Seorang pria dengan rambut basah akibat keringat susah payah menceburkan diri ke sungai untuk menyelamatkan gadis yang tiba-tiba lompat dari jembatan. Entah skenario apa yang Tuhan takdirkan, ia baru sampai di Jakarta dan sudah melihat orang mencoba bunuh diri saat mobilnya kehabisan bahan bakar di jalan lenggang dekat TPU.
Air sungai cukup dalam, ia bahkan kesulitan untuk menggapai tangan gadis itu untuk diangkat ke atas. Sebelum mereka tewas tenggelam karena kehabisan napas, ia berusaha menyelam lebih dalam agar meraih lengannya.
Setelah berhasil mengangkat tubuhnya ke tepi sungai, ia melakukan resustasi jantung dengan CPR. Tanpa izin, ia juga melepas sabuk dan membuka kancing jas agar gadis ini mudah bernapas.
"Tolong!"
"Tolong!"
Beruntung ada warga yang sedang memancing walaupun cukup jauh, mereka menghampiri mereka dan menghubungi ambulans agar bisa diselamatkan. Semoga saja.
***
Nama pria itu adalah Skala. Ia duduk di depan UGD, giginya bergemelatuk karena kedinginan belum sempat ganti baju. Ketika perawat keluar, Skala langsung bertanya mendekatinya. “Gimana, Dok, keadaannya?”
“Kami menemukan ini.” Perawat itu menyodorkan satu dompet kecil pada Skala. “mohon maaf, Pak. Namun, pasien atas nama Aurelina akan kami pindahkan ke ruang ICU karena sangat kritis dan ada kemungkinan mengalami koma."
“Ko— koma?!”
“Betul. Tampaknya, akibat pukulan benda tumpul di kepalanya mengakibatkan cedera di bagian otak.”
Kenapa pukulan? Gadis tadi jatuh tenggelam di dalam air, bukan dipukul. Skala kini bingung.
“Saya liat dia jatuh ke sungai. Saya rasa dia mencoba bunuh diri," jawab Skala.
Dokter itu terkejut, “Semuda itu bunuh diri? Tapi, kami juga menemukan beberapa lebam yang infeksi di tubuhnya. Kalau walinya sudah datang, mohon disampaikan, Pak. Kami akan berusaha menyelamatkan pasien.”
“Terima kasih.”
***
Skala melihat lewat kaca yang tembus ke dalam ICU kalau perempuan yang tadi ia tolong sedang koma.
Lebam infeksi...
Pukulan benda tumpul...
Lalu menceburkan diri ke sungai...
Apa ini? Batin Skala. Ia sudah melihat isi dompet yang berisi kartu pelajar dan beberapa foto. Namanya Aurelani, kelas 2 sekolah menengah atas.
Gadis malang itu harus terbaring dengan waktu lama, kalau mampu bertahan.
6 bulan kemudian...
Pertama kali Aurel terbangun dari koma. Pertama kalinya ia merasa dikelilingi oleh orang dengan harapan besar, lalu tidak lama kemudian sayup-sayup ia mendengar suara berat milik seorang pria yang memanggil dokter dengan tergesa-gesa.
“Aurel? Sudah bangun?” tanya seorang wanita setengah paruh baya yang ada disebelah kanan brankar anaknya.
Mereka tampak mewanti-wanti jawaban yang keluar dari bibir indah Aurel yang kini pucat.
Aurel menatap 4 orang yang masing-masing ada 2 di sisi kanan dan kirinya.
“Kalian siapa… ?” tentu ia bertanya karena tidak tahu. Walaupun suaranya serak, ia yakin mereka mendengar pertanyaannya.
Wanita setengah paruh baya yang tadi bertanya pada Aurel pun memeluk pria disampingnya sambil menangis.
“Kamu gak inget kita? Termasuk Ibu kamu?” tanya Skala terdengar cemas.
***
Dokter sudah menjelaskan beberapa rincian mengenai kondisi Aurel saat ini. Setelah dilakukan tes CT-scan otak, Aurel didiagnosia mengalami jenis amnesia retrograde yaitu hilang ingatan pada masa lalu akibat cedera pada otak. Hal itu diyakini oleh Dokter setelah menanyakan beberapa hal pribadi seperti nama, usia, tempat tinggal, sekolah, dan nama orang tua. Namun, Aurel menjawab tidak tahu semua.
“Maaf, Bu. Saya gak tepat waktu nyelametin Aurel. Maaf.”
Sedari tadi Alya selaku orangtua satu-satunya yang masih ada disamping Aurel sampai detik ini, bosan karena pria bernama Skala, pria yang menyelamatkan anaknya terus meminta maaf walaupun sudah ditegur pelan.
