NovelToon NovelToon

The Secret

The Secret | 1. Dia Istriku

Madrid – Spanyol, 2019

“APA... pesta pernikahanmu?” suara melengking milik pria menggema dari seberang sana. Membuat si penerima spontan menyipitkan sebelah netranya.

Pernikahan yang direncanakan dan diatur oleh para tetua, memang selalu mampu membuat siapapun terkejut. Jangankan orang lain, mempelai pria-pun merasakan hal yang sama. Ia hanya diminta untuk datang ke Madrid, dimana calon istrinya tinggal dan dilahirkan.

Kemudian setelah sampai di Hotel, tiba-tiba ia disodori setelan jas berwarna Hitam oleh calon ibu mertuanya sembari berkata, “Gantilah bajumu dengan setelan jas ini Boy. Acara pernikahan kalian akan segera dimulai satu jam lagi.”

Hanya itu, lalu wanita berumur setengah abad lebih itu segera berlalu tanpa membiarkannya untuk sekedar bertanya. Dan yang membuatnya semakin terkejut adalah ketika ia mendapati bahwa kedua orang tuanya sudah berada disana. Menyambutnya dengan senyum merekah penuh kemenangan.

“Hmm... pesta pernikahanku yang digelar sejak satu jam yang lalu.” Jawab pria itu setelah kembali menempel di telinganya.

“Bukankah kau mengatakan akan pergi ke Madrid untuk menemui Tío Sean? Kau juga mengatakan jika pernikahanmu masih bulan depan,” protes si lawan bicaranya.

“Iya, asisten Dong... pernikahanku yang rencananya masih akan diadakan bulan depan. Jika ingin mewawancarai ku lakukan selepas kita bertemu. Aku akan menghubungi yang lain setelah ini,” kata pria itu sembari memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Tidak memperdulikan respon asisten pribadinya yang mungkin saja akan mengamuk karena ulahnya.

----------------------------------------‐---------

Pria itu tak hanya bergurau, ia benar-benar melakukanya. Selepas sambungan telepon terputus, jemari panjangnya kembali menari indah pada layar ponsel.

Kali ini pria jangkung itu melakukan panggilan video dengan Jung-Hee setelah memasangkan Earphone di kedua telinga.

“Annyeonghaseyo Hyung Lyam....” Suara menggelegar Jung-Hee diiringi wajah segar, rambut hitam legamnya tertutupi oleh topi Bucket Hat berwarna senada. Hanya bagian depannya saja yang mengintip malu-malu hingga menutupi sebagian alis pria itu.

Lyam Rogan, pria keturunan Korea – Spanyol yang dipanggil Hyung itu justru mengganti kamera ponselnya menjadi kamera belakang, memamerkan suasana riuhnya tempat yang ia pijaki. “Hyung kau sedang berpesta tanpa kami?” protes Jung-Hee memamerkan wajah masamnya.

Cepat-cepat Lyam kembali mengubah arah kamera ponselnya menjadi kamera depan. “Bisa dibilang iya dan tidak, kau tidak merasa penasaran aku sedang menghadiri pesta apa Jung-Hee?”

“Kau sedang berpesta apa Hyung?” kata Jung-Hee menurut.

“Dimana yang lain, kalian sudah di dalam pesawat pekan ini?”

Jung-Hee mengangguk mantap, “Hmm.. kami sudah ada di dalam pesawat, ini sebelahku Sam Hyung.” Setelahnya tercetak jelas sosok pria berambut pirang yang tengan menggunakan Headphone hingga menutupi seluruh permukaan telinga.

Pria itu hingga tak memperdulikan sekitar karena terlampau asik menikmati sepotong ayam goreng dengan lahapnya. Sesekali mengangguk-aguk tak tentu arah. Pipi Chubby-nya hingga terlihat semakin menggembung karena ia terlampau rakus.

“Dari Mana kalian mendapatkan ayam goreng di awal perjalanan?”

Jung-Hee kembali mengarahkan kamera ponselnya pada dirinya, “Sam Hyung bangun kesiangan dan dia melewatkan sarapan serta makan siangnya. Jadi manager membawakan tiga potong paha ayam untuknya. Hyung tolong jawab pertanyaanku, kau sedang berpesta apa tanpa kami?”

