“Wanita pemalas! Cepatlah!” Erick, pria bertubuh atletis dan berwajah tampan itu kembali memakai sambil melemparkan kemejanya ke lantai.
Ia baru saja selesai mandi dan ingin memakai pakaiannya, tapi warna kemeja yang disiapkan Shafira selalu saja salah.
“Baik, Tuan! Bagaimana dengan baju yang ini? Hanya tinggal itu yang tersisa!” Shafira berlari ke arahnya dari ruang ganti sambil menunjukkan baju yang berwarna biru navi di tangannya.
Tatapannya mengarah pada beberapa helai baju yang berserakan di lantai.
“Apa kamu buta warna? Apa itu cocok dengan celana coklat ini? Hah!” Erick kembali berteriak dengan tatapan setajam belati ke arah Shafira. Wanita itu terlihat sudah lelah karena mondar-mandir dari ruang ganti ke hadapan sang suami.
Seandainya ia bisa menolak atau membantah, maka akan ia lakukan untuk melawan. Namun, Erick bukanlah suaminya yang bisa diajak bicara baik-baik. Kalau salah sedikit saja, maka ia tak akan segan-segan memukul dan menyakitinya.
Sebenarnya Erick pria yang tampan dan Shafira nyaman saat melihat wajahnya, tapi siapa yang sangka saat mereka melihat, ternyata pria itu tidak sebaik kelihatannya. Kalau saja bukan karena amanah ibunya, mungkin ia tidak akan bisa bertahan sampai sekarang.
Pernikahan seharusnya merupakan muara cinta, tapi bagi pernikahan Shafira dengan Erick, menjadi muara penderitaannya. Mereka menikah karena perjodohan kedua orang tua, selain itu juga demi menjaga nama baik Erick dan keluarga.
Erick melakukan kesalahan karena tidak hati-hati mengemudi hingga harus mengalami kecelakaan. Naasnya lagi, dua orang yang menjadi korbannya meninggal dunia. Akibatnya pria itu harus berurusan dengan badan hukum.
Oleh karena itu, keluarga Erick pun melakukan usaha agar kasus kecelakaan tidak berlanjut ke meja hijau.
Kebetulan, ibu Shafira yang masih hidup setelah kecelakaan itu. Walaupun sempat kritis di rumah sakit, tapi ia bisa pulih dan bisa berkomunikasi. Ayah dan ibu Erick pun menggunakan kesempatan itu untuk mengajukan sebuah permintaan.
Kedua orang tua Erick ingin agar anaknya yang ceroboh itu, tidak di penjara. Mereka ingin ibu Shafira tidak mengajukan tuntutan apa pun atas kematian suaminya, yang kebetulan meninggal dunia di tempat kejadian.
“Kalau bukan permintaan Ibumu! Aku tidak akan menikah dan berhadapan dengan perempuan seperti kamu!” Erick berkata sambil merampas kemeja terakhir itu dari tangan Shafira.
Namun, sebelum memakainya, Erick sempat memukulkan kemeja itu ke wajah istrinya.
Shafira hanya diam, sejenak kemudian ia menatap suaminya dengan tatapan memelas. Ia tahu, kalau pernikahan mereka bukan disebabkan oleh kesalahannya tapi kesalahan Erick sendiri. Namun, pria itu menganggapnya sebagai penyebab segalanya.
Pria itu tak berhati. Ia menyiksa Shafira sebagai wujud kekesalannya. Hanya karena ia gagal menikahi kekasihnya.
“Bukannya kamu yang harusnya bersyukur karena pernikahan ini membuat kamu tidak di pen—“ katanya terbata-bata, suaranya gemetar penuh ketakutan.
Benar saja, ucapannya itu membuat Erick kembali naik pitam. Ia yang belum selesai memakai kemejanya, mendekati Shafira dan memelototinya, lalu ...
Plak!
Plak!
Dua tamparan keras mendarat di pipi gadis itu, hingga membekas dan terlihat bengkak, menunjukkan tamparan itu diberikan Erick dengan tenaga penuh.
