NovelToon NovelToon

Ataar'S Wound

Part 1 ~Ataar's Wound~

Anak balita berusia 5 tahun itu berlari menghindari kakaknya.

"Ataar, jangan lari-larian dong," ucap kakaknya mengejar adiknya itu.

"Kak Cha." Anak itu berbalik badan dan berlari ke arah Fisha. Fisha pun menangkap tubuh adiknya.

"Jangan lari-lari lagi, nanti kamu jatuh," peringat Fisha mendudukan adiknya di sofa. "Makan nasi kamu, kalau gak makan nanti pas papa pulang kamu mau di pukul lagi?" tanya Fisha.

Ataar buru-buru menggeleng. Dia buru-buru menghabiskan makanan yang di buatkan kakaknya.

"Kalau makanannya habis, nanti Ataal dapat hug papa gak?" tanya Ataar menatap Fisha. Fisha terdiam sesaat lalu mengangguk bata-bata.

"Nanti dapat hug, kakak," ucap Fisha.

"Mau di peluk papa," ucap Ataar piluh.

"Yaudah, kalau Ataar habisin makanannya. Nanti dapat hug papa," bujuk Fisha.

Ataar dengan berbinar, melahap makanannya sampai habis tak tersisa.

Fisha dan Ataar menoleh, Ataar tersenyum dan berlari ke arah papanya yang baru saja pulang dari kerja.

"Papa," seru Ataar lompat-lompat.

Pria itu bukannya menangkap tubuh putranya, dia malah menuju putrinya yang membersihkan bekas makan Ataar.

Fisha menoleh dan berdiri. Pria itu langsung menggendong putrinya.

"Papa, Fisha berat loh. Fisha udah besar," ketus anak gadis itu.

Papa Altar terkekeh dan menurunkan kembali putri Cantiknya. Dia memberikan anaknya itu sebuah paperbang.

Ataar menatap mereka dengan polos. Kenapa papanya menggendong kakaknya? Dia sudah menghabiskan makanannya, Fisha tadi bilang dia akan mendapatkan pelukan dari papa.

"Papa, buat Ataal mana?" tanya Ataar merentangkan kedua tangan mungilnya pada sang papa.

"Gak ada," ucap papanya ketus, pergi dari sana.

Fisha menatap adiknya dengan tatapan kasihan. Dia menyodorkan paperbang yang dia punya.

"Ini punya kamu dan kakak," ucap Fisha. Ataar yang tadinya cemberut jadi tersenyum mengambil paperbang itu.

"Tapi, kak, dalam papelbang ini cuma ada boneka, lobotnya mana?" tanya Ataar kembali sedih.

"Kan boneka juga boleh buat cowok, emang cewek doang?"

Ataar menggeleng. "Gak kok, teman Ataal punya boneka juga," jawab Ataar.

"Tukan jadi ngapain harus robot, emang kamu gak mau hadiah dari papa?"

"Mau, aku mau. Ini hadiah paling indah, kakak bial Ataal yang simpan, ya," seru Ataar.

Gadis berusia 10-tahun itu tersenyum mengangguk, dia mengandeng tangan adiknya ke kamar.

"Kakak, Ataal belum dapat hug papa," sahut Ataar mendongak ke atas menatap kakaknya. "Temanin Ataal yok ke luang kelja papa." Ataar menarik tangan kakaknya menuju ruang kerja papa Altar.

"Papa," panggil Ataar berlari ke arah papanya. "Ataal udah habisan makanan, jadi Ataal dapat hug gak?" tanya Ataar.

"Siapa yang mau peluk kau?" tanya papa Altar.

"Papa,"jawab Ataar tersenyum sambil merentangkan tangannya.

"Bawa dia pergi, Fisha," pinta sang papa menyuruh anaknya.

"Tapi, pah-"

"Bawa dia pergi, atau papa pukul dia lagi?"

Fisha buru-buru menarik tangan adiknya pergi dari sana.

"Kenapa kakak? Ataal mau hug papa, kakak sering dapat hug. Kok Ataal gak?" tanya Ataal menangis.

Sesampainya di kamar, Fisha mendudukan adiknya di ranjang.

"Papa lagi sibuk kerja cari uang buat sekolah Ataal nanti. Ataal pengen sekolah kan?" tanya Fisha.

Anak berusia lima tahun itu mengangguk. "Mau," jawabnya menghapus air matanya.

