karya ini sudah ditulis dari bulan lalu dibawah bimbingan editor untuk mengikuti event Air Mata Pernikahan. walaupun sejujurnya Candra lagi pundung gara-gara plagiator, author juga enggak bisa berenti berkarya. semoga pembaca enggak bosen ngasih dukungan 🙏🙏🙏
***
"Jangan menangis, Runa. Ayolah, jangan menangis. Aku sedang menghiburmu sekarang," kata Dayan sambil tertawa senang melihat raut sakit di wajah Runa.
Dugh, dugh, dugh.
Bunyi dari tangan Runa yang dibentur-benturkan ke tembok itu terdengar samar tapi menakutkan. Ia merasa sakit. Sangat sakit sampai tulangnya serasa ingin patah. Tapi lagi dan lagi, Dayan cuma menyeringai.
"Aw, istriku malah menangis kencang. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku begitu buruk?" ucap Dayan tapi dengan wajah mencemooh. "Apa yang harus kulakukan agar kamu berhenti menangis, Runa? Apa?"
Tolong matilah juga. Tolong. Jika dia sungguhan bertanya, tolong matilah agar Runa bisa hidup tenang.
"Atau aku harus seperti ini?"
Detik setelah itu, leher Runa tercekik dan tubuhnya terlempar ke kasur, menerbangkan kelopak mawar hiasan malam pertama mereka.
Ya, hari ini adalah hari pernikahannya dengan Dayan, pria menakutkan, kakak dari mantan kekasih Runa. Runa dituduh sebagai penyebab dari kematian adik Dayan itu, Zion, dan alih-alih memenjarakan Runa, Dayan lebih suka menikahinya lalu mendapatkan hak penuh menyiksanya.
Ekspresi Dayan yang semula penuh rasa senang seolah hanya tipuan, menunjukkan wajah dingin dan bosan.
"Menyedihkan," gumam dia pada istrinya yang meringkuk ketakutan. "Kenapa kalian wanita sangat suka bertingkah seperti korban, hah? Kalian senang menjadi tikus yang mati tersedak racun?"
Dayan merangkak ke tempat tidur. Menarik pergelangan Runa yang lebam, menatap wajah penuh air matanya itu. Dia terlihat sangat takut, sangat sakit, sangat menderita dan itu membuat Dayan sangat senang.
"Lihatlah wajah korban ini. Dia menangis kesakitan di malam pertamanya. Oh, Sayang, adikku yang pelaku kejahatan di hidupmu sekarang sudah dikuburkan. Tenanglah. Pelaku jahat itu tidak akan datang lagi."
Ucapannya menyiratkan kebencian yang dalam.
Runa hanya terus menangis mengatup mulutnya, gemetar ketakutan tapi tak bisa lepas. Ia berusaha sejak sebulan lalu. Ia bahkan berusaha masuk ke penjara saja daripada menikahi Dayan. Membiarkan dirinya terbukti bersalah sebagai pembunuh Zion walau nyatanya tidak. Agar Runa bisa lepas.
Tapi pria ini menghalanginya. Dia menghentikan kasus adiknya secara paksa, berkata kalau adiknya mati serangan jantung dan lupakan saja. Walau jelas-jelas polisi menemukan Zion kecelakaan, perkataan Dayan yang dibenarkan. Serangan jantung, titik.
Runa tidak bisa melawan pria yang perkataannya mengalahkan fakta. Dia terlalu berkuasa. Berteman dengan kekuasaan. Siapa Runa di mata dia? Bahkan tidak bisa disebut debu.
"Ssshhh, jangan menangis. Jangan menangis, Sayang." Dayan yang membuatnya menangis datang memeluknya, menepuk-nepuk punggung Runa. "Jangan menangis. Jangan takut. Tidak ada yang akan menyakitimu."
Kecuali dia. Ya, kecuali dia.
Runa menutup mulutnya dan terus berusaha tidak memberontak. Ia tahu nasibnya tidak akan baik jika memberontak.