“Ahk! Tuan, sakit!” Shafira merintih sambil memegangi kedua pipinya yang sudah dipenuhi dengan air mata.
Erik menjambak rambut panjang Shafira hingga kepala gadis itu mendongak dan tubuhnya yang mungil pun terangkat.
“Diam! Sudah kubilang dari awal! Apa pun yang aku lakukan padamu, jangan berteriak!” Napas Erick tersengal saat bicara, menandakan amarah yang membuncah di dadanya.
“Dengar ...! Kalau ibu sampai tahu aku melakukan ini padamu, aku tidak akan segan-segan membuangmu di jalanan! Apa kamu mengerti?”
Shafira mengangguk dengan susah payah karena posisi kepalanya yang mendongak, karena tarikan tangan Erick pada rambutnya. Ia sengaja melakukannya agar tidak terlalu sakit.
“Bagus!” Erick berkata sambil melepaskan tangan dari rambut Shafira.
“Sekarang, kamu berkemas! Kita akan pindah ke rumahku sendiri!” kata Erick sambil membereskan kancing terakhir pada kemejanya.
Shafira berjalan lemah ke ruang ganti baju untuk menuruti permintaan Erick. Sesampainya di sana, ia kembali menangis dengan membekap mulutnya sendiri kuat-kuat. Ia khawatir suaranya akan di dengar oleh Erick.
Uraian air mata di pipinya, menemani gerakannya mengambil baju yang akan ia kenakan. Selain itu, ia pun mengemas beberapa pakaian ke dalam koper, semua barang-barang itu adalah, yang ia bawa dari rumahnya dulu, saat ia baru saja menikahi pria itu.
Ia kini sudah berganti pakaian yang ia kenakan agar pantas berdiri di sisi Erick. Ia akan pergi ke tempat yang baru. Namun, Ia tidak tahu di mana rumah pribadi pria itu. Ada sedikit harapan di hatinya bahwa mungkin, akan lebih baik lagi keadaannya.
Saat Shafira sudah siap dengan pakaian dan kopernya, Erick melirik, sambil menyeringai licik di sudut bibirnya. Ia bertekad melakukan segala cara untuk membuat gadis itu tidak kuat dalam menjalani hidup rumah tangga bersamanya. Dengan begitu, ia akan segera meminta untuk bercerai darinya.
Inilah nasibnya sekarang, kehilangan kedua orang tua dalam waktu yang bersamaan. Lalu, menikah dengan pria yang tidak dikenal, dan sekarang harus mengalami penyiksaan dari hari ke hari. Hatinya terluka, bukan karena permintaan ibunya, tapi karena dugaannya salah.
Ia pikir pria yang sudah melenyapkan nyawa kedua orang tuanya itu akan bersikap manis padanya. Namun, kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya.
Shafira tidak tahu apa kesalahannya sehingga Erik selalu menyiksanya. Sebagai istrinya, ia sudah bersikap baik dan lembut sejak ia dinikahi. Ia pandai bersikap sopan dan tenang di depan semua orang. Apalagi, bisa dikatakan jika dirinya adalah penyelamat bagi Erick dan keluarganya.
Lalu, mengapa suaminya itu berbuat demikian kejam padanya.
Shafira terlalu takut untuk jujur pada mertuanya kalau dirinya selalu disiksa anak mereka. Semua bukan tanpa alasan, melainkan Erick memintanya untuk bungkam.
Akhirnya Erick dan Shafira sudah siap akan pindah rumah, beberapa barang bawaan mereka sudab siap untuk di masukan ke dalam bagasi.
"Kenapa harus pindah rumah sih, kan di sini juga rumah besar! " kata Mirna sambil menatap
Shafira.
Perempuan itu tidak menjawab apapun ia hanya tersenyum sambil menunduk. Ia juga takut kalau ibu mertua nya sadar bahwa merah di pipi itu bukan hanya blush on akan tetapi bekas tamparan suaminya.