“Aaaa... pesta pernikahanku.”

“WHAT?” kedua matanya membola. Namun hanya sesaat, setelahnya ia justru memamerkan deretan gigi putihnya. “Ahh... aku bukan Sam Hyung yang mudah kau bodohi Hyung.”

Lyam tahu Maknae atau adik terkecilnya ini memang lebih sulit mempercayai hal apapun dengan mudah. Jadi alih-alih menjawab Lyam justru mengarahkan kamera ponselnya pada sosok manis di sisi kirinya yang tengah melahap sepiring pasta.

Seperti dugaannya, seketika Lyam melepaskan salah satu Earphone-nya secara spontan. Bahkan belum cukup juga ia hingga mengurangi volume suara ponselnya hingga tak terdengar apapun. Sepertinya pria jangkung di seberang sana meningkatkan suaranya hingga beberapa oktaf hanya sekedar untuk memanggil yang lain.

Barulah ketika terekam lima wajah pria memenuhi layar ponselnya, Lyam kembali mengembalikan semua sesuai semula. Suara barrington Min-Su yang pertama memenuhi gendang telinganya, “Hyung benarkah kau menikah?”

Lagi-lagi Lyam hanya mengarahkan kameranya pada gadis di sebelahnya tanpa menjawab.

“Siapa wanita cantik di sebelahmu itu Hyung,” kali ini Victor yang berbicara, pelafalan bahasa koreanya masing terdengar sedikit canggung meskipun sudah 11 tahun ia berdomisili di Soul – Korea. Mata hijau-nya cukup menjadi ciri khas jika ia bukan berasal dari asia. Yah, meskipun Lyam juga memiliki warna mata yang sama.

Namun bedanya Victor memiliki darah asli keturunan eropa, ia berasal dari Chicago – Amerika Serikat. Sedangkan Lyam, pria bermata hijau dengan mata sipit itu berdarah campuran antara Asia dan Eropa, yaitu Spanyol – Korea.

“Wah... Hai cantik siapakah dirimu?” dan kali ini berasal dari An Lian, pria tertua dari garis pertemanan mereka berenam. Pria itu juga bukan berasal dari korea melainkan lahir dan besar di negara penghasil sutra terbaik di dunia, Tiongkok – China. Hanya saja pria itu lebih fasih berbahasa Korea meskipun tak seperti Lyam yang menghabiskan seluruh hidupnya di Negara tercintanya Korea Selatan.

Spontan kedua netra Lyam membola, menatap layar ponselnya dengan tajam, “aku menggunakan Earphone.” Katanya memberi tahu. Nada suaranya datar. Kamera pun sudah kembali terarah padanya.

“Lyam, siapa dia?” tanya An Lian lagi. Entahlah sejak kapan Lyam menjadi pria yang banyak berbasa-basi, hingga semua temanya harus mengulang pertanyaan yang sama.

“Dia istriku, aku sudah menikahinya satu jam yang lalu. Dan saat ini kami sedang mengadakan resepsi pernikahan kecil-kecilan disini.”

Kecil katanya, jika aula luas milik hotel bintang lima di Madrid. Dengan berbagai macam dekorasi indah dan mewah dikatakan kecil-kecilan, bagaimana yang menikah hanya di depan keluarga dan pengemuka agama atau hanya sekedar mendaftarkan pernikahannya. Meskipun memang hanya dihadiri tak sampai 100 orang.

Kelima sahabat yang sudah Lyam anggap keluar itu hanya bergeming, mulutnya seakan terkunci rapat. Kedua alis mereka seperti dikomando serempak seakan hampir menyatu. Seperti tengah memaksa otak mereka bekerja dengan kerasnya untuk memproses berita mengejutkan yang baru saja mereka terima.

“Maafkan aku jika terlambat memberi tahu. Rencana ini memang sudah disusun sejak lama namun aku memang punya alasan khusus untuk tidak memberitahu siapapun sampai pernikahan ini benar-benar terlaksana.” Lyam sebenarnya tidak mengada-ada. Memang itu rencana sebelumnya. Namun ia juga cukup waras untuk tidak mengatakan apa yang terjadi saat ini.

