~ hidup lagi capek capeknya malah dapat jodoh yang random bin ajaib kayak gini, Ya Allah begini banget sih nasib? Tuker tambah boleh nggak sih, eh.
****
Pagi ini lanjut ku sapa indah mentari yang setiap pagi selalu mengintip dari sela dedaunan kelapa yang tumbuh tidak subur di halaman rumah yang lebarnya tidak seberapa.
Sembari mencuci beras yang akan di masak hari ini sambil bersenandung kecil mengiringi riuh kicau burung yang bertengger di dahan pohon sawo yang hampir menemui ajalnya di depan sana.
"Astaghfirullah! Jam berapa ini?" seruan dari lelaki yang selama hampir 6 tahun ini selalu menemani hari hariku terdengar santer dari dalam kamar, entah dimana otaknya anaknya bapak mertua itu sudah tahu di sana ada anak anak yang juga lagi tidur malah teriak-teriak kayak Narto, eh Naruto.
Dan benar saja, tak lama laki laki bertubuh tinggi besar dan berotot itu melangkah keluar dari dalam kamar dengan tergopoh-gopoh, langkah kakinya yang besar seperti kaki Yeti itu berderap di lantai rumah yang terbuat dari papan kayu.
Aku menepuk jidat sesaat setelah rengekan anak bungsu ku terdengar dari dalam sana, pastilah dia terganggu dengan tingkah bapaknya yang hampir setiap pagi pasti bikin heboh jagad raya saja.
"Astaghfirullah," gumamku pelan.
"Dek, kenapa nggak bangunin Mas sih?" protes laki laki dengan warna kulit gelap itu, wajahnya tampak menyiratkan kecemasan.
"Ya kenapa memangnya? Bukannya Mas lagi libur kerja?" tanyaku ketus sembari memasukkan beras yang sudah ku cuci tadi ke dalam magiccom setelah mengelap bagian bawahnya dengan ujung dasterku yang mulai berlubang di beberapa sisinya.
Dan kini lelaki bernama lengkap Bambang Herlambang itu pun ganti menepuk jidat sambil melorotkan tubuhnya ke bawah.
"Oh iya, lupa."
Tak menggubris, kaki ini ku langkahkan menuju kamar guna mengambil bayi mungil ku yang baru berusia sepuluh bulan. Sedangkan anak tertua kami, usianya sudah 4 tahun lebih dan kini menuntut ilmu di paud yang tak jauh dari rumah. Untungnya sekarang sedang libur jadi dia tidak ikut ribut dengan segala keriwehan di pagi hari.
"Pegangin Ara dulu, aku mau nyuci, pungkasku sambil meletakkan bayi mungil nan lucu itu di atas pangkuan ayahnya.
Setelah itu bergegas melakukan semua tugas rumah yang sudah menanti untuk di selesaikan.
Ah, ya kita belum kenalan bukan? Kenalkan, namaku Arumi tahun ini usiaku baru menginjak tahun ke dua puluh tiga, masih muda sekali bukan untuk ukuran emak emak beranak dua? Hahah, jangan begitu aku tahu kok kalau hal seperti ini rentan sekali jadi bahah gosip di kalangan masyarakat kelas menengah seperti kita. Apalagi dulu sewaktu menikah kami hanya menyelenggarakan pesta sederhana saja. Dan kalian tahu apa? Hahah, ya sudah pasti hampir semua tamu pertanyaannya sama, SUDAH DI DEPE DULUAN YA? ahahahaha, rasanya kalau membahas itu tak akan habis satu bab ini menguliti semuanya. Jadi, nanti akan kita bahas lagi pelan pelan ya.
Kembali ke kondisi tadi, usia semua ku selesaikan kini kaki ini melangkah menuju ke kamar mandi. Mau apa lagi? Ya menyelesaikan semua urusan dengan keringat dan daki ini tentunya, apalagi Mamas suami ada di rumah, tapi dan wangi sudah menjadi hal biasa bagiku di depannya. Eciiehhh
"Rum! Mbang! Lagi apa?"
Hah, seruan itu lagi. Kaki ini jadi urung melangkah mendengar suara yang bagai alarm kebakaran itu.
Siapa lagi pelakunya jika bukan tetangga sebelah rumah, Bu Zaenab namanya. Memang kami baru pindah beberapa bulan terakhir ini ke perumahan yang lumayan terkenal bagus ini, itupun karna hasil memeras, eh meminjam uang bapak mertuaku untuk membeli rumah di sini.
