Kediaman Keluarga Setiawan.
Di ruang keluarga rumah mewah berlantai dua itu, kini tengah berkumpul tiga orang anggota keluarga Setiawan. Ada Roy Setiawan sang kepala keluarga, di temani oleh Dona sang istri, dan putra sulungnya Randy.
Mereka tengah membahas masalah keuangan yang kini tengah menimpa perusahaan.
“Pa. Papa harus segera berbicara dengan Renatta. Jika tidak, perusahaan kita bisa gulung tikar.” Randy bersuara. Pria berusia tiga puluh tahun itu sudah merasa frustrasi karena perusahaan yang bergerak di bidang olahan pangan itu terancam bangkrut karena kekurangan biaya.
“Adikmu masih kuliah, Ran. Papa tidak mau mengorbankan masa depannya.” Papa Roy mendesahkan nafas pelan.
Keluarga Setiawan seharusnya mempunyai dua orang putri. Renatta terlahir kembar. Namun, insiden kecelakaan terjadi saat mereka berusia lima tahun, sehingga menewaskan salah satunya.
“Lalu kita harus bagaimana, pa? Apa harus menunggu waktu saja? Aku rasa, Rena juga tidak mau jika kita bangkrut.”
“APA BANGKRUT?!”
Suara nyaring memecahkan telinga terdengar. Ketiga orang yang berada di ruang keluarga itu pun menoleh.
“Rena.”
Ucap mereka serempak. Gadis itu perlahan mendekat dengan kepala menggeleng pelan.
“Papa, mama, kakak. Katakan jika yang aku dengar tadi itu tidak benar. Kita tidak mungkin bangkrut, ‘kan?”
Renata menjatuhkan bokongannya di sela sang kakak dan juga mamanya. Sementara sang kepala keluarga duduk di atas sofa tunggal.
“Ma. Katakan jika yang kakak ucapkan tadi itu bohong.” Ia mengguncang lengan sang mama. Namun mama Dona tak sanggup menjawab.
“Kak. Kakak bercanda, ‘kan? Kita mana mungkin bangkrut. Bukannya perusahaan kita sedang maju? Kenapa bisa bangkrut?”
Apa yang Renatta tahu? Ia tidak pernah bekerja sekalipun. Yang ia tahu hanya menerima dan menghabiskan uang.
“Untuk apa aku bercanda masalah sebesar ini, Re?”
Renatta menggeleng dengan kencang. Bayangan keluarganya bangkrut, dan tak punya apa-apa terlintas di otaknya.
Ia hidup dalam kesusahan, setiap hari makan mie instan dan tidak bisa lagi pergi ke pusat perbelanjaan.
“TIDAK!!”
Gadis berusia dua puluh dua tahun itu menjerit kencang.
“Aku tidak mau. Aku tidak mau kita bangkrut. Kakak harus melakukan sesuatu.”
Randy berdecak kesal. Tanpa diminta oleh adiknya, pria itu sudah melakukan banyak hal untuk menyelamatkan perusahaan keluarganya.
“Kenapa kamu hanya menuntut kakak? Kenapa kamu tidak bertanya pada papa, apa yang bisa kamu lakukan agar perusahaan kita tidak gulung tikar.”
“A-aku?” Renatta menunjuk dirinya sendiri.
“Kak, aku bahkan belum selesai kuliah. Apa yang bisa aku lakukan? Aku bahkan tidak mengerti masalah perusahaan.”
“Ya. Karena yang kamu tahu hanya menghabiskan uang. Mana tahu susahnya mencari?”
“Kak—
“Randy, Rena. Cukup.” Mama Dona menengahi.
“Apa perdebatan kalian akan menyelesaikan masalah?”
Randy dan Renatta menggeleng dengan kompak.
“Dan Rena, benar apa yang kakak kamu katakan. Sekarang saatnya kamu membantu agar perusahaan kita tidak bangkrut.” Wanita paruh baya itu menambahkan.