“Tidak apa-apa, jangan khawatirkan hal itu. Kami hanya sedikit syok.” An Lian diangguki mantap oleh ketiganya dan disusul oleh Sam menambahi, “Kami mengerti dirimu Hyung, jangan khawatirkan apapun. Lebih baik kau perkenalkan kakak ipar kedua pada kami.” Salah satu sudut bibirnya ia tarik di akhir kalimat.

Lyam sudah menduga jika tak membutuhkan banyak drama untuk membuat mereka memahami. Segera ia melepas Earphone yang bertengger di telinga kirinya. Setelah itu memasangkan di telinga kanan pada gadis cantik di sisi kirinya. Si empunya telinga spontan menatap Lyam penuh tanya.

Lyam melakukan itu, karena gadisnya sedang memegang garpu dan piring di masing-masing tanganya. Sedangkan mereka sedang berdiri kali ini. Jadi tidak ada salahnya bukan jika Lyam berinisiatif terlebih dulu untuk membantu.

“Mereka ingin menyapamu,” ujar Lyam setelahnya, suaranya lembut nyaris tak terdengar.

Gadis itu bungkam sejenak, namun sesaat setelahnya ia mengangguk perlahan, dan Lyam mulai mengarahkan kameranya pada keduanya. “Annyeonghaseyo.... An Lian Oppa, Sam Oppa, Min-Su Oppa, Victot Oppa dan Jung-Hee Oppa. Aku Emily Barbara, senang berkenalan dengan kalian.”

“Woo... kau sudah mengenal kami?” timpal Sam spontan.

Emily menganggukan kepalanya pelan, sudut bibirnya ia tarik sedikit lebar dengan kedua pipi yang sedikit bersemu merah.

“Aaa... imut sekali suaranya. Lyam Hyung memang pintar mencari istri.” Siapa lagi jika bukan Jung-Hee, pria yang saat ini tangan kananya mulai pegal karena menyulapnya menjadi tiang penyangga ponsel. Pria itu memang lebih mudah mengutarakan isi hati dibandingkan anggota lain.

Di sebelah Emily, lagi-lagi Lyam menajamkan tatapan, sedangkan Jung-Hee seolah tak merasa terimidasi sedikitpun. Siapa yang tidak kenal dengan salah satu BoyBand yang cukup digandrungi kaum anak muda di penjuru dunia. Yang sayangnya salah satunya sudah sah menjadi suaminya beberapa jam yang lalu ini. Ahh, jika para fans mereka tahu. Sudah pasti para wanita itu akan menangis histeris karena pria idaman mereka sudah sold out.

“Annyeonghaseyo Emily, senang juga berkenalan denganmu,” kata An Lian menanggapi sapaan Emily.

“Sudah ya, dia sedang makan. Biarkan istriku melanjutkan sarapannya.”

“Kenapa kau pelit sekali Hyung, bahkan kami belum berbicara apapun padanya.” Protes Jung-Hee tak terima.

Lyam menghembuskan napasnya berat, membuat Emily secara spontan menolehkan wajahnya mengamati wajah suaminya yang terlihat masam.

“Dia sedang makan Jung-Hee, biarkan dia menghabiskan sarapannya dulu. Disini sudah-“

Belum sempat Lyam menyelesaikan ucapanya, Jung-Hee lebih dulu memotong setelah mendengus keras, “huhh...bilang saja takut jika istrimu justru tertarik, bahkan jatuh cinta setengah mati pada kami,” katanya.

Baru Lyam ingin membantah, namun kelimanya lenggang sesaat, hanya terlihat kepala yang serempak menoleh. Mungkin ada sesuatu yang terjadi di sana.

“Hyung sudah dulu ya, kami akan segera terbang sebentar lagi. Tolong arahkan lagi kameranya pada Kakak Ipar kedua. Kami ingin berpamitan padanya!” pinta Jung-Hee yang entah sejak kapan sudah diarahkan kepada Lyam seutuhnya.

Permintaan itu langsung dituruti oleh Lyam. Wajah kedua kembali memenuhi layar ponsel dengan pipi Emily yang sedikit menggembung karena mengunyah.

“Bay-bay Kakak Ipar kedua, sampai jumpa di Seoul ya,” ujar Jung-Hee dan ditimpali juga oleh An Lian. “Semoga kita bisa segera bertemu ya adik ipar kedua. Sampaikan salam kami juga pada Ajumma dan Tío!”