"Mama, kan aku sudah bilang. Kami ini menikah secara dadakan jadi butuh tempat untuk kami untuk mengenal satu sama lain" jawab Erick sambil merangkul bahu Shafira. Seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka, ternyata dang Mama percaya dengan apa yang di ucapkan oleh sang putra.
"Baiklah kalau begitu, hati-hati di jalan. Kabari kalau kalian sudah sampai"
"Baiklah, Ma... Kami pamit"
Akhirnya Erick dan Shafira berpamitan dan semuanya sudah selesai, Mirna merasakan kesedihan harus pisah dengan anaknya meskipun masih di kota yang sama.
Erick pun melajukan kendaraan nya dengan kecepatan tinggi, sudah cukup muak ia berpura-pura baik di hadapan sang Mama. Ingin rasa ia segera sampai di rumah baru dan melampiaskan seluruh kemarahan nya.
Waktu bergulir begitu cepat, Erick sudah berhasil menghentikan kendaraan nya di sebuah rumah mewah akan tetapi terlihat sangat sepi. Tidak ada satu orang pun yang tinggal di rumah ini, Erick pun membentak Shafira agar segera turun dan membawa koper mereka untuk segera masuk.
Meskipun berat, Shafira tidak berani protes sudah pasti akan mendapatkan perlakuan kasar lagi. Jadi lebih baik ia diam dan melakukan apa yang di perintahkan oleh Tuannya.
Di saat mereka sudah berada di dalam kamar dan Shafira juga mulai merapikan barang-barang milik nya.
Erick meminta Shafira untuk membersihkan seluruh rumah ini, padahal sangat luas dan masih bersih tidak perlu di pel atau di lap.
Dengan rasa takut, Shafira mengikuti apa yang di perintah kan oleh suaminya.
Setelah memberikan perintah, Entah pergi ke mana laki-laki itu. Bahkan sepanjang hari Shafira tidak menemukan suaminya.
Hingga malam hari telah tiba, ia juga belum makan apapun. Bahkan saat ini tubuh nya terasa lelah sekali seperti mau pingsan.
Shafira membaringkan tubuh nya di atas tempat tidur, sebab rasanya ia sangat lelah sekali.
Saat Shafira sudah berada di alam mimpi, betapa kaget nya saat air membasuh wajahnya.
Dengan reflek ia langsung bangun sebab mendengar teriakan menggema di dalam ruangan.
"Enak benar kamu tidur di sini, siapa yang sudah memberimu ijin" teriak Erick dengan sorot mata tajam.
"Turun kamu! " bentak Erick sambil menarik paksa Shafira, sehingga perempuan itu terjatuh.
Sakit, itu yang di rasakan Shafira pada saat ini. Akan tetapi ia juga tidak bisa berbuat apapun, selain pasrah menerima kenyataan.
Di saat Erick hendak memukul Shafira kembali, akan tetapi terhenti dengan nada dering ponsel miliknya.
"Hallo, sayang. Aku sekarang sudah di rumah" kata Erick terhadap seseorang yang menghubungi nya.
"Baiklah kalau begitu, sekarang istirahat. Sampai ketemu besok di kantor love you, suamiku cinta ku, belahan jiwaku"
"Kamu juga istirahat ya, istriku"
Sengaja Erick mengunakan mode pengeras suara agar terdengar oleh Shafira, bahwa dirinya bukan lah orang yang di inginkan kehadiran nya oleh Erick.
Akhirnya Erick pun memutuskan sambungan telepon nya.
"Dasar cengeng, kamu tidur di bawah jangan berani naik ke atas tempat tidur atau pun sofa! " kata Erick sambil mencengkram rahang Shafira.
Setelah berkata seperti itu, Erick menghempaskan nya dengan kasar. Lalu meninggal kan Shafira begitu saja.
Sementara itu, Shafira yang duduk terpaku di lantai, hanya bisa bicara dalam hati dengan berurai air mata.
