartu lalu menggesekkannya.

Pintu apartemen terbuka. Diangkatnya tubuh Bintang dan digendongnya kembali, lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemennya. Dan direbahkannya tubuh Bintang di atas sofa yang empuk.

Saat Felix hendak meninggalkan Bintang sendirian di dalam apartemennya, tiba-tiba dilihatnya Bintang mengangkat tangannya, seakan memohon agar Felix tetap tinggal di situ dan jangan meninggalkannya sendirian.

“Aku akan segera kembali.” Sahut Felix dengan pelan. Dan secara refleks, Felix mencium kening Bintang dengan lembut. Lalu buru-buru menuju pintu ruangan apartemen.

Lalu apakah yang terjadi pada mereka selanjutnya?

Ikuti kisahnya pada Bab berikutnya…..

Bab 3

Sebelum meninggalkan Bintang sendirian di dalam apartemen miliknya, Felix menekan sederet nomor untuk mematikan sistem alarm dalam apartemen. Sistem alarm yang secara otomatis akan berbunyi dalam waktu lima belas detik jika tidak dimatikan.

Lalu dia berjalan menuju tempat dimana dia menumpukkan pakaian mereka dan tas tangan milik Bintang di koridor tadi. Lalu Felix memungut semua barang-barang itu, menutup dan mengunci pintu lalu menyalakan sistem penerangan dalam ruangan apartemennya sambil mengatur intensitas cahaya. Ruangan apartemen itu sekarang sudah diterangi dengan cahaya yang pucat keemasan.

Kini Felix melangkahkan kakinya menuju sofa tempat dimana Bintang direbahkan. Dia berlutut di depan sofa itu sambil memegang tangan Bintang dan berkata, “Bintang!”

Kedua mata Bintang masih terpejam, tetapi langsung membuka matanya begitu mendengar ada yang memanggil namanya. Tetapi, kondisi Bintang masih dalam keadaan setengah sadar.

“Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah sudah merasa agak baikan?” Tanya Felix dengan cemasnya.

Bintang hanya bisa menatap Felix dengan pandangan mata yang kosong. Air mata Bintang mengalir menetes ke bawah pipinya yang sedang memerah. Bintang menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Kemudian mulai menangis sambil berkata, “Aku benar-benar takut. Aku tahu! Sifatku ini memang konyol dan seperti kekanak-kanakan. Claustrophobia…..” Ujarnya dengan nada terisak-isak.

“Sssssshhhhh………!” Seru Felix sambil menaruh jari telunjuknya pada mulut Bintang.

Segera Felix bangun dan duduk di sebelah Bintang. Lalu dia memeluk Bintang dengan sangat erat dan menaruh wajah Bintang ke lehernya. Sambil membelai-belai rambut Bintang, lalu dia berkata, “ Tenanglah! Semua sudah berakhir. Kamu sudah aman sekarang, Bintang.”

Dengan lembutnya, Felix mengecup kening Bintang. Dan mengecupnya lagi. Berulang-ulang dia mengecup kening Bintang untuk menenangkan hati Bintang yang sedang gelisah.

Kemudian dia mengusap-usap punggung Bintang. Sementara Bintang semakin merapatkan diri pada Felix.

Tiba-tiba Felix menjauhkan diri dari Bintang dan berkata dengan keras, “Yang kamu butuhkan saat ini mungkin segelas Wine, yang bisa menghangatkan tubuhmu dan menghilangkan rasa ketakutanmu, Bintang.”

Setidaknya, Felix juga sangat membutuhkan minuman itu. Dengan perlahan-lahan, Felix melepaskan diri dari pelukan Bintang dan beranjak menuju bar kecil yang terletak di salah satu sudut ruangan apartemen miliknya.

Dia mengawasi Bintang sambil menuangkan minuman yang beraroma harum itu ke dalam dua buah gelas kaca, yang disebut red wine glass.

Sepertinya tangisan Bintang tadi, tidak hanya menghapuskan kepanikan yang baru saja dilanda, tetapi juga sangat menguras tenaganya.

Felix menghampiri kursi sofa dimana Bintang sedang merebahkan dirinya, lalu Felix duduk di bawah sofa dengan posisi menyamping ke arah sofa sambil menyandarkan pipinya pada kursi sofa.

Felix tersenyum sambil berkata dalam hatinya, “Tidak menyangka seorang Felix Dirgantara bisa juga menyelamatkan seorang wanita dalam lift.”

Dalam hatinya, dia tidak menyangka bisa menyelamatkan seorang wanita yang amat sangat cantik, tetapi tidak berdaya, sehingga digendong sampai ke dalam apartemennya. Dan sekarang nasib wanita itu ada di tangannya. Dia menggelengkan kepalanya sambil melangkahkan kakinya kembali ke sofa. Pasti tidak akan ada orang yang akan percaya dengan apa yang sudah dialaminya saat ini.

“Lalu sekarang apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mencampakkannya ke jalanan? Apa yang harus aku lakukan terhadap wanita ini?” Tanya Felix dalam hatinya.