Lyam hanya menganggukkan kepalanya meskipun ia tahu jika permintaan untuk menyampaikan salam untuk kedua orang tuanya itu ditujukan padanya. Teman-temanya memang memanggil Ajumma atau bibi pada ibunya, namun untuk ayahnya mereka justru menggunakan Tío atau paman dalam bahasa Spanyol.

“Hati-hati dijalan Oppa, selamat menikmati perjalanan dan semoga kita bisa bertemu segera. Have fun...” jawab Emily.

Setelah sambungan video benar-benar berakhir, Lyam mengamati istrinya sesaat yang ternyata sedang menatapnya dalam diam. Perlahan tangan besarnya terulur meraih anak rambut yang terlepas dari sanggulanya dan menyelipkan di belakang telinga Emily.

Emily terpaku seketika, jantungnya berdetak kian cepatnya. Lebih-lebih ketika perlahan Lyam mencondongkan kepalanya semakin dekat ke arahnya. Pasokan oksigen menipis, bulu kuduk nya meremang.

Spontan Emily menggigit bibir bawahnya keras. Menyalurkan rasa gugup yang tiba-tiba menggerogoti dirinya, dan rasa itu tak mampu teralihkan sedikitpun jika hanya sekedar disalurkan lewat cengkraman pada sendok dan piring yang masih setia digenggamannya.

“Segera habiskan makananmu Sayang...” katanya setelah bibir tipisnya hanya berjarak 5 cm dari telinga Emily. Kemudian pria itu menarik sudut bibirnya tipis. Tipis sekali nyaris tak terlihat, sebelum akhirnya kembali menjauhkan tubuhnya mengabaikan Emily yang masih mematung tak berdaya.

Jangan lupakan juga tangan Lyam yang sudah bertengger indah menghiasipinggang ramping Emily. Entah sejak kapan juga Earphone di telinganya terlepas.

The Secret | 2. Bernapas Sayang

Emily Barbara terus menatap pria di hadapannya dalam diam, kedua netranya seakan terpatri dengan keindahan ciptaan tuhan yang saat ini tengah mengusap punggung tangannya dengan lembut.

Ayolah siapa yang tak mengenal pria tampan yang beberapa jam lalu menjelma menjadi suaminya itu.

Lyam Rogan salah satu anggota BoyBand LVA beranggotakan enam orang yang terkenal di seluruh jagat dunia per KPOP-an. An Lian sebagai yang tertua sekaligus Leader, disusuldengan Lyam Rogan, Lim Sam, Lim Min-Su, Victor dan si maknae Lee Jung-Hee atau bisa dibilang memver LVA yang termuda .

Emily rasa semua orang juga tahu jika tidak ada anggota BoyBand yang memiliki paras yang buruk bukan?

Sama halnya dengan pria yang saat ini tengah memenjarakan seluruh atensinya dengan senyuman menawan yang pria itu miliki.

Dan yeah, hal yang baru Emily ketahui. Jika senyum itu adalah bagian dari wajah yang tak akan pernah bisa dihilangkan meskipun pria itu ingin melakukanya.

Lyam memiliki bibir yang tipis dengan sudut yang tertarik sedikit membentuk lengkungan senyum alami, dan ketika pria itu tersenyum maka lengkungan itu akan semakin dalam dan memberikan kesan, RAMAH.

“Ayolah, jangan panggil kami dengan sebutan Padre dan Madre lagi dong, panggil Daddy dan Mommy sama seperti Ily. Kami bukan lagi orang tua angkatmu Boy. Status kita sudah resmi menjadi mertua dan menantu,” kata Sean ayah Emily mengoreksi.

“Dan kami lebih senang dipanggil Appa dan Amma dibandingkan dengan Appa dan Eomma atau Abeoji dan Eomoni.” Kali ini Hana, ibu Lyam memperingati Emily tanpa diminta.

Lyam hanya menarik sudut bibirnya semakin lebar sambil menepuk pelan punggung tangan kanan Emily yang tengah ia genggam, “Arasseo...arasseo... kami akan melakukanya. Bukan begitu, sayang?”

Emily mengigit bibir bawahnya keras-keras. “I-ya-a, Amma Appa,” jawab Emily terbata.

