Jihan keluar dari ruangan dokter dengan wajah tertunduk lesu. Seakan sedang memikul beban yang berat, Jihan sampai kesulitan menegapkan badannya. Langkahnya bahkan gontai.
"Harus pinjam kemana uang sebanyak itu.?" Gumam Jihan putus asa.
Rasa-rasanya tidak mungkin dia bisa mendapat pinjam sebanyak itu dari seseorang.
Mau pinjam ke Bank pun tidak punya jaminan. Di perusahaan juga punya batasan jika karyawannya ingin mengajukan pinjaman. Staff biasa seperti Jihan mana boleh meminjam uang 200 juta.
Ya, sebanyak itu uang yang di butuhkan Jihan untuk membiayai operasi Ibunya. Lalu dari mana Jihan bisa mendapatkan uang 200 juta dalam waktu 2 hari.?
Gajinya sebagai staff perusahaan saja hanya 7 juta perbulan. Cuma cukup untuk membayar sewa rumah, biaya kuliah adiknya dan biaya hidup keluarganya selama 1 bulan.
Terlahir menjadi anak pertama, mau tidak mau Jihan harus menjadi tulang punggung keluarga sejak Papanya meninggal 1 tahun lalu. Dia punya adik laki-laki yang baru masuk kuliah 1 tahun lalu, dan Mamanya juga sudah sakit-sakitan sejak lama. Jadi Gaji Jihan selama ini habis untuk keperluan keluarganya.
Selama 2 tahun bekerja di perusahaan, Jihan punya tabungan yang jumlahnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan 200 juta.
Mungkin Jihan harus menabung selama 6 sampai 7 tahun untuk mengumpulkan uang sebanyak itu.
"Kak Jihan, bagaimana kata Dokter.? Mama bisa di operasi secepatnya kan.?" Cecar Juna yang berdiri di depan ruang rawat inap Mama mereka.
Laki-laki 18 tahun itu terlihat tidak sabar mendengar kabar baik dari Kakaknya. Masalahnya kondisi Mama mereka sudah kritis, kalau tidak cepat di operasi, bisa memperburuk kondisinya.
Tapi Juna tidak tau kalau biaya operasi Mamanya sangat mahal.
Jihan diam cukup lama, dia bingung harus memberikan jawaban seperti apa agar adiknya tidak sedih. Kalau bicara jujur, Juna pasti akan kepikiran. Bisa-bisa menganggu kuliahnya.
Jihan akhirnya terpaksa berbohong, demi kebaikan adik satu-satunya.
"Bisa Dek, dua hari lagi Mama akan di operasi. Kita harus banyak berdoa agar nanti operasinya lancar dan Mama bisa sehat lagi." Kata Jihan seraya mengusap punggung adiknya.
Juna seketika bernafas lega begitu mendengar Mamanya akan di operasi dalam waktu dekat. Tapi Juna tidak berfikir jauh soal biaya rumah sakit, mungkin karena Jihan tidak mengeluhkan soal biaya di depannya, jadi membuat Juna berfikir kalau biaya operasi Mama mereka masih bisa tanggung oleh Kakaknya.
Jihan lantas melirik tajam di pergelangan tangannya, dia harus segera kembali ke kantor karna jam istirahatnya hampir habis. Beruntung lokasi rumah sakit tepat Mamanya di rawat tidak jauh dari kantornya.
"Kakak harus balik ke kantor. Kamu jagain Mama ya, kalau ada apa-apa langsung telfon Kakak aja." Kata Jihan yang di tanggapi anggukan kepala oleh Juna.
Wanita berusia 25 tahun itu lantas buru-buru kembali ke kantor menggunakan taksi online. Jihan tidak sempat makan siang, sampai di kantor jam istirahatnya sudah habis karna harus bolak-balik rumah sakit dan konsultasi dengan Dokter. Terlebih harus terjebak macet beberapa menit di jalanan, alhasil hanya bisa mengganjal perut dengan roti yang dia bawa dari rumah.
"Kamu kemana aja Jihan.?" Suara Diana hampir membuat Jihan tersedak roti. Jihan menyambar air mineral di atas meja dan langsung meminumnya.
"Kak Diana bikin kaget aja, untung nggak keselek.!" Bibir Jihan mengerucut pada mantan senior di kampus sekaligus sahabatnya itu. Hampir 7 tahun bersahabat, kedekatan Jihan dan Diana sudah seperti saudara. Tidak hanya ada di saat senang, tapi juga di saat duka.
