"berapa lama lagi aku harus menunggu mu met? Sampai beruban nya aku, tak berubah pun muka kau itu. " keluh susi mengomeli ku.
Memang sejak pagi buta tadi gadis itu menunggu ku berdandan, karena kami harus segera berangkat ke kampus menghadiri acara wisuda.
Susi asli orang medan, dia adalah teman satu kos sekaligus juga tetangga dikampung bapak ku, mulut anak itu memang terkadang kasar dan kurang ajar, tapi aslinya dia anak yang baik hati dan tidak sombong.
Aku Meta simamora yang akan mengakhiri penderitaan ku di universitas. Hari ini aku akan memakai toga yang nanti akan aku lempar kemulut orang-orang yang menghinaku dulu. Ah, maksudku memperlihatkan keberhasilan ku pada mereka yang dulu meremehkan kami.
Aku sudah memakai kebaya dan berdandan sedikit ala-ala korea gitu, dandan tipis-tipis saja agar terlihat lebih segar.
Ibu sejak tadi mondar mandir di depan kamar, entah kenapa ibu tampak gelisah sejak tadi, perasaan ku oun jadi tak enak melihatnya, sementara bapak ku sedang duduk santai bersama keluarga yang lain diteras.
Kosanku yang kecil tidak cukup untuk menampung keluarga bapak yang dari medan. Sementara keluarga ibu yang memang tinggal di bandung, yang datang hanya beberapa orang saja duduk diruang tamu.
"met, ini dandanan ibu udah bagus belum?" Tanya ibu saat aku baru keluar dari kamar.
Aku menghela nafas dengan senyum di bibir. "yang wisuda aku, yang heboh malah ibu. " ujar ku melihat dandanan ibu yang sudah seperti 𝘯𝘺𝘢𝘪 itu.
Ibu terkekeh kecil kemudian berkata. "ibu tidak mau kamu nanti malu, kalau ibu dandan nya biasa saja. Ini kan hari istimewa kamu. " ucap ibu membenarkan letak selendang di pundaknya, entah sudah yang keberapa kalinya dia lakukan.
Saat asyik merapikan baju ibu, namboru ku datang dengan wajah tak senang.
"acaranya jam berapa met! Kalau masih lama namboru indak jadi pergi lah met, pasti disana panas, bisa luntur make up namboru. " ucap adik bapak ku yang julidnya luar binasa itu.
Aku menoleh sekilas."oh iya namboru, ngak apa-apa kok, lagian nanti yang bakal masuk dalam acara cuma ibu sama bapak saja."ucap ku dengan senyum semanis mungkin.
"lah kok gitu, jadi buat apa kami jauh-jauh dari medan ke sini kalau tidak bisa masuk. " tanya namboru dengan mata bulat.
"bukan tidak boleh masuk namboru, boleh saja, cuma tidak satu tempat saja sama aku. " kata ku pelan, harus ku jelaskan seperti apa agar namboru cantik ku ini mengerti.
Sedang asik berdebat dengan adik bapak, suara teriakan keras dari luar menarik perhatian semua orang didalam ruangan.
"sudah, sudah, suka sekali nya kau mengganggu keponakan mu itu. " tegur bapak pada adik nya.
"cih, siapa pula yang menganggu, kualat kau meta sudah membohongi namboru." mata ku membulat mendengar ucapan namboru itu.
Loh, loh, kok jadi aku yang kualat, tega sekali namboru, dihari ku yang baik ini malah menyumpahi ku. 𝘢𝘮𝘪𝘵-𝘢𝘮𝘪𝘵 𝘥𝘦𝘩.
Bapak menatap kearah ku dan ibu, senyum cerah terbit di bibirnya.
"kalau sudah siap, marilah kita berangkat, jalanan pasti macet ini. " kata bapak dengan suara pelan, namun entah kenapa seperti berteriak di telinga orang yang mendengarnya.
Akhirnya kami semua berangkat naik mobil yang sudah kurental kemaren, kami berangkat tiga mobil, satu mobil berisi keluarga bapak, yang satu lagi keluarga ibu, dan yang terakhir berisi aku bapak, ibu dan susi.