"Sekarang tidurlah, Runa. Tidurlah yang nyenyak. Kita bisa melanjutkan malam pertama besok. Ayo, berhenti menangis dan terpejam."
Karena Runa terus menahan tangisannya agar tak bocor, itu malah membuat tubuhnya menahan beban. Pada akhirnya Runa seperti orang cegukan, sesenggukan dalam pelukan Dayan.
"Ah, membosankan." Dayan mendorongnya, menatap malas pada Runa. "Hei, aku membujukmu baik-baik, tapi kamu tetap saja menangis. Aku tidak mengerti kamu ingin aku bersikap seperti apa?"
Orang gila. Orang tak waras. Runa hanya memejamkan mata sambil terus mengutuknya.
"Ah, terserah." Dayan beranjak dari kasur, meninggalkan kamar begitu saja. "Jangan bunuh diri sendirian, Istriku. Aku menolak jadi duda sekarang," kata dia sebelum membanting pintu tertutup.
Runa membiarkan tangisan frustasinya teredam. Mungkin orang menyebutnya cengeng, tapi percayalah kekerasan adalah sesuatu yang mustahil bisa ditahan.
Itu bukan karena sakit fisiknya. Itu hanya sakit dua puluh persen saja. Yang paling sakit adalah jiwanya, menjerit-jerit tanpa henti bahkan ketika bekasnya hilang.
Runa menangis sampai ia lelah dan tertidur. Setidaknya dalam tidur itu Runa bisa lari dari kenyataan bahwa ia hidup di neraka.
Namun itupun tidak mau Dayan berikan. Pagi harinya Runa tersentak oleh siraman air yang dipenuhi balok-balok es batu.
"Selamat pagi, Istriku." Dayan tersenyum cerah sambil memegangi baskom kosong. "Rise and shine, Sunshine! Ayo bangun dan sarapan bersama."
Runa terpaku kosong, menggigil kedinginan.
Entah kenapa, mungkin karena es batu yang meredam neraka atau karena memutus kewarasannya, Runa mendadak sangat marah.
"KAMU GILA?!" Begitu teriak Runa sambil melepaskan akal sehatnya pergi. "ORANG NORMAL MANA YANG MENYIRAM AIR ES KE SESEORANG?! DASAR GILA! KAMU ORANG GILA!"
Senyum Dayan seketika berubah.
"Padahal repot-repot kubangunkan," gumam dia kecewa. "Aku khawatir kamu kelaparan dan ternyata ini balasannya?"
"AKU TIDAK MEMBUNUH ADIKMU, SIALAN! PRIA BODOH ITU MATI KARENA TUHAN TAHU SAMPAH SEPERTI DIA TIDAK LAYAK HIDUP!"
Detik berikutnya, tangan besar Dayan menyambar leher Runa, mencekiknya penuh amarah.
"ADIKKU MENCINTAIMU, WANITA MURAHAN!"
Sikap pura-pura lembut itu akhirnya berakhir.
"Dia mencintaimu!" bentak Dayan, terus mencekik Runa yang kehabisan napas. "Dia mencintaimu sampai-sampai dia buta bahwa dia seharusnya tidak mencintai kalian, makhluk tidak tahu bersyukur yang hanya tahu menyuruh pria berusaha!"
Runa tak bisa melawan. Cekikan Dayan berbeda dari kemarin yang hanya sesaat. Ini sangat keras dan dalam seolah-olah dia tidak masalah jika Runa mati detik ini juga.
Pembuluh darah Runa di lehernya serasa bisa pecah.
"Kamu membuatnya meninggalkan keluarga kami! Kamu membuatnya meninggalkan kenyamanan hidupnya sebagai pangeran sebagai bukti cinta! Dia sudah melakukannya, dia bahkan melupakan ibunya untuk wanita sialan sepertimu tapi lihat dirimu!"
Dayan kesetanan berteriak.