Diana hanya terkekeh kecil. Wanita 28 tahun itu memang sedikit jahil, tidak heran kalau Diana malah menertawakan Jihan.
"Kamu baru balik dari rumah sakit.? Gimana keadaan Mama.?" Raut wajah Diana berubah jadi mode serius. Dia sengaja ijin pada atasannya hanya untuk menemui Jihan dan menanyakan kabar Mama Jihan yang sudah seperti Mama kandung sendiri bagi Diana.
Jihan menunduk lesu. Dia meletakkan sisa roti di atas meja kerjanya. Tiba-tiba jadi tidak nafsu makan, perut yang tadinya masih keroncongan, sekarang sudah tidak merasakan apa-apa lagi.
Jihan memikirkan uang 200 juta untuk biaya operasi Mamanya 2 hari lagi.
"Mama harus di operasi dua hari lagi Kak. Biaya operasinya nggak sedikit, aku nggak tau harus cari uang sebanyak itu dari mana." Lirih Jihan dengan suara tercekat. Di satu sisi dia ingin Mamanya di operasi agar cepat sembuh, tapi di sisi lain Jihan bingung bagaimana caranya mendapatkan uangnya.
"Memang berapa biayanya.? Kakak ada sedikit tabungan, kamu pakai saja dulu." Kata Diana.
"Kalau kurang, nanti Kakak coba tanyain sama Mas Aji. Siapa tau Mas Aji ada tabungan lebih." Tuturnya antusias. Diana benar-benar sahabat terbaik, dia tidak ragu menawarkan uang tabungannya untuk dipinjamkan pada Jihan. Bahkan sampai menawarkan tabungan suaminya juga.
Jihan menggeleng cepat, dia tidak mungkin merepotkan sahabatnya dengan meminjam uang ratusan juta. Diana dan suaminya saja banyak kebutuhan, masih harus cicil rumah, mobil dan biaya keperluan anaknya.
"Aku nggak mau ngerepotin Mba Diana. Jumlahnya nggak sedikit Mba, 200 juta." Tutur Jihan lesu.
Diana sampai membulatkan matanya karna tercengang, tidak mengira biaya operasi orang tua Jihan sampai 200 juta. Diana pikir sekitar 100 juta, tidak lebih.
"Apa.?!! 200 juta.? Jihan, kamu nggak salah denger kan.? Coba kamu tanyakan lagi sama dokternya. Siapa tau kamu salah denger karna sedang kalut. " Ujar Diana karna terlalu kaget mendengar nominal fantastis untuk biaya operasi orang tua Jihan.
"Beneran Mba, aku sudah pastiin dua kali." Kata Jihan yakin.
Jihan lantas mengamati keadaan sekitar, di ruangannya sedang sepi. Beberapa staff sedang meeting setelah jam istirahat. Hanya ada Jihan di ruangan itu bersama Diana.
"Apa aku jual diri saja ya Mba.?" Ujarnya putus asa.
"Astaga Jihan.! Kamu itu ngomong apa.! Jangan ngawur. Kamu mau bayarin operasi Mamamu pakai uang yang nggak halal.?" Tegurnya mencoba menyadarkan kekhilafan Jihan.
Diana paham posisi Jihan, dia sedang terdesak keadaan, tapi bukan berarti harus jual diri untuk mendapatkan uang.
"Tapi nggak ada pilihan lagi Mba. Uang sebanyak itu harus aku cari dimana dalam waktu 2 hari.?" Suara Jihan bergetar, matanya sudah berkaca-kaca menahan tangis.
"Kamu tenang dulu, nanti Mba usahain pinjam sama Pak Shaka. Dia bukan Bos yang pelit, uang 200 juta juga nggak ada artinya buat dia." Kata Diana sambil mengusap pundak Jihan.
"Mba Jihan serius.?" Jihan menatap penuh harap.
Diana mengangguk yakin.
"Aku pastikan hari ini sudah ada uangnya." Ujarnya.
"Tapi aku butuh waktu lama untuk melunasinya. Apa nggak masalah.?" Jihan mendadak pesimis.
"Nggak usah pikirin itu, Pak Shaka nggak pernah perhitungan sama Mba."
"Sudah dulu ya, Mba harus ke ruangan Pak Shaka. Do'ain semoga dikasih pinjaman." Kata Diana.
