Suasana kantor sangat sepi karena sudah tengah malam. Ditambah hujan lebat yang membuat siapapun lebih memilih untuk bergelut di dalam selimut.
Tapi sepertinya hal itu tidak berlaku pada seorang pria yang masih sibuk di depan laptopnya. Sesekali ia menyesap cairan hitam pekat tanpa gula untuk mengusir kantuk yang mulai bergelayutan di matanya.
Cling!
Suara notifikasi WhatsApp yang berbunyi dari ponselnya membuat pria itu mengalihkan pandang sejenak dan mengambil ponsel yang terletak di saku celananya.
Alvin
Yo, lo nggak mau pulang apa? Udah hampir tengah malem ini.
Pria bernama Rio itu menghela napasnya prihatin. Ia seperti anak yang diomeli sang emak karena pulang terlambat.
Me
Bacot lo kaya emak-emak. Bentar lagi kelar nih!
Setelah membalas pesat WhatsApp dari sahabat sekaligus asistennya itu, Rio kembali sibuk dengan laptopnya. Menyelesaikan pekerjaan yang tertunda agar tak menumpuk.
Meskipun Rio adalah Direktur Utama, tapi bukan berarti ia tak punya banyak pekerjaan. Justru Rio merasa, pekerjaan tak pernah mau ia tinggalkan barang sedetik pun. Sudah seperti teman hidup yang tak ingin diabaikan.
Berbicara tentang teman hidup, nyatanya sampai saat ini tak ada seorang pun yang mampu menaklukkan hati sang direktur. Bahkan, sekedar kabar berkencan pun tak pernah terdengar. Padahal untuk ukuran usia, Rio sudah cukup matang dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Bulan depan, adalah ulang tahunnya yang ke-25.
"Ahh, akhirnya selesai!" Rio mendesah lega sambil melemaskan otot-ototnya yang tegang karena seharian hanya berkutat di depan laptop. Matanya pun terasa sangat pedas.
Pria berkulit hitam manis dengan gigi gingsul itu melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Sudah pukul sebelas malam dan hujan belum berhenti juga.
Karena takut semakin malam dan ia harus terjebak di kantor, Rio memilih untuk pulang sekarang. Toh, ia juga membawa mobil. Pastinya tengah malam seperti ini ia akan lebih mudah mengemudi karena jalan yang lengang.
Setelah memakai jasnya dan mengambil kunci mobil di laci meja, Rio segera turun ke basement mengambil mobilnya. Kantor benar-benar hening, hanya ada satpam yang sedang berpatroli di gedung.
Cling!
Alvin
Jangan ngebut, hujannya deras banget.
Rio berdecak sebal. Adanya Alvin adalah pengganti orang tuanya yang sudah meninggal. Bahkan, cerewetnya pun sama. Tapi Rio juga bersyukur karena masih ada orang yang peduli padanya, tanpa melihat harta yang dimilikinya.
Tanpa membalas pesan Alvin, Rio mulai menjalankan mobilnya keluar kantor. Membelah hujan deras dan gelapnya malam. Udaranya sangat dingin menusuk tulang membuat Rio mengaktifkan penghangat di mobil.
Jalanan benar-benar lenggang. Hanya satu dua mobil dan sesekali motor dengan pengemudi yang memakai jas hujan.
Rio berdesis, memakai motor saat hujan deras seperti ini adalah pilihan buruk. Ia tak mengerti kenapa orang-orang itu masih berkeliaran di tengah malam seperti ini. Andaikan bukan karena berkas penting yang harus segera ia selesaikan, Rio sangat malas kalau harus lembur di kantor. Ia lebih memilih bergelung nyaman dibalik selimut menunggu pagi tiba.
Rio memelankan laju kendaraan saat di depannya terdapat sebuah tikungan yang lumayan tajam. Ia berniat mengambil jalur agak tengah saat sebuah mobil melaju dengan sangat kencang ke arahnya membuat ia harus banting stir ke kiri, tetapi ia kembali terkejut saat mobil yang dibelakang melaju ke arahnya dengan kecepatan tinggi.
Tinnn!!
Brakk!!!!
"Arrghhh!!"