"LIHAT WAJAHMU YANG TIDAK MERASA BERDOSA INI! ADIKKU RELA MENGAMBIL BINTANG DI LANGIT UNTUKMU TAPI LIHAT BALASANMU!"
Runa sudah kehabisan napas. Matanya memutih dan mulutnya berusaha terbuka lebar, secara insting mencari oksigen yang sulit.
"DIA MENCINTAIMU SAMPAI RELA MENJADI BODOH DAN KAMU BELUM PUAS! APA LAGI SEKARANG? KAMU BERHARAP ADIKKU PERGI KE NERAKA UNTUK MEMBANGUN ISTANAMU? KAMU BERHARAP ADIKKU MENJADI TUHAN AGAR DUNIA INI JADI MILIKMU?!"
Urat-urat di leher Dayan ikut menonjol dan sedikitpun dia tak peduli Runa hampir mati.
"Wanita sepertimu, wanita yang merasa layak sepertimu, itu memang pantas mati!"
Tapi sesaat sebelum itu terjadi, sebuah teriakan menghentikan Dayan.
"Hentikan!"
Cekikan itu terlepas dan Runa akhirnya bisa bernapas. Wanita itu terbatuk-batuk, meraup oksigen sangat rakus untuk membayar sesaknya tadi.
Rintihan pilu Runa menyusul setelah itu. Ia tak tahu lagi. Ia takut, ia marah, ia terluka, ia ingin mati saja, ia ingin bahagia, ia ingin sendirian.
Tapi kenapa yang terjadi tidak pernah sesuai harapannya?
"Dayan." Paula menghampiri anaknya yang hampir saja mencekik Runa sampai mati, memeluk tubuh tegap pria itu. "Tenanglah. Tenang. Adikmu setidaknya menyesal di sana," bisik wanita itu sambil menahan tangisnya.
Dayan dan Zion tidak pernah akrab. Mereka sering bertengkar dan Dayan marah saat Zion meninggalkan keluarga mereka demi Runa. Tapi Dayan menyokong hidup Zion tanpa diminta dan selalu mengawasi adiknya dari jauh.
Dia sangat menyayangi Zion hingga tak bisa menerima kematian adiknya.
"Maaf, Ma." Dayan balas memeluk Paula, memejamkan matanya erat-erat. "Maaf."
*
Mereka beranjak pergi dari sana, meninggalkan Runa yang tergolek lemas di atas ranjang basah penuh es batu. Bahkan rasa dingin membuat Runa tak lagi ingin menghindar.
Ia merasa tidak waras.
Kenapa kematian Zion itu salahnya? Kenapa Dayan begitu membencinya? Runa tidak pernah meminta Zion meninggalkan keluarganya. Runa hanya menolak permintaan Zion menikah sebab Runa masih trauma pada hubungan keluarganya dengan sang ayah. Runa butuh waktu untuk bisa yakin bahwa berkeluarga itu tidak menakutkan, tapi Zion seenaknya menganggap dia harus melepas keluarganya juga agar bernasib sama seperti Runa.
Agar dia sama seperti Runa.
Padahal Runa tidak menginginkan itu.
"Aku ingin mati saja," gumam Runa parau. "Aku seharusnya mati saja."
Kenapa sebenarnya Runa masih hidup sampai sekarang? Bagaimana bisa ia berbuat bodoh, membiarkan dirinya hidup setiap hari, padahal jauh lebih baik menenggak racun dulu-dulu sekali?
Kenapa sebenarnya ia tidak mati padahal hidupnya jauh lebih mengerikan daripada kematian?
"Ya, ayo mati." Runa beranjak kosong, menatap sekitarannya untuk menemukan cara agar mati. "Yang tidak sakit. Aku benci rasa sakit. Tapi harus mati."
Racun? Atau mengiris tangannya dengan pisau?
Tidak, pisau itu menakutkan. Runa tak mau merasa sakit lagi.
Ia harus mati dengan racun yang tidak menyakitkan. Itu adalah jalannya menuju surga, bahkan kalau di surga sana itu hampa.