"Makanya jangan nangis, nanti di hug kok!"

"Nantinya kapan, kak Cha?" tanya Ataar berusaha menghapus air matanya yang terus jatuh. "Papa kemalin pukul lengan Ataal sampe bilu, telus kakak bilang kalau papa tuh sayang Ataal, nanti di kasih hug. Sampai kapan baru dapat hugnya?"

Fisha menghapus air mata adiknya. "Ataar mau menggambar gak sama kakak? Kaka punya pensil baru loh. Tadi kakak beli di sekolah buat kamu dan kakak."

Fisha merongok tas ranselnya mengeluarkan pensil di atasnya ada kuda poni berwarna hijau dan pink.

"Ini kuda poni, Ataal kan cowok bukan cewek."

"Yang warna hijau itu untuk cowok, lihat nih kamu warna hijau kakak yang warna pink."

Ataar mengambil pensil tersebut. "Ayo menggambar," ajak Ataar turun dari ranjang membuka tas kakaknya, mengeluarkan buku gambar.

Fisha tersenyum lalu ikut menggambar bersama dengan sang adik.

"Kamu gambar apa?" tanya Fisha. Ataar menjauhkan bukunya di saat Fisha yang ingin mengintip.

"Gak boleh di lihat!" tegas Ataar menjauh dari Fisha.

Fisha hanya terkekeh.

"Kakak Cha, lihat ini punya Ataal lucu gak?" tanya Ataar menunjukan gambarnya.

Fisha mengambil hasil gambar adiknya. Di gambar itu nampak ada empat manusia lidih.

"Ini kakak dan umi yang lagi sakit di lumah sakit, telus ini aku dan papa," jelas Ataar tersenyum. "Besok aku mau pamel ke Genta, kalau aku udah pandai bikin gini. Biar Genta nangis kencang, dia kan belum pintal." Anak itu tertawa.

Fisha hanya tersenyum seraya mengusap-ngusap kepala adiknya.

"Yaudah, kalau gitu kamu harus apa?"

"Harus bobo, cepat bangun. Dapat hug papa," seru anak itu menaiki ranjang untuk tidur. "Kakak ayo naik, peluk Ataal. Luka Ataal sakit. "

Fisha buru-buru menghapus air matanya yang hampir tumpah.

"Fisha kangen umi, umi cepatlah sadar. Fisha kasihan lihat adik Fisha," batin Fisha memejamkam matanya, dia ikut tidur dan membelai rambut adiknya.

"Besok dapat hug papa," gumam anak kecil itu yang mulai menutup mata. "Besok Ataal cepat bangun biar Ataal lebih dulu yang dapat hug papa dari pada kakak Cha."

Hati Fisha kembali sesak gumaman adiknya yang terdengar piluh.

Pagi harinya, bukannya mendapatkan pelukan. Ataar malah mendapatkan siraman air begitu dingin di pagi hari.

"Papa." Fisha mulai menangis melihat adiknya di guyur air yang begitu dingin.

Ataar hanya tersenyum. "Papa mau mandiin Ataal," ucap anak itu dengan polosnya.

"Papa udah, lihat wajah Ataar mulai memucat," cegah Fisha.

"Fisha!" bentak papanya sehingga Fisha tersentak kaget dan memilih mundur. Bukan takut, tapi kalau udah seperti itu, biasanya papanya semakin membuat Ataar kesakitan.

"Papa, papa ada telfon dari dokter umi," ucap Fisha. Akhirnya ada yang bisa membuat papanya berhenti.

Papa Altar menyimpan shower dan berjalan buru-buru keluar dari kamar mandi. Fisha pun buru-buru memeluk adiknya.

"Kakak tadi papa mandiin Ataar, tapi mungkin papa gak tahu kalau cara mandiinnya bukan gini. Papa juga gak memakai air hangat, tubuh Ataal dingin banget, tapi Ataal sedang di mandiin papa," seru anak itu.

Fisha menghapus air matanya. Dia mengambil handuk dan membalutkannya di tubuh Ataar.

"Kakak dingin."

"Tunggu, ya!" Fisha mengambil selimut untuk menghangatkan tubuh adiknya. Wajah anak itu sudah memucat.

"Kakak Cha, Ataal pengen lihat wajah umi. Pasti cantik banget ya?"

Fisha mnegangguk. "Umi cantik banget, nanti ya. Umi akan sembuh terus temanin kita main," jawab Fisha tersenyum.