Jalanan sangat ramai, sulit sekali jika ingin menyalip, bapak sesekali memotong pengendara lain yang jalan nya pelan seperti bebek masuk kandang.
"bapak, pelan saja bawa mobilnya. " tegur ibu ketika bapak mulai menyalip lagi. " bapak ndak lihat jalan ramai begini? Rawan ini pak. " ibu mulai mengoceh. Beliau memang sedikit penakut kalau soal salip menyalip ini, katanya perutnya langsung kembung saat berselisih dengan mobil.
"kalau pelan kapan sampainya bu! Bisa-bisa kita sampai acara nya sudah selesai. " protes bapak yang tidak akan mau mengalah kalau berdebat dengan ibu.
Brak... Ckieeetttttt...
Suara tabrakan dibelakang mobil kami mengema keseluruh jalanan. Ibu dan bapak sampai berteriak saking kagetnya. Aku menoleh kebelakang, sedetik kemudian mata ku melotot saat melihat sebuah mobil terguling dan dibelakangnya ada mobil lain yang melaju kencang tepat ke arah mobil kami.
Brak.... Bom.... Pttsss..
Secepat kilat, aku bahkan beum sempat bersuara, mobil kami sudah dihantam dengan keras sehingga kaca mobil belakang pecah, leher ku terasa perih, saat kuraba, ternyata ada pecahan kaca menancap disana, kepala ku juga terasa sakit dan aku merasakan ada cairan kental meleleh di pelipis ku, dibangku sebelahku susi tergeletak tak sadarkan diri dengan kepala berlumuran darah, tubuh ku mulai terasa dingin dan menggigil, suaraku tercekat, mataku berkunang-kunang.
"meta..Meta sayang bangun nak. Tolooong. Tolong anak ku. "ibu memanggil ku dengan suara berteriak bercampur tangis.
kalau tidak salah itu kalimat terakhir yang aku dengar, sebelum aku kehilangan kesadaran.
****
Eugh....
'𝘢𝘥𝘶𝘩, 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘭𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘳𝘢𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘤𝘢𝘩, 𝘬𝘢𝘬𝘪 𝘬𝘶 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘴𝘶𝘭𝘪𝘵 𝘥𝘪 𝘨𝘦𝘳𝘢𝘬 𝘬𝘢𝘯, 𝘢𝘱𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘭𝘶𝘮𝘱𝘶𝘩? 𝘰𝘩 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬, 𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘪𝘫𝘢𝘻𝘢𝘩 𝘬𝘶?, 𝘵𝘰𝘨𝘢 𝘬𝘶?. '
'𝘪𝘯𝘪 𝘬𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢 𝘮𝘢𝘵𝘢 𝘬𝘶 𝘴𝘶𝘭𝘪𝘵 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘥𝘪 𝘣𝘶𝘬𝘢, 𝘢𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘶𝘴 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪, 𝘣𝘢𝘱𝘢𝘬.... 𝘪𝘣𝘶... 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨, 𝘯𝘢𝘧𝘢𝘴 𝘬𝘶 𝘳𝘢𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘬, 𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘨𝘦𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘯𝘨 𝘬𝘶 𝘢𝘱𝘢 𝘪𝘯𝘪?. 𝘈𝘱𝘢 𝘴𝘶𝘴𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘫𝘢𝘪𝘬𝘶, 𝘢𝘸𝘢𝘴 𝘬𝘢𝘶 𝘴𝘶𝘴, 𝘢𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘢𝘴 𝘮𝘶 𝘯𝘢𝘯𝘵𝘪. '
Aku terus membatin sendiri, karena memang suara ku tidak bisa keluar. Hidung ku semakin geli, rasanya aku ingin bersin.
Hachim....
Ha, lega sekali rasanya, aku mengosok-gosok hidungku yang terasa gatal. Secara perlahan aku membuka mata yang terasa lengket, punggungku rasanya sakit sekali, entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri.
Aku melebarkan mataku sedikit panik kemudian menarik nafas dalam-dalam. Bukannya rasa lega malah nafas ku terasa sesak dibuatnya.
uhuk... Uhuk...