Tidak sedikit pun terlintas di benak Felix untuk menghubungi para penghuni apartemen lainnya untuk mengupayakan menemukan teman-teman yang baru saja dikunjungi oleh Bintang.

“Ini, Bintang. Minumlah sedikit saja.” Kata Felix sambil duduk kembali di samping Bintang.

Lalu Kevin membangunkan tubuh Bintang dengan sebelah tangannya dan di dekatkannya gelas itu ke bibir Bintang. Kedua mata Bintang terbuka. Mata coklat Bintang menatap tajam ke arah Felix.

Bintang masih terlihat sangat kebingungan melihat Felix, namun tidak lagi tampak ketakutan seperti tadi.

Dengan perlahan-lahan bibir Bintang mulai meneguk minuman yang diberikan Felix padanya.

Raut muka Bintang tidak mengisyaratkan penghargaan terhadap minuman mahal yang diberikan Felix barusan padanya. Tetapi, malah mengerutkan wajahnya dengan ekspresi yang aneh.

Felix yang melihat wajah Bintang berubah menjadi seperti itu, diam-diam Felix tertawa. Ternyata Bintang yang tidak biasa meneguk minuman seperti itu, langsung terbatuk-batuk setelah meminumnya.

Sepertinya Bintang bukanlah tipe seorang wanita yang terbiasa dengan hidup mewah. Meskipun dari segi penampilannya, Bintang mempunyai selera yang cukup tinggi. Tampak dari penampilan Bintang, dia bisa dikatakan adalah wanita yang tergolong dari kalangan elit.

“Kamu mau lagi?” Tanya Felix pada Bintang sambil tersenyum.

Bintang mengganggukkan kepalanya. Bintang sempat membuat Felix tercengang saat dia meraih tangan Felix untuk meletakkan gelas yang dipegang Felix itu ke arah bibirnya. Dia menarik tangan Felix untuk meneguk pelan isi gelas hingga habis.

Setelah itu, Felix lalu menyandarkan kepalanya pada bantal sofa sambil mengambil napas dalam-dalam. Tindakan yang dilakukan Bintang barusan terkesan sangat polos.

Meskipun Felix sempat melihat ada lekukan gunung kembar Bintang yang berada di balik kemejanya yang ketat itu, sangat menggugah gairahnya.

Setelah meletakkan gelas di atas meja, lalu Felix meneguk minumannya sendiri. Mengingat keadaan Bintang saat ini, rasanya tidak adil jika dia menatap wanita itu dengan pandangan seperti itu. Meskipun reaksi dia sejauh ini sebenarnya bisa dikatakan sangat manusiawi.

Felix mengawasi Bintang saat dia sedang berbaring di atas bantal sofa dengan kepala yang mendongak ke atas, leher yang melengkung, dan tampak sangat menggairahkan di mata Felix.

Kedua mata Bintang yang masih terpejam serta bibir Bintang yang terlihat indah, hidungnya yang mungil serta wajahnya yang cantik, sangat menggugah gairah Felix. Kemudia dia menatap bibir merah Bintang dengan penuh gairah.

Leher Bintang yang jenjang memperlihatkan tulang selangka yang halus. Sementara di pangkal leher Bintang tampak denyut nadinya yang sedikit cepat, namun teratur. Gunung kembar Bintang terlihat jelas di balik kemeja putih yang terkesan lembut, alami dan mengundang selera. Felix sempat melihat pola renda dan tali satin pada bra yang dipakai Bintang.

Lalu dia beralih dan memandang ke arah pinggang Bintang yang tampak ramping bak pinggang gadis-gadis model. Begitu juga dengan paha dan pinggulnya. Dia juga sempat memperhatikan bentuk kaki Bintang yang indah dan mulus yang terbungkus stoking senada dengan warna kulitnya. Tangannya terasa sangat gatal ingin membelai kaki Bintang yang sangat mulus itu.

Bintang mengenakan sepatu pantofel hitam yang terbuat dari bahan kulit sintetis berhiaskan sulaman kupu-kupu dari benang emas.

Sementara mata Felix mengawasi Bintang yang masih tidak sadarkan diri. Kemudian dia dengan perlahan-lahan mendorong dan melepaskan sepatunya. Sepatu Bintang jatuh di atas karpet lantai apartemen Felix yang tebal dan unung saja tidak menimbulkan suara sedikit pun.

Felix melayangkan pandangannya menelusuri tubuh Bintang dari mulai ujung kaki yang ramping sampai dengan wajah Bintang.

“Aku tadi tidak bisa bernapas.” Ucap Bintang setengah sadar.

Lalu Felix menyentuh rambut dan membelai kepala Bintang. “Kejadian yang kita alami tadi itu memang mengerikan. Tetapi sekarang sudah berakhir.” Ujarnya sambil terus membelai kepala Bintang dengan lembutnya.

“Tadi itu sangat gelap sekali. Dan aku sangat takut.” Kata Bintang dengan suara yang lemah. Kemudian dia memejamkan kedua matanya kembali.

Apa yang selanjutnya terjadi pada pada mereka berdua di dalam apartemen?

Nantikan jawabannya pada bab selanjutnya.....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!