Fio adalah tunangan Vean, pria tampan yang memiliki pesonanya sendiri. Pertunangan yang dia jalani sejak masih remaja, namun harus kandas di tengah jalan karena beberapa hal.
Dan hari ini ....
Fio menahan nafas melihat tunangannya bertunangan dengan perempuan lain, yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri. Matanya terus memandang kedua sejoli itu, dengan mata yang berkaca-kaca.
Air katanya mulai mengalir tanpa dia sadari.
Apakah rasa sesak yang dia rasakan?
Apakah rasa tidak ikhlas yang dia alami saat ini?
Atau mungkin perasaan dikhianati dan sakit hati juga dendam?
Dia melihat kedua orang itu, terlihat jelas kebahagiaan di wajah muda-mudi yang bertunangan itu.
"Tidak bisakah kalian menunjukkan wajah bersalah sedikit pun padaku? Jangan terlalu senang seperti itu, ada aku di sini yang patah hati. Sakitnya tuh di sini," ucap Fio sendu sambil menunjukkan telapak tangannya.
Wajah Dhea langsung berubah. Gadis itu menunduk. Merasa bersalah pada Fio karena telah merebut Vean—tunangannya.
"Jangan bicara sembarangan, Fio. Kita kan sudah sepakat untuk membatalkan pertunangan kita. Lagian apa hubungannya dengan tangan kamu? Kenapa sakitnya di situ?"
"Sakitnya tuh di sini, gak punya gandengan. Huaaaa, aku sama kamu aja deh, Juna."
"Apa jantung kamu berdetak kencang?" tanya Juna.
"Iya."
"Apa hati kamu ngilu?"
"Iya."
"Apa mata kamu perih melihat mereka?"
"Iya."
"Ayo ke rumah sakit. Aku belah, lumayan aku dapat uang banyak ngejual organ tubuh kamu."
Wajah Juna menunjukkan rasa iba yang berlebihan pada gadis itu. Bukan iba karena Fio yang dicampakkan, tapi iba dengan organ tubuhnya, jangan sampai rusak sebelum dia manfaatkan.
"Huaaa, Dhea. Aku dizolimi."
Dhea menunduk. Dia jadi bingung, harus sedih dan menangis, atau tertawa.
"Ketawa mah, ketawa aja, Yang. Makhluk gaje kaya begini memang pantas ditertawakan."
"Jari manisku masih kosong. Juna, buruan beli cincin."
"Nanti aku beli. Coba sini aku ukur dulu."
"Benar?"
"Iya."
Wajah Fio langsung ceria.
"Tapi tunggu seribu tahun lagi."
Sialan!
Fio melirik Arya. Pria dingin yang bagi Fio sangat menyeramkan, sayangnya dia kakaknya Dhea.
Arya memberikan tatapan tajam, langsung menolak rayuan manja gadis yang memang manja itu.
💕💕💕
Fio menghela nafas berat. Kepalanya nyut-nyutan, badannya lemas, nafsu makannya berkurang, matanya berkunang-kunang ....
Tapi dengan semangat, gadis itu pergi ke suatu tempat. Tempat yang akan memberikannya pertolongan pertama.
Satu jam kemudian, setelah dia mengeluhkan apa yang dia rasakan.
"Aku punya solusi yang tepat agar rasa sakit mu segera hilang."
"Apa?"
"Beli tali tambang."
"Tali tambang? Buat apa?"
"Gantung diri. Solusi yang tepat untuk penderita patah hati."
"Juna sialan!" teriak Fio saat Juna langsung berlari ke luar ruang prakteknya.
"Dasar dokter gadungan. Dokter sialan! Dokter abal-abal! Dokter KW!"
"Berisik! Pulang sana, di sini tidak menerima pasien yang mengalami over dosis kehaluan."
Fio menghela nafas, setelah mendengar siapa yang bicara.
Arya, pria yang dia takuti sejak pertama kali bertemu dengannya.
"Jangan begitu, Arya. Siapa tahu saja, nanti aku menjadi adik iparmu, atau mungkin istrimu."
Kali ini, Fio yang langsung ngibrit, sebelum kena semprot pria dingin itu.
Kenapa semua pria yang dekat dengan Dhea ganteng, tapi ngeselin?
Di rumahnya, Mila masih meratapi keadaan. Vean yang seharusnya menjadi menantunya, kini memilih perempuan lain. Sahabat dari putrinya sendiri.