“Apa yang harus aku lakukan, ma? Mama sendiri tahu jika aku tidak bisa melakukan apapun.” Kepala gadis itu tertunduk lesu. Ia meremat jemari di atas pangkuannya.
“Tentu ada yang bisa kamu lakukan.”
“Ma.” Papa Roy yang sejak tadi diam, kini bersuara.
“Kenapa pa? Bukannya Rena sudah saatnya tahu? Dia sudah dewasa. Hanya saja sedikit manja karena perlakuan yang kita berikan.”
“Mama, papa. Katakan apa yang bisa aku lakukan. Aku akan melakukannya sebisa ku.”
Gadis itu pasrah. Ia juga tidak mau jika keluarganya bangkrut. Renatta belum siap hidup susah.
Papa Roy menghela nafas pelan.
“Ada seorang kolega papa yang bisa membantu. Dan dia mengajukan sebuah syarat.” Jelas pria berusia enam puluh tahun itu.
Renatta mulai merangkai ucapan sang papa, dengan apa yang di katakan oleh kakak dan mamanya.
“Apa syaratnya orang itu meminta aku untuk menikah dengannya?”
“Re.” Papa Roy memejamkan matanya. Anak gadisnya memang manja, tetapi Renatta cukup pintar dan berprestasi.
“Katakan saja, pa? Iya, kan? Bukannya tadi kakak dan mama mengatakan jika aku harus membantu. Bantuan apalagi yang bisa aku berikan selain menikah dengan orang yang bisa menyelamatkan keluarga kita. Iya, ‘kan?”
Renatta berjalan mendekat ke arah sang papa. Gadis itu kemudian bersimpuh di hadapan pria paruh baya itu.
“Pa, jika syaratnya seperti itu. Katakan saja. Pertemukan aku dengan orangnya. Siapa tahu aku bisa bernegosiasi dengannya.”
Papa Roy kembali menghela nafas pelan. Ia meraih tangan sang putri yang berada di atas lututnya.
“Maafkan papa. Papa tidak bermaksud mengorbankan mu. Tetapi, hanya dia satu-satunya orang yang mau membantu kita.”
Renatta ikut menggenggam tangan sang papa.
“Tidak apa-apa, pa. Benar apa kata kakak. Sudah saatnya aku membantu keluarga.”
****
Renatta duduk termenung di balkon kamarnya. Pembicaraan keluarga telah usai dan mencapai kesepakatan. Dalam waktu dekat, ia akan bertemu dengan pria yang bisa membantu perusahaan keluarganya.
“Tetapi pria itu sudah berusia empat puluh tahun. Jangan kaget nanti saat kamu bertemu dengannya.”
Ucapan sang kakak kembali terngiang. Pria yang mau membantu keluarganya adalah seseorang yang sudah berusia empat puluh tahun.
“Pria berusia empat puluh tahun. Pasti sudah buncit dan rambutnya mulai mundur.” Renatta menghembuskan nafas kasar.
“Aku sudah mengatakan akan setuju untuk membantu papa.” Gadis itu berbicara sendiri.
“Ah. Sudahlah Re. Jalani saja dulu. Bertemu dengan pria itu. Setuju untuk menikah, dia memberikan bantuan, setelah itu kita gugat cerai.”
Renatta menyunggingkan sudut bibirnya. Ia baru saja mendapatkan sebuah ide konyol.
Gadis itu pun bangkit dari duduknya hendak kembali masuk ke dalam kamar karena waktu sudah menunjukkan pukul sebatas malam.
“Om Rich.” Gumam gadis itu ketika melihat ke arah rumah mewah yang berada tepat di depan rumahnya.
“Dia jam segini baru pulang? Dasar bujang lapuk.”
Renatta terus saja memandangi mobil mewah yang sedang memasuki halaman rumah itu. Ia hafal betul siapa pemilik mobil itu.
Johanes Richard Wijaya. Pria berusia empat puluh tahun yang menjadi dosen tamu di kampus tempat Renatta kuliah.
Pria yang menjadi tetangganya sejak belasan tahun silam. Serta cinta pertama yang pernah mematahkan hati gadis itu, hingga membuat Renatta enggan untuk jatuh cinta lagi.