Part 2 ~Ataar's Wound~

Tujuh tahun berlalu, kini anak yang dulunya diperlakukan tak adil, tumbuh menjadi lelaki dingin dan cuek dengan lingkungan.

"Ataar, sayang," panggil wanita paruh baya yang merupakan uminya.

Umi Aisha sudah sadar dari koma, dua tahun yang lalu.

Ataar menoleh. "Kenapa umi?" tanya Ataar.

"Turun untuk sarapan," jawab uminya. Ataar mengangguk, lelaki itu membereskan bukunya lalu keruang makan.

Ataar menatap datar ke arah papanya, begitupun dengan papa Altar.

Dia duduk di dekat kakaknya yang tersenyum mengembang.

Ataar berdecak dan menjauhkan tangan kakaknya yang membuat rambutnya berantakan.

"Kak, sebentar antar Ataar masuk sekolah barunya," ucap uminya pada sang suami.

"Gak usah umi, Ataar pergi sendiri aja," sela Ataar tersenyum pada uminya.

"Kenapa? Kamu pelajar baru, masa pergi cuma sendiri emang gak takut?" tanya uminya.

Ataar menggeleng. "Buat apa takut umi? Kalau ada yang bully Ataar nanti Ataar bully balik lah," ucap Ataar tersenyum.

"Emang jagoan anak umi." Umi Fisha menyubit gemass pipi sang anak.

Ataar hanya tersenyum tipis, dan buru-buru menghabiskan makanannya.

Usai menghabiskan sarapan, dia pamit untuk ke sekolah sendiri, menggunakan bus. Sedangkan kakaknya di antar oleh papa.

Dia hanya menghela napas menaiki bus. Dia memakai hoddie serta handset di telingannya sehingga aura dinginnya terpapang jelas saat ini.

"Permisi apa saya boleh duduk di sini?" tanya seorang gadis membuat Ataar menoleh ke atas.

Bukannya menjawab, Ataar malah menaroh tasnya di kuris penumpang di sampingnya, sehingga gadis tersebut berdecak dan memilih berdiri.

Yang ada dalam pikiran gadis itu, Ataar sangat tega dengan seorang perempuan.

Berhentinya bus di halte di dekat sekolah baru Ataar, lelaki itu turun. Hari ini dia sudah memasuki ketahap kedewasaan.

Pintu gerbang hampir tertutup. Namun, cepat-cepat Ataar berlari memasuk. Dia bernapas lega di saat sudah berada di dalam.

Dia memakai topinya dan berbaris di antara murid yang sedang melaksanakan ucapara pada hari senin.

Usai ucapara para anak pelajar baru di suruh mengumpul di lapangan. Melaksanakn mpls.

"Nama?" tanya kakak seniornya.

"Ataar," jawab Ataar singkat.

"Nama panjangnya."

"Ataarrrrrr," jawab Ataar sehingga kakak seniornya menepuk jidat.

"Nama lengkap, dek," ucap kakak senior.

"Bilang dong, Ataara Angkasa Geutama."

Kakak senionya itu mengangguk dan kembali berjalan ke murid yang lain.

Ataar di kejutkan dari belakang membuatnya berdecak.

"Kita di jadikan kelompok, kita berempat," ucap seorang murid laki-laki.

Ataar tidak menjawab ucapan mereka, dia hanya menatap ke depan.

"Nama lo siapa?" tanya anak lelaki itu.

"Ataar," jawab Ataar.

"Bisa dong kita jadi teman?"

"Gak butuh,"ucap Ataar memakai hoddienya, menutupi seluruh badannya.

Mereka bertiga saling memandang. Lalu duduk di samping Ataar.

"Gue Gibran," ucap murid yang bernama Gibran.

"Gue Gentara."

"Gue Niel," sambung yang lain.

Ataar menoleh sekilas lalu kembali menatap kedepan. "Jangan jadi teman gue, lo pada nanti celaka," ucap Ataar.

"Kenapa?" tanya mereka penasaraan.

"Mau tahu banget? Gue udah bilang gak usah jadi teman gue, nanti kalian celaka," jawab Ataar.

"Gak, kita tetap akan jadiin lo teman kita. Kita teman kelompok, kita harus kompak."

"Kalian kenapa mau sekali jadi teman gue?" tanya Ataar.

Mereka saling pandang satu sama lain lalu menaikan bahu.