“Ndak papa, Skala. Iki jenenge takdir, kamu sudah nolong Aurel pun Ibu kesuwun,” ujar Alya dengan lembut. Mereka duduk menunggu di kursi depan ICU lagi.
“Skala, Ibu ndak bisa bayangin kalau kamu gak nolong Aurel. Walaupun Aurel koma hampir setengah tahun, kesuwun kamu masih mau jenguk Aurel.”
Jujur saja Skala tidak bodoh-bodoh amat tentang bahasa jawa. Jadi ia bisa paham walaupun Alya pakai bahasa campur aduk.
Alya menggenggam tangan Skala, “Ibu boleh minta tolong, Ndung?”
Skala bertanya, “Apa, Bu?”
“Jaga Aurel, ya?”
Skala tidak mengerti, dia bahkan disini saat bertemu Aurel, bagaimana dengan tempat tinggal dan kantornya yang ada di luar Kota Jakarta.
“Jaga… Aurel???” Skala mengulang pertanyaan Alya sambil menggaruk tengkuknya gugup.
“Aurel sudah banyak menderita. Mungkin hari itu Aurel sudah ada di titik paling lemah, Ibu rasanya ndak percaya kalau dia mau bunuh diri.” Alya tak segan curhat dengan Skala. Dengan bicara, Alya bisa mengurangi rasa sesak tiap kali memijakkan kaki di rumah sakit hanya untuk menengok anaknya yang saat itu koma.
Skala paham, “Maaf, Bu, yang tadi ada didalam itu siapanya Aurel?”
“Mereka teman-temannya Aurel. Namanya Nabila sama Bintang.”
Skala mengangguk-angguk saja. Selama 6 bulan ini, ia juga bertanya-tanya pada dirinya sendiri kenapa masih tetap di Jakarta hanya untuk mendengar kondisi Aurel -remaja yang berusaha bunuh diri menceburkan tubuhnya ke sungai sedalam 5 meter atau mungkin lebih.
“Kamu ndak pulang, Nak?”
“Saya pulang kemana, Bu?” kekehnya tanpa disuruh. “saya kan ke Jakarta cuma mampir main ke cabang kantor.”
“Kamu sudah kerja?!” Tentu Alya terkejut. Ia kira selama ini, Skala itu mahasiswa karena tampangnya masih muda dan kece.
“Sudah, di Bina Atlas.”
“Lho?! Itu kan tempat pendidikan juga ya, Nak?” Alya semakin tidak menyangka.
“Iya, Bu. Kami menampung lulusan pelajar yang minat jadi Staff di PT Skala Atlas sekaligus menyalurkan beasiswa ke pendidikan."
“Terus kamu sudah menikah?” tanya Alya dengan raut polos.
Seketika Skala tersedak air liurnya sendiri. “Belum. Saya belum kepikiran, Bu.”
Alya tersenyum. Selagi masih muda kenapa tidak menikah saja. Tidak mungkin menunggu tua dan keriput baru nikah.
Perawat yang keluar dari ICU menghampiri mereka dengan senyum merekah, “Bu, karena kondisi Aurel sudah stabil, besok pagi akan kami pindahkan ke rawat inap.”
“Alhamdulillah.” Alya mengusap wajahnya bersyukur.
“Ini pasti karena doa, Bu Alya,” ucap sang perawat tadi. “masih muda sudah melewati masa-masa sulit di sekolah. Saya sarankan pindah sekolah saja, Bu. Demi kebaikan Aurel.” Pihak rumah sakit sempat pasrah untuk mencabut alat bantu nafas Aurel semasa koma karena tidak ada perkembangan. Namun Skala dan Alya mencegah mereka untuk tetap membuat Aurel bernafas, ia yakin anaknya akan bangun, seperti saat ini, doa-doanya dijabah.
Skala memandang Alya yang tampak ragu. Sebenarnya ia setuju dengan apa yang perawat itu katakan daripada hal serupa terulang.
“Nanti saya yang urus perpindahan sekolah Aurel,” ujar Skala diakhiri tawa kecil.
Perawat itu mengangguk, “Baik. Saya permisi, Bu Alya, Mas Skala.”
Alya menatap Skala, “Kamu benar mau Aurel pindah sekolah?”
Skala mengangguk, “Memangnya kenapa? Bukannya bagus?”
“Kamu ini sudah banyak bantu Ibu…”
“Selagi masih hidup, menolong orang bisa jadi berkah, Bu.”
Alya menepuk lengan Skala, “Ibu mau beli makanan dulu buat kamu. Kamu temenin Aurel ya.”
Skala paham itu permintaan orang tua pasien. Maka sudah seharusnya dia turuti. “Siap, Bu.” Skala membuka pintu dengan pelan dan melihat Aurel sedang bermain rubrik sambil tiduran. “Permisi.”
Aurel menghentikan aktivitas bermainnya dan menatap Skala sebentar.