“Ibu, kenapa Ibu menjodohkan aku dengan pria seperti dia? Sungguh aku lebih baik sendiri dari pada harus terluka setiap hari. Seharusnya dia bersyukur, kan, Bu? Karena menikah denganku dia tidak di penjara! Semoga aku bisa tetap sabar, menjalankan amanah Ibu dan menjaga ikatan suci ini, walaupun suamiku sangat kejam,? Gumamnya, sambil memeluk lututnya.
Shafira menangis di pojok kamar, sungguh malang sekali nasibnya.
Harapan sang ibu ia akan hidup bahagia setelah menikah, namun nyatanya hanyalah penderitaan yang di dapatkan nya.
Sementara Erick pergi meninggalkan istrinya begitu saja, dan menuju ke ruang kerja. Setelah memperlakukan Shafira layaknya bukan manusia.
Puas rasanya bisa membuat istrinya sakit hati, ia yakin kalau tak lama lagi, kesabaran wanita itu akan habis, dan mereka segera bercerai. Lalu, ia bisa menikahi Wulan Gayatri?kekasihnya.
Erick Santhos, pria berkulit putih dengan rahang tegas dan berhidung mancung itu, memiliki mata hitam legam yang sering memberikan tatapan tajam pada lawan bicaranya. Alisnya tebal dan lancip, menambah ketampanan serta, menunjukkan kedudukan pria kelas atas pada umumnya. Namun, siapa yang menyangka kalau ia tega menyakiti Shafira, wanita yang sengaja ia nikahi demi terbebas dari jeratan hukum akibat perbuatannya.
Erick mengacak rambutnya kasar mengingat bagaimana kecelakaan itu terjadi. Ia memang lalai dan tidak hati-hati, saat mengendarai super car yang dikendarainya sendiri. Kalau tidak banyak orang yang melihat, ingin rasanya melarikan diri. Ia sedang terburu-buru karena ada rapat penting. Seandainya ia terlambat sedikit saja, maka tender perusahaan akan jatuh ke tangan pihak lain.
Alhasil, karena kecerobohannya ia menabrak dua orang tua. Ia tidak mengurangi tekanan pada gas mobilnya saat berada di tikungan jalan, menuju tempat di mana tender akan dilangsungkan.
Para korban itu memiliki seorang anak wanita satu-satunya yang bernama Shafira Aida Azahra. Ayahnya meninggal di tempat saat itu juga dan ibunya di nyatakan kritis setelah di bawa ke rumah sakit. Saat terlepas dari kritis, wanita itu meminta agar Erick yang sudah menabraknya, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kedua orang tua pun semuanya setuju.
Atas dasar itulah akhirnya mereka menikah. Erick dipaksa untuk menjalani hidup berumah tangga dengan Shafira—seorang gadis yang sama sekali tidak di kenalnya.
Keesokan harinya.
Seperti biasa Shafira, selalu menyiapkan sarapan aupun makan malam untuk suaminya, meskipun Erick tidak pernah memakannya. Ia terus melakukan kewajiban nya sebagai seorang istri, karena Shafira tidak ingin menodai janji suci pernikahan yang di lakukan di hadapan Tuhan.
“Mas, sarapan dulu aku sudah menyiapkan nya! “ Shafira berkata dengan nada bicara yang lembut, meskipun tidak pernah mendapatkan perlakuan baik dari sang suami ia tetap menjadi istri yang selalu melayani suaminya.
Bagi Shafira kesakitan yang ia dapatkan setiap hari dari sang suami itu sudah mampu membuat ia kuat. Ia berfikir bahwa tidak semua yang orang tua pilih untuk anaknya akan membuat bahagia, bukti nya sekarang Shafira malah semakin menderita. Akan tetapi ia selalu tersenyum di balik rasa sakit yang di terimanya setiap hari.