Ikhlas gak iklhas.
Tapi kan mereka belum menikah, siapa tahu saja asa keajaiban datang, dan Vean bisa kembali bersama Fio.
Andai saja isi hatinya itu didengar oleh Arya, pasti perempuan tua itu sudah dicekik oleh pemuda tampan itu.
"Kamu kenapa sih, Ma? Gelisah terus?"
"Aku masih berharap Vean akan bersama Fio."
"Ma, jangan macam-macam, deh. Kamu tahu sendiri kan, bagaimana Vean? Jangan bikin masalah lagi, papa malu sama Bram dan Candra. Apa kamu juga tidak malu dengan Bianca dan Friska?"
Mila langsung cemberut. Sebagai orang tua, dia hanya ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Apalagi Fio anak satu-satunya, perempuan lagi!
"Jodoh tidak akan tertukar. Masih bagus Fio dan Vean belum menikah. Kalau tidak, papa yakin mereka berdua tidak akan ada yang bahagia."
"Tapi kan ...."
"Cukup!" Pria itu tidak tahu lagi bagaimana Harus memberikan kepada istrinya. Sejak dulu Mila selalu keras kepala. Apa yang dia mau, harus didapat.
Jujur saja, kadang dia malu dengan sikap istrinya itu, apalagi dengan sahabat-sahabatnya.
Fio sudah kembali ke kantornya. Perempuan muda yang sekarang bekerja di perusahaan papanya itu sibuk dengan berkas-berkas yang membuatnya pusing. Dia sebenarnya tidak tertarik dengan bisnis. Dia ingin menjadi seorang model. Tapi tuntutan keadaan membuat dia harus mengubur impiannya.
Bukannya bekerja, dia malah melamun. Teringat dengan keadaan beberapa waktu yang lalu, di saat orang-orang membenci dirinya.
Terutama Arya!
Dia yang dianggap sebagai perebut kebahagiaan sahabatnya sendiri.
Dianggap sebagai pihak ketiga.
Dianggap tak memiliki hati.
"Kan aku yang ditinggalin? Kenapa malah aku yang dibully?"
"Karena mukamu muka orang yang patut ditindas."
Fio mengangkat wajahnya. Di depannya, wajah dokter tampan namun menyebalkan terlihat senang melihat dia uring-uringan.
"Mau apa? Mau melamar aku?"
"Cih, mimpimu ketinggian. Aku ke sini disuruh papa mengantar berkas ini, karena Arya sedang sibuk."
"Kamu benaran melepaskan Vean, kan? Jangan coba-coba merusak kebahagiaan Dhea."
"Fio menghela nafas.
Dia iri.
Iri dengan Dhea.
Sejak dulu, Dhea selalu menjadi pusat perhatian. Meskipun dia kaya dan memiliki kedua orang tua yang utuh, tapi tetap saja dalam hal lainnya, Dhea selalu lebih unggul dari dirinya.
Seorang pria terus saja memandang Fio yang sedang makan seorang diri di salah satu kafe. Fio yang merasa sedang diperhatikan, langsung menoleh ke kiri dan kanan dengan sudut matanya.
Senyum malu-malu hadir di bibirnya. Membayangkan ada pria tampan yang sedang memperhatikan dirinya.
Gadis itu jadi membayangkan kisah cinta seorang CEO yang diam-diam tertarik dengan seorang gadis. Seperti drama-drama Korea atau novel online yang sering dia baca.
Tuh kan, kata siapa aku gak laku?
Tapi sesaat kemudian, gadis itu menghela nafas berat. Wajahnya langsung berubah sendu.
Aku juga ingin bersama dengan pria yang mencintai aku, sama seperti Dhea.
Jodoh memang tidak akan tertukar. Dan dia benar-benar definisi dari menjaga jodoh orang, yang tidak lain jodoh sahabatnya sendiri, dalam arti yang sebenarnya.
Aku benar-benar iri pada Dhea.
Keunggulannya dari Dhea, hanya karena dia berasal dari keluarga kaya raya dan anak pengusaha. Ibunya perempuan ambisius yang menginginkan dia menikah dengan laki-laki terhormat dari keluarga terpandang.
[Juna, aku mau curhat.]
Tidak lama kemudian, masuk pesan balasan dari Juna, dokter tampan pemikat hati para dokter perempuan, perawat dan pasien.
[Aku ini dokter, bukan konsultan patah hati. Udahlah, ikhlaskan saja Vean. Masih banyak pria lainnya.]