“Kamu udah sehat?”
“Kamu siapa?” tanya Aurel.
“Skala,” singkatnya.
“Aurel."
“Udah tau.”
“Kok udah tau?”
“Jangan banyak tanya … kamu masih belum sehat.”
Akhirnya Aurel pun tidak bertanya lagi, dan Skala menyimpulkan kalau Aurel penurut. Apa itu sebabnya dia diam saja saat diperlakukan tidak baik oleh teman-temannya? Ada banyak pertanyaan yang ingin Skala tanyakan jika Aurel dibolehkan berpikir tentang kehidupan setengah tahun lalu. Sayang sekali kondisinya masih memprihatinkan.
“Kamu gak inget aku siapa? Sekilas mungkin?”
Aurel menggeleng. "Memang kenapa?” tanyanya. Rasanya ia baru lihat sekarang. Maklumi saja untuk saat ini. Ingatan Aurel sangat pasif dan entah sampai kapan akan begini. “Ibu mana?”
“Lagi beli makan.”
Aurel memegang rambutnya lalu tampak bingung. “Kayaknya dulu rambut aku pendek," desisnya.
“Jangan heran. Kamu koma hampir setengah tahun, gimana gak panjang rambutnya.” Skala dengan santainya bersandar di sofa empuk.
“Setengah tahun?” sahutnya pelan. Aurel berpikir sejenak. “aku masih sekolah? Atau udah kerja?"
“Ya … begitulah. Karena kamu koma, jadi kamu harus daftar ulang kelas 2 trus ujian susulan supaya bisa ke kelas 3.”
“SMP?”
“SMA lah,” ketusnya.
“Ohh, begitu.” Ia paham sekarang. “Skala,” panggilnya.
“Kenapa?”
“Kamu itu siapanya Ibu? Atau jangan-jangan kamu kakak aku?”
“Bukan.”
“Terus?”
“Buat sekarang rahasia.”
Aurel merengut kesal. “Oke deh. Tapi aku koma karena apa? Kecelakaan?"
“Nabrak tembok, mungkin."
“Aku serius.”
“Masih rahasia juga, kenapa sih? Tidur itu lebih penting buat kamu sekarang.” Setelah dipikir lagi, Skala sadar. “tapi kamu koma 6 bulan. Seenggaknya istirahat aja, jangan banyak tanya.”
Alya datang membawa makanan padang untuknya dan Skala. “Maaf ya, Aurel, kata dokter kamu harus makan makanan disini,” ujar Alya.
“Iya.”
Menunggu mereka makan, Aurel mengambil buku yang ada diatas nakas untuk dibaca.
“Nak, Skala, bagaimana atas usulan Ibu tadi?”
Skala yang baru saja hendak memasukkan makanan ke mulutnya langsung menurunkan tangan kembali, “Pindah ke tempat tinggal saya aja, Bu,” jawab Skala sekenanya.
Alya tahu kalau anak dihadapannya juga tidak tega bahkan bingung. Tapi yang saat ini Aurel kenal hanya dia dan Skala.
“Coba nanti saya hubungi Dirut Cabang, siapa tau saya boleh disana.”
“Matursuwun, Nak, Skala.”
“Sami-sami, Bu.” Itupun ia tahu karena pernah bertemu client asal Jawa.
“Bu, aku kapan pulang?” Aurel sudah tidak betah di rumah sakit.
Ya gimana gak betah, 6 bulan dia disini, Pikir Skala tersenyum singkat. Di otaknya, Aurel hanya gadis lugu yang harus diberi araham setiap hari supaya pikiran gadis itu berkembang, tidak stuck disitu saja.
“Sabar ya, Aurel. Kamu masih harus dirawat … mungkin senin depan kamu pulang. Nanti Ibu tanya dokter.”
Aurel tersenyum dan mengangguk cepat. “Lebih cepat, lebih baik, Bu.”
Skala harap ucapan itu keluar dari mulutnya. Dialah yang menunggu cukup lama Aurel bangun.
Sejak dipindah ke rawat inap, Aurel makin tidak sabar untuk pulang. Alya sudah bilang, ia dibolehkan pulang besok.
“Skala mana, Bu?”
“Hus! Dia itu lebih tua dari kamu," tegurnya. Alya tersenyum mengingat di hari pertama ia juga memanggil Skala dengan “Pak” namun maunya dipanggil nama saja.
“Om Skala mana, Bu?” ulangnya.
“Kamu ini … ya jangan Om juga.”
“Gapapa, biar beda dong.”
Cklek
Baru dibicarakan sudah datang.
“Om Skala!” serunya dengan gembira.
Skala tercenung dan berhenti memegang gagang pintu. “Om??” beonya takut salah dengar.
Alya tergelak. “Maafin Aurel ya, Skala. Dia emang suka iseng.”