“Sudah, hentikan drama receh mu. Jangan harap dengan kamu memperlakukan ku seperti ini, aku akan berbuat baik padamu. Saya sudah tahu niat buruk kamu, sengaja mengorbankan orang tuamu hanya untuk masuk ke keluarga saya. Ini cara kalian untuk mendapatkan kekayaan yang instan” kata Erick dengan nada bicara penuh penekan.
“Jaga bicara mu, kedua orang tua saya jauh lebih berharga dari semua harta yang kamu miliki. Jika semua harta mu bisa mengembalikan orang tuaku maka lakukan itu sekarang, dan aku akan pergi jauh dari hidup mu.” Jawab Shafira dengan nada bicara bergetar, ia masih mampu bertahan airmata saat di perlakuan kasar akan tetapi Airmata begitu mudah untuk meleleh saat Erick menyebutnya telah mengorbankan orang tua demi harta.
Seketika Erick terdiam.
Setelah mendengar perkataan Shafira seperti itu, ia pergi begitu saja. Memang benar apa yang di katakan oleh istrinya, seberapa banyak harta yang kita miliki tidak akan mampu mengembalikan orang yang sudah meninggal.
Erick akan segera pergi ke kantor, mengingat hari juga semakin siang.
Ia pergi ke kantor tanpa menggunakan sopir pribadi, setelah berada di dalam kendaraan ia langsung menginjak gas dengan kencang.
Waktu bergulir begitu cepat, kendaraan yang di tumpangi Erick melaju dengan kecepatan tinggi.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di kantor, kendaraan berhenti dengan sempurna.
Erick melangkah kan kakinya untuk segera masuk ke dalam gedung tinggi yang ada di hadapan nya, seperti biasa kedatangan nya akan selalu di sambut hangat oleh Wulan.
Sudah bukan rahasia umum lagi, kedekatan di antara keduanya.
Meskipun Erick sudah menikah, akan tetapi Wulan sebagai kekasih yang di tinggal nikah karena insiden itu.
Wulan langsung bergelayut manja terhadap Erick, dan mereka akan saling melepaskan kerinduan di ruang kerja Erick.
Keduanya sudah berada di dalam ruangan, Wulan duduk di pangkuan Erick sambil mengalungkan tangannya di leher Erick.
“Sayang jadi kan nanti sore aku pindah ke rumah mu? “ tanya Wulan, untuk memastikan bahwa pembicaraan nya tadi malam bukan lah janji palsu dari sang kekasih.
“Ya tentu jadi sayang, kan aku sudah berjanji sama kamu. Dengan cara itulah kita bisa mengusir nya dengan perlahan, dia nggak mungkin sanggup melihat kemesraan kita!” jawab Erick sambil tersenyum manis, setelah berkata seperti itu ia mengecup bibir Wulan dengan singkat.
“Ko, rasanya beda yah, lebih nikmat punya perempuan sialan!” batin Erick sambil menatap lekat wajah Wulan.
“Ya sudah kalau begitu, aku lanjut kerja dan semoga kita bisa pulang cepat. Aku sudah tidak sabar ingin melihat reaksi perempuan pembawa sial itu,” kata Wulan sambil turun dari pangkuan Erick.
“Semangat bekerja yah, Sayang!”
Akhirnya Wulan pergi meninggalkan Erick di ruangan nya.
Waktu bergulir begitu cepat, sore hari telah tiba seluruh karyawan kantor satu persatu keluar dari gedung.
Begitu juga dengan Wulan dan Erick, kedua nya tampak bahagia keluar bersama dengan cara bergandengan.
Wulan tidak mersa malu bertingkah seperti itu padahal jelas Erick sudah menikah, walaupun pernikahan nya terpaksa. Tetap saja status Erick sebagai suami orang.
Keduanya sudah berada di dalam kendaraan dan sudah siap untuk pulang bersama.
Erick melajukan kendaraan nya dengan kecepatan tinggi, sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk segera sampai di kediaman nya.
Setelah sampai di halaman rumah, Erick dan Wulan keluar dari dalam kendaraan lalu masuk ke dalam rumah dengan cara bergandengan tangan.