Jauh lebih baik daripada dalam cengkraman Dayan.
Setidaknya itu yang Runa pikirkan sampai kemudian Dayan datang lagi, lengkap bersama senyumnya yang biasa saja.
"Istriku ternyata pemalas. Mandi pun dia tidak mau." Dayan berkomentar melihat Runa masih tampak seperti kucing kehujanan. "Sekarang pergilah mandi dan pulang bersamaku."
"Pulang?" Runa bergumam kosong.
"Ya, pulang." Dayan menyeringai. "Kita akan tinggal bersama jadi tentu saja kita harus pulang, ke rumah kita."
Ketika dia menyebut kata rumah, Runa tahu itu neraka. Neraka khusus untuknya.
Dan seolah-olah Dayan tahu tentang keinginan Runa, kediamannya benar-benar dipasangi keamanan maksimal.
Setiap sudut lantai diberi pengawas, semua benda tajam disingkirkan, dan bahkan kamar Runa tidak diberi bathtub. Tembok kamar Runa dilapisi busa halus seolah-olah dia mencegah jika Runa membenturkan kepala di sana.
"Masuk dan nikmati fasilitas khusus untukmu, istriku." Dayan lagi-lagi bertingkah seperti malaikat. "Ini tempat yang seratus persen aman bagimu."
Runa didorong masuk kemudian Dayan menyusul, membiarkan pintunya tertutup.
"Pintu kamarmu kubuat khusus agar sangat aman." Dayan menunjuk monitor kecil di dekat pintu. "Hanya sidik jariku yang bisa membuka ini jadi kamu hanya bisa keluar dan masuk atas izinku langsung. Bagaimana? Aku suami yang posesif dan menggairahkan, bukan?"
Runa hanya bernapas naik turun menatap iblis itu.
"Runa, aku minta maaf mencekikmu tadi." Dayan datang meraih wajahnya dan menatap Runa seolah dia sungguh-sungguh menyesal. "Maafkan aku, yah? Aku tidak sengaja. Kamu berbuat salah jadi aku terbawa amarah dan melakukannya lagi. Maafkan aku?"
Dayan tiba-tiba mengubah sentuhannya jadi cengkraman.
"Aku sudah minta maaf," bisik pria kejam itu. "Bukankah istri yang baik memaafkan suaminya? Hm? Kamu tidak bisa bersuara karena lidahmu terluka? Atau harus kucabut saja biar kamu bisu selamanya?"
Runa meringis sakit. Ia bahkan tidak sadar kalau ternyata bekas cekikan Dayan tadi melukai lehernya hingga lebam.
Melihat Runa meringis, Dayan justru semakin menguatkan cengkraman itu.
"Aku tahu kamu ingin mati," ucap Dayan di wajahnya. "Kamu tidak akan bisa. Nyawa adikku hilang karena dia terlalu menjagamu, jadi sekalipun Tuhan mau mengambilnya, akan kujaga nyawamu ini. Dengan rasa sakit."
Runa mengerang kesakitan.
"Aku tadi minta maaf dan kamu tidak memaafkan. Sekarang giliranmu. Minta maaf padaku, Runa."
"Maaf." Runa tak bisa menahan sakitnya hingga spontan ia menurut. "Maaf. Aku minta maaf."
"Benarkah? Kamu menyesal?"
Air mata Runa berjatuhan saat ia mengangguk, terdorong mundur bersamaan dengan Dayan melepas cengkramannya.
"Bagus jika kamu menyesal," kata Dayan ceria. Seolah-olah dia dan Runa bisa saling tertawa.
Cara dia tertawa membuat Runa ingin muntah. Sebenarnya bagaimana bisa seseorang menjadi sekejam ini?
Apa dia bahkan tidak bisa berpikir? Semua hal yang dia jadikan alasan melakukan ini, apa dia sungguhan berfikir itu fakta?