“Ohh." Begitu rupanya. “gak usah manggil Om. Panggil aja Skala.”
“Tuhkan, Bu, gapapa.”
Skala menutup pintu dan menghampiri mereka. “Gimana, Aurel? Udah sehat total?”
“Udah dong.”
Ah iya. Skala kemari hanya mampir untuk sesuatu karena ada hal yang harus ia siapkan sebelum tinggal di Jakarta, atas permintaan Alya.
“Ini ponsel kamu. Udah diservis.”
Aurel menerima ponselnya, mungkin. “Emangnya kapan rusak?”
“Ceritanya nanti aja. Bu, saya harus ke kantor lagi sekalian ngurus sertifikat rumah.”
“Sudah beli rumah ya ternyata,” goda Alya.
“Iya. Saya pamit, Bu.” Skala melihat raut wajah Aurel yang aneh. Tidak. Saat tertidur pun aneh. “kamu kenapa ngeliatin saya?”
“Gapapa, cuma ... Kayak pernah liat.” Tapi dengan segera Aurel mengabaikan kalimatnya karena harus mengecek ponselnya.
Skala tersenyum, setidaknya ada harapan.
Sepeninggal Skala, Aurel bertanya pada Ibunya, “Skala itu kenal keluarga kita udah lama ya, Bu?”
“Hampir setahun.” Itupun saat Alya mendengar kabar dari rumah sakit. Tidak bohong juga kan.
“Baru kenal?”
“Iya, tapi rasanya sudah lama kenal, Nduk.”
Alya mendekati Aurel lalu mengusap rambut anaknya. “Ibu bahagia sekarang. Ibu janji akan jaga kamu.”
Aurel tersenyum tipis. Entah kenapa hatinya terasa lega mendengar ucapan itu. Seperti beban-beban yang ingin muncul di benaknya menjadi pergi.
“AURELLLLL!” teriak seorang gadis sepantaran Aurel yang masuk tiba-tiba. Melihat Aurel diam saja membuat dia sadar. “kita kenalan lagi deh. Nama gue Nabila.”
“Nabila,” ejanya. “Iya, nanti aku inget-inget nama kamu.”
“Lo kapan sekolah lagi? Gue kangen berangkat bareng.”
Aurel melirik Ibunya. “Gak tau .. Secepatnya deh.”
“Yeay!”
Dan lain-lain … mereka mengobrol hampir 3 jam penuh.
“Rel, gue harap lo gak ngelakuin hal itu lagi. Gue mau mati rasanya.” Nabila tiba-tiba membahas hal itu.
“Aku kenapa?”
“Gapapa, nanti gue ceritain kalau lo udah sekolah.”
Entahlah. Aurel tidak tahu apa yang ia perbuat sampai Nabila berkata demikian. Menurutnya, yang ia perbuat sangat fatal. Apalagi sampai koma selama ini.
***
“Ndung, sebenarnya Ibu ragu mau pulang ke rumah.” Alya sudah menceritakan bagaimana keadaan rumahnya yang mungkin akan membuat kondisi Aurel tambah buruk, menurut Skala.
“Atau mau ke rumah saya dulu, Bu?”
“Eh jangan, ndak enak.”
“Gapapa. Daripada Aurel kenapa-kenapa.”
“Aku kenapa?” Kepala Aurel tiba-tiba muncul dari jendela mobil tepat Skala duduk di kursi kemudi.
Skala terkejut lalu mengusap dadanya. “Ya ampun … bikin kaget aja.”
Aurel duduk di belakang karena Alya duduk di sebelah Skala. Setelah mobil berhenti di depan latar rumahnya, Aurel nampak biasa saja karena belum ingat. Skala dan Aurel berjalan di belakang Alya.
Skala sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Alya yang nampak gelisah, sesekali mengelap peluh padahal cuaca tidak terik, toh AC mobilnya berfungsi juga.
Tok Tok Tok
Beberapa detik setelah Alya mengetuk pintu dan tidak ada jawaban, Aurel bertanya, “Di dalam ada siapa sih, Bu?”
“Nanti kamu juga tau,” jawab Alya.
Menyerah tidak ada yang membukakan pintu, Alya akhirnya mengomando mereka agar masuk saja. Tidak ada gunanya orang-orang di dalam tapi mendadak tuli.
Skala menutup hidungnya karena bau alkohol menyeruak begitu masuk ke rumah Alya, begitupun Aurel.
Baru berapa langkah, mereka dikejutkan dengan kedatangan laki-laki setengah mabuk dan berjalan sempoyongan sampai jatuh menubruk meja dekat dinding.
“Bapak! Sadar toh, Pak. Ini anak kita sudah pulang, dia sudah bangun.”
Aurel terkesiap. “Bapak?” Tidak mungkin orangtuanya mabuk seperti sekarang.