Kejadiannya sangat cepat. Rio bahkan tak bisa memahami apa yang tengah terjadi. Hanya saja ia merasakan seluruh tubuhnya sakit dan ia merasakan beberapa bagian tubuhnya mengeluarkan darah. Dadanya terasa sangat sesak karena menghantam setir kemudi, padahal ia memakai sabuk pengaman. Bahkan saking cepatnya, airbag tak sempat terbuka.
Benar-benar sial! Haruskah ia mendeklarasikan hari ini sebagai hari tersialnya? Sudah lembur di kantor sampai tengah malam dan harus kecelakaan?
Dengan susah payah, Rio mencoba mengambil ponsel dari saku celananya. Ia meringis menahan sakit yang terasa di lengan kanannya saat digerakkan. Setelah berhasil mengeluarkan ponsel dari saku celananya, ia mendial nomor panggilan cepat yang langsung terhubung ke Alvin.
"Gue … kecelakaan."
Tanpa mendengarkan jawaban Alvin, Rio menjatuhkan ponselnya karena tangannya terasa sakit dan kebas. Kepalanya terasa sangat pusing dan pandangan matanya mulai kabur.
Sebelum kesadarannya benar-benar terenggut, Rio melihat seorang perempuan keluar dari mobil yang menabraknya. Keadaan mobil itu pun tak kalah ringsek. Tapi perempuan itu masih sanggup keluar dari mobil meski Rio bisa melihat perempuan itu juga tidak dalam keadaan yang baik-baik saja.
❄️❄️❄️❄️
Baku tembak yang terjadi di depan sebuah gedung tak terpakai membuat malam yang awalnya hening menjadi begitu ricuh. Suara kaki yang sedang berlari dan juga meloncat sana sini menjadi background malam ini. Bahkan beberapa tubuh yang terbujur kaku dengan darah yang menggenang menjadi pemandangan yang cukup mengerikan.
"Blok semua pintu dan jangan biarkan siapapun keluar dengan selamat!" Intruksi dari seorang perempuan yang memakai baju serba hitam itu langsung dituruti oleh anak buahnya.
"Rose di pintu barat, segera blok pintu bagian utara!"
"Black di pintu utara sudah blok!"
"Levender blok pintu selatan!"
"Sudah dilaksanakan!"
Gadis dengan rambut di kuncir kuda sebahu itu mulai melangkah maju ke dalam gedung. Senjata andalannya ia pegang di tangan kanan, sebuah Ruger Super RedHawk. 454 Casull dengan kecepatan peluru 1.600 kaki per detik dan sebuah Desert Eagle yang ia sematkan di pinggangnya.
Raut wajahnya yang dingin semakin membuat aura membunuh begitu kental pada dirinya. Siapa yang tidak mengenal Rose? Ia dijuluki sebagai The Great Death oleh orang-orang yang mempunyai profesi yang sama dengannya.
Ia juga cukup ditakuti oleh musuh yang kebanyakan adalah gengster dan gembong narkoba.
"Rose, target berhasil lari! Ada jalan rahasia yang langsung menuju ke jalan raya."
Rahang gadis itu mengetat menahan geram. "Aku yang akan mengejarnya, kalian bereskan yang ada di sini!"
Bersamaan dengan gadis bernama Rose itu pergi, hujan deras mengguyur. Tak mempedulikan hujan, Rose tetap melajukan mobilnya secepat yang ia bisa. Target harus mereka ringkus malam ini juga, atau korban akan semakin berjatuhan. Karena target ini bukan hanya gembong narkoba biasa, tetapi juga gangster yang terkenal sangat kejam.
"Sial! Si brengsek itu," dumel Rose dengan mata yang masih fokus menatap mobil yang melaju lumayan jauh darinya.
Rose sedikit bersyukur karena operasi kali ini saat malam hari sehingga tak macet dan ia bisa bebas mengejar target.
Ponselnya bergetar membuat Rose segera mengaktifkan earphone mini yang sudah terhubung dan sedari tadi terpasang di telinganya.
"Rose, pasukan Black akan menghadang target di persimpangan depan, kamu hanya perlu mendesaknya dan membuatnya merasa terancam. Selanjutnya pasukan Black yang akan menanganinya."