"Ada apa sih, Bu? Teriak-teriak pagi pagi, bikin jantungan pohon pisang aja," sungut ku kesal, bagaimana tidak pasalnya Bu Zaenab ini kalau datang ke rumah pasti ada maunya dan biasanya akan berlama lama hingga aku tak pernah bisa bebas mengerjakan semua pekerjaan rumah yang tertunda hanya untuk melayaninya. Huh, menyebalkan kan?
Tapi dengan wajah tak berdosa nya Bu Zaenab malah cengar-cengir saja menampakkan wajahnya yang baru saja di poles bedak sekilo tebalnya.
"Ehehe ,ini Rum. Si bambangnya ada?"
"Mas Bambang? Ada, kenapa memangnya Bu?" tanyaku heran, perasan mulai tidak enak apa lagi melihat gelagat tak menyenangkan dari Bu Zaenab ini.
Hiyyy, jangan sampai pula dia mau bilang tertarik dengan suamiku hingga meminta jadi yang kedua. Hiyyy amit amit jabang raksasa.
"Ini, Rum. Ibu mau minta tolong bikinkan rak dinding buat kamarnya si Zulfa."
Nah, kenapa lagi sama anaknya yang ganjen minta ampun itu. Asal kalian tahu ya, anaknya Bu Zaenab ini si Zulfa itu janda yang hampir saja merusak rumah tangganya Mbak Dara, tetangga depan rumah ku ini. Tapi untungnya suaminya Mbak Dara nggak tergoda, ya gimana mau tergoda coba. Si Zulfa aja dakian kayak begitu, eh kok malah jadi body shaming sih.
Baru saja aku ingin menyahut kala Mas Bambang muncul dari dapur sambil menggendong putri bungsu kami yang rupanya sudah dia mandikan, ah baiknya suamiku.
"Mau buat rak ya, Bu Zaenab?" celetuknya seraya memberikan putri kami pada ku, rupanya sejak tadi dia sudah mencuri dengar pembicaraan ku dengan Bu Zaenab pantas saja langsung nyambung.
Bu Zaenab mengangguk mantab dengan tatapan berseri seri yang membuat ku semakin takut dia pake pelet, hiyy amit amit semoga saja mental kalau di pakai ke Mas Bambang. Biar jelek juga aku nggak rela bagi bagi.
"Boleh ,tapi bayarannya yang gedean ya Bu. Males saya kalo cuma di kasih lima ratus ribu kayak kemaren," cetus Mas Bambang bernegosiasi.
Itu salah satu keuntungan menikah dengan Mas Bambang, dia orangnya ulet tidak pilih pilih pekerjaan tapi selalunya menguntungkan.
"Jadi berapa, Mbang?" tanya Bu Zaenab sepertinya ketar ketir.
Mas Bambang berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangkat dua jarinya ke atas.
"Dua juta, bagaimana? Ibu tinggal terima bersih semuanya."
Plakkk
Aku langsung tepuk jidat mendengar ucapan suamiku yang agak sengklek itu, kalau aku jadi Bu Zaenab sudah pasti akan langsung ku tolak dan cari tukang lain. Gila saja terima bikin rak doang dua juta, hahaha kaya mendadak dong guehhh.
"Oke, deal. Tapi saya minta tiga hari selesai ya."
"Siap, deal."
Mataku sontak melotot mendengar kesepakatan ke duanya, ini beneran bikin rak doang dua juta? Astaghfirullah, pengen seneng tapi kok aku malah takut ya. Apalagi setelah itu Bu Zaenab pamit pulang dan Mas Bambang langsung melirik penuh makna padaku, senyumnya yang mencurigakan itu membuat bulu kuduk ini berdiri dengan sendirinya.
"Jangan macam macam loh, Mas. Inget Bu Zaenab udah tua, kalau kamu bertingkah lagi nanti bahaya," tegas ku agar suami ku yang kadang ajaib ini tidak aneh aneh.
Mas Bambang malah cengengesan. "Iya iya, nggak akan macam macam kok paling satu macam saja," sahutnya sembari ngeloyor pergi dengan riangnya.