[Salah satunya kamu, ya?]
[Iya, salah satunya aku. Dan aku salah satu pria yang tidak suka padamu. Wkwkwk.]
Juna sialan!
Tidak lama kemudian, Fio melihat seorang pria yang juga tak kalah tampan dari Juna dan Vean. Dia adalah Arya.
Arya masuk bersama seorang perempuan yang juga dikenal oleh Fio.
Saingannya!
Dia adalah Clara, salah satu sahabat Dhea. Ada perasaan tidak suka pada Clara. Cemburu, karena dia merebut perhatian Dhea yang selama ini hanya dekat dengan Fio saja.
Kenapa selalu aku yang terbuang?
Tidak ada yang menyadari, kalau kedua sahabat dekat itu sebenarnya saling iri. Dhea yang—setidaknya dulu—diam-diam iri dengan Fio, dan Fio yang juga diam-diam iri dengan Dhea.
Apa aku kurang cantik? Apa aku tidak sebaik Dhea? Apa karena aku tidak sepintar dan semandiri Dhea?
Mengingat ada tiga pria yang begitu menyayangi Dhea, membuat hati Fio merana.
Dia?
Jangankan tiga, satu saja tidak ada. Yang ada malah dibully terus.
Fio meneguk habis sisa minumannya. Kembali ke perusahaan dan harus menyelesaikan pekerjaan yang tidak dia suka, tapi harus dia jalani.
Dia berjalan ke arah pintu setelah membayar makanan dan minumannya. Pura-pura tidak melihat Arya dan Clara. Berharap kalau Arya akan menyapanya, tapi nyatanya tidak. Mungkin pria itu tidak melihatnya, atau sama seperti Fio, pura-pura tidak melihatnya.
Arya melihat seseorang yang baru saja keluar dari kafe. Dari arah belakang, dia sepertinya tahu siapa perempuan itu, tapi tidak peduli. Dia tetap melanjutkan makannya bersama dengan Cara, sahabat dari Dhea.
"Kamu mau nambah lagi?"
"Enggak, Kak."
Tidak lama kemudian, Juna datang, langsung duduk bersama mereka. Ada di antara dua pria tampan yang dekat dengan sahabatnya, membuat Clara merasa canggung.
Juna melirik Clara, gadis manis yang menemani Dhea di saat paling terpuruk. Clara memang belum lama mengenal kedua pria ini, tapi dia tahu kalau keduanya sama-sama baik dan sangat menyayangi Dhea.
"Ra, bagaimana kamu bisa mengenal Dhea?" tanya Juna.
"Hm, kami satu kampus. Dia juga tinggal di tempat kost yang sama denganku, juga kerja sambilan di tempat yang sama, jadi kami mulai dekat."
Clara kembali teringat saat pertama kali dia mengenal Dhea. Gadis cantik berwajah pucat dan pendiam.
"Dia orang yang pendiam, tapi tidak sombong. Setiap kali disapa, dia pasti akan tersenyum. Dhea itu gila kerja dan belajar, dan enam bulan berteman dengannya, aku baru tahu kalau dia anak yatim piatu."
Clara menghela nafas berat, merasa sedih dengan keadaan dulu.
"Dia tidak pernah mengeluh lelah, meski aku tahu dia pasti sangat lelah selalu belajar dan bekerja. Setiap kali keluargaku mengirimkan makanan, kami akan makan bersama. Kadang saking hematnya, dia akan makan setengah porsi nasi miliknya, dan setengahnya lagi akan dia makan untuk siang atau malam."
Kedua pria itu memandangi Clara. Mereka tahu, Clara lah yang paling tahu tentang Dhea di saat tidak ada Arya di sisi Dhea.
"Terima kasih, sudah menjaga Dhea dengan baik," ucap Arya, menatap dalam mata gadis itu.
"Fio, nanti ikut mama arisan bersama teman-teman mama, ya."
"Enggak mau, Ma. Di sana kan emak-emak semua."
"Enggak kok, banyak juga yang membawa anak-anak mereka. Bagaimana pun juga, kamu kan yang akan melanjutkan perusahaan, jadi harus kenal juga sama anak-anak dari teman-teman mama dan papa. Jangan kenalnya hanya Vean dan Juna saja."
"Aku juga kenal Arya, Ma."
Mila diam saja saat Fio menyebut nama Arya.