Tak hanya panggilan sayang yang pria itu sematkan. Tapi kini, Lyam juga menatapnya dengan senyum pernuh kelembutan. Dan netra Ambernya berhasil terperangkap pada netra hijau milik Lyam. Walaupun itu tak bertahan lama, karena setelahnya atensi Emily teralihkan oleh sosok Evelyn.

“Ily kau tahu bukan mulai hari ini Daddy paten menjadi hak milik Mommy seorang diri,” katanya dengan seringaian mengejek terlukis di wajah putih mulusnya. Beliau sudah berumur setengah abad lebih namun percayalah kerutan di wajahnya nyaris tak terlihat.

“Mommy... Daddy adalah Daddyku.” Jawab Emily tak ingin kalah, wajahnya ia tekuk berlipat-lipat dengan sorot mata tajam dan bibir yang ia kerucutkan.

“Tapi dia suamiku, kau sekarang juga sudah memilikinya.”

“Tapi dia juga Ayah-ku Mommy. Jika Mommy iri padaku, mintalah dimanjakan juga oleh kakek!”

“Kakek-mu sudah tidur nyenyak di dalam papan berbentuk persegi panjang Emily Barbara. Jangan mengada-ada, kau mendoakan Mommy-mu cepat mati?”

“Awh...tentu saja tidak Mommy-ku sayang,” jawab Emily sembari melepaskan genggaman Lyam dan berhamburan ke pelukan Evelyn yang segera disambut baik oleh itu.

“Love you so good Mommy, jangan biarkan Ily memiliki Daddy seorang diri.”

“Emang dikira sosis, so good,” celetuk Evelyn, tangan kanan nya mengusap surai coklat di punggung Emily.

“Tapi sekarang Ily punya Mommy baru juga sih, ada Amma Hanna.” Ujar Emily masih berusaha membalas menggoda Evelyn.

Evelyn menyeringai. “Kau sungguh ingin berperang denganku lagi Emily? Sekarang, di acara pernikahanmu?” tanya Evelyn memastikan.

“Sudah-sudah sayang, jangan menggoda Mommy-mu.” Timpal Sean menengahi.

Bisa runyam jika dibiarkan. Ia sudah hafal betul tabiat istri dan putrinya ketika sudah berdebat, bisa-bisa acara tidak akan berhenti hingga acara ini selesai.

“Daddy lebih membela Mommy?” tanya Emily dramatis. Wajahnya sudah ia buat sesedih mungkin.

Sean seketika menelan ludahnya sendiri, tangan kananya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sepertinya ia salah bertindak kali ini.

Belum sempat Sean ingin menjawab, Evelyn lebih dulu angkat bicara. “Jelas. Dia memilihku, pasti membelaku.”

“Tapi aku juga anaknya Mommy. Darah dagingnya, kecebong Daddy yang berperang akhirnya menjadi diriku. Aku juga ingin dibela dan dipeluk olehnya.”

“Ily sini sayang peluk Appa, kau juga sekarang memiliki diriku.” Ujar Liam sambil mengulurkan tangan kanannya. Pria tua itu bersaha untuk menengahi ketika melihat sahabatnya yang mulai kiwalahan menghadapi dua wanita tercintanya.

Emily yang semula berada di hadapan Evelyn dan beradu pandang dengan seketika mengalihkan pandanganya menjadi terarah pada Liam.

Tapi, belum sempat Emily menjawab atau bertidak. Tubuhnya sudah lebih dulu ditarik paksa dari belakang. Punggungnya membentur keras benda keras.

"AWWW." Jeritnya spontan. Setelahnya ia bisa mencium aroma Leather disusul dengam tangan yang melingkar di perutnya.

“Aduh-aduh pawangnya angsa jantan ternyata.” Goda Hana. Karena penyebab semua itu adalah Lyam suami Emily sendiri.

Lyam tak perduli, pria itu justru mengeratkan pelukannya dan membenamkan wajahnya pada ceruk leher Emily. Membuat si empunya semakin geli tapi juga merinding gila dibuatnya. Emily bahkan hingga memeras gaun putih panjangnya kuat-kuat.

“Bernapas sayang, kau bisa kehabisan napas!” tegur Lyam tanpa mengubah posisinya.