"Oke!"
Setelah mendengar instruksi dari atasannya, Rose menambah kecepatan mobilnya dan mengaktifkan lampu khusus yang sangat terang dan membuat target merasa, posisi sudah dekat.
Tinggal beberapa meter lagi sebelum persimpangan, dan mereka harus melewati tikungan yang lumayan tajam. Rose menggeram karena target sama sekali tak menurunkan kecepatan mobilnya meskipun tikungan ada di depannya.
Rose terbelalak kaget saat melihat mobil target di depannya seperti hilang kendali dan terjun ke jurang, dan ia kembali terkejut saat tiba-tiba saja sebuah mobil dari arah berlawanan tepat berada di hadapannya.
Tabrakan pun tak terelakkan lagi. Rose tak bisa memelankan laju kendaraan saat jarak sudah sangat dekat. Gadis berdagu tirus itu melihat kap mobil depannya sudah tak berbentuk dan berasap.
Ia bisa merasakan luka di sekujur tubuhnya. Dengan tertatih dan menahan sakit, gadis itu keluar dari mobil. Sebagai anggota FBI, tentu saja ia sudah terlatih menghadapi kondisi yang membahayakan nyawanya sendiri.
Setelah berhasil keluar dari mobil, Rose melihat mobil di depannya yang juga tak kalah ringsek. Dengan tertatih, ia menghampiri mobil itu dan melihat sang pengemudi yang sudah tak sadarkan diri.
Rose mencoba membuka pintu, tetapi terkunci. Ia harus segera mengeluarkan pria ini atau ia akan ikut terbakar jika mobil meledak. Karena tak juga menemukan cara membuka pintu, Rose menghancurkan kaca belakang dan masuk ke dalam mobil untuk membuka pintu dan membawa pria itu keluar dari mobil.
Dengan susah payah, Rose memapah pria itu untuk menjauh dari mobil.
"Berat banget, sih! Makanya apaan?" omel Rose karena ia harus menahan sakit dan juga berat pria yang dibawanya.
DUAARRR!!!!
Kedua mobil meledak tepat setelah Rose berhasil membawa pria itu menjauh. Gadis itu mulai merasakan pandangannya mengabur. Samar-samar, ia melihat anggota pasukannya mulai mendekat sebelum gelap menyapa inderanya.
❄️❄️❄️❄️
Sekedar mengingatkan kalau ini bakal update suka-suka sebagai selingan aja, soalnya ini novel revisi yang bakal kurombak alurnya, judul awalnya My Lord Ice dan ada di *******
see uu
Rasa dingin yang menusuk tulang membuat Rio meringkuk dan mendesis dalam tidurnya. Tangannya meraba-raba untuk mencari selimut tetapi tak juga menemukan yang ia cari. Sementara dingin yang ia rasakan sampai membuat giginya beradu.
Karena kesal tak juga menemukan selimut untuk menutupi tubuhnya yang kedinginan, Rio terbangun dan langsung duduk.
"Siapa yang ngatur AC sampai sedingin ini sih? Nggak tahu apa lagi musim hujan," gerutunya sambil turun dari ranjang.
Begitu kaki telanjangnya menyentuh lantai, mata Rio yang awalnya masih lengket dan mengantuk langsung terbuka sepenuhnya.
Ini sangat dingin.
Rio merasa terbangun di kutub selatan.
"Gue dimana?"
Rio mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ini bukan kamarnya. Dan pantas saja dingin, semua hal yang ada di kamar ini terbuat dari es.
Sembari otaknya berpikir keras, Rio mengamati semua perabotan unik yang ada di kamarnya dan terakhir ke baju yang di pakainya.
"WHATT??!!"
Dengan tergesa Rio menuju ke salah satu dinding untuk melihat pantulan dirinya. Karena dinding ini juga terbuat dari es membuat Rio bisa melihat dirinya sendiri.
Hanfu panjang perpaduan warna putih dan biru, rambut panjang sepinggang berwarna putih dan mahkota dengan permata biru di tengahnya. Dan yang membuat Rio lebih terkejut adalah bola matanya berwarna biru kristal.
"Plakk!!"