Banyak sekali debu yang terhirup hidungku, aku mengedarkan pandangan sekeliling. Tempat ini terlihat asing, tidak, ini memang asing. Atap dari daun 𝘯𝘪𝘱𝘢𝘩, dinding dari bambu yang terlihat sudah lapuk dan berdebu. lantainya dari papan terlihat kotor, ruangan ini kecil dan sumpek, banyak kain bertumpuk dan bergelantungan dimana-dimana.
Perasaan ku mulai cemas, mataku memanas rasanya ingin menangis.
"ibu.... Bapak.... " teriak ku dalam hati karena suara ku masih belum bisa keluar karena tenggorokan ku rasanya perih. Entah dimana aku sekarang. Bapak dan ibu juga tidak datang, padahal aku sudah berteriak cukup keras. oh, maksudku aku berteriak dalam hati jadi mungkin itulah sebabnya ibu dan bapak tidak mendengar.
Tiba-tiba pintu yang terlihat akan roboh dengan satu tendangan ku itu terbuka.
Dreeekk...
Seorang gadis yang mungkin sedikit lebih muda dari ku masuk dan menghampiri ku, aku terkejut dan sedikit takut. bukan karena kehadiran orang itu, tapi aku takut karena penampilannya, bajunya terlihat aneh, kumuh dan penuh tambal seperti baju pengemis. dia semakin mendekati ku.
"adik, kau sudah sadar? Apa kau lapar? " suara lembut gadis itu mengejutkan ku.
'𝘩𝘦𝘪, 𝘴𝘶𝘢𝘳𝘢𝘮𝘶 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘤𝘰𝘤𝘰𝘬 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘢𝘮𝘱𝘪𝘭𝘢𝘯𝘮𝘶 𝘰𝘬𝘦. '
Tunggu, apa tadi aku salah dengar, gadis ini memanggil ku adik?. siapa dia sebenarnya. Kau tidak tahu aku sudah 23 tahun. 𝘏𝘦𝘭𝘭𝘰.
"kakak akan bawakan makanan untukmu, ibu dan ayah masih banyak pekerjaan di luar, kau diam lah disini, jika nenek tau kau sudah sadar, mungkin dia akan memintamu kembali bekerja. " tanpa menunggu jawaban ku, gadis itu melangkah keluar dan menutup pintu.
kakak??apa lagi ini, aku sangat bingung sekarang, sebenarnya apa yang terjadi?ini ada dimana?siapa gadis tadi? dia memanggil dirinya kakak, lalu juga nenek, nenek siapa yang dia maksud.
Sekarang aku benar-benar bingung, kakiku tidak bisa bergerak. Tapi yang menjadi pikiran ku sekarang adalah makanan yang akan dibawa anak itu, apa dia akan meracuni ku, dan yang terburuk adalah apa makanan itu bisa dimakan, mungkin dia akan membawa sepiring serangga atau cacing.
hoek.... Aku tidak sanggup membayangkannya.
Dreeek...
Tidak berselang lama gadis tadi datang lagi dengan sebuah nampan ditangannya. Dia menghampiri ku dengan senyum ramah, kemudian duduk di sisi ranjang.
"ini makan lah apa yang ada, semua makanan sudah dihabis kan oleh bibi dan sepupu kita, hanya ini yang tersisa. " ucapnya dengan wajah sedih, matanya berkaca-kaca.
Aku mencoba untuk duduk, didalam hati aku berdoa semoga makanan ini, tidak seperti dalam bayanganku. Melihat ku kesulitan bergerak, gadis itu mencoba membantu ku, meski ada sedikit perasaan jijik karena dia terlihat sangat kotor, namun aku diam saja karena saat ini aku butuh bantuannya.
Setelah berhasil duduk, punggungku terasa sakit dan pegal. Kulirik kaki ku sebelah kanan ada perban yang warna nya sudah menguning. Aku melihat pakaian ku yang sama dengan anak itu, compang camping dan penuh tambalan, jangan-jangan aku di selamatkan pemulung waktu kecelakaan itu.
GIMANA KALAU KALIAN ADA DI POSISI META ?
NANGIS ?