Bukanya menurut, gadis itu justru seakan lupa bagaimana caranya bernapas.

-----------------------------------------------

Cara bernafas itu nyatanya berulang kali Emily lupakan setelah mereka masuk kedalam kamar pengantin.

Ayolah, semua orang pasti tahu apa ritual sepasang suami istri di malam pertama mereka.

Dan betapa tidak beruntungnya Emily kala itu ketika suaminya masuk kedalam daftar pria dengan kesabaran setipis tisu dibagi seribu.

Pria itu bukan hanya tidak membiarkannya untuk membersihkan diri, namun juga tidak mengizinkan Emily beristirahat barang satu menit.

Hingga ketika pagi menyongsong, burung tak lagi berkicau. Hal pertama yang ia dapati adalah sesosok pria yang membuat tubuhnya remuk redam tak bertulang. Lyam tengah duduk bersandarkan kepala ranjang dengan laptop berada di atas pangkuannya.

Tubuh Emily mematung sempurna, nafasnya kembali tercekat ketika arah pandangnya semakin menurun, mendapatkan tubuh bidang bagian atas yang terpampang nyata tak tertutupi oleh sehelai benangpun.

Cepat-cepat Emily mengalihkan pandangannya menjadi ke sembarang arah.

“Morning Baby, apakah sesakit itu?” tanya Lyam ketika ia mendengar lirihan lamat-lamat dari Emily.

Emily tidak menjawab, ia justru semakin gencar berusaha mengubah posisinya. Membuatnya tanpa sadar kembali merintih. Kali ini cukup kecang hingga berhasil mencuri seluruh atensi suaminya.

“AWWW."

Cepat-cepat Lyam menutup dan meletakkan laptopnya diatas nangkas di sisi kanan nya, menggeser tubuhnya semakin mendekat kepada Emily.

“Apa yang ingin kau lakukan?”

“Ily hanya ingin duduk, tapi rasanya sakit sekali,” ujar Emily lirih nyaris tak terdengar. Kedua pipinya juga bersemu merah ketika Lyam bertanya seperti itu sembari terus menatapnya.

“Sayang, apa sesakit itu hingga pipi chubby-mu juga memerah?”

“OPPA-” rengek Emily sembari menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya.

Lyam terkekeh nyaring, mencondongkan tubuhnya hingga hanya berjarak beberapa cm saja dari wajah Emily.

“Kenapa menutup wajahmu dengan selimut, apa semakin sakit?"

"Sini Oppa lihat,” sambungnya.

Emily tidak merespon, tanganya justru bergerak membawa selimut itu semakin ke atas hingga menutupi seluruh bagian tubuhnya. Kedua pipinya terasa semakin panas.

Lyam terkekeh. “Arasseo....arasseo... Oppa tidak akan menggodamu lagi. Ayo turunkan selimut nya!” titahnya.

“Ayolah sayang... kau tidak pengap berada di dalam sana?” Emily masih tak berkutik.

"Baby..."

“Honey...”

"Ayolah sayangku, buka dulu. Oppa ingin lihat pipi meronamu yang sepertinya sakit itu," goda Lyam sekaligus membujuk.

Awalnya Emily tetap tidak ingin menurut. Tapi, sesaat setelahnya ia teringat satu hal yang berhasil membuatnya spontan membuka selimutnya hingga batas leher.

“Oppa kenapa kau ada disini?”

“Tentu saja, karena ini juga kamarku.”

“Bukan itu maksud Ily. Bukankah seharusnya saat ini Oppa berada di pesawat?” tanya Emily.

“Oppa menunda penerbangan.” jawab Lyam sekenanya. Tangan kanannya menyingkirkan helaian rambut Emily yang menutupi wajah wanita itu.

Emily mengerutkan keningnya. “Apa? kenapa?”

“Karena ingin.”

“Semudah itu?”

Lyam mengangguk singkat, kemudian menggerakkan tubuhnya semakin dekat pada Emily.

“Oppa menginginkanya lagi,” katanya ketika bibirnya berjarak 5 cm dari bibir Emily.

"Benar-benar singa brutal..." gumam Emily dalam hati.

The Secret | 3. Gracias

Realita memang tak semudah yang dibayangkan dan diucapkan. Itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi semalam.