"Auh, sakit!" Rio meringis merasakan pipinya sakit akibat tamparan tangannya sendiri.
"Anda sudah bangun, Yang Mulia?"
Rio tersentak kaget dan membalikkan badannya. Terlihat seorang pria dengan pakaian yang tak jauh berbeda tengah menunduk dan sebuah pedang terselempang di bahunya.
"Siapa lo?"
"Saya Cakka Feanor, tangan kanan Anda, Yang Mulia!"
Rio semakin ingin membenturkan kepalanya ke lantai. Percakapan macam apa ini?
Yang Mulia? Siapa?
"Apa di sini ada kamera tersembunyi?"
"Hah?!" Pria yang mengaku bernama Cakka itu tampak mengerutkan keningnya bingung.
"Kamera tersembunyi itu loh, mau nge-prank gue, kan?" tanya Rio lagi sambil melihat ke sekeliling. Mencoba menemukan kamera yang ia maksud.
"Kamera?" Cakka pun ikut kebingungan dan melihat ke sekeliling mengikuti tingkah Rio. "Apa itu kamera, Yang Mulia?"
Rio terduduk di tempat tidur. Prank ini membuatnya benar-benar sakit kepala.
"Apakah ada yang sakit, Yang Mulia?" Cakka mendekat dengan raut wajah yang khawatir.
"Kepalaku sakit gara-gara prank ini," sungut Rio.
"Lo bawa ponsel, kan? Gue mau hubungin seseorang!" pinta Rio sambil mengadahkan tangannya.
Cakka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ponsel itu … apa Yang Mulia?"
"KYAAAAAAA!!!! BISAKAH KALIAN KELUAR, HAH? GUE GAADA WAKTU BUAT ACARA PRANK KAYA GINI!"
Tak ada jawaban. Hanya Cakka yang memandang Rio dengan heran.
"Apa yang terjadi, Yang Mulia?"
"Berhenti panggil gue dengan sebutan kuno itu dan jelaskan apa yang terjadi!" pinta Rio geram. Jika ia menganggap ini hanya mimpi, rasanya terlalu nyata.
"Saya sudah menunggu tiga ratus tahun untuk membawa Anda ke sini Yang Mulia."
Penjelasan Cakka membuat Rio merasa jika dirinya sedang gila. Tiga ratus tahun? Ia saja tidak yakin bisa hidup lebih dari seratus tahun dengan fisik yang masih sama.
"Bisa nggak sih lo jangan membuat gue merasa jadi orang gila? Lo pikir ini di negeri dongeng? Gue jadi raja yang punya kekuatan gitu?"
Anggukan dari Cakka membuat Rio tertawa terbahak-bahak.
"Sepertinya gue harus ngasih piala oscar ke siapapun yang udah nyusun skenario kaya gini. Lo pikir gue bisa dibodohin? Mana ada gue bisa punya kekuatan?"
Rio mengayunkan tangannya ke arah dinding dan … splashh!
Sebuah cakram es yang berasal dari tangannya kini menancap di dinding.
Kini Rio terdiam melihat fakta yang ada di hadapannya. Apa yang baru saja terjadi? Kenapa tangannya bisa mengeluarkan cakram es seperti itu?
Rio memeriksa tangan dan seluruh tubuhnya. Siapa tahu masih tersisa cakram yang akan terlempar saat ia mengayunkan tangan.
Merasa tak percaya, Rio mencoba lagi untuk memastikan jika yang baru saja terjadi bukan karena cakram es itu terletak di bajunya.
Splashh!
Splashh!
Dua cakram es kini telah menancap di sebuah pilar.
"Hahahahaha, jadi gue punya kekuatan kaya gini?" gumam Rio menertawakan dirinya sendiri.
"Bahkan Yang Mulia mempunyai kekuatan yang lebih dari ini," timpal Cakka yang sedari tadi diam mengamati tingkah laku Rio.
"Jadi … sebenernya gue siapa? Ini dimana, dan kenapa gue bisa seperti ini?" tanya Rio beruntun.