ATAU LANGSUNG TERIAK KAYAK ORANG KESURUPAN?
like dan komen ya!
***
"dimana baj.... " aku membekap mulutku dengan kedua tangan, tadi itu suara siapa, kenapa suara ku berubah, lembut dan halus.
"kau ingin apa? kakak akan keluar membantu ibu. Makan dulu makanan mu. " melihat aku yang diam gadis itu kembali pergi keluar dan menutup pintu
Aku melepaskan tangan ku yang tadi menutup mulutku, aku mencoba berdehem, masih sama seperti suara yang tadi.
"hallo, tes ,tes, satu...dua...tiga wah, hahahaha, suaraku lembut sekali, oh aku ingat leher ku kan terluka karena pecahan kaca, jangan-jangan pita suara ku rusak dan di operasi terus suara ku berubah jadi lembut begini. " aku terkikik senang mendengar suaraku, tapi ketika tangan ku menyentuh leher, aku tidak menemukan perban atau tanda bahwa leherku ini habis terluka.
Aku kembali dibuat bingung ditambah tubuh ku juga sepertinya mengecil, lihatlah jari yang lentik ini, dan sejak kapan kuku ku hitam seperti cakar ayam begini. Ya ampun ada apa ini. Aku harus bertanya pada siapa?. Saat aku mengedarkan pandangan, mataku tertuju pada nampan yang dibawa anak gadis tadi. Ada sepiring nasi yang agak kuning dan terlihat keras, sayuran beberapa helai saja. Tidak ada sambel, tahu atau pun tempe tidak ada.
Aku mengambil piring yang terbuat dari kayu itu, ku cium aromanya, tidak ada aroma apapun, kuambil sebutir nasi dan kumasukan kedalam mulut. Benar, nasi ini sangat keras, kuangkat sayur dalam piring itu, entah ini sayur apa yang jelas, aku tidak bisa memakannya.
Ku letakkan kembali piring itu di atas nampan. Kuteguk air sampai habis. Aku akan kembali tidur, dan semoga saat aku bangun, aku ada dirumah sakit. Semoga saja.
****
Cahaya matahari dari luar bersinar melalui celah atap dan dinding yang berlubang, sinarnya yang terang jatuh menyinari wajahku.
Setelah aku membuka sedikit mataku. Sekelebat ingatan asing menerobos masuk ke otak ku dengan tidak sopannya seperti kilatan cahaya, adegan-adegan peristiwa seperti menonton video melintas di kepalaku seolah aku sendiri yang mengalami hal itu.
'𝘢𝘥𝘶𝘩... 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘭𝘢 𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪, ' 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘮𝘢𝘴 𝘬𝘶𝘢𝘵 𝘳𝘢𝘮𝘣𝘶𝘵𝘬𝘶 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘭𝘢 𝘬𝘶 𝘳𝘢𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘢𝘶 𝘱𝘦𝘤𝘢𝘩.
Aku kembali memejamkan mata dan sebuah ingatan baru kembali menelusuk masuk kedalam otak, seakan menerima, otak ku mulai memproses potongan-potongan puzzel itu. Satu kesimpulan yang aku ambil. Saat ini aku bertransmigrasi kezaman kuno di abad 80-an.
Aku masuk kedalam tubuh seorang gadis 16 tahun bernama Siah. Gadis itu Memiliki tiga orang saudara diantaranya dua laki-laki dan satu perempuan.
Kakak laki-laki siah bernama dilang killer, kakak perempuan nya bernama elis killer, sementara adik laki-laki siah bernama dodo killer.
Ayah nya bernama anas killer ibunya bernama sena. Mereka sekeluarga tinggal bersama kedua orang tua anas.
Anas memiliki tujuh saudara semuanya laki-laki, anas merupakan putra ketiga, tidak berpendidikan dan pekerjaannya juga serabutan. Semua saudara anas sudah menikah mereka juga tinggal bersama orang tua anas.