“Siapa dia? “ tanya Shafira saat melihat suaminya datang dengan membawa perempuan lain ke rumah.
“Kenalin—aku Wulan, calon istri dari Mas Erick!” kata Wulan dengan senyuman mengembang di bibir nya.
“Sekarang tolong rapikan pakaian mu yang ada di kamar atas dan pindahin ke kamar tamu karena mulai saat ini kamar itu akan di tempati Wulan! “ kata Erick sambil menatap tajam wajah Shafira.
Jleb, rasanya seperti di hantam bongkahan batu, hati Shafira hancur berkeping-keping. Di usir dari kamar oleh suaminya hanya untuk memberi tempat untuk perempuan lain.
Tidak akan pernah ada seorang perempuan yang rela tinggal satu atap bersama selingkuhan suaminya, walaupun pada kenyataannya Shafira yang datang ke kehidupan Erick dan menjadi
penghalang cinta mereka. Akan tetapi tetap saja Shafira tidak terima jika Wulan tinggal di rumah itu bersama.
“Kenapa harus tinggal di sini, kalian punya duit banyak untuk membeli apartemen dan bisa tinggal bersama di sana. Tanpa harus mengganggu aku di sini”
“Setuju atau tidak, saya akan tetap tinggal di rumah ini, sebab rumah ini milik Erick dan itu artinya Milik aku juga” Wulan menimpali ucapan Shafira.
“Ayok sayang, kita ke kamar. Oh iya, jangan lupa siapkan makan malam untuk kita! “ kata Erick sambil menatap Shafira dengan penuh kebencian.
Shafira pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam, dengan perasaan tak berdaya, sedangkan Wulan dan Erick pergi ke kamar di sini terlihat dengan jelas bahwa, mereka seperti sepasang suami istri sedangkan Shafira seperti pembantu saja.
Satu minggu telah berlalu, setelah Wulan tinggal bersama mereka.
Hari-hari Shafira seperti di neraka, karena hinaan dan siksaan setiap hari ia terima. Akan tetapi Shafira dengan sabarnya menerima setiap perlakuan dari mereka.
Pagi ini menu sarapan sudah siap, seperti yang di minta oleh Wulan.
Setelah Wulan hadir di rumah itu, Erick juga mau menikmati masakan Shafira meskipun tujuan mereka hanya untuk menyiksa Shafira lahir dan batin.
Wulan dan Erick sudah selesai menikmati sarapan dan mereka akan segera berangkat ke kantor akan tetapi menggunakan kendaraan yang berbeda, Erick meminta Wulan agar tidak datang ke kantor dengan cara bersama, ia juga takut bahwa hal ini di ketahui oleh kedua orang tuanya.
Di saat Erick akan masuk ke dalam kendaraan, Shafira menghentikan langkahnya sehingga laki-laki itu berhenti dan melihat ke arah sumber suara.
"Ada apa? jangan mengganggu ku, urus saja rumah yang bener! " kata Erick sambil menatap Shafira dengan tajam.
Hal itu membuat Shafira menundukkan pandang nya.
"Boleh kah aku ikut menumpang? Aku ingin sekali pergi ke rumah lama. Aku kangen suasana di sana, tapi aku nggak tahu jalan. Lagian kamu nggak pernah memberi ku uang, aku nggak ada ongkos untuk naik angkutan umum," kata Shafira dengan nada bicara yang lembut.
"Kenapa kamu nggak pergi saja dan jangan pernah kembali ke rumah ini lagi, mungkin itu lebih bagus. Oh iya ini uang untuk ongkos, aku nggak ada waktu untuk mengantarkan kamu pergi ke sana. Pergi sendiri jangan jadi perempuan lemah maunya di antar, " kata Erick sambil memberikan uang pecahan seratus ribu dua lembar.
Setelah menyerahkan uang tersebut, Erick langsung masuk ke dalam kendaraan dan langsung menginjak gas dengan kencang.