Waktu dini hari ketika Emily sudah berada di Benua paling ujung dalam naungan mimpinya. Lyam justru tengah bergelut dengan layar ponselnya. Bernegosiasi sengit dengan beberapa orang.

Yang pertama asisten pribadinya, dan yang kedua manager LVA. Kemudian saat ini dilanjutkan dengan pihak penerbangan. Membahas perihal penundaan keberangkatan.

Katakan saja dia gila. Tapi, mau bagaimana lagi namanya hawa dan nafsu sudah menggerogoti jantung, paru dan tenggorokan. Tentu saja semua ia kerahkan hingga rela ber repot-repot ria.

Jika kata orang cinta itu buta. Bagi Lyam, nafsu itu butuh pengorbanan dan tidak bisa di tunda ketika sudah berada di ujung batas kesabaran.

Menurut Lyam kesabaran setipis tisu dibagi seribu atau sejuta itu juga hanya angka, yang terpenting semua terlaksana, hati senang, diri terpuaskan.

Bukankah begitu?

Meskipun ini bisa dibilang tak terlalu repot juga memang. Namun, untuk ukuran pria sekelas Lyam yang terbiasa ada yang mengurus mengenai masalah remeh temeh seperti ini semua menjadi cukup runyam, dan merasa terbebani. Karena merasa harus membuang-buang waktu padahal waktu itu bisa dipergunakan untuk hal yang lain.

Menerkam istri mungilnya misal.

Emily memang akan terlihat mungil jika dibadingkan tubuh tinggi dan berotot milik Lyam, meski jika diukur dengan ketinggian wanita-wanita asia juga tidak bisa dikatakan mungil. Tinggi 170 cm, dengan berat badan 55 kg.

“Saya hanya ingin mengubah jadwal penerbangan menjadi besok siang, soal biaya saya tidak masalah.” Ujar Lyam tenang, namun ada sedikit penekanan pada kata tertentu seperti besok siang, biaya dan tidak masalah.

Bagaimana emosinya tidak sedikit tersungut, jika hanya mengubah jadwal penerbangan saja harus serepot ini. Dan bagaimana pihak penerbangan juga tidak bertanya ini dan itu, serta meyakinkan satu dan lain hal. Jika Lyam mengubah jadwal penerbanganya baru 20 menit sebelum waktu keberangkatan.

“Mohon maaf tuan untuk penerbangan besok. Dengan tujuan ke Chikago - Amerika Serikat. Untuk kelas yang sama dengan sebelumnya yaitu kelas bisnis telah terisi penuh, hanya tersisa First Class.”

“Tidak masalah, saya akan mengambinya.” jawab Lyam cepat.

Setelahnya, hanya ada pembahasan mengenai rincian biaya yang didapatkan, hingga berapa potongan harga yang Lyam dapat. Tak lupa pihak penerbangan itu juga menyebutkan hari dan waktu keberangkatan hingga berulang-ulang kali.

Entah apa maksud dan tujuan nya, Lyam bahkan tidak memperhatikan dengan baik. Karena sebagian besar perhatiannya sekarang terpusat pada sosok wanita yang sedang berbaring di atas tempat tidur.

“Oh... kapan wanita ini selesai berbicara. Rasanya aku sudah tidak tahan ingin merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapanku,” gumam Lyam dalam hati.

 ‐---------------------------------------------

“Loh Gam, kok baru mau berangkat sekarang?” tanya Mommy ketika mendapati sosok Lyam yang kini berjalan ke arahnya.

Ransel hitam legam berukuran sedang, bertengger indah di pundak kirinya. Tidak ada baju dan sejenisnya di sana. Hanya ada laptop, dan peralatan elektronik yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi.

“Iya Mom, Lyam mau sekalian pamitan setelah makan siang ini.” jawab Lyam seadanya.

“Amma pikir kau sudah berangkat tadi malam. Amma baru saja ingin menjemput menantu kesayangan Amma untuk makan siang bersama.” Ujar Hana.

Hanya bibirnya yang berucap pada Lyam, namun netranya justru terpusat pada sepotong roti dan butter di kedua tanganya.

“Appa mau roti juga?” tawar Hana pada Liam yang duduk di sisi kanan-nya, sambil menyantap sepiring pasta. Mereka tengah makan siang bersama. Duduk saling berseberangan, di meja makan persegi panjang.