"Tiga ratus tahun yang lalu, terjadi peperangan hebat antara bangsa Es dan bangsa Api. Tapi karena bangsa Api yang licik, mereka memanfaatkan kelemahan Yang Mulia untuk menghancurkan Istana Es dan membuat Yang Mulia harus terbunuh. Tapi, sebelum terbunuh Anda membuat barier untuk melindungi Istana Es dan menanam kristal es di jantung Anda sendiri. Anda bersumpah akan lahir kembali dan membuat perbatasan antara planet manusia, planet kita, dan planet bangsa api sehingga ketamakan bangsa api tidak akan membuat alam semesta hancur. Anda juga menyegel Raja Api yang membuatnya tak bisa meninggalkan Kerajaan Api jika tak ada kristal itu."
Rio mengurut keningnya yang terasa berdenyut sakit mendengar penjelasan Cakka. Ingin rasanya ia melambaikan tangan tanda menyerah.
"Jadi … kita dimana?" tanya Rio dengan lemah.
"Kita ada di istana kerajaan Es, Yang Mulia."
"YA GUE TAHU, TAPI INI DI MANA? APA MASIH DI BUMI ATAU DI NEGERI DONGENG?" Rio mendesis geram.
Cakka menunduk takut dan berkali-kali menggumamkan kata maaf. "Kita ada di planet Neptunus, Yang Mulia!"
"Lalu, bangsa api ada di planet Merkurius?" tanya Rio asal tetapi mendapat anggukan dari Cakka.
"****! Andai gila ada peringkat, kayaknya gue dapat peringkat pertama," gumam Rio. Bagaimanapun semua yang ia dengar sangatlah berada di luar nalar. Ia yang selama ini selalu berjibaku dengan logika ditampar dengan hal-hal ajaib yang selama ini ia yakini sebagai mitos. Dan mirisnya, ia adalah salah satu tokohnya. Benar-benar sulit dipercaya dan membuatnya hampir gila.
"Tapi gue harus pulang, ada tender besar yang harus gue menangin sampai gue mau repot-repot lembur dan kecelakaan."
Cakka mengerutkan keningnya bingung. "Tender?"
Rio menghembuskan napas kasar. "Udah nggak usah banyak tanya. Tapi gimana caranya gue pulang?"
"Sebentar lagi, dan sepertinya kekuatan Yang Mulia perlahan akan muncul. Tolong ijinkan saya untuk melindungi Yang Mulia di dunia manusia!" pinta Cakka.
"Terserah lo gue nggak peduli, yang penting gue bisa pulang," ketus Rio dan menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Kantuk yang tiba-tiba mendera membuat matanya mulai menutup perlahan. Sebelum benar-benar terlelap, Rio merasakan tubuhnya seperti tersedot ke ruang hampa, hingga kegelapan benar-benar membuatnya tak ingat apa-apa lagi.
❄️❄️❄️❄️
Kelopak mata yang sejak beberapa hari yang lalu tertutup itu kini mulai bergetar dan terbuka. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit kamar rumah sakit. Hingga beberapa saat kemudian ia ingat peristiwa kecelakaan malam itu.
"Ugh!" Gadis itu melepas selang oksigen dan mencoba untuk duduk.
"Rose, lo udah sadar?" Seorang pemuda datang menghampiri gadis yang menatapnya nyalang.
"Berapa kali gue bilang jangan panggil gue Rose kalau bukan saat bertugas, Iel!"
"Oke, gue nurut!" dengkus Gabriel. Masih sakit saja, gadis itu mampu mengintimidasinya.
"Apa yang terjadi?"
Bukannya menjawab, Gabriel malah menatap Ify heran. "Ya lo kecelakaan, emang nggak inget? Lo anemia?" tanya Gabriel dengan heboh.
Satu geplakan sukses mendarat di kepala Gabriel. "Amnesia goblok, anemia mah kurang darah."
Gabriel meringis sambil mengusap kepalanya yang menjadi korban geplakan gadis bar-bar di depannya ini.
"Berapa hari gue tidur?"
Gabriel tampak menghitung tangannya. "Lima hari."
"Gimana nasib si brengsek itu? Terakhir gue ingat, mobilnya masuk jurang."
"Udah innalilahi," jawab Gabriel singkat.