Duh, apalagi yang akan di lakukan suamiku itu. Duh Gusti, lindungilah keluarga Bu Zaenab dari keblangsakan suamiku itu, doaku dalam hati tapi berharap nya sih semoga saja tidak di kabulkan, yang bener saja woy dua juta di lepas begitu saja ya sayang uangnya dong hehe.
*Lanjut geser.
Akhirnya tugas negara yang bergaji keikhlasan ini beres juga, sembari menidurkan si kecil Ara yang mulai mengantuk, jemari ini menari lincah di atas keyboard hape mengetikkan semua kata demi kata yang ada di kepala membentuk satu dua hingga ratusan paragraf cerita.
Yah, pikirku dulu ketimbang hanya menung saja sembari menjaga anak akan lebih baik kalau bisa lebih produktif dan menghasilkan uang sendiri walau tidak banyak. Yah, walau belum sampai ratusan setidaknya penghasilan dari menghalu diam diam ini bisa aku belikan kebutuhan pribadi yang tak ingin ku bagi bagi dengan Mas Bambang. Haha, begini begini aku juga bisa pelit loh, ngaku saja kalian juga pasti pernah kan melakukan itu? Setidaknya pengen makan bakso sendirian aja di luar nggak ngajak suami dan anak, duh gimana ya sensasinya, ehe.
Drap
Drap
Drap
"Ibun, ada nenek di depan," adu si sulung yang sebelumnya tadi tengah asik bermain dengan mobil mobilannya di teras rumah.
"Iya, suruh masuk aja bilang ibun lagi nidurin adek," gumamku pelan sebab si bayi kini sudah mulai memejamkan matanya terlelap.
Sulungku, Fattah namanya berlari ke depan menemui neneknya lagi setelah sebelumnya mengangguk mengiyakan ucapan ku. Ah, anak itu memang selalu bisa di andalkan.
Tak lama terdengar suara percakapan yang ku taksir adalah milik anak ku dan neneknya, ibunya Mas Bambang yang ajaibnya sebelas dua belas sama anaknya.
"Assalamualaikum," ucap ibu mertua sambil mengintip dari balik pintu yang terbuka karna di dorong Fattah tadi.
"Waalaikumsalam, sebentar ya Bu." Aku menyahut pelan sekali.
Ibu mertua mengangguk dan berlalu sambil menggiring Fattah yang sejak tadi mengekorinya, maklum saja anak itu biasanya akan sangat senang kala neneknya datang dan membawakan banyak sekali jajanan ringan untuknya.
Setelah baby Ara benar benar tertidur, kebiasaan yang hampir selalu ku lakukan setiap bayi itu lelap terpaksa di tunda dahulu kali ini. Bisa ngamuk nanti ibu mertua ku kalau di cuekin, terus nanti ngambek dan ngadu sama anaknya yang sebenarnya selalu membela ku sih, ehe.
"Sama siapa tadi ke sini, Bu?" tanyaku pada ibu mertua setelah sebelumnya menutup pintu kamar terlebih dahulu agar tak mengganggu tidur bayiku.
Ibu menoleh dengan wajah datarnya yang menyebalkan, sama persis seperti wajah Mas Bambang kalo lagi minta di jitak.
"Sama bapak, oh ya mana suamimu? Ibu ada perlu ini," sahutnya tanpa senyum sedikit pun, dasar pelit dari dulu nggak pernah berubah sifatnya.
"Mas Bambang ada di rumah depan, Bu tadi di minta Bu Zaenab bikinkan rak dinding di kamar anaknya," sahut ku apa adanya sembari melangkah ke dapur untuk cari muk, eh membuatkan teh untuk mertuaku itu.
"Loh memangnya nggak kerja?" tanya ibu mertua yang rupanya mengikutiku sampai ke dapur, waduh mati aku mana tadi belum sempat masak. Bisa habis ini di ...
"Ya ampun, Arumi! Sudah siang begini kamu belum masak apa apa? Sebentar lagi tengah hari nanti Bambang pulang mau makan apa ha? Batu di rebus? Atau batu di tumis?"
Nah kan, benar dugaan ku belum juga beres tadi ngomel di dalam hatinya eh malah sudah terbukti duluan. Dasar mertua kurang di kasih sianid, eh kasih sayang ya begini nih jadinya. Ooh, bapak mertua, cobalah lebih sering belai istri mu ini supaya dia betah di rumah dan nggak ngerecokin kami terus, jeritku dalam hati.
