NovelToon NovelToon

Step By Step

SBS-01

...Selamat membaca...

...Jangan lupa like, komentar, subscribe, vote dan hadiahnya jika berkenan ☺️...

...Terima kasih...

...[•]...

“Lo mau dikawinin?” cerocos Ocha dengan mata terbelalak dan suara melengking hingga seluruh penghuni kelas menoleh kearah mereka.

Seren—sapaan akrab Serena Atmajaya—menatap sengit sahabat karibnya. Wanita dengan seragam ketat itu kini mencebik kesal sambil mengipasi wajahnya dengan buku yang baru saja ia sambar dari atas meja. Diluar cuaca cukup panas, tetapi didalam, Seren merasa lebih panas karena kesal pada Ocha yang berekspresi menyebalkan atas berita menyedihkan yang baru saja ia sampaikan. Seren ingin sahabatnya itu memberinya masukan, bukan kaget dan membuat seisi kelas tau, begini.

“Ini nggak bakalan terjadi sama gue, kalau gue nggak ngikutin saran Lo tempo hari buat kabur sama Kito, be-go!”

“Lho, kok jadi gue yang salah?”

“Terus siapa? Gue sendiri, gitu? Kan yang nyuruh gue lari sama Kito, elo, Cha?!” kesal Seren karena sekarang, Ocha seperti cuci tangan, pura-pura lupa dan menghindari fakta yang dua hari lalu perempuan itu sarankan padanya.

Memang, caranya cukup ampuh. Tapi tidak untuk kebaikan hubungan Seren dan Kito, kekasihnya.

Sejak awal, Papa Seren memang tidak suka dengan Kito. Alasannya simple, laki-laki itu bukanlah kriteria papanya. Terlalu bebas, bukan dari keluarga kaya raya, terlalu menjurus ke arah premanisme karena penampilan Kito yang memang sedikit urakan. Tapi Seren suka tipikal pria seperti si Kito itu. Daripada cowok yang hendak dijodohkan dengannya? Malah terkesan lebih parah dari Kito.

“Siapa? Lo mau kawin sama siapa?” tanya Ocha dengan intonasi suara yang masih tinggi. Seluruh isi kelas memasang telinga guna mendengar kabar berita terkini mengenai si Seren, gadis pujaan sejuta umat. Terutama kaum Adam.

Perlu diketahui, Seren adalah salah satu murid perempuan famous di sekolah. Wajahnya cantik, anak orang kaya, dan tentu saja diberi kesempurnaan lebih pada otaknya. Dia adalah murid yang bisa dikatakan cerdas. Apa

Buku setebal 58 lembar itu melayang bebas di salah satu lengan Ocha. Gadis itu mengaduh karena pukulan Seren tidak main-main kerasnya. “Bisa pelan aja nggak ngomongnya? Gua iket bibir Lo baru tau rasa Lo, ya?!”

Ocha melipat bibirnya ke dalam. Ia menangkap sarat emosi di manik mata Seren yang indah dan di kelilingi bulu mata lentik itu takut-takut. “Sorry.”

Seren mencebik. Dia bahkan mendelik menatap seluruh isi ruangan agar tidak menatap dirinya lagi. Tatapan penuh telisik dari mereka, sangat menyebalkan.

***

Hari ini, Cello tidak berminat untuk datang ke sekolah. Alih-alih bangun pagi, Cello justru baru membuka matanya di jam tujuh pagi karena ponselnya yang bergetar. Bukan di kamarnya sendiri, tapi kamar orang lain.

Setelah berdebat sengit dengan papanya, semalam. Cello memilih pergi dari rumah dan tidak pulang. Ia menginap di rumah Jaka, teman sekelas yang akrab dengannya. Meskipun dia tau akibat dari pilihannya hari ini justru tidak memperbaiki masa depannya, Cello tidak peduli. Dia masih muda, belum ingin menikah.

Dia sangat malas berada dirumah apalagi sampai bertemu papanya. Jika dirumah Jaka, dia merasa lebih tenang karena ibu Jaka memperlakukannya seperti anak sendiri. Buktinya, mata Cello baru terbuka di jam segini saja, wanita itu tidak mengusiknya. Malah menyiapkan sarapan enak untuk ianlahap pagi ini. Ibu Jaka memang the best.

“Ada apa, Jak?” tanya Cello dengan suara serak khas orang bangun tidur. Dirinya baru saja dikejutkan oleh panggilan telepon dari Jaka, sang tuan rumah yang telah sampai disekolah.

“Bangun Lo, bro. Disekolah ada bokap Lo!”

Tidak terkejut. Cello justru kembali memejamkan mata dan mencari posisi nyaman untuk kembali berniat menyelami samudra mimpi yang menurutnya lebih indah daripada kisah hidupnya di dunia nyata.

“Eummm.” jawabnya, singkat dan santai.

“Gua nggak bohong, El. Lo harus Dateng ke sekolah sekarang.”

“Apa yang mengharuskan gua datang ke sekolah, Jak? Bokap? Basi! Udah ah, males gua. Pingin ti—”

“Bokap Lo Dateng ke ruang administrasi dan minta surat pindah buat Lo masuk ke sekolah militer.” jawabnya sedikit menaikkan