"Mayatnya ketemu?" Ify masih ingat peristiwa satu tahun lalu dimana ia mengejar salah satu gembong narkoba, mobilnya jatuh ke sungai dan langsung dinyatakan meninggal. Tapi beberapa bulan kemudian, Ify masih menjumpainya di salah satu bar dan tengah bertransaksi. Ia hanya tak mau kecolongan lagi.
"Ketemu lah, udah dikubur malah."
"Bagus," sahut Ify puas.
"Iya bagus, tapi lihat kondisi lo, masih aja bar-bar. Jadi cewek kalem dikit, kek!" sungut Gabriel.
"Iel!" panggil Ify yang membuat Gabriel mengerutkan kening heran.
"Apa?"
"Sini deh mau gue bisikin sesuatu!"
Gabriel yang penasaran pun mendekatkan dirinya dan bersiap menerima bisikan dari Ify.
"BODO AMAT!"
Gabriel terhuyung ke belakang sambil menutup telinganya yang berdenging.
Sialan!
Lagi-lagi ia terkena jebakan.
Ini mah bukan teriakan pake toa lagi, tapi peluit sangkakala. Rasanya Gabriel mendadak tuli sejenak setelah mendengar teriakan Ify tepat di telinganya.
❄️❄️❄️❄️
Lelehan lava yang berasal dari gunung api tampak membentuk sungai mengalir dari puncak gunung ke lembah. Beberapa retakan di tanah tampak terlihat percikan-percikan api. Tak satupun pohon yang tumbuh di sini. Semuanya gersang dan panas. Beberapa titik pusat api sesekali menyemburkan apinya ke udara.
Sesekali terdengar ledakan-ledakan kecil dari beberapa tempat. Bahkan matahari pun sangat dekat jaraknya. Bisa dipastikan, jika manusia biasa yang tinggal di sini ia akan terpanggang hidup-hidup.
Di sebuah istana yang dikelilingi dengan api terlihat seorang laki-laki dengan jubah merah tengah duduk di singgasana miliknya.
Di hadapannya seorang gadis bergaun merah dengan rambut dikuncir kuda tampak tengah menyalakan lilin-lilin untuk penerangan.
"Aku sudah bisa merasakan kristal itu, Dhea." Laki-laki itu membuka percakapan.
"Kalau begitu, reinkarnasi Dewa Es sudah lahir, Tuan?" tanya Dhea, gadis bergaun merah itu setelah selesai menjalankan tugasnya.
Laki-laki yang dipanggil Tuan itu mengangguk. "Tetapi aku merasakan energi kristal itu tak terlalu jauh. Sepertinya dia bereinkarnasi di bumi manusia."
"Lantas, apa yang harus kita lakukan, Tuan?"
Patton, sang Raja Api itu mengukir senyum sinisnya.
"Pergilah ke bumi manusia, selidiki siapa reinkarnasi Dewa Es itu, dan laporkan kepadaku."
Dhea mengangguk hormat dan sekejap kemudian menghilang. Patton tampak tersenyum puas setelah penantian panjangnya akhirnya tiba. Ia harus membunuh reinkarnasi itu sebelum Dewa itu menemukan ingatannya kembali. Sampai kristal berhasil di dapatkan, ia tak akan pernah bisa meninggalkan istananya karena kutukan dari Dewa Es sialan itu.
"Tunggu saja, aku pasti akan merebut kristal itu dan membunuhmu lagi seperti dulu, Damian."
❄️❄️❄️❄️
"Dok, ini beneran, 'kan?"
Ini adalah pertanyaan kesepuluh Alvin semenjak Dokter mengatakan jika Rio hidup kembali.
Lima jam setelah Rio dioperasi, dokter menyerah dan mengatakan jika peluang Rio untuk hidup sangatlah kecil. Benturan di dada membuat pembuluh darah pecah dan jantung tak bisa memompa darah sebagaimana mestinya. Hal yang membuat dokter tak segera mengambil tindakan dikarenakan ada benda asing yang berada di jantung Rio.
Tim dokter mengalami dilema, karena jika benda itu diambil, sangat membahayakan nyawa Rio, tetapi jika tidak diambil, mereka tak bisa melakukan opersi. Akhirnya tim dokter hanya melakukan operasi kecil untuk membuat jantung Rio kembali berfungsi normal tanpa mengambil benda yang ada di jantung pemuda itu.