"Haduhhh, ini juga segala piring kotor belum pada di cuci kamu itu ngapain aja sih dari pagi? Masa semuanya belum di kerjakan? Malas malasan kamu ya?" tuduh ibu mertua lagi tanpa sungkan sama sekali.
"Iya, Bu abisnya capek kerja nggak di gaji," tandasku sekalian, di pikirnya aku menerima lamaran anaknya yang tampak luarnya pas Pasan itu untuk di jadikan pembantu apa? Hih, sorry Yee kaga bakalan. Aku akan mengerjakan apa yang aku ingin kerjakan tanpa di paksa, lagipula selama ini Mas bambang oke oke saja kok, kenapa pula ini manusia satu yang repot?
Mendengar jawaban ku, ibu mertua hanya bisa bersungut-sungut saja. Namun tanpa berkata kata lagi beliau langsung meraih tumpukan piring kotor yang sebenarnya cuma tiga biji itu ke wastafel jongkok alias kamar mandi multifungsi milik kami dan mulai mencuci piring piring tersebut.
Setelah siap membuat teh untuk kami, ibu juga sudah keluar dari kamar mandi dan langsung menyusun piring piring tadi ke rak.
"Kamu punya bahan apa? Sini ibu masakin kalo memang lagi males," tukas ibu mertua yang kali ini sangat sangat sukses membuat aku terbengong-bengong, ada apa ini? Kenapa perasaan ku enak, eh nggak enak maksudnya.
"Eh, nggak usah repot-repot Bu nanti biar Arum aja yang masak. Ini ibu minum tehnya saja, ini teh hijau kesukaan ibu loh," cegah ku sambil menunjukan cangkir berisi teh yang masih mengepulkan asap itu di hadapannya.
Tapi ibu mertua ku, Nyonya besar Sulistiani malah melengos dan langsung bergerak menuju kulkas satu pintu milik kami yang warna belum usang karna baru beli kemarin dari hasil menekuni tulisan di aplikasi berbayar yang jadi kerjaan rahasia ku.
Klakk
Pintu kulkas baruku yang masih cilun dan bau toko itu pun terbuka dengan agak keras, membuat aku sontak mendekati ibu mertua takut dia akan merusak hasil kerja keras jempolki selama ini dengan tangan berkekuatan penuh miliknya.
"Ngapain kamu nempel nempel? Suka kamu sama saya? Atau jangan jangan mau caper ya biar di pinjamin duit?" sergah nyonya Sulis, ibu mertua ku itu dengan gayanya yang menyebalkan tapi menguntungkan itu. Iyalah menguntungkan setiap datang pasti selalu membawa jajanan dan makanan yang cukup untuk satu minggu untuk anak anakku, kan lumayan menghemat.
"Nggak dua duanya, Arum cuma mau kasih tahu jangan buka pintu kulkasnya kenceng kenceng, Bu inikan baru beli," ujarku tanpa basa basi, ngapain juga toh beliau kan bukan orang penting, eh orang lain maksudnya.
Ibu mertua tercinta hanya melengos lalu mengambil bahan bahan mentah yang di butuhkannya untuk memasak lalu kembali menutup pintu kulkas dengan sesuka hatinya , untung saja aku masih berdiri di dekat pintu kulkasnya jadi bisa menahan agar tidak terjadi benturan yang bisa membuat kulkas baruku lecet.
Setelah ibu mulai masak, aku pun memutuskan berlalu kembali ke kamar. Selagi menunggu masakannya yang memang enak itu aku akan memanfaatkan waktu untuk mengetik lebih dulu, mengupdate bab baru agar pembaca tidak demo karna belum update juga.
Namun baru juga lima belas menit berkutat dengan hobi bercuan ku ini, tiba tiba diri kembali di kejutkan oleh suara Mas Bambang yang sepertinya sudah pulang untuk makan siang dari rumah Bu Zaenab.
"Dek, ooh dek coba keluar dulu dan liat Mas bawa apa," serunya dengan nada bahagia, tapi entah kenapa malah membuat jantungku deg deg ser karenanya.
"Ya Allah, semoga bukan telor biawak lagi yang di bawakan kali ini," doa ku dalam hati.
Sesampainya di luar aku langsung tepuk jidat, nah kan benar apa kataku tadi. Ya Allah, suamiku ini sebenarnya romantis tapi kok ya begini sekali sih?