"Di antara kita gak ada anak kalem kaya lo, jadi kita ngajak lo jadi teman kita, tapi intinya bukan itu kok. Kita niat dan tulus menjadikan lo teman," jelas Niel.

"Gue gak kalem," ucap Ataar.

"Gak papa, kita tetap ingin berteman sama lo. Sekolah baru teman baru bukan?"

Ataar terdiam, dia juga dari tk, sd tak pernah bergaul, apalagi mempunyai teman.

"Tenang, kita memang anak nakal, tapi kita nakalnya gak kelewatan batas, kok," ucap Gentara jujur.

Ataar menoleh dengan wajah datarnya. "Kalian yakin untuk menjadikan gue teman kalian? Keluarga gue memang sempurna, tapi peran orang tua gue gak ada. Intinya gue gak kaya lo pada."

"Keluarga gue broken home, tenang," ucap Niel.

"Terus? Gak papa, mungkin kita udah di takdirkan untuk berteman," timpal Gentara yang di angguki oleh Gibran.

Ataar memperlihatkan senyum tipisnya membuat mereka bertiga terpana.

"Kayanya kita deh yang pertama mendapatkan senyumannya," bisik Gibran.

"Umi dan kakak gue yang dulu mendapatkannya."

Mereka pun di suruh berbaris setiap kelompok. Mereka berempat sudah di jadikan satu kelompok.

Tugas pertama mereka, disuruh meminta tanda tangan kakak kelas sesuai nama yang di tulis.

"Lo dapat siapa?" tanya Gibran.

"Sansia," jawab Ataar.

"Kayanya yang di sana namanya sansia."

Ataar pun menuju kakak osis yang sedang mengawas. Ataar menyodorkan bukunya.

"Sansia?" tanya Ataar. Osis itu menoleh dan mengangguk, dia pun tanda tangan di buku Ataar.

"Gue udah dapat," sahut Niel.

"Gue juga," teriak Gentara, mereka berbaris kembali karena sudah mendapatkan tanda tangan senior mereka.

Di tahap kedua, mereka kembali di suruh berfoto dengan teman sekelas.

"Mending kita deh saling berfoto," ucap Gentara.

"Jangan, gak boleh. Kita harus main normal seperti yang lain."

"Tapi kita juga satu kelas, Taar," ucap Niel.

"Iyakan, kita di suruhnya berfoto dengan teman sekelas, di luar teman kelompok."

Mereka pun mencari teman sekelas yang bisa di ajak berfoto.

Ataar bingung mencari teman sekelasnya yang harus di ajak berfoto. Dia tidak begitu tahu basa-basi untuk mengajak duluan. Di saat kebingungan. Seseorang datang ke arah Ataar.

"Mau berfoto?" tanya murid perempuan.

Ataar mengangguk. Mereka berfoto bersama, lalu saling mengirim.

Murid perempuan itu tersenyum, akhirnya dia mendapatkan nomor cowok tampan. Bahkan berfoto bersama.

Dia berlari ke arah temannya dan memperlihatkan fotonya dan Ataar.

"Langsung di sikat."

"Makanya, cari cara."

Siswi lain ikut mendekati Ataar untuk meminta foto berdua. Namun, Ataar menolaknya. Tadi dia hanya terpaksa karena tak tahu siapa yang harus dia temani.

"Apa udah selesai?" tanya osis.

Mereka semua kompak menjawab. "IYA!" teriak mereka bersama.

Jam sekolah sudah berakhir, kini mereka sudah di perbolehkan pulang ke rumah masing-masing.

"Babay." Gentara dan Gibran melambaikan tangannya pada Niel dan juga Ataar yang akan menunggu bus.

Mobil hitam berhenti di depan mereka. Niel bersemangat melihat bokapnya.

"Daddy," seru Niel. "Taar gue balik duluan ya, sorry gak bisa naik bus. Gue gak tahu kalau daddy gue jemput."

Ataar mengangguk. Dia melihat Niel yang di perlakukan layaknya seorang anak oleh bokapnya membuat hati Ataar iri.

"Andai papa juga seperti daddynya Niel. Keluarga mereka memang udah terbela dua, tapi peran orang tua masih berjalan," gumam Ataar. "Gue yang masih bisa utuh aja belum mendapat peran ayah," lanjut Ataar.

Part 3 ~Ataar's Wound

Ataar terpaksa bangun dari tidurnya, karena kakaknya memaksanya untuk segera turun.