“Kamu masih bau minyak telon. Mengerti apa soal cinta. Sekolah dulu yang benar.”
Renatta masih mengingat ucapan Richard saat ia mengatakan menyukai pria itu sepuluh tahun yang lalu.
“Dasar pria tua. Bujang lapuk menyebalkan.”
***
Bersambung..
Jangan lupa Like, Komen, Gift juga boleh.
“Sedang memikirkan apa, non?” Tanya Gista, sahabat Renatta sejak masuk perguruan tinggi.
“Ta.”
Renatta tak melanjutkan ucapannya. Ia binggung entah harus bercerita dengan sahabatnya itu, atau tidak.
“Ada apa? Sepertinya kamu sedang dalam dilema. Apa kamu kelewatan promo flash sale di aplikasi belanja online?” Canda gadis itu.
Renatta mencebik. Ia pun menjatuhkan kepalanya di atas meja. Mereka kini tengah berada di dalam kelas. Dan tanpa disadari, sang dosen sudah berdiri di depan.
“Aku sedang galau, Ta. Aku—
“RENATTA PUTRI SETIAWAN.”
Suara bariton menginterupsi. Kedua gadis itu saling pandang satu sama lain. Habislah kita. Begitulah tatapan mereka berbicara.
Renatta memejamkan matanya dengan rapat. Ia hafal betul siapa pemilik suara pria dewasa itu. Siapa lagi jika bukan Johanes Richard Wijaya.
“Jika kalian ingin bergosip, Silahkan keluar dari kelas ini. Kelas saya, bukan tempat untuk mengobrol.”
Mata Renatta memejam dengan rapat, kepalanya pun menggeleng kencang. Lagi-lagi ia harus berurusan dengan pria menyebalkan itu.
“Setelah pelajaran ini berakhir, kamu datang ke ruangan saya, Renatta Putri Setiawan.” Richard kembali berucap. Pria itu menekankan pengucapan nama Renatta.
‘Dasar pria tua menyebalkan. Aku doakan tidak ada gadis yang mau sama kamu.’
Tangan Renatta terkepal di bawah meja. Ia selalu saja bermasalah dengan dosen satu ini. Padahal menurut gadis itu, ia tidaklah melakukan kesalahan yang begitu fatal.
Setelah kelas Richard berakhir, Renatta menuruti perintah pria itu. Ia terpaksa mendatangi ruangan sang dosen demi tidak memperpanjang masalah. Karena, jika ia tak menurut maka Richard akan mengadu pada salah satu anggota keluarga Setiawan tentang Renatta di kampus.
“Kenapa kamu suka sekali mencari masalah dengan saya?”
Bukan kata sambutan yang gadis itu dengar saat memasuki ruangan dosennya. Tetapi sebuah kalimat yang terdengar sangat tidak bersahabat.
Hei, apa kata pria berusia empat puluh tahun itu tadi? Renatta sangat senang mencari masalah dengannya? Astaga, ingin sekali gadis itu membenturkan kepala Richard di dinding.
“Saya meminta kamu datang kemari bukan untuk berdiri.”
Pria itu kembali berucap. Sungguh tidak ada manis-manisnya, padahal mereka sudah bertetangga selama belasan tahun.
“Maaf atas kesalahan yang telah saya perbuat, om—maksud saya, pak Rich.” Renatta menundukkan kepala. Ia berpura-pura menyesal. Sungguh gadis itu sudah muak meladeni pria berusia empat puluh tahun itu.
“Hukuman apa yang harus saya berikan kepadamu lagi? Sepertinya, semua hukuman sudah pernah kamu dapatkan.”
Renatta menghela nafas pelan. “Terserah anda saja, pak.”
Gadis itu pasrah. Entah sudah berapa kali ia mendapatkan hukuman dari Richard semenjak pria itu menjadi dosen di kampus ini.