Liam menggeleng cepat, memberi jeda sejenak dan baru menjawab ketika pasta di mulutnya berhasil ia telan hingga tandas, “ini saja sudah cukup Ma.”

Lyam mendaratkan tubuhnya pada kursi berserongan dengan Evelyn dan Hanna. Ranselnya ia sandarkan pada tiang meja, dekat kaki kirinya. Meja ini diperuntukkan untuk enam orang. Dan kursi kosong yang tersisa berapa tepat di hadapan Lyam, berserongan dengan Sean dan Liam.

“Ily masih tidur Ma, Rogan tak tega untuk membangunkanya," ujarnya, tanganya meraih buku menu di tengah meja.

Rogan adalah panggilan yang digunakan oleh seluruh keluarga besar, tak terkecuali Sean dan Evelyn. Terkhusukan mereka berdua, Boy lebih sering keduanya gunakan untuk memanggil Lyam sejak Lyam masih kecil. Alasan utamanya jelas karena nama Lyam dan Liam, ayahnya. Akan terdengar sama meskipun penulisanya berbeda.

Lyam menyampaikan apa saja yang mau ia pesan ketika seorang waiter datang dan berpamitan setelah selesai.

“Dad, memang sedang sepi atau kebetulan saja Rogan yang tidak bertemu banyak orang?” tanya Lyam pada Sean. Pasalnya, sejak Lyam keluar dari kamar hingga akhirnya sampai di restoran ini. Hanya hitungan jari yang Lyam temui selain menggunakan baju seragam hotel.

Jika baru keluar dari kamar mungkin Lyam memaklumi karena kamar yang ia gunakan bersama istrinya memang lantai teratas Hotel. Lantai yang di khususkan untuk dirinya dan Emily. Tapi, untuk tempat yang lain seperti terlihat sedikit aneh rasanya jika terlampau sepi.

“Daddy memang sengaja meminta untuk menghentikan permintaan penginapan sejak dua hari yang lalu. Kau tidak merasa keberatan bukan jika Daddy melakukanya?”

Lyam menarik sudut bibirnya lebar, menatap Sean dengan tatapan tak merasa keberatan dengan hal itu, “tentu saja tidak Daddy, lakukan sesuka dan semau Daddy.”

“Bagaimana Boy, kau sudah berbicara dengan Ily mengenai rencana kedepan?”

Lyam tak langsung menjawab, pertanyaan Sean berbarengan dengan waiter yang mengantarkan makanan pesanannya.

“Semangkuk Gazpacho dengan segelas Rebujito ya tuan,” ujar waiter sembari meletakkan keduanya tepat di hadapan Lyam.

Rabujito adalah minuman andalan Lyam ketika datang ke Madrid. Lebih tepatnya ketika di musim panas. Dan pria itu tak pernah bisa melewatkan lezatnya makanan andalan restoran ini Gaszpacho. Sup dingin yang terbuat dari tomat, mentimun, paprika, bawang putih, minyak zaitun dan terkadang ditambahkan roti ketika Lyam menginginkanya.

“Gracias...” ujar Lyam, yang artinya terimakasih dalam bahasa Spanyol. Waiter itu segera berlalu setelah berpamitan diiringi senyum yang mengembang.

“Sudah Dad, tadi Rogan sudah sedikit berdiskusi dengan Ily.”

“Bagaimana respon nya?” tanya Sean tak sabar.

“Benar-benar di luar dugaan Rogan Dad. Putri Daddy benar-benar definisi wanita langka yang tidak perlu repot-repot untuk dijelaskan.”

Sean hanya terkekeh nyaring mendengarnya. Setelahnya, tak ada lagi perbincangan di meja makan. Hanya ada dentingan sendok dan garpu yang terdengar pelan sekali.

Lyam tak berbual mengenai hal itu, bahkan sampai detik ini. Pria itu masih tak habis pikir dengan hal apapaun tentang Emily Barbara, istrinya. Membahas Emily, membuatnya seketika memikirkan bagaimana respon wanita itu nanti. Ketika terbangun dari tidurnya dan tidak menemukan Lyam di sisinya.

Lyam harap semoga wanitanya bisa benar-benar menerima dengan lapang dada.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!