Dalam sebidang tanah yang cukup luas, berdiri rumah-rumah kecil yang dibangun berderetan. Satu anak laki-laki satu rumah, jadi rumah itu berjumlah tujuh. Satu bangunan terlihat lebih besar dari pada bangunan lain. Bangunan itu tempat tinggal kakek dan nenek siah. Ada satu buah kamar. Ruang tamu, Ruang makan dengan meja yang cukup besar. Bagian belakang ada dapur, disini hanya ada satu dapur yaitu dirumah nenek siah, semua menantu akan memasak disana dan makan bersama.
Orang tua siah adalah yang termiskin diantara para anak-anak nenek siah. Hal itu pun yang menjadikan keluarga siah selalu direndahkan oleh paman dan bibi siah. Siah dan ketiga saudaranya selalu dihina dan dimaki oleh para sepupu mereka.
Didalam kediaman ini pun ibu siah yang paling banyak bekerja karena mereka tidak memberi uang. Setiap minggu anak laki-laki harus memberikan uang pada nenek untuk biaya hidup. Namun keluarga siah selain tenaga bapaknya tidak pernah memberi uang, sehingga jatah makan mereka pun selalu di kurangi.
Suatu hari siah dan elis disuruh oleh bibi keduanya untuk menangkap ikan kesungai, gena sepupu siah anak bibi pertamanya mendorong siah dari jembatan yang mengakibatkan siah meninggal karena tenggelam di sungai.
"hah, yang benar saja, transmigrasi? Jadi itu nyata? " aku sedikit tidak percaya dengan apa yang terjadi. Namun melihat dari semalam sampai pagi ini tidak ada yang berubah, sepertinya memang ini semua adalah nyata.
'𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭 𝘥𝘪𝘨𝘶𝘣𝘶𝘬 𝘳𝘦𝘰𝘵 𝘪𝘯𝘪, 𝘣𝘢𝘫𝘶 𝘶𝘴𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬 𝘵𝘢𝘮𝘣𝘢𝘭, 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘥𝘪𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯, 𝘢𝘱𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘥𝘪𝘴𝘪𝘯𝘪? '
ya tuhan, kenapa harus ditubuh bocah miskin ini, kenapa tidak jadi istri duke saja seperti dalam novel, atau istri seorang mafia, se-enggaknya jadi anak orang kaya.
Memikirkan kehidupan ku kedepan nya rasanya aku ingin menangis, aku tidak mau tinggal disini.
'𝘉𝘢𝘱𝘢𝘬, 𝘪𝘣𝘶 𝘵𝘰𝘭𝘰𝘯𝘨 𝘢𝘬𝘶.....'
***
Tidak, tidak ada gunanya aku bersedih, aku harus bertahan hidup disini dengan caraku sendiri. Aku harus melihat seperti apa dunia yang aku tinggali ini.
"siah... Kamu sudah bangun nak? Suara seorang wanita datang dari luar pintu. Membuyarkan lamunan ku, wanita yang mungkin seusia ibu ku tapi wanita ini tampak lebih tua mungkin karena kehidupan nya yang miskin dan susah.
" sudah bu.. "aku tau dia adalah ibu siah. sekarang wanita ini sudah menjadi ibuku.
" bagaimana keadaan mu sekarang ? Kaki sudah bisa bergerak? "wanita ini hampir mirip ibuku. Sangat cerewet. Tapi aku merindukan suara ibu sekarang. Huhu.
" kaki ku masih agak sakit bu, tapi akan ku coba untuk bergerak. "
Aku turun dari ranjang mencoba berdiri, kakiku sedikit berdenyut. Rasanya seperti keseleo. Aku kembali duduk di ranjang.
"ibu bisakah ibu memijitnya sebentar. " apa aku terlihat tidak sopan jika meminta wanita ini memijit kaki ku? biasanya kan aku begitu kalau dengan ibuku. Ah ya sudah lah, mungkin dia juga kaget dengan sikap ku ini.
Ibu tersenyum dan duduk disampingku, dia mengangkat kaki sebelah kanan ku dan mulai memijit rasanya sangat sakit.
Loh, aku pikir dia akan memarahi ku, tapi ternyata tidak. Sepertinya dia menyayangi siah.
"buk coba buka perbannya, apa kaki ku ada lukanya buk, kok rasanya sakit sekali. " air mataku menetes, rasanya memang sakit.