Adiknya kecelakaan persis setelah Runa dan Zion habis bertengkar. Pada malam pertengkaran itu, memang benar Runa sampai memukul kepala Zion dengan botol hingga mengeluarkan darah. Tapi itu karena Zion bersikap kasar padanya. Runa melakukannya untuk membela diri dari Zion yang bertingkah gila. Tapi kemudian pria itu malah pergi, kebut-kebutan di jalanan hingga terlempar oleh mobil truk.
Lalu pria ini, pria gila dan tidak waras ini, justru menjadikan Runa sasaran kebenciannya!
"Kamu sepertinya tidak benar-benar menyesal."
Dayan tiba-tiba kembali mendekat, mencengkram wajah Runa. "Aku tahu wajahmu ini," bisik dia, "wajah seseorang yang sedang berpikir dia tidak berbuat salah."
"Dayan—"
"Kamu ingin tahu kenapa aku membencimu? Apa karena kamu membuat adikku memilih pergi dari rumah demi tinggal bersamamu? Atau karena adikku mati setelah bertengkar denganmu? Menurutmu aku benci karena itu?"
"...."
"Aku membencimu, Runa," Dayan menguatkan cengkramannya, "karena adikku mati sambil terus mencintaimu."
"...."
"Akan kubalas dendamku. Ini bukan dendam adikku, tapi milikku. Aku yang dendam padamu. Mengerti itu, Sayang?"
Dayan melepaskannya sekaligus berbalik pergi. "Kamu membuatku sangat kesal hari ini jadi hari ini berpuasalah. Seorang istri harus menebus dosa pada suaminya, kan?"
Pintu itu tertutup dan suaranya terkunci secara otomatis memenuhi kamar Runa. Wanita itu duduk meringkuk di lantai yang bahkan dilapisi busa lembut, sedikitpun tak memberi celah untuk ia melukai diri sendiri.
Dayan benar-benar tak membuka pintunya bahkan sampai esok hari. Tapi bukan itu yang membuat Runa sesak napas.
AC ruangan tidak dinyalakan sedangkan jendela begitu pengap. Lampu pun dibiarkan mati begitu saja hingga Runa kesulitan bernapas.
Di tengah kesadarannya yang hampir hilang, Runa memukul-mukul pintu. Tidak perlu makanan atau air, tapi setidaknya biarkan udara masuk.
Wajah Dayan tiba-tiba muncul di dinding kamar.
"Halo, istriku." Dayan melambaikan tangan tanpa dosa. "Kamu terlihat sangat nyaman beristirahat jadi aku tidak mau mengganggu. Ngomong-ngomong, aku tahu kamu lemah terhadap panas dan fobia gelap. Aku mau datang menyembuhkanmu tapi sayang sekali pekerjaanku banyak jadi tunggu aku besok siang, yah."
"Dayan—"
Pria itu malah tertawa-tawa dan proyeksinya menghilang begitu saja.
Runa benar-benar terkurung di sana, meresapi setiap detik menyiksa yang membuat akal sehatnya pelan-pelan menghilang.
*
Di sisi lain ruangan Runa, yaitu kamar tidur Dayan, pria itu tengah sibuk menenggak air. Ya, dia berbohong mengenai pekerjaannya banyak jadi besok saja dia mengeluarkan Runa. Pria itu dari tadi hanya sibuk mengamati Runa dari layar yang terhubung ke kamera pengawas.
"Tuan Muda, undangan pesta pernikahan Narendra sudah tiba."
"Berikan."
Dayan menerima secarik undangan mewah berwarna hitam kelam dengan simbol mawar emas di tengahnya. Pesta pernikahan Narendra adalah salah satu pesta paling ditunggu oleh kelompok elitis. Selain karena mereka dibiarkan memasuki kediaman Narendra yang sulit dimasuki, juga karena mereka bisa menemui banyak orang-orang yang sulit ditemui di hari biasa.
Tentu saja, Dayan juga menantikan. Ada seseorang yang sangat ingin ia temui di sana.