Damar adalah ayah Aurel yang saat ini tengah mabuk. Dia terlihat berdiri dengan susah payah lalu melihat Aurel walaupun samar. Damar bicara dengan patah-patah, “Eh lo- anak paling brengsek. Bikin gue bangkrut, puas lo hah?”
Alya segera memukul lengan suaminya, “Jaga bicara kamu! Aurel itu anak baik-baik!”
Skala belum pernah mendengar orangtua berkata kasar pada anaknya sendiri selama ini. Benar-benar kacau. Pasti Aurel kebingungan sekarang.
“Pak, itu semua kata-kata kasar, kan?” Aurel tidak tahu apa kesalahannya sampai dibilang anak bere*gsek oleh bapaknya sendiri.
“Lepasin gue!” Damar berusaha mendekati Aurel. “dengerin gue. Lo mati aja mendingan, gausah bikin susah.”
Saat tangan Damar hendak mendorong Aurel, dengan sigap Skala berdiri menghalanginya. “Jangan bicara kasar ke Aurel, dia anak Bapak.”
Aurel kira setelah koma akan banyak orang yang menyayanginya seperti Ibu, Skala, dan Nabila. Ternyata Damar tidak.
Plak
“Anak gak tau diri!” Damar menampar Aurel sampai anaknya terjatuh ke lantai.
Sekelebat bayangan itu lewat saja dalam pikiran Aurel saat memperhatikan wajah Damar lekat.
Alya menyeret Damar masuk, “Masuk sana! Jangan bikin Aurel tertekan!”
Skala memijit pelipisnya yang berdenyut, lalu balik badan. “Kamu gapapa?”
Aurel bengong di tempat karena berpikir.
“Aurel!” panggil Skala agak keras.
“Iya?”
“Kamu kenapa? Pusing?”
“Sedikit,” ujarnya jujur. Memang agak pusing, entahlah. Sulit dijelaskan.
Inilah sebabnya sejak tadi Alya gelisah, sekarang Skala tahu penyebabnya. Damar sangat tidak suka kehadiran Aurel, bahkan tadi Damar mengaharapkan Aurel tiada saja. Ya ampun, masih ada orangtua seperti itu.
“Mau jalan-jalan?”
“Nggak, aku mau ke depan."
Skala mengangguk dan berjalan lebih dulu ke teras rumah.
“Bapak kok gak suka aku pulang ya?” tanyanya bingung.
“Lagi gak sadar, maklumin aja.” Toh niat Skala menjawab demikian supaya tidak menambah beban pikiran Aurel.
“Iya sih…”
Prangg
“Ibu!” pekik Aurel saat mendengar suara kaca pecah.
Skala mengejar Aurel yang pasti ingin tahu apa yang terjadi.
Aurel menghampiri Ibunya dan memeluknya sambil teriak. “Jangan sakitin Ibu, Pak!” Alya terkejut, tidak biasanya Aurel berteriak didepan Damar.
Skala mendorong Damar ke arah asal sampai terjatuh lalu menarik Aurel dan Alya menjauh dari sana.
“Ibu gapapa?” tanya Aurel khawatir. Hampir saja.
Alya menggeleng. "Ibu gapapa "
“Bu, saya mau bicara.” Sebelum itu Skala menutup pintu supaya Damar tidak bisa keluar. “begini, lebih baik kalian sementara tinggal di rumah saya aja. Daripada terulang lagi, kasian Aurel.”
Aurel malu-malu menjawab, “Gak usah khawatir … aku bisa jaga diri.”
“Gak ngomong ke kamu,” kata Skala menyunggingkan senyuman. “gimana, Bu? Mau ya?”
“Ibu ndak bisa, karna kan besok sudah mulai kerja. Kalau Aurel saja gimana?”
Skala beralih melirik Aurel yang belum paham.
***
Aurel ditinggal oleh Skala yang sudah ditelan entah sisi rumah bagian mana. Ia berjalan pelan sambil melihat isi rumah mewah bak sultan.
Lalu sepasang matanya terkagum-kagum melihat lukisan jumbo yang dilukis langsung di dinding.
“Skala yang lukis?” Aurel berdecak kagum. Ia memperhatikan setiap detailnya. “tapi masa sih?”
“Biasa aja liatnya.” Skala datang sembari membawa nampan berisi camilan kue dan jus jeruk.
Aurel mengikuti langkahnya menuju ruang tamu. “Kamu ngelukis langsung?”
“Iya.” Setelah itu ia menyuruh Aurel duduk diseberangnya. Melihat gadis itu masih memandang takjub lukisannya, Skala tersenyum.
“Itu apa?” Aurel berlari kecil menghampiri dinding tadi setelah dirasa ada sesuatu yang menempel berbentuk hati berwarna merah. “tombol?” batinnya baru lihat.