"Aamiin. Makasih banyak ya Mba." Jihan hampir saja menangis, tapi langsung di tepuk pundaknya oleh Diana.
"Nggak usah cengeng.! Mba pergi dulu." Diana bergegas pergi. Jihan menghela nafas lega. Jika Diana berhasil mendapat pinjam untuknya, maka Mamanya bisa segera di operasi.
Di sebuah ruangan CEO perusahaan ternama Ibu Kota, seorang pria dengan tubuh tegap dan memiliki tinggi 185 cm itu sedang berdiri di depan dinding kaca yang memperlihatkan padatnya Ibu Kota dengan banyak gedung pencakar langit.
Arshaka Mahesa Samudra, atau yang kerap di panggil Shaka. Pria berusia 30 tahun itu adalah keturunan kedua dari Mahesa Samudra, pendiri sekaligus pemilik tunggal Samudra'e grup. Perusahaan yang bergerak di bidang kontruksi, infrastruktur dan properti. Tidak heran jika kekayaan keluarganya mencapai ratusan triliun.
Memiliki seorang Kakak perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak, membuat Shaka ditunjuk menjadi pengganti orang tuanya untuk memimpin perusahaan sejak 3 tahun yang lalu.
Mahesa sendiri tak lagi muda, usianya sudah menginjak 58 tahun. Sudah waktunya pensiun dari dunia bisnis yang telah dia geluti sejak 33 tahun yang lalu. Itu sebabnya dia menyerahkan tanggungjawab perusahaan pada putranya.
Terlahir dari keluarga Sultan, dan dianugerahi fisik serta wajah yang sempurna, menjadikan Shaka good rekening dan good looking. Sejak dulu Shaka selalu menjadi incaran para wanita di sekolah ataupun di kampus. Para wanita pemuja pria tampan dan kaya raya. Ingin hidup enak, bergelimang harta dan memiliki pasangan tampan.
Meski selalu digilai banyak wanita di sekitarnya, hal itu tak membuat Shaka jumawa. Dia juga tidak memanfaatkan wajah tampan serta kekayaan orang tuanya untuk mendekati wanita-wanita cantik di luar sana.
Di didik sedemikian rupa oleh sang Mama, Shaka tumbuh menjadi pria baik-baik dan bertanggungjawab. Lingkungan yang buruk dan hendon, tidak membuat Shaka gelap mata untuk melanggar aturan dan ajaran orang tuanya.
Pria itu tetap patuh pada perkataan orang tuanya yang memang terbaik untuknya.
Lagipula, menjadi pria brengsek hanya akan menghancurkan diri sendiri dikemudian hari. Shaka sudah banyak melihat contoh di sekitarnya. Bahkan banyak teman-temannya yang hidupnya tidak jelas akibat pergaulan bebas. Hidup sesuka hati, tanpa ada aturan. Pada akhirnya hanya meninggalkan penyesalan di kemudian hari.
Tokk,,,
Tokk,,,
Tokk,,,
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Shaka. Ada beberapa hal yang sedang Shaka pikirkan akhir-akhir ini. Dia tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini Mamanya banyak menuntut. Padahal sejak dulu tidak pernah menuntut apapun. Efeknya, Shaka jadi sering sakit kepala setiap kali mengingat tuntutan dari Mamanya itu.
Dituntut segera menikah dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu, Shaka yang selama ini tidak punya kekasih, jelas mendadak sakit kepala saat diminta menikah oleh Mamanya. Gara-gara desas-desus yang beredar tentang dirinya seorang ga-y, kedua orang tua Shaka langsung panik dan tiba-tiba menyuruh Shaka agar menikah secepatnya.
Pintu ruangan terbuka, seorang wanita paruh baya masuk ke dalam ruangan Shaka di dampingi Diana yang mengantarnya dari lantai bawah.
Shaka menghela nafas berat melihat wanita paruh baya yang masuk ke ruangannya. Wanita yang masih terlihat cantik, mulus, tidak terlihat berkeriput di usia 54 tahun berkat perawatan dan skincare mahal.
"Kenapa wajahmu muram begitu.? Kamu nggak suka Mama datang.?" Cecar Sonia seraya berjalan ke arah sofa dan mendudukkan diri di sana.