"Dan akan bagus mempermainkan Runa di sini." Dayan menyeringai. "Persiapkan gaun yang mewah untuk istriku."
Sambil menunggu hari datangnya pesta, Dayan terus melampiaskan amarahnya pada Runa. Pria itu tidak akan berhenti dan sedikitpun tidak berniat berhenti. Kebenciannya pada Runa menguat setiap kali Dayan mengingat kematian Zion.
Entah sudah berapa kali Zion memberitahu Dayan betapa dia mencintai Runa dan rela melakukan apa saja demi Runa. Tapi di hari kematian Zion, Runa sedikitpun tidak bersedih, tidak menangis, melainkan tampak sangat lega.
Seolah-olah dia terbebas dari neraka.
Maka dari itu Dayan tidak sudi mewujudkannya. Neraka yang dia takuti itu, Dayan akan pastikan dia merasainya setiap detik.
Lalu pada hari pesta pernikahan Narendra, Dayan memboyong Runa ke Papua, tempat pesta diadakan. Runa hanya terpaku melihat begitu megah dan mewahnya Kastel Bintang, tempat yang selama ini hanya Runa dengar dari berbagai pelanggannya di butik.
Dayan menggenggam tangan Runa masuk, membaur dengan tamu di pesta.
Saat Dayan melihat seorang gadis berambut ungu tua tengah berdansa dengan seorang pria taman, genggaman Dayan pada tangan Runa menguat.
"Argh." Runa sampai merintih akibat genggaman itu.
Dayan melepaskan tangan Runa, berlalu begitu saja meninggalkan wanita itu.
"Pria gila," umpat Runa menatap tangannya yang gemetar sakit akibat genggaman Dayan.
Ketika Runa mendongak, ternyata Dayan tengah mendekati seorang gadis bergaun hitam mawar dengan rambut ungu gelap. Dia terlihat sangat cantik sampai-sampai Runa percaya kalau orang menyebut dia bidadari.
Dayan mencium punggung tangan wanita itu, tersenyum manis padanya.
"Dia pasti Putri Narendra." Semua anak perempuan Narendra memang hanya bisa dilihat saat ada pesta pernikahan dari anak laki-laki mereka. "Dayan menyukai dia?"
Lalu sebenarnya untuk apa dia membawa Runa datang ke pesta ini?
Runa putuskan untuk membaur ke sisi wanita, bersosialisasi agar setidaknya ia tak hanya berdiri diam seperti patung.
Sementara di sisi lain sana, Dayan memfokuskan diri sejenak pada wanita yang dia cintai.
"Bukankah kamu berjanji padaku akan berdansa di pesta pernikahan adikmu tahun ini, Nona?"
Wanita itu justru tersenyum. "Aku suka mengingkari janji." Lalu dia melirik ke arah Runa. "Lagipula aku tidak mendengar ada rencana pernikahan. Nampaknya kamu bermain-main denganku, Dayan."
"Kamu jelas tahu dia siapa." Dayan terkekeh. "Peliharaan adik bodohku. Jika aku tidak memeliharanya menggantikan dia, maka siapa lagi yang bisa, Nona?"
"Lalu untuk apa kamu membawanya ke tempat ini? Mengajak dia berdansa di depanku?"
"Memperlihatkan padanya seperti apa neraka itu." Dayan menggenggam tangan sang Nona Narendra.
Lalu pria itu datang lebih dekat, tak peduli jika itu di depan semua orang, dia berbisik mesra di telinga wanita tersebut.
"Aku mainanmu, Nona. Perlihatkan pada wanita tidak tahu diri itu hukuman karena merebut mainanmu."
"Bilang saja kamu ingin aku membantumu." Tapi meski begitu sang Nona tersenyum kecil.
Dia mengambil minuman di dekat mereka dan mulai berjalan ke arah Runa. Lalu dengan senyum anggun serta kepastian air di gelas itu dia tumpahkan ke atas kepala Runa yang tengah berbicara.
Tenru saja semua orang terkesiap.