“Pencet aja kalo penasaran.”
Dengan santainya Aurel memencet tombol dan seketika dinding tersebut terbuka keatas dibagian tengah seperti pintu.
“Wooah!” Aurel rasa Skala benar anak sultan. Astaga. Ia masuk ke pintu tersebut dan naik layaknya lift. Begitu berhenti, barulah Aurel diam karena sisi belakang terbuka ke ruangan seperti perpustakaan. Sebut saja ia norak karena baru pertama kali lihat lift dalam rumah.
Aurel melompat kecil dari lift dan terpesona melihat jejeran rak buku berwarna abu-abu dan bukunya yang warna-warni.
“Karna kamu juga penghuni rumah sekarang. Baca seperlunya aja, jangan berantakin perpus,” ujar Skala yang sudah ada di belakang Aurel.
Aurel tepuk tangan kagum. “Makasih.” Tapi ada yang aneh menurutnya. “tapi, kenapa wallpaper tembok kamu semuanya berhubungan sama air?”
“Ya karena itu komponen penting setelah udara dan tanah,” jawab Skala sekenanya. Dengan polosnya Aurel percaya.
“Kamu bisa tinggal disini selama aku ada tugas di Jakarta.”
Aurel mengangguk, “Iya, makasih, Skala. Nama kamu skala, artinya perbandingan. Tapi aku rasa kamu gak suka membandingkan orang lain.”
“Hm?”
“Terbukti dari kamu yang kastanya jauh diatas keluarga aku, tapi kamu masih mau berteman.”
Skala tertawa singkat, “Kasta.” Ia bergumam pelan. “ada yang lebih penting dari kasta.”
“Apa?”
“Tata krama.”
“Iya, bener juga.”
Mereka saling lempar senyum.
“Lo gak pantes temenan sama kita. Lo ngaca dong! Anak orang miskin sekolah disini!"
Bugh
Perutnya ditendang sampai ia tersungkur ke lantai.
“Pantesan keluarga lo bangkrut! Pindah aja lo sana!"
Bugh
Sekarang punggungnya yang diinjak.
“Eneg gue pura-pura baik di depan Nyokap lo.”
Bugh
***
"HAHH... !" Aurel terbangun dari mimpi yang sangat menyeramkan, bahkan lebih seram dari sekedar dikejar hantu. Kepalanya berdenyut tidak karuan. Hari kedua di rumah Skala tidak begitu buruk. Ia memegang perutnya yang berbunyi. “Hari ini sarapan apa ya?”
Ia keluar dari kamarnya lalu menuju ruang tamu untuk nonton kartun sebentar, kalau ada. Baru saja mau duduk, Aurel dibuat heran dengan setelan formal Skala.
“Skala, kamu mau kemana?” Aurel memandang langkah Skala yang akhirnya duduk disampingnya sambil membawa sandwich.
“Ke kantor. Baik-baik di rumah.”
Hanya tiga lahap, sandwich sudah habis. Skala pun beranjak dan melangkah keluar.
“Tapi, aku mau ikut kamu,” ujar Aurel penuh harap.
Skala balik badan. “Ikut ke kantor??” Dia terkekeh geli lalu mendekat ke hadapannya. “kamu masih kecil mau ngapain disana?” ledeknya. Walaupun sebenarnya boleh saja karena yang punya perusahaan adalah dia.
Tidak terima dibilang anak kecil. Aurel berdiri dan berkacak pinggang. “Aku bukan anak kecil," protesnya menarik dasi Skala yang sudah tertata rapih.
Skala batuk-batuk karena tercekik. Dia melonggarkan dasinya asal. “Diam aja di rumah, makan, atau ke perpustakaan baca buku.”
“Sendirian?” Sepertinya tidak menyenangkan.
“Aku pulang jam 2 siang. Jadi cuma pergi 6 jam karna kantor buka jam 8.”
Aurel melihat jam dinding menunjukkan pukul 7. “Aku kapan sekolah?”
“Besok. Kenapa?”
“Aku ikut.”
“Gak.”
Aurel memeluk pinggang Skala sambil meraung pura-pura menangis. “Aku janji gak bakal ganggu kamu, tapi aku ikut pergi.”
Skala terkesiap tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia coba melepaskan tangan Aurel namun pegangannya kuat sekali. Kalau dipaksa lepas, bisa robek bajunya.
Akhirnya Skala menyerah. "Oke, fine… fine, kalau kamu mau ikut. Tapi jangan ganggu aku kerja."
“Janji!” Aurel berkata yakin.
“15 menit kamu harus udah rapi dan sarapan. Buruan.”
Setelah Aurel mengangguk senang, ia berlari masuk ke kamarnya untuk bersiap. Semalam Ibunya datang hanya untuk mengantarkan pakaian dan seragam, jadi ia tidak pusing memikirkan pakai baju siapa di rumah orang.