Kendaraan Erick sudah tidak terlihat lagi, Shafira pun berjalan dengan perlahan untuk segera masuk ke dalam rumah dan mengambil tas kecil milik nya.
Di tempat lain.
Seorang lelaki bertubuh tinggi dan bulu halus di rahangnya, berpenampilan rapi dan kulit nya bersih.
Lelaki itu berdiri di depan pintu pagar sambil memanggil yang punya rumah, akan tetapi tidak ada jawaban dari dalam rumah.
Ia terus mondar-mandir dan ingin bertanya terhadap tetangga yang ada di sini akan tetapi ia bingung, kenapa pagi ini tidak ada orang yang bisa di mintai keterangan untuk bertanya ke mana penghuni rumah.
Setelah cukup lama ia berada di sana dan tidak ada hasil, akhirnya ia memutuskan untuk segera pulang dan akan mencari tahu setelah ini melalui orang-orang yang pernah dekat dengan orang tersebut.
Ardan langsung masuk ke dalam kendaraan nya dan berniat akan segera pergi, akan tetapi pandangan nya tertuju kepada seorang perempuan yang baru saja turun dari angkutan umum.
Perempuan itu langsung masuk ke area pekarangan dan membuka pintu rumah, Ardan cukup lama memperhatikan Shafira dari luar.
Keberanian nya seketika hilang saat sudah melihat perempuan yang selama ini ia rindukan.
"Sekarang kamu terlihat lebih cantik tapi kenapa tubuh mu kurus seperti itu?" batin Ardan sambil terus menatap bangunan sederhana yang terlihat kotor.
Di dalam rumah sederhana sudah satu bulan Shafira keluar dari rumah itu dan ikut tinggal bersama suaminya.
"Ayah, ibu aku datang mengunjungi kalian. Sekarang aku kangen, ingin rasanya tidur di pangkuan mu dan bersandar di bahu Ayah. Bahwa aku kuat berada di situasi seperti ini karena ada kalian berdua, sekarang kalau aku sedih tidak ada lagi bahu untuk bersandar," batin Shafira sambil menatap gambar kedua orang tua nya yang menempel di dinding.
Shafira terus memandang gambar kedua orang tuanya, yang sangat ia rindukan. Andai ia bisa memilih, lebih baik ia yang pergi daripada harus kedua orang tuanya.
Akan tetapi takdir Tuhan tidak bisa di nego seperti kita belanja di pasar pagi, kita sebagai umat manusia hanya pasrah menerima setiap kehendak-Nya.
Setelah merasa cukup dan rasa rindunya sudah terobati, Shafira pun keluar dari rumah tersebut dengan membawa beberapa gambar kedua orang tuanya agar setiap saat ia mampu menatap wajah yang selalu ia rindukan.
Shafira berjalan dengan perlahan keluar dari area pekarangan dan ingin mencari angkutan umum, untuk mengantarkan nya pulang.
Tanpa Shafira sadari ada orang yang mengawasi nya sejak tadi, Ardan dengan setia menunggu Shafira keluar dari rumah tersebut.
Ardan melajukan kendaraan nya lalu berhenti di depan Shafira, dengan berpura-pura tidak sengaja melihatnya. Padahal itu semua sudah ia rencana kan.
Shafira merasa heran kenapa ada kendaraan mewah yang berhenti di hadapannya. Setelah melihat orang yang keluar dari kendaraan itu, barulah ia tekejut dibuatnya," Kak Ardan!" kata Shafira dengan raut wajah yang sangat kaget.
"Mau pergi ke mana? Membawa tentengan seperti itu?" tanya Ardan terhadap Shafira.
"Owh, ini mau pulang"
"Pulang! " kata Ardan dengan alis mengkerut, ia tidak tahu pulang yang di maksud itu ke mana. Padahal jelas yang di hadapan nya pada saat ini rumah nya.
"Iya, pulang ke rumah ku. Karena sudah satu bulan aku tinggal di rumah suami ku," jawab Shafira dengan bibir tersenyum.