Ibu membuka perban kaki ku hati-hati, tidak ada luka, tapi kaki ku sedikit bengkak. Aku yakin kaki ku keseleo, bukannya di pijit malah di perban pantes aja jadi bengkak.
Suara pintu dibuka dengan kasar mengejutkan kami. Seorang wanita seusia ibu masuk berkacak pinggang.
"hebat sekali kau sena, kami semua bekerja kau malah asik bersantai disini dengan putri tidak berguna mu ini. "wanita itu menatap nyalang ke arah ku dan ibu. Rasanya ingin ku congkel matanya yang melotot itu. Untung saja kaki ku sedang sakit sekarang jadi dia bisa selamat.
" kakak ipar pertama, siah baru saja siuman, kakinya bengkak aku memijitnya sebentar. "tukas ibu dengan pelan.
"oh... Begitu rupanya, biarku lapor kan pada ibu mertua, aku lihat apa kau masih berani . " bibi pertama pergi keluar dengan membanting pintu.
Kenapa bicaranya nyolot terus tuh orang, heh, itu pintu kenapa dibanting woy, astaga... Belum sehari aku disini udah bikin darah tinggi saja.
Aku menatap ibu yang menghela nafas berat. Terlihat wajah keriputnya yang lelah, begitu beratnya beban kehidupan yang wanita ini terima.
"nanti ibu pijit kan lagi kaki nya ya nak, sekarang ibu membantu bibi mu dulu. " ibu pamit pergi setelah mengelus lembut puncak kepala ku.
Aku menatap punggung ibu yang terlihat rapuh, aku bertekad akan memberikan kehidupan yang lebih layak kepada mereka.
Aku memijit kaki ku sebentar, kuputar-putar searah jarum jam, sakit dan ngilu. Setelah agak mendingan aku turun dari ranjang. aku melihat sekeliling ruangan ini hanya ada satu kamar, aku menebak itu kamar ayah dan ibu, lalu bagian luar terdapat dua ranjang, salah satunya yang aku tiduri ini.
Seluruh ruangan ini tampak kotor seperti tidak pernah dibersihkan, lantai dan meja berdebu, baju bergelantungan dan kain bertumpuk di sudut ruangan, tidak ada benda berharga satu pun di dalamnya.
Aku menyingsing lengan baju dan meregangkan tubuh ku yang sedikit terasa kaku. Pertama-tama aku harus membersihkan rumah yang yang seperti gudang ini.
****
Aku membuka seluruh jendela, udara segar langsung menyapa hidung ku yang gatal karena debu. Kemudian aku memasuk kan seluruh baju kedalam kain dan membungkusnya.
Dibalik pintu aku melihat ada sapu ijuk segera aku ambil dan mulai menyapu dari dalam kamar sampai setiap sudut rumah. Luar biasa sekali debu dan pasir nya, jika di kumpulkan, mungkin ada satu timba penuh dirumah ku dulu.
Aku mengambil satu baju yang terlihat sangat buruk sekali, dan itu benar-benar tidak layak pakai, yah itu menurutku sih, tidak tau dengan pemiliknya, kemudian membungkuskan pada sapu, memberi sedikit air dan mulai mengepel lantai.
20 menit seluruh ruangan sudah bersih, lantai sudah mengilap. Baju dan kain sudah aku lipat rapi. Kaki ku kembali nyeri, mungkin karena terlalu bersemangat tadi, aku membaringkan tubuh ku di atas ranjang yang keras.
Aku menarik nafas beberapa kali, sejujurnya aku ingin melihat keadaan di luar, tapi sekarang kaki ku masih sangat sakit. Aku sebenarnya juga merasa haus dan lapar, karena dari semalam tidak makan apa pun.
Tidak tau sejak kapan aku tertidur hingga terasa seseorang menguncang bahu ku dengan keras.
"siah bangun, sebentar lagi waktunya makan malam. "sedikit berteriak suara itu membuatku terbangun.
Kelopak mata yang terasa lengket aku buka dengan paksa. Ya ampun sudah berapa lama aku tidur, bahkan sudah mau makan malam saja.