"Bisa gak sih kak gak usah menganggu, gue masih mau tidur!" protes Ataar pada kakaknya.

"Ataar, di bawah ada tamu. Bisa gak kamu turun?" tanya Fisha menarik tangan adiknya untuk mencuci wajah.

"Di bawah ada kak Xaviel? Terus gue mau komaha barudak," gerutu Ataar.

"Bukan hanya Xaviel, ada kedua orang tuanya dan adiknya."

"Terus? Kak Xaviel mau lamar, kakak?" tanya Ataar.

Pletak!

Fisha memukul kepala adiknya dan menyuruhnya cepat cuci muka.

"Lagian, pasti ketemu sama cewek pencicilan itu," ketus Ataar mengerik gerih bertemu kembali dengan gadis yang terang-terangan di sekolah menyebut cita-citanya ingin menjadi istrinya. Kan gak masuk akal.

Usai membersihkan diri, dia turun dengan santai menuju ruang tamu. Di mana semua orang berkumpul.

Ataar duduk di samping kakaknya sambil bermain ponsel, Fisha merebut ponsel Ataar. Sehingga lelaki itu mengerutuki kakaknya dalam hati.

Seorang gadis kecil itu berpindah tempat di samping Ataar membuat Ataar ikut berpindah tempat dekat uminya.

Gadis itu cemberut. Ataar hanya menjulurkan lidahnya dan menatap ke depan.

"Maaf, pak Altar kami datang segorombolan. Padahal kita cuma mau bahas pekerjaan berdua," ucap pak Revandra.

"Gak masalah, pak Revan. Gak usah sungkan, kaya siapa aja," balas Altar.

Umi Aisha menyajikan cemilan serta jus kepada tamu mereka.

Mereka semua sibuk berbincang masing-masing. Kini tinggal Ataar dan gadis itu yang hanya berdiam diri.

"Ataar, Ataar sekolah di mana?" tanya gadis itu yang bernama Vieara.

"Bukan urusan lo," jawab Ataar.

"Nanti kalau udah masuk smp, aku juga mau satu sekolah lagi bareng kamu. Kan kita jodoh," ucap Ara.

"Dih anj*ng, gak usah ngadi-ngadi."

"Bodoh amat, aku akan satu sekolah sama Ataar. Sampai kuliah dan kerja Ara akan ikutin di mana Ataar berada. Ataar tuh milik Ara!"

"Najis."

"Kok kasar ngomongnya? Aku aduin ya ke umi Aisha."

"Eh bocah, dia umiku bukan umimu," celetuk Ataar.

"Aku bukan bocah!" ketus Ara.

"Lo masih esde, gue udah esmpe jelaskan bocahnya?"

"Beda setahun doang, mana ngaruh sayang."

"Dih njing, makin kesini lo. Udah deh kata-kata gue terbuang-buang ngomong sama lo."

"Yang nyuruh Ataar ngomong panjang kali lebar siapa?"

Ataar memutar bola matanya. "Sana-sana lo, gak usah dempetan. Gerah gue di deketin demit."

"Ataar!" teriak Ara sehingga semua orang memandang mereka.

Ara menyengir dan kembali menatap Ataar yang tak mempedulikannya.

"Coba calon imam aku, sekolah di mana?" tanya Ara dengan lembut serta senyuman mematikan untuk Ataar.

"Lo kok, kepo banget sih? Kaya Dora," ketus Ataar.

Ara mendengus kesal dan menatap Fisha yang sedang berbicara dengan abangnya.

"Kak Fisha, Ara boleh bertanya gak?" tanya Ara sehingga Fisha menoleh.

"Iya boleh, apa?"

"Ataar sekolah di mana?"

Ataar menggeleng memohon pada kakaknya. Ara menginjak kaki Ataar sehingga Ataar menjerit kesakitan, apalagi yang di injak Ara bekas cambokan papanya semalam.

"Pradika school," jawab Fisha.

Ataar mengetatkan rahangnya. Dia pergi dari sana meninggalkan mereka semua.

Ara menatap kepergian Ataar, lantas mengejarnya.

"Ataar," teriak Ara memegang tangan Ataar.

"Apasih," ketus Ataar.

"Jangan marah ya? Lagian nanya doang kok, aku kan calon istri kamu."