***
Renatta berjalan gontai menuju mobilnya. Richard memberi hukuman yang menurutnya tidak masuk akal. Gadis itu diminta menjadi asisten pria itu, sampai ia lulus kuliah nanti.
“Dasar bujang lapuk menyebalkan.”
Selama ini, entah berapa julukan dan umpatan yang telah ia berikan kepada Richard. Rasa cintanya yang dulu begitu besar pada pria itu, kini perlahan berganti benci yang teramat dalam.
Merasa harinya kurang beruntung, Renatta memutuskan untuk pergi mengunjungi makam saudara kembarnya. Hal yang sering ia lakukan setelah mendapat masalah dari Richard.
Gadis itu mengendarai mobilnya menuju salah satu pemakaman elit di ibukota. Tempat dimana mendiang Rianna di makamkan.
Sebelum memasuki area pemakaman, Renatta membeli seikat bunga lili putih. Bunga yang menjadi kesukaannya. Ia yakin jika Rianna juga akan suka mengingat mereka kembar.
“Hai, Ri. Aku datang.” Kalimat yang selalu Renatta ucapkan setiap kali tiba di depan makam sang kembaran.
Gadis itu meletakkan buket bunga lili di atas gundukan tanah. Ia kemudian bersimpuh, dan menundukkan kepala, sejenak memanjatkan doa.
“Kamu apa kabar disana?” Tanyanya pada bongkahan nisan bertuliskan nama Rianna Putri Setiawan itu.
Renatta tidak bisa mengingat kenangan masa kecil bersama saudara kembarnya. Mereka terpisahkan saat berusia lima tahun. Gadis itu bahkan tidak tahu jika dirinya terlahir kembar.
Papa Roy dan mama Dona baru mengatakan kebenaran saat Renatta berusia sebelas tahun. Gadis itu sempat tak percaya, namun bukti foto dua orang gadis kecil dengan wajah yang sangat mirip meyakinkannya.
“Ri. Kamu tahu, katanya bisnis keluarga mengalami masalah. Perusahaan terancam bangkrut jika tidak mendapat bantuan keuangan.” Renatta bercerita dengan mata yang mulai memanas.
Ia selalu tidak bisa menahan air matanya saat berbicara dengan makam Rianna.
“Dan untuk menolong keuangan perusahaan, papa menjodohkan aku dengan rekan bisnisnya.” Gadis itu menghela nafas pelan.
“Sebenarnya, aku tidak masalah jika harus menikah muda. Jika itu dapat membantu keluarga. Kamu pasti tahu, aku juga tidak mau hidup susah.” Renatta berbicara dengan lancar seolah lawan bicara ada di depannya.
“Tetapi, yang menjadi permasalahan disini adalah, pria itu berusia empat puluh tahun. Bisa kamu bayangkan, dia pasti sudah berperut buncit dan rambutnya mundur ke belakang.”
Gadis itu mendengus kesal. Ia begitu saja mendeskripsikan pria berumur empat puluh tahun seperti yang ada di benaknya. Renatta lupa, jika pria yang dicintai sekaligus yang sekarang ia benci juga sudah berusia kepala empat.
Johanes Richard Wijaya. Meski tahun ini pria itu berusia empat puluh tahun, namun ia masih terlihat tampan, berperut rata dan rambutnya masih lebat dan tertata rapi.
“Ri, maafkan aku. Aku terpaksa menyetujui perjodohan ini demi membantu keluarga dan tak menjadi beban papa dan kakak. Bantu aku ya. Setelah beberapa bulan menikah, aku akan menceraikan pria itu.”
Renatta bertekad. Asalkan pria itu sudah membantu keuangan keluarganya, ia akan menggugat cerai pria itu.
“Aku pulang dulu, Ri. Lain kali aku akan datang lagi.” Renatta membungkuk dan mengecup nisan sang kembaran.
Ia kemudian bangkit, dan meninggalkan pemakaman elit itu.
***
Bersambung.
Renatta sejak tadi terus saja berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Malam ini, akan ada pertemuan antara keluarga Setiawan dengan pria yang akan di jodohkan dengan dirinya.