"kakak, apa sudah malam. "aku mengosok pelan mataku agar terbuka sempurna.
Elis tersenyum menatap ku, matanya berbinar dibawah cahaya lampu pelita kamar yang bergoyang ditiup angin.
Degh...
Loh, kenapa jantung ku berdebar melihat senyum elis, jangan-jangan siah ini lesbi lagi.
Aku menggaruk tengkuk ku yang tidak gatal, ini akan sangat memalukan jika dugaan ku benar.
"ternyata kau sudah dewasa adik! "
"hah." aku bingung sebenarnya elis ini kenapa, dari tadi senyum-senyum terus, aku sebenarnya agak iri mendengar suaranya yang lembut itu. Apa maksud nya dengan aku yang sudah dewasa? Apa dia ingin menyatakan cinta? eh... eh kenapa pikiran ku jadi kemana-kemana, tapi kalau bener aku harus jawab apa?
"bukan kah kau yang membersihkan rumah kita, lihat semua sudut rumah sudah bersih dan rapi. " elis mengedarkan pandangan kesetiap sudut gubuk tua itu.
"hem, oh itu...bukan masalah besar kok, lagi pula aku kan juga tinggal disini. " aduh ini toh yang dimaksud sudah dewasa, aku malah mikirnya jauh kesebrang pulau. Benar-benar nih otak kayaknya konslet karena kecelakan waktu itu, atau bisa jadi kemasukan air waktu siah tenggelam kan, mungkin saja.
Elis menepuk kepala ku pelan, aku agak risih, kenapa dia sok tua sekali. Dan ini juga jantung siah kenapa sepertinya dia senang sekali mendapat perlakuan seperti ini. Aku bergidik ngeri, cepat-cepat aku menepis pikiran buruk itu dan membayangkan oppa yoongi ku.
Kreeeettttt. . .
Pintu rumah terbuka, seorang bocah usia 12 tahun masuk dengan wajah di tekuk, dia berjalan malas kearah kami.
"adik apa terjadi sesuatu? Elis menarik tangan bocah itu agar duduk disampingnya.
" kakak kedua.. Hiks.. hiks..!" anak itu menangis terisak.
"ada apa?ceritakan pada kakak kedua. " elis menyeka air mata bocah itu dengan lengan bajunya.
"aku ma-mau ikut belajar dengan para sepupu, tapi bibi pertama tidak mengizinkan nya. " adu nya dengan suara terbata.
Aku mengerinyit mendengar ucapannya, jadi bocah ini adalah dodo adik laki-laki siah, dia ingin belajar tapi tidak di izinkan bibi pertama.
Baik lah dodo, kau datang pada orang yang tepat, mulai hari ini, aku meta simamora akan menjadi guru privatmu. Aku terkikik geli dengan pikiran ku sendiri.
"ya sudah adik, lagi pula untuk apa kau ikut belajar, kita ini orang miskin, kau akan bekerja disawah bersama ayah dan kakak pertama. " elis membujuk dodo agar tidak menangis lagi.
Aku merasa kesal mendengar ucapan elis, memang nya kenapa kalau miskin, justru karena miskin kita harus jadi orang pintar. karena aku sudah menjadi bagian dari keluarga kalian, maka aku tidak akan membiarkan kalian menderita lagi.
"adik, kau jangan khawatir, kakak akan menjadi guru terbaik untuk mengajari mu nanti. " aku bersuara setelah tadi hanya memperhatikan mereka.
Kriiik.... Kriiik.. Kriik...
Dua orang yang berada disana menatap ku dengan tatapan yang aku sendiri tidak ingin memikirkan nya. aku mengerti mereka pasti bingung, kami semua tidak pernah belajar, jadi mustahil jika siah bisa mengajari dodo.
Elis menghela nafas berat, dia mengelus kepala dodo dan bangkit dari duduknya.
"ayo ke rumah utama, sebelum nenek memarahi kita. " elis melangkah keluar meninggalkan aku bersama dodo. Saat dodo juga akan berdiri aku mencekal tangannya.
dia menatap kesal kearah ku, bocah ini, akan kubuat kau tunduk dibawah kaki ku. "kau butuh sesuatu kakak ketiga? "dia bertanya dengan malas.