"Kalau mau bahas masalah pernikahan, sebaiknya di rumah saja Mah. Shaka lagi sibuk, banyak kerjaan." Ujarnya malas. Bukannya tidak mau menuruti permintaan Mamanya, semua orang juga ingin menikah, termasuk Shaka. Hanya saja kondisinya belum memungkinkan. Shaka belum punya calon yang sesuai kriteria untuk di jadikan teman hidup sampai maut memisahkan.
Bibir Sonia mencebik. Putranya ini tidak bisa memahami kekhawatirannya sebagai orang tuanya. Apalagi sudah ada gosip tidak enak yang beredar di luar sana. Ibu mana yang tidak syok saat putra satu-satunya di gosipkan ga-y. Penyuka sesama jenis. Jelas saja Sonia memaksa Shaka supaya cepat menikah. Usia Shaka juga sudah matang untuk menikah.
"Kamu nggak takut gosip di luar semakin panas.? Mama nggak terima anak Mama yang tampan ini digosipin buruk seperti itu. Mama tau kamu itu normal, itu sebabnya Mama nyuruh kamu menikah." Tutur Sonia.
Wanita itu kemudian menoleh pada Diana, sekretaris putranya.
"Diana, ayo duduk. Saya mau minta tolong sama kamu."
Diana tersenyum kikuk, bukan karna sungkan pada Orang tua Bosnya yang kelewat baik dan ramah. Melainkan takut pada Shaka, takut mendapat masalah kalau berada di kubu Sonia.
Diana lantas duduk di seberang Sonia, di susul oleh Shaka yang menempati satu sofa dengan sang Mama, tapi membuat jarak lumayan jauh. Keduanya sama-sama duduk di ujung sofa.
"Diana, selama kamu bekerja jadi sekretaris Shaka. Apa ada wanita yang datang ke kantor hanya untuk menemui putra saya.?" Tanya Sonia dengan nada menginterogasi.
Diana sontak menelan ludah dengan susah payah, lalu melirik Bosnya yang berwajah datar tanpa ekspresi.
"Jawab saja, jangan takut sama Shaka. Kalau nanti dia berani mengancam atau pecat kamu, biar kamu saya angkat jadi pengganti Shaka.!" Tegas Sonia seraya melirik putranya. Wanita paruh baya itu hanya main-main dengan ancamannya, hanya untuk menyindir putranya saja.
Diana tersenyum kaku sebelum akhirnya menjawab dengan sejujurnya.
"Ada sekitar 5 wanita yang sering datang mencari Pak Shaka, tapi Pak Shaka menolak bertemu mereka."
"Salah satu di antaranya sudah di blacklist karna terlalu sering mendatangi kantor." Tutur Diana dengan tatapan yang tak lepas dari Shaka. Takut tiba-tiba Shaka marah. Tapi sampai Diana selesai bicara, Shaka hanya diam saja. Pria itu tidak memberikan komentar apapun.
"Tolong kamu hubungi 5 wanita itu, atur jadwal untuk bertemu dengan saya. Karna Shaka mengaku belum punya calon, jadi saya yang akan pilihkan istri buat Shaka."
"Kelima 5 wanita itu pasti sangat mencintai putra saya, salah satu dari mereka mungkin cocok menjadi menantu di keluarga Samudra." Ucap Sonia enteng. Detik itu juga Shaka langsung melotot. Dia tidak akan sudi menikah dengan salah satu wanita-wanita itu.
"Mama ini apa-apaan.? Shaka nggak setuju.!" Tentang Shaka tegas. Dia sudah mengenal luar dalam wanita-wanita yang pantang menyerah mengejarnya. Wanita-wanita seperti itu hanya gila pada harga. Walaupun cantik dan memiliki body sempurna, tapi attitudenya nol besar. Pergaulannya juga terlampau bebas.
"Tapi kamu harus menikah 2 minggu lagi Shaka."
"Jangan bikin Mama pusing karna harus denger kabar menjijikkan itu lagi."
"Begini saja. Mama kasih kamu pilihan, kalau dalam waktu 1 minggu kamu belum dapat calon istri, kamu harus mau menikah dengan wanita pilihan Mama."
"Nggak ada penolakan, Mama juga nggak mau denger bantahan.!" Tegas Sonia kemudian beranjak dari duduknya.
"Mama pulang dulu. Ingat ya Shaka, cari calon istri yang baik, yang sayang juga sama keluarga.!" Pesan Sonia sebelum keluar dari ruangan putranya.