Mas Bambang dengan pedenya malah berdiri berkacak pinggang dengan membawa seekor ikan Toman super jumbo di pelukannya.
Iya! Ikan Toman super jumbo!!
Subhanallah, inilah suamiku. Entah darimana dia mendapatkan raksasa itu tapi yang jelas setiap pulang ke rumah dia tak pernah absen membawakan sesuatu untuk kami, entah apapun itu bahkan tak jarang barang barang tak terduga seperti kali ini yang di bawakan nya.
"Yeee, ayah bawa ikan besar. Fattah mau naik ikannya dong yah," sorak anak sulung ku yang memang sangat menyukai apapun hal aneh yang di bawa pulang ayahnya. Ya Allah, Nak semoga kamu besar nanti nggak ajaib kayak bapakmu ya, kasihan nanti istrimu soalnya eh.
"Loh? Ada apa ini?" tanya ibu mertua yang sejak tadi sepertinya sibuk di dapur. Mungkin karna mendengar suara ribut ribut dari arah teras beliau jadi penasaran pengen ikutan bikin keributan juga.
"Itu, nek ayah bawa ikan raksasa!" jawab Fattah dengan riangnya.
Sontak nyonya Sulis yang tercinta menoleh ke arah Mas Bambang yang masih menimang ikan raksasa itu seperti menggendong si bungsu Ara, malah edannya lagi dia mendaratkan satu kecupan di bibir ikan Toman yang masih bergerak gerak itu. Iyuuuhhh, awas saja kamu nanti cium aku atau anak anak juga, Mas nggak ikhlas kami dapat bekasan ikan Toman, batinku.
"Ya Allah, Bambang! Itu segitu gedenya dapat darimana? Habis nyemplung di Amazon kamu?" seru ibu mertua kaget.
Mas Bambang malah cengengesan bangga, sambil memperbaiki letak ikan yang melorot dari gendongannya.
"Heheh, dari kolam samping kamarnya si Zulfa, Bu."
"Ya Allah? Jadi itu ikan peliharaannya Pak Jamal, Mas?" seruku, pasalnya ikan itu dulu kata Pak Jamal sudah di peliharanya sejak masih telur, nggak tau bener apa nggaknya tanya aja sama yang bersangkutan.
"Iya." Dengan pedenya Mas Bambang mengangguk bangga, rasanya aku ingin sekali melemparkan seember kerikil ke wajah sok ganteng ya itu, ya Allah begini banget sih punya suami, di tukar sama suami mbak Dara boleh nggak sih? Eh.
"Ye ye kita punya ikan raksasa," sorak si Fattah lagi dengan senangnya.
"Ya sudah sini biar ibu yang masak, toh nggak mungkin juga ikan itu mau kamu pelihara toh? Memangnya kuat kamu ngasih makannya?" ucap ibu mertua sambil menyodorkan tangan meminta ikan tersebut, kayak tangannya kuat aja ngangkat itu ikan jelmaan gajah kebon binatang.
Tapi dengan cengo nya Mas bambang malah cengar-cengir sendiri di tempatnya berdiri sedang ikan itu tampak megap megap karna kehabisan nafas, duh kasihan deh ikannya kalo mati nanti suamiku masuk penjara karena kasus pembunuhan gimana? Nanti aku ngerampok uangnya siapa kalo bukan dari dompetnya dia? Duh gawat aku harus bertindak.
"Iya, Mas mending kamu kasih ibu aja deh ikannya. Aku takut deh Mas nanti malah kamu yang di telen sama itu ikan gimana?" saranku sok bijak.
"Tapi mas pengen pelihara deh, dek. Lucu tahu punya ikan Segede gini di rumah," pungkas mas Bambang dengan wajah di buat memelas, huh nggak akan mempan lah ya.
"Halah segala di pelihara, kamu mau kasih makan apa? Kasih makan rambutmu yang sudah ubanan itu ya nggak mau ikannya," serobot ibu mertua seraya merebut ikan jelmaan raksasa itu dari tangan Mas Bambang.
Tampak wajah lelaki ku itu tampak tak rela, namun mau bagaimana lagi dia pasti juga tak akan berani melawan ibunya yang terkenal cerewet itu. Jadilah akhirnya Mas ku itu hanya bisa pasrah sambil berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya yang bau amis ikan, entah bagaimana caranya tadi dia bisa bawa pulang itu ikan tapi kok di gendong, kayak nggak ada cara lain saja.