Aku tersenyum miring menatap bocah ingusan itu. " mendekat lah. " aku menariknya mendekat ke arah ku, dengan terpaksa dia mengikuti.
aku membisik kan sesuatu di telinganya, kulihat matanya membola seperti akan keluar. Aku tersenyum senang melihat mulutnya yang terbuka lebar itu. Kena kau.
"mingkem adik. " ucap ku sombong. seraya menepuk dagu dodo pelan.
"kakak ketiga, bagaimana kau bisa mengetahui itu? aku pernah mendengar nya dari kakak sepupu. " ucap dodo bersemangat.
Aku mengibas rambutku kebelakang. " aku tahu lebih banyak lagi, jika kau serius ingin belajar, aku akan jadi gurumu. "
"baik-baik, kakak ketiga ayo kita mulai belajar sekarang. " dodo menarik tangan ku dengan antusias. Sangat luar biasa sekali di usianya yang masih kecil semangat belajarnya sangat tinggi.
Ctaks...
Aku menjentik dahinya sedikit keras. "belajar nya besok, hari ini kita makan malam lalu istirahat, kau mengerti? "
dodo mengusap dahinya yang merah, dia menunduk dengan mata berkaca-kaca. Aku jadi merasa bersalah sudah memukulnya tadi.
"adik, besok kakak akan mengajarimu apa pun yang ingin kau tahu. " aku coba membujuk bocah itu semoga dia tidak sedih lagi.
"benarkah, kakak ketiga kau sudah berjanji padaku, jadi tidak boleh ingkar ya! " matanya kembali berbinar, syukurlah maafkan aku siah.
Huft...
Aku menarik nafas pelan, sudah dua hari aku disini dan belum pernah keluar dari rumah bambu ini. dodo mengandeng tangan ku berjalan keluar rumah, begitu pintu dibuka, aku melihat halaman yang cukup luas, lampu pelita berjajar di luar rumah sebagai penerangan. Dibelakang rumah terlihat seperti gunung yang lebat.
Seperti rumah-rumah di papua di kehidupan ku dulu. Aku sedikit takjub melihat pemandangan ini, tidak ada suara kendaraan ataupun asap pabrik yang mengepul, hembusan angin yang segar membuat mata ku memanas, aku rasanya ingin menangis.
Aku sungguh-sungguh jatuh cinta dengan suasana malam disini, sangat sejuk dan alami sekali.
"kakak ketiga, kita tidak akan mendapat makan malam jika masih berdiri disini. " suara dodo mengembalikan kesadaran ku.
Aku menyeka sudut mata ku, kemudian tersenyum manis. "ayo kita makan malam."
****
Di meja makan, kakek, nenek para paman dan ayah ku sudah duduk dikursi meja makan. Ibu dan kakak masih sibuk menata hidangan makan malam di bantu beberapa orang bibi. Aku dan dodo duduk dilantai beralaskan tikar, disana juga sudah duduk beberapa anak seusia ku, ada juga seusia elis dan dodo. Ini benar-benar keluarga besar.
Setelah kuhitung, ada sekitar 20 anak-anak termasuk aku dan dodo. Belum lagi bibi dan paman. Bagaimana kakek dan nenek mengingat nama cucunya sebanyak ini.
"kau sudah sadar bajiingaan kecil. Kenapa setelah siuman tingkah mu semakin kurang ajar. " suara nenek tua itu menggema ditelinga ku.
Apa maksudnya itu? aku duduk tenang tanpa suara malah meneriaki aku kurang ajar, apa dia ingin memulai perang dengan ku.
"nenek, tidak baik marah-marah di depan makanan. " ucap ku pura-pura polos.
Matanya terbelalak mendengar ucapan ku. "setaan kecil berani nya kau mengajari ku. " teriaknya. Kulihat air liur nenek terbang kemana-mana, sudah pasti makanan di atas meja sudah terkontaminasi, membuat selera makan ku jadi hilang.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!