"Apa yang kamu lakukan?!" pekik Runa spontan.
Tapi perbuatannya justru mengundang reaksi lebih terkejut.
Dia pasti tamu baru, begitu pikir semua orang. Meneriaki seorang Narendra, apalagi anak perempuan Narendra, itu seperti sebuah dosa besar.
"Aku hanya berpikir ada serangga di sini," ucap sang Nona tanpa rasa bersalah. "Sepertinya memang benar ada serangga."
Runa mematung saat tatapannya bertemu dengan Dayan.
Astaga, apa dia benar-benar bertingkah kekanakan dengan membawa-bawa orang lain pada hal ini?
"Namaku Hestia," kata sang Nona Narendra lagi. "Akan kuberitahu satu hal dasar padamu, Orang Udik. Memakai gaun hitam di pernikahan Narendra itu berarti hinaan bagi kami."
Runa spontan menunduk melihat gaunnya. Memang warna hitam persis seperti semua warna yang dipakai Narendra. Sedangkan tamu-tamu lain justru memakai pakaian berwarna putih.
Tapi gaun ini bukan Runa yang memilih. Ia hanya terpaksa memakainya sebab Dayan menyiapkan ini.
"Itu salahku." Dayan yang tadi tersenyum dari kejauhan tiba-tiba sudah datang, seolah melindungi Runa. "Itu salahku, Nona. Istriku berkata dia sangat menyukai warna hitam, karena itulah dia memaksa memakai gaun hitam."
Runa mengerjap tak percaya.
Orang gila ini apa dia sungguh-sungguh ingin bersandiwara cuma demi menyiksa Runa? Mempermalukannya? Apa di rumah, semua bentakan, cengkraman, cekikan dan bisikan iblis itu tidak cukup?!
"Runa, minta maaflah pada Nona Hestia." Dayan menoleh dan menatap Runa seperti dia sangat kecewa atas tindakan ceroboh istrinya. "Cepat, Runa, minta maaf. Aku tahu kamu sangat suka mencari perhatian tapi tindakanmu kali ini sangat memalukan. Minta maaf."
Semua orang menatap Runa.
Saat ia menyebut semua orang, itu benar-benar semua orang, termasuk perdana menteri yang hadir dalam pesta tersebut.
Rasa malu yang ia tanggung seperti dihujat oleh satu negara. Bahkan mungkin lebih sebab Runa juga melihat beberapa tamu asing yang nampaknya juga sangat penting.
Dan Dayan justru sangat ingin mempermalukannya di sini. Di tempat ini.
"Maaf." Runa mencengkram kuat-kuat gaunnya saat menunduk. "Maaf."
"Kuterima maafmu." Hestia mengangkat tangan dan dua orang pelayan langsung datang. "Beri dia pakaian ganti. Apa pun selain warna keluarga kami."
"Baik, Nona."
Begitu Runa pergi, Dayan tertawa canggung seolah dia sangat minta maaf atas sikap istrinya.
Tapi begitu perhatian teralihkan dari mereka, Dayan diam-diam berbisik, "Kamu memang favoritku, Nona."
"Lain kali selesaikan masalahmu sendiri." Hestia berlalu meninggalkannya.
Meski Dayan buru-buru menyusul.
"Kalau begitu, bagaimana jika bermain lebih jauh?"
"Apa itu?" Hestia melirik tertarik.
Apalagi ketika Dayan menoleh ke luar jendela.
Kastel Bintang berdiri di pegunungan terdingin di negara ini, Jayawijaya. Tentu saja selain dari kastel megah ini, tidak ada satupun bangunan di sekitarnya dan hanya ada hutan di sepanjang gunung.
"Mungkin dia akan senang bermain di sana, Nona," kata Dayan dengan senyum penuh arti. "Malam ini, boleh kami menginap?"
Hestia cuma tertawa tak peduli. Dia justru menantikan bagaimana Dayan menyiksa istrinya yang dia anggap bersalah atas kematian adiknya.
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!