"Rum, golok yang gede dimana?" seru ibu mertua dari arah dapur, aku yang hendak masuk kembali ke dalam kamar berputar arah menuju dapur lebih dahulu dan tampak lah di sana suasana dapur yang sudah penuh dengan aneka bumbu masak yang sudah di kupas dan siap di masak.
"Ada di selipan bawah dekat rak piring itu, Bu coba di lihat dulu," sahutku menunjuk arah dimana tempat biasa aku menyimpan golok tersebut.
"Oh ya ada, tolong siapkan baskom besar Rum buat tempat ikannya nanti," pintanya lagi.
Segera saja aku melakukan apa yang di minta oleh ibu mertua, dan setelah itu meninggalkannya berjibaku dengan ikan raksasa itu di dapur.
"Arum ke depan ya, Bu," pamitku, sengaja agar tampak sopan aja sih hehe.
"Iya sudah sana, kamu juga nggak bakal bisa bantu kalo masak ikan mah. Yang ada malah ngeganggu aja nanti," ketus ibu mertua sambil mulai menyiangi ikan tersebut.
Aku tersenyum simpul saja sambil berlalu, toh apa yang ibu mertua bilang nggak ada salahnya. Aku memang alergi ikan, jenis apapun itu dan satu yang pasti dari hal itu, aku tidak bisa mengolah ikan baik membersihkan ataupun memasaknya. Bukan karna malas, tapi lebih ke tidak kuat dengan baunya yang ku rasa begitu menyengat. Dan hal itu ternyata menurun ke anak sulungku, dia akan selalu muntah setiap kali ada orang yang makan ikan di dekatnya, entah kenapa.
"Dek," sapa Mas Bambang yang ternyata sudah selesai mandi sembari mendekat ke tempat dudukku di teras, Ara masih tidur jadi aku memilih mengetik di teras depan saja sembari menemani sulungku bermain pasir di halaman.
"Iya, mas? Kenapa?" tanyaku yang sedang tak ingin berburuk sangka dengan lelaki yang sudah memberiku dua orang anak yang ke duanya sebenarnya sangat mirip dengannya itu.
"Nggak papa, Mas cuma mau bilang nanti kalo ada yang nyari Mas ke sini bilang aja Mas nggak ada ya, mas mau tidur dulu sebentar, nggak mau di ganggu. Badan mas rasanya nggak enak, dek."
Keningku pun seketika berkerut mendengar ucapan suami ajaibku ini, apa pula maksudnya itu padahal beberapa detik yang lalu dia masih tampak sehat menimang ikan raksasa itu. Apa ikan itu ada racunnya makanya dia tiba tiba langsung k.o?
"Ya udah ya, dek. Mas masuk kamar dulu, pokoknya kalau ada yang nyari bilang aja nggak ada ya dek. Bilang aja mas lagi keluar kemana gitu ya, pokoknya mas jangan di bangunin ya sayang ya," titah Mas Bambang lagi seraya berbalik menuju kamar.
"Iya," pungkasku pasrah.
Walaupun sebenarnya hati ini agak was was juga, entah kenapa aku merasa pasti ada hal yang kurang beres di sini. Namun apa itu aku juga tidak tahu, kita tunggu saja semoga saja bukan masalah besar.
Tak lama ibu mertua datang dari dapur, memanggil manggil anak sulungku yang kini tububnya sudah penuh pasir.
"Le, ayo makan dulu yuk. Nenek sudah masak ikan, yuk naik yuk biar nenek mandikan setelah itu kita makan ya," ucapnya.
Fattah menurut saja kala di tuntun oleh neneknya masuk ke dalam rumah.
"Rum, panggil suamimu suruh makan dulu. Itu sudah matang semua lauknya," ujar ibu mertua padaku pula.
"Iya, Bu." Aku hendak bangkit dari posisi wuenak ini setelah ibu mertua berlalu ke dalam bersama Fattah.
Namun baru saja tegak berdiri tampak dari arah depan rumah datang Bu Zaenab dengan wajah merah padam seperti menahan amarah.
"Heh Arumi! Mana suami mu itu? Suruh dia ke sini jangan malah bersembunyi!" seru Bu Zaenab yang tampak sangat marah.
Haduh mas, apalagi yang kamu lakukan sih? Tiap hari nggak berhenti berhenti bikin orang jantungan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!