"Lagian kan, mama sendiri yang membuat aku hanya mengenal mereka, selain teman-teman sekolah dan kuliah aku."
Lagi-lagi Mila hanya diam saja.
"Pokoknya, nanti kamu harus ikut! Enggak ada bantahan."
Siangnya, Fio terpaksa pergi ke restoran yang sudah dishare lock oleh mamanya. Di sana sudah banyak ibu-ibu sosialita dengan pakaian glamor.
"Ini anak Jeng Mila yang gagal nikah itu, ya. Yang calon suaminya direbut oleh sahabatnya sendiri?"
Wajah Fio dan Mila berubah merah. Entah kenapa Fio merasa malu dan sedih. Mungkin karena kata-kata itu diucapkan di depan orang-orang yang tidak terlalu dia kenal. Bukan hanya ada ibu-ibu sosialita saja yang ada di sana, tapi juga pria wanita yang usianya mungkin sepantaran dengannya.
"Kamu baik banget, mengikhlaskan tunangan kamu untuk sahabat kamu," ucap salah seorang pria.
Fio hanya tersenyum saja. Haruskah dia berbangga diri dengan itu? Andai saja mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi antara mereka bertiga.
Di lain tempat, Arya sedang mengunjungi Dhea di butiknya. Dia membawakan cemilan untuk gadis cantik yang telah dia jaga sejak bayi dengan segenap jiwa dan raga.
"Jangan terlalu lelah, ingat kamu harus menjaga kesehatan kamu."
"Iya, kakakku yang paling aku sayangi di dunia ini."
Deg
Jantung Vean berdetak kencang. Dia merasa cemburu. Meskipun Dhea mengatakan Arya adalah kakaknya, tetap saja ada perasaan takut pada pria itu. Walau bagaimana pun juga, Arya yang lebih dulu mengenal Dhea, bukan dirinya.
Dia takut suatu saat nanti, timbul cinta antara Dhea dan Arya.
Belum apa-apa saja, Vean sudah merasakan ketakutan.
"Kenapa kamu berdiri di depan pintu?" tanya Clara.
Vean akhirnya masuk ke dalam ruangan Dhea bersama Clara.
"Yang, aku bawakan makan siang untuk kamu."
"Wah, kak Arya juga tadi membawakan aku makanan. Ayo kita makan bersama. Oya, aku hubungi kak Juna, Fio, dan yang lain dulu."
[Kak, ayo makan siang bersama di butikku. Ada kak Vean, Kak Arya, dan Clara. Aku juga akan mengajak yang lain.]
[OTW,] balas Juna.
[Fio, ayo makan siang bersama di butikku. Ada yang lain juga mau datang.]
[Aku sedang bersama mama. Maaf ya, enggak bisa datang.]
Fio menghela nafas. Dia merasa ada di tempat yang salah. Seharusnya dia bersama dengan yang lainnya, tapi malah terperangkap di sini.
Dia merasa, hubungan dia dengan Dhea sudah tidak seperti dulu lagi. Sekarang di sisi Dhea, tidak hanya ada dirinya saja, tapi ada Vean, Arya, Juna, bahkan ditambah Clara, Suka, Felix, Sheila dan Steven.
Fio merasa tersisihkan.
Dia juga merasa ... oh tidak, bukannya merasa—tapi sangat yakin, kalau sahabat-sahabat Dhea itu tidak menyukai dirinya.
Dalam hati, Fio menangis, menjerit.
Dhea adalah satu-satunya sahabatnya. Ya, memang sih, dia pernah memiliki teman lain saat Dhea tidak ada. Tapi rasanya berbeda. Hubungan dia dengan teman-temannya itu, tidak seperti hubungan dia dengan Dhea.
Di lain tempat, Dhea dan sahabat-sahabatnya memang berkumpul semua. Ruangan kerja Dhea menjadi sangat ramai.
Vean melirik Arya, yang begitu dekat dengan Dhea. Lalu dia melirik Clara.
"Apa aku jodohkan saja Arya dengan Clara, ya. Biar dia tidak usah dekat-dekat lagi dengan Dhea."
"Si Belut gak ada?"
"Belut? Sejak kamu kamu suka sama belut? Bukannya kamu paling jijik sama belut?" tanya Vean pada Juna.
"Belut is Fio. You know?"
"Ih, Kak Juna jangan begitu, ah. Fio kan baik, cantik, kenapa disamakan dengan belut?"
"Nanti kualat, jodoh, loh!" lanjut Dhea.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!