"Gue gak mau jadi suami lo, ogah. Banyak cewek cantik di luar sana. Yakali gue mau sama lo." Ataar menepis kasar tangan Ara dan menaiki anak tangga kembali ke kamarnya.

"Awas aja makan omongan sendiri," gerutu Ara kembali keruang tamu.

"Jangan sampai dia ikutan sekolah di sana, ngeri gue." Ataar mengacak rambutnya furstasi. "Ini lebih ngerih daripada bertemu dengan dedemit. Ini sangat menyeramkan."

Ataar mengunci kamarnya, dan merebahkan badannya di ranjang.

Dia menoleh kebawah, kaki yang di injak Ara kembali membiru. Ataar menghela napas dan beranjak untuk mengobati lukanya.

"Bisa mati gue," ucap Ataar meringis kesakitan. Papanya tidak santai-santai memukulnya. "Kenapa gue harus di giniin? Apa gue ada salah? Gue juara satu di sekolah, tapi malah pukulan yang gue dapat," gumam Ataar merebahkan dirinya di atas ranjang.

"Dunia memang kadang-kadang, dunia gak salah, papa juga gak salah. Yang salah diriku sendiri, kenapa dia harus lahir di dunia ini, yang tak cocok dengannya?"

"Gue iri dengan Niel dan Gentara, dia di sayangi ayahnya. Sedangkan gue di panggil sebutan 'anak' aja gak pernah."

Ataar menghapus sebutir mening jatuh di sudut matanya. "Gue mau kaya kak Fisha, kapan gue beruntung sepertinya?" tanya Ataar.

Dia berlari kebalkon kamarnya. Keluarga Ara sudah pergi membuatnya bernapas lega.

Ceklek!

Fisha masuk ke dalam kamarnya, Ataar menoleh sekilas dan kembali menatap bangunan di depannya.

"Sini kakak obatin lukanya," ucap Fisha.

"Luka apa?" tanya Ataar.

"Semalam Papa pukul kamu lagikan?"

"Gak, kata siapa?"

Fisha menarik lengan adiknya dan menyuruhnya duduk di sofa.

"Terus ini?" tanya Fisha menunjuk bitis adiknya serta telapak kakinya.

"Gak papa, gue baru obatin, gak usah kak," cegah Ataar.

"Yaudah, buka pakaian kamu. Kakak mau lihat," pinta Fisha.

Ataar menggeleng keras. "Kakak keluarlah dari sini."

"Gak, kalau kakak bilang buka ya buka. Kamu udah berani melawan kakak?" tanya Fisha.

Dengan kesal, Ataar melepaskan pakainnya. Di sana banyak bekas cambokan yang di berikan papanya.

"Sakit?" tanya Fisha.

"Menurut kakak ini sakit gak?"

Fisha terdiam, dan hanya fokus mengobati luka adiknya.

"Pelan-pelan, gak usah di pencet juga. Kak," ucap Ataar meremas gamis yang digunakan kakaknya.

"Udah."

"Kamu cepat turun untuk makan, umi menunggumu," ucap Fisha menaroh kotak p3k di atas meja dan keluar dari kamar Ataar.

Dengan kekuatan yang di paksa, Ataar berdiri dan berjalan keluar kamar.

Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Temannya yang tak lain adalah Niel, mengajaknya melihat pertunjukan balapan liar sebentar malam.

"Gue ikut atau gak?" tanyanya pada dirinya sendiri. "Udahlah di rumah gue di pukuli, mungkin kalau healing sebentar gak papa kan."

"Ataar," teriak uminya. Ataar pun buru-buru turun dari tangga.

Usai makan bersama. Dan waktu sudah malam. Ataar mengintip di luar kamar, sebelum papanya pulang. Dia harus pergi.

📱"Gue tunggu di luar gerbang kompleks rumah lo," ucap Niel di seberang sana.

Ataar berdehem. Dan sembunyi-sembunyi pergi lewat teras rumahnya.

Lelaki itu bernapas lega, di saat kakinya menyampai tanah, dengan buru-buru ia memanjat dinding, karena kalau lewat pagar dia akan ketahuan satpam yang berjaga.

Dia berlari di saat sudah mendapatkan ketiga temannya yang menunggunya.

"Udah lama?" tanya Ataar.

Mereka bertiga menoleh lalu menggeleng.

"Langsung gass?" tanya Niel.

Mereka mengangguk. Mereka menggunakan sepeda, Ataar di bonceng oleh Gentara.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!