“Yeay, aku ikut ke kantor.” Aurel berkaca sambil menyisir rambutnya yang panjang sepunggung.
***
“*Rasain lo!” Rambut Aurel dijambak sampai beberapa helainya rontok.
"Hahahah! Sakit ya*?"
Aurel mendengar suara tawa kesenangan di sekelilingnya.
Lagi-lagi ia mendapat sekelebat bayangan buruk. Kepalanya berdenyut lagi, namun masih bisa Aurel tahan.
***
Dari luar Skala berteriak. “Udah mau 15 menit! Buruan!”
“Aurel!” Skala memanggilnya karena tidak ada respon. Dia keheranan mendapati Aurel berjalan gontai tidak bersemangat seperti tadi. “udah?”
“Kamu berangkat aja, aku mendadak pusing.”
“Pusing kenapa?”
“Belakangan ini aku sering liat yang aneh-aneh.”
“Halusinasi?”
“Mungkin.”
"Wajar. Kamu habis jat- maksudnya amnesia. Mungkin efek koma terlalu lama jadi begitu. Tapi, kamu udah janji mau ikut!" tagih Skala.
Aurel berdecak kesal. “Yaudah deh, ayo berangkat.” Ia berjalan duluan.
Sepanjang jalan Aurel memakai earphone sendiri walaupun Skala menyetel musik. Tidak ada yang membuka obrolan karena akan berbahaya jika Skala tidak fokus menyetir.
Sesampainya di Skala Atlas, Aurel mengikuti Skala dari belakang layaknya bodyguard. Bahkan pegawai disini membungkuk 45° atau menyapa “Selamat Pagi”. Bukan hanya pada Skala, tapi juga pada Aurel setelah mereka jalan beriringan.
Aurel menunjuk lift karena dilewati Skala. “Loh, Skala, kita gak naik itu?”
“Gak. Ruangan aku disana.” Skala menunjuk ruangan diujung koridor kiri yang nampak lengang.
“Main-main gih di taman daripada nanti rusuh,” suruh Skala. “sebentar lagi ada rapat, jadi jangan keluyuran. Main disana aja.”
“Satu lagi, kalau ada keributan disini, jangan ikut-ikutan. Diam aja sampai aku datang. Paham?”
Aurel mengangguk cepat.
Setelah Skala masuk ke ruangannya. Aurel sempat memperhatikan kondisi sekitar. Orang-orang sibuk dengan tugasnya dan ia ke kantor orang untuk bermain-main. Tidak apa-apa, lebih baik disini, ditengah keramaian daripada sendirian di rumah.
***
Bosan main di taman karena hanya ada anak kecil, Aurel berdiri di depan pintu bertuliskan Presiden Direktur.
Bagaimana dengan kata Skala yang ingin bertanya ke Dirut soal tugas apa yang akan ia emban di Cabang Jakarta? Jawabannya adalah kalian tertipu. Itu hanya alibi Skala agar kelihatan tidak datar mengemban amanah Alya. Ia tidak perlu bertanya pada dirinya sendiri karena Presiden Direktur Bina Atlas adalah dirinya. Tentang Skala Atlas hanya cabang di Kota Jakarta.
Tangan Aurel terhenti di udara saat beberapa centi lagi mengetuk pintu karena-
“JAMBRET!!”
Aurel menoleh ke lobi dan melihat salah satu karyawan teriak telah dijambret. Insting kemanusiaannya menggerakkan Aurel untuk berlari mengejar jambret tadi. Untungnya, pintu utama tertutup otomatis saat ada bunyi bel darurat. Jadi Aurel mudah meraih tas yang ada ditangan pria itu.
“Lho? Bapak ngapain disini?” bisik Aurel kebingungan dan terkejut pula kenapa Bapaknya ada disini, lalu … menjambret orang. Aurel meremas tas kuat-kuat, matanya memanas. “Bapak… kenapa nyuri milik orang lain?" lirihnya.
Damar justru mendorong Aurel sampai terhuyung ke belakang, ia hampir jatuh jika Skala tidak menahan tubuhnya. Lalu Damar melarikan diri ke pintu tangga darurat, kemungkinan menuju basement karena satu-satunya jalan keluar.
Aurel menatap Skala yang wajahnya tampak memerah. Skala merebut tas yang ada ditangan Aurel lalu memberikannya kepada sang pemilik yang tak lain karyawannya. “Ini, Mbak. Lain kali hati-hati, sudah diberi peringatan kan sejak kemarin.”
“Maaf, Pak. Saya akan lebih hati-hati.”
Aurel menatapnya kasihan. “Jangan dimarahin tau, kasian. Kan gak ada yang tau bakal dijambret.”
Skala mendorong dahi Aurel dengan telunjuknya. “Udah dibilangin, kalo ada keributan jangan ikut-ikut."