Shaka membuang nafas berat seraya mengusap kasar wajahnya. Mendadak kepalanya berdenyut nyeri. Shaka stres sendiri menghadapi permintaan Mamanya.
Sementara itu, Diana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia jadi ikut pusing dan bingung setelah mendengar perdebatan ibu dan anak tadi.
Shaka masih duduk di sofa sambil memijat pelipisnya. Saking pusing dan bingung mencari solusi atas permintaan Sonia, Shaka sampai tidak sadar kalau di dalam ruangannya masih ada Diana. Dengan santainya Shaka melepaskan jas, mengendurkan dasi dan melepaskan 3 kancing kemeja warna putih yang dia kenakan. Diana sontak melotot, detik berikutnya dia menutup mata dengan telapak tangan.
"Pak Shaka ngapain buka kancing kemeja depan saya.?" Protes Diana dengan telapak tangan yang masih menutupi mata. Sebenarnya pemandangan di depan mata cukup memanjakan mata kaum hawa, pasalnya dada Shaka cukup bidang dengan pahatan yang sempurna. Di dukung dengan wajah yang good looking. Sayang sekali kalau pemandangan seperti itu di sia-siakan, hanya saja Diana cukup sadar diri. Dia sudah punya suami dan anak.
"Diana.!!" Pekik Shaka kaget, matanya melotot tajam dan reflek mengambil jas untuk menutup bagian dadanya yang terekspos. Walaupun punya badan sempurna, tapi Shaka tidak suka memamerkan otot-ototnya yang kata orang-orang bisa membuat hangat rahim kaum hawa.
"Ngapain kamu masih disini.?!" Sewot Shaka sambil mengancing kemejanya lagi di balik jas.
Diana mengintip dari sela jarinya, dia membuka mata saat melihat dada Shaka sudah di tutup oleh jas warna abu-abu.
Sambil menyingkirkan tangan dari wajahnya, dia menyengir kuda tanpa dosa. Dia santai saja menghadapi ucapan ketus Shaka karna sudah kebal.
"Sebenarnya saya sedang butuh bantuan Pak Shaka. Semoga Pak Shaka bisa bantu." Tutur Diana.
"Langsung intinya saja, kamu tau sendiri saya nggak suka basa-basi." Sahutnya datar.
Diana mengangguk paham, dia kemudian mengatakan ingin meminjam uang sebanyak 200 juta. Shaka jelas kaget. Selama beberapa tahun bekerja dengannya, Diana tidak pernah meminjam uang sampai ratusan juta. Paling banyak 50 juta, itupun baru 2 kali Diana meminjam padanya.
Akhirnya Shaka mengajukan banyak pertanyaan, Diana seperti sedang di interogasi. Di tanya akan dipakai untuk apa uang sebanyak itu. Saat Diana menjawab untuk di pinjamkan pada sahabatnya, Shaka sampai mengerutkan dahi. Tatapannya tampak menelisik, penuh kecurigaan.
"Sahabat yang mana.? Kamu nggak takut di tipu.?" Cecar Shaka. Dia sebenarnya bisa saja langsung mentransfer uang 200 juta pada sekretarisnya, tapi karna sedikit mencurigakan, Shaka harus memastikan dulu kalau sekretarisnya sedang tidak di tipu orang lain.
Diana menggeleng keras. Mana mungkin dia di tipu, sedangkan Diana sendiri yang menawarkan pinjaman pada Jihan. Lagipula Diana sudah mengenal Jihan luar dalam. Mamanya Jihan memang sedang sakit keras.
"Dia sahabat saya sejak kuliah Pak, orangtuanya sakit keras, 2 hari lagi harus di operasi."
"Dia juga jadi tulang punggung keluarga, Papanya sudah meninggal. Sekarang harus biayain kuliah adiknya juga."
"Kebetulan sahabat saya kerja di perusahaan Pak Shaka, namanya Jihan. Staff di divisi umum." Terang Diana. Shaka tampak diam, dia sedang berusaha mengenali nama Jihan yang bekerja di perusahaannya itu. Namanya tidak asing, tapi Shaka tidak tau persis seperti apa orangnya.
Tiba-tiba muncul ide gila di kepala Shaka. Entah dari mana datangnya ide gila itu, padahal Shaka sudah jadi jomblo tahunan dan jarang bergaul dengan orang-orang yang memberikan pengaruh buruk.