“Apa aku kabur saja?” Tekad Renatta tiba-tiba goyah. Ia mendadak tidak ingin menikah dengan pria itu.
Sejak tadi pagi di beritahu oleh Randy, dirinya mendadak menjadi tidak bersemangat.
Tiba-tiba tidak ingin bertemu dengan pria berusia empat puluh tahun itu, apalagi sampai menikah dengannya.
“Aku baru dua puluh dua tahun. Apa kata teman-temanku jika tahu aku menikah dengan om-om?”
Gadis itu bermonolog. Pikirannya sedang mencari cara untuk menghindari pertemuan itu.
Suara ketukan terdengar dari pintu kamarnya. Membuat Renatta terjingkat.
Dengan malas gadis itu berjalan menuju pintu untuk membukanya.
“Kamu belum bersiap?” Mata Randy hampir melompat keluar ketika melihat penampilan sang adik yang masih lusuh.
“Bukannya, acaranya malam hari?” Gadis itu balik melempar tanya.
“Dan ini sudah sore. Jam tujuh nanti kita akan berangkat. Jadi, kamu harus segera bersiap.” Pria berusia tiga puluh tahun itu mendorong sang adik untuk masuk ke dalam kamarnya.
“Cepat.” Ucapnya sembari menjatuhkan bokong di atas ranjang.
“Ya. Tapi kakak keluar dulu.” Renatta menarik tangan sang kakak.
“Tidak. Aku akan menunggumu disini.”
Renatta terbelalak. Rencananya untuk kabur, akan gagal jika Randy tetap berada di dalam kamar itu.
“Kak, aku ‘kan mau bersiap. Kakak tunggu di luar.” Alasan gadis itu.
“Jangan banyak alasan. Kamu bersiap di ruang ganti. Masuk kedalam tutup pintu, dan mulai bersiap. Jangan banyak drama, apalagi mencoba untuk kabur.” Pria itu bangkit, kemudian mendorong tubuh sang adik memasuki ruang ganti yang ada di dalam kamar itu.
Renatta menghentakkan kakinya karena kesal. Rencananya untuk kabur telah terbaca oleh sang kakak.
“Dasar kak Randy menyebalkan.”
“Cepat bersiap dan jangan mengumpatku. Atau, uang bulanan dariku, akan aku kurangi.”
Di dalam ruang ganti, Renatta semakin kesal dan mencibir pria itu.
‘Pantas saja tidak ada gadis yang mau dengannya. Dia begitu menyebalkan. Dasar kakak tidak berperikemanusiaan.’
***
Dengan malas Renatta ikut masuk ke dalam mobil Alphard hitam, yang akan membawa mereka untuk bertemu dengan pria misterius yang akan dijodohkan dengan dirinya itu.
Ia benar-benar tidak bisa kabur, Randy berada di dalam kamarnya hingga gadis itu selesai berhias.
Ingin sekali Renatta memukul kepala sang kakak agar pria itu pingsan, sehingga ia bisa melarikan diri. Namun, rasa sayang pada pria itu membuatnya urung melakukan kekerasan.
“Senyum dong, Re.” Goda Randy dari sebelahnya.
Mereka duduk di kursi depan. Dimana Randy berperan sebagai seorang sopir. Sementara, papa dan mama berada di belakangnya.
“Senyum saja sendiri.” Ketus gadis itu.
Randy terkekeh. “Aku yakin, kamu pasti akan berterimakasih pada kita karena telah mempertemukan dengan pria ini.”
Dahi Renatta berkerut halus mendengar ucapan sang kakak.
“Apa maksud kakak?” Tanyanya penasaran.
“Tidak ada. Hanya saja, pria ini lebih kaya dari kita. Aku yakin, dia akan memanjakan dirimu dengan kemewahan.” Tukas pria itu kemudian.
Ia tidak mau Renatta sampai curiga jika pria yang akan mereka temui, adalah orang yang selama ini dekat dengan mereka.
“Ran, sudah. Fokus pada jalanan. Jangan bicara yang tidak-tidak.” Papa Roy menyela dari kursi belakang.