“Ya maaf, namanya juga kepedulian sesama manusia.”
"Pikirin diri sendiri dulu. Baiknya begitu," cetus Skala.
Aurel tidak sepemikiran dengan Skala. Ia memikirkan orang lain baru dirinya sendiri.
Kalau prinsip Skala memang seperti itu, pantas Aurel dipaksa menunggunya menyelesaikan beberapa tugas menumpuk diatas meja.
Pikiran Skala buyar karena ada yang ingin dia tanyakan. “Jawab jujur ya, sebenernya kamu koma kenapa?”
"....." Aurel mengangkat bahunya tidak tahu. Kalau dia tahu mungkin tidak perlu mengingat apa yang ia lupakan.
“Ah iya, kamu amnesia.” Bodoh juga ia bertanya. “Kamu mau tau sesuatu?”
“Apa?” Aurel mendekatkan wajahnya karena penasaran.
“Waktu kita ketemu, kamu sedikit aneh.”
“Aneh gimana? Kita ketemu dimana?”
“Aneh, kacau, berantakan, gitu lah. Kita ketemu di jalan.”
“Masa sih? Kayaknya aku gak pernah kacau, justru bahagia terus.” Aurel berpikir sendiri. “sayang banget aku gak inget kita ketemuan gimana dulu.”
Skala berhenti mengetik laptopnya. “Kalo nanti inget, gimana?”
“Pasti seru.”
“Seru apanya,” desis Skala lanjut mengecek data keuangan. Seandainya Aurel tahu pun tidak akan menarik dan dramatis karena mereka bertemu tepat dia coba bunuh diri.
“Skala, kapan kamu selesai?”
Melihat Aurel menguap, Skala menutup laptopnya. “Ayo makan.” Ia berdiri dan melepas jas kantornya. “kamu tunggu disini, sebentar.”
Entah apa yang dilakukan Skala di kamar mandi, Aurel tak mau tahu, sedikitpun.
Hampir 10 menit menunggu, Skala keluar dengan baju biasa seperti di rumah, terlihat santai. Aurel menatapnya datar karena cara jalan Skala mirip model catwalk. "Jangan fashion show... "
Skala tertawa pelan. “Ngapain juga.”
Efek mengantuk saat berjalan, Aurel tersandung kaki kursi dan jatuh. “Ya ampun… "
Kebiasaan Skala, yaitu menertawakannya dalam kondisi apapun. Seperti sekarang ini, pria kurang ajar.
Refleksi dirinya sedang terjatuh di sekolah tiba-tiba mengheningkan suasana walaupun Skala tergelak sembari mengulurkan tangan berniat membantu.
"Berdiri."
Suara Skala terdengar samar dan menggema di telinga Aurel. Tempat yang kini ia pijak seakan berputar dan berganti menjadi sekolah. Ia merasa sedang dicaci maki oleh suara-suara disekitarnya namun tidak ada siapapun disana.
Gak guna lo!
Lo bukan siapa-siapa disini!
Jangan deketin cowok gue!
Orang miskin emang suka nyuri!
Mati aja lo sana!
***
“Rel, gak mau berdiri?”
Dunianya kembali saat suara Skala menyadarkan pikirannya. Melihat Aurel diam saja, Skala sadar ia keterlaluan sudah tertawa keras.
“Maaf deh.”
“Aku mau pulang.” Ia berdiri dihadapan Skala yang bingung.
“Kenapa?”
“Sekarang.”
Skala tahu ada yang tidak beres. Tidak ada yang bisa mengekang Aurel saat ini. Di dalam mobil pun Aurel menatap jalanan saja.
“Kamu kenapa, Rel? Marah ya?”
Bukannya menjawab pertanyaan Skala, ia justru menyumpal telinganya dengan earphone.
“Wah, bener-bener kamu ya.” Skala mencabut earphone-nya sebelah kanan. “ditanya malah begitu. Sopan sedikit.”
Aurel memasang kembali ke telinganya.
“Aurel, iya maaf kalo ketawanya keterlaluan.”
Apa aku tanya ke Bapak ya? Bapak kan satu-satunya orang yang gak suka aku. Siapa tau aku bisa inget semuanya kalo Bapak cerita. Itulah sebabnya Aurel tidak menanggapi Skala.
Skala mendapat telepon dari kantor. “Maaf, saya ada urusan sebentar. Nanti saya kesana cuma ambil laporan keuangan. Makasih ya."
Tapi kata Ibu, aku gak boleh ketemu Bapak. Gimana ini? Gak mungkin terus-terusan halusinasi juga. Bisa gil—
“Jangan pura-pura gak dengar bisa? Aku daritadi nanya.”
“Nanya apa?”
“Gak jadi.” Masam sudah wajah Skala.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!