Tetapi manusia hanya bisa berusaha, tepat tiga puluh menit setelah dioperasi, Rio mengalami kejang hebat yang membuatnya menghembuskan napas terakhir.
Alvin yang saat itu menunggu di depan ruang operasi sampai tak percaya dan hanya bisa duduk terdiam tanpa melakukan apapun. Baginya, Rio lebih dari sekedar teman dan sahabat.
Sejak kecil, mereka sudah bersahabat. Bahkan saat kedua orang tua Rio mengalami kecelakaan dan meninggal, salah satu orang yang mendapat pesan adalah Alvin. Orang tua Rio berpesan kepada Alvin untuk menjaga pemuda itu.
Saat itu Rio masih berada dalam perjalanan dari luar negeri dan Alvin yang mengurus semuanya. Setelah itu, ia memilih untuk tinggal bersama Rio dan menemani sahabatnya agar tak sendirian. Orang tuanya pun tak masalah karena mereka juga sudah menganggap Rio seperti anak sendiri.
Karena itulah ia masih tak percaya jika Rio juga meninggalkannya dalam waktu secepat ini.
Tetapi saat Rio dibawa ke kamar jenazah, Alvin melihat jari pemuda itu bergerak. Ia langsung mendesak dokter untuk memeriksa dan dokter menyatakan jika Rio hidup lagi. Bahkan, pembuluh darah yang pecah kembali seperti semula seolah tak pernah terjadi kecelakaan. Jantung berfungsi normal dan bisa kembali memompa darah. Luka lebam dan beberapa goresan akibat kaca yang pecah juga hilang. Semua organ vital normal dan wajahnya juga tak lagi pucat. Rio hanya seperti orang yang sedang tidur.
Hal itu juga membuat para dokter heran. Mereka tak pernah menemukan kasus seperti ini. Meski Alvin juga heran, tapi pemuda itu mendesak dokter untuk tak mengatakan hal ini pada siapa pun.
Alvin kini hanya duduk di sebelah ranjang Rio, menunggu pemuda itu bangun dan menanyakan hal aneh yang terjadi. Sudah satu minggu sejak Rio dinyatakan meninggal, tapi pemuda itu belum sadar juga.
"Nggak mungkin!"
Alvin terjengkang dan jatuh dari kursi saat Rio tiba-tiba saja terbangun dalam posisi duduk dan juga berteriak.
"Encok dah pinggang gue," ringis Alvin meratapi nasib pantatnya yang mencium lantai.
Rio yang mendengar rintihan Alvin sontak menoleh dan memandang pemuda itu heran.
"Lo ngapain duduk di lantai?"
Alvin mendelik kesal melihat Rio yang bertanya seolah tak punya dosa.
"Lagi semedi, puas!"
"Ngapain? Mau punya kekuatan kaya gue?" Rio terkekeh. Ia jadi teringat apa yang baru saja ia alami. Apakah itu mimpi, atau nyata?
Netra hitam milik Rio menjelajahi isi ruangan dan baru sadar ia berada di rumah sakit.
"Ngapain gue di rumah sakit?"
"Perasan yang luka parah itu jantung bukan kepala. Lo bego apa amnesia?" sinis Alvin yang sudah berdiri dan membersihkan celananya.
Rio mengeryitkan keningnya bingung dan mengingat apa yang terjadi. Akhirnya ia ingat jika sebelumnya ia mengalami kecelakaan. Tangannya yang bebas meraba tubuhnya untuk menemukan luka yang terjadi akibat kecelakaan itu.
"Kok gue nggak luka?" tanya Rio heran.
Alvin mengedikkan bahunya.
"Seharusnya gue sih yang tanya. Lo udah divonis meninggal setelah operasi, bahkan lo udah hampir dimasukin ke kamar jenazah. Tapi tiba-tiba tangan lo gerak dan pas diperiksa dokter semua organ vital lo normal, luka lo menghilang dan lo hidup lagi," jelas Alvin panjang kali lebar yang membuat Rio terdiam.
"Apa mungkin ...."
❄️❄️❄️❄️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!