Semakin tidak mengerti apa yang terjadi dengan Shafira, hati Ardan merasakan panas ketika mendengar bahwa Shafira sudah menikah. Ia datang mencari keberadaan Shafira dan ingin mengatakan rasa cinta nya yang selama ini di pendam nya.
Akan tetapi harapan nya pupus sudah.
"Kak, Ardan mau ke mana kok tiba-tiba lewat sini. Bukankah tinggal di luar kota? " tanya Shafira terhadap Ardan.
"Owh ini, kebetulan lewat dan tanpa di sengaja aku melihat kamu. Dan sekarang aku sudah pindah lagi ke kota ini." Ardan berdusta pada Shafira.
"Ya sudah kalau begitu aku pergi duluan ya, Kak. " kata Shafira.
"Eh tunggu dulu! Kamu mau pergi ke mana? Kita baru saja bertemu setelah sekian lama, masa kamu tega sih sama aku," kata Ardan dengan raut wajah yang melas.
"Ya terus aku harus apa? " tanya Shafira.
"Bagaimana kalau aku mengantarkan mu pulang, dan di jalan kita bisa ngobrol panjang lebar. Aku juga punya banyak cerita yang ingin aku bagi dengan mu."
"Tapi, Kak!"
Tanpa menunggu persetujuan dari Shafira, Ardan langsung memaksa Shafira untuk masuk ke dalam kendaraan nya.
Akhirnya Shafira pun pasrah dan mengikuti apa yang menjadi keinginan teman lama nya.
Kedua nya sudah berada di dalam kendaraan dan, Ardan pun melajukan kendaraan nya. Ia meminta Shafira untuk menunjukkan alamat rumah nya.
Tempat yang mereka tuju lumayan jauh sehingga membutuhkan waktu yang sangat lama, pagi telah berganti dengan siang.
Akhirnya sampai lah kendaraan yang membawa Shafira di rumah mereka.
"Ini sudah sampai, terimakasih banyak kak. Sudah bersedia mengantarkan aku pulang," ucap Shafira dengan nada bicara yang lembut serta bibir tersenyum.
"Aku yang terima kasih sama kamu karena sudah mau ku antar, baiklah kalau begitu aku permisi dulu! " kata Ardan.
Di saat Ardan hendak menginjak gas, tiba-tiba datang lah sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan Shafira.
Ardan yang sudah berpamitan, ia tidak memedulikan nya dan pergi begitu saja.
Betapa terkejut nya, Shafira saat melihat bahwa suaminya yang datang.
Ia heran mengapa Erick bisa pulang secepat ini padahal baru setengah hari.
Tatapan mata Erick tajam jantung nya berdetak lebih kencang, ia tidak terima melihat Shafira tersenyum kepada laki-laki lain.
"Owh jadi ini kelakuan mu saat tidak ada aku di rumah, berani sekali kamu membawa laki-laki lain ke rumah ku! " kata Erick dengan tatapan mata tajam.
"Jangan salah paham! Dia hanya mengatakan ku pulang!" jawab Shafira dengan raut wajah yang di selimuti ketakutan.
"Apa kamu bilang? Mengantar, sudah jelas kalian itu selingkuh di belakang ku!" bentak Erick terhadap Shafira.
Lalu Erick mencengkeram kuat tangan Shafira, di seret lah perempuan itu seperti benda tak bernyawa.
Hingga sampai lah di kamar dan menghempaskan tubuh Shafira di atas tempat tidur, lalu menarik paksa pakaian yang di kenakan oleh Shafira.
"Sekarang layani aku dengan baik, perempuan seperti kamu tidak cukup hanya dengan satu laki-laki maka sekarang aku akan membuat mu sampai tidak bisa berjalan! " kata Erick sambil menindih tubuh Shafira.
Seperti biasa, Erick akan melakukan itu sambil menggunakan kekerasan, bahkan, terdapat luka di beberapa bagian tubuh Shafira yang sudah mengeluarkan cairan merah, akibat perlakuan kasar suaminya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!