“Aku hanya berusaha menghibur adikku, pa. Papa tahu, dia berniat melarikan diri, karena tidak ingin ikut dengan kita.”
“Apa yang di katakan kakak mu itu benar, Re?” Tanya Mama Dona kaget.
“Tidak ada yang seperti itu, ma. Kakak hanya mengada-ada. Untuk apa aku kabur? Nanti yang sudah aku sendiri.” Renatta menjawab sang mama, namun ia melayangkan pandangan tak suka pada sang kakak karena telah membongkar niatnya melarikan diri.
‘Awas saja kamu, kak. Aku akan membuat perhitungan sama kamu nanti.’
Randy kembali terkekeh mendengar jawaban sang adik.
Tak berapa lama, mobil itu pun sampai di sebuah hotel mewah di tengah kota.
“Kenapa harus bertemu di hotel?” Tanya Renatta tak percaya. Gadis itu pun enggan untuk keluar dari dalam mobil.
“Dia sudah menunggu di atas. Ayo, jangan lama-lama.” Randy membantu sang adik membuka sabuk pengamannya.
Renatta hanya mampu menghela nafas pelan. Ia pun terpaksa untuk keluar.
Randy meminta orang tua dan adiknya untuk menunggu. Sementara dirinya pergi ke meja resepsionis untuk menanyakan dimana kamar kolega mereka.
Tak berapa lama, pria itu kembali datang bersama salah satu petugas hotel yang akan mengantar mereka ke tempat tujuan.
“Apa harus diantar?” Gerutu Renatta pelan.
“Ikuti saja. Jangan sampai mama dan papa tahu, jika kamu sebenarnya tidak mau bertemu dengan pria itu.” Randy berbisik pada sang adik.
Renatta menghentakkan kakinya karena kesal.
Mereka di arah masuk ke dalam lift. Petugas hotel yang seorang pria itu, kemudian menekan tombol menuju lantai dua puluh.
Tak lama kemudian lift berhenti. Mereka keluar, dan hanya ada beberapa pintu kamar di lantai itu.
‘Seberapa kaya pria itu? Hingga bisa menyewa kamar di lantai paling atas hotel ini.’
Batin Renatta bermonolog. Ia tahu, biaya sewa kamar di lantai teratas hotel itu sangat mahal.
Petugas hotel itu menekan bel pada pintu. Benda berbentuk persegi panjang itu kemudian terbuka dari dalam.
Seorang petugas hotel lainnya telah menyambut kedatangan mereka.
“Silahkan masuk, tuan dan nyonya.” Ia mempersilahkan keluarga Setiawan untuk masuk.
Kamar hotel itu bertipe President Suite Room. Yang kembali membuat Renatta tercengang.
Petugas hotel yang tadi membukakkan pintu, menuntun mereka menuju ruang tamu. Dimana terdapat sebuah meja yang telah diisi penuh dengan makanan.
Sementara, seorang pria menggunakan pakaian formal sedang berdiri di balkon dengan membelakangi pintu masuk.
Jantung Renatta berdegup kencang. Ia seperti tidak asing dengan perawakan pria itu.
Papa Roy dan Randy berjalan mendekat ke arah pria itu. Mereka saling menyapa, namun pria itu masih saja berdiri membelakangi, sehingga Renatta tak dapat melihat wajahnya.
“Sayang. Ada apa?” Tanya mama Dona yang melihat langkah sang putri memelan.
“Ma. Kenapa aku tidak asing dengan orang itu?” Tanya Renatta secara langsung.
Ia berusaha menerka, namun hatinya meragu. Tidak mungkin pria itu adalah orang yang ia kenal bahkan pria yang ia kagumi selama ini ‘kan?
“Tentu kamu mengenalnya.” Ucap mama Dona yang membuat Renatta mengerenyitkan dahinya.
Dan langkah gadis itu tiba-tiba terhenti saat sang pria membalik badan ke arah gadis itu.
“O-om Rich?!”
***
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!