"Kalau dia kerja di perusahaan saya, kenapa harus kamu yang pinjam.? Bawa orangnya ke ruangan saya, biar dia pinjam langsung sama saya.!" Titah Shaka tegas.
...******...
Jihan mendadak keringat dingin saat diberi tau oleh Diana untuk menemui CEO perusahaan. Tadinya Jihan menolak, dia lebih baik mencari pinjaman di tempat lain dari pada harus meminjam langsung pada CEO di perusahaannya. Status sosial yang berbanding terbalik membuat Jihan takut jika harus berurusan dengan Shaka.
"Aku cari pinjeman di tempat lain saja deh Mba. Takut kalau harus berurusan sama Pak Shaka." Tutur Jihan. Mungkin sudah kelima kalinya Jihan ingin mengurungkan niat menemui Shaka. Tapi selalu dipaksa oleh Diana.
"Lebih takut mana kalau Mama kamu nggak bisa di operasi karna susah dapat pinjaman.?" Diana menaikan sedikit nada bicaranya, lama-lama dia gemas sendiri pada Jihan. Sudah di bilang kalau Shaka tidak semenakutkan apa yang orang-orang katakan, tapi Jihan tidak percaya. Gara-gara bosnya jarang senyum, irit bicara, selalu pasang wajah datar. Semua karyawan yang tidak pernah berinteraksi dengan Shaka, berfikir kalau Shaka menakutkan.
Jihan terdiam mendengar ucapan Diana. Benar yang Diana bilang, saat ini yang paling penting adalah uang untuk biaya operasi Mamanya. Jihan akhirnya mantap ke ruangan Shaka, di antara Diana.
Berhenti di depan pintu ruangan Shaka, Jihan memegangi dadanya. Jantungnya berdetak kencang, tiba-tiba gugup, takut dan overthinking.
Sampai akhirnya Diana membuka pintu setelah mengetuknya lebih dulu.
"Ayo masuk." Diana menarik tangan Jihan dan membawanya masuk ke ruangan Shaka. Ini pertama kalinya Jihan menginjakan kaki di ruangan CEO tempatnya bekerja. Kesan pertama Jihan saat memasuki ruangan luas itu adalah mewah dan wangi pastinya. Aroma parfum maskulin menguar di indera penciuman Jihan.
Di balik meja kebesarannya, Shaka menoleh ke arah pintu yang baru saja di tutup oleh Diana. Manik matanya mengamati sosok wanita muda di samping sekretarisnya. Shaka memperhatikan penampilan Jihan dari ujung kepala sampai kaki.
Penampilannya rapi dengan kemeja biru muda dan celana jeans, dipadukan hills warna hitam. Rambut panjangnya di kuncir kuda. Di banding staff dan karyawan lain, cara berpakaian Jihan tergolong sopan. Tidak memamerkan paha, apalagi belahan da-da. Kemejanya di kancing sampai atas, hanya menyisakan satu kancing saja.
Yang paling penting adalah wajahnya. Ya, wajah Jihan lebih banyak menarik perhatian Shaka. Memang tidak secantik dan se glowing model ataupun artis-artis, tapi cukup lumayan.
"Pak Shaka, ini Jihan." Kata Diana yang sudah berdiri di depan meja kerja Shaka. Di belakang Diana, Jihan melempar senyum ramah pada Shaka sembari membungkuk sopan.
"Selama siang Pak Shaka." Sapa Jihan ramah.
Bukannya membalas sapaan Jihan, Shaka malah mengalihkan tatapannya pada Diana.
"Kamu boleh keluar Diana." Usir Shaka secara halus.
Diana mengangguk paham.
"Sahabat saya jangan di apa-apain ya Pak, dia masih polos." Candanya pada Shaka.
Jihan melotot seraya menyikut Diana dengan ekspresi panik. Diana hanya mengulum senyum jahil. Sementara itu, Shaka tidak memberikan reaksi apapun, sejak awal wajahnya belum berubah, masih datar.
"Semoga dapet pinjeman ya." Ucap Diana berbisik.
"Makasih banyak Mba." Balas Jihan, dia kemudian menatap kepergian Diana yang sudah keluar dari ruangan itu, meninggalkan dia dan Shaka.
"Duduk, ngapain masih berdiri disitu." Celetuk Shaka dengan nada datarnya.
"Eh,, i-iya, makasih Pak." Jihan buru-buru duduk di depan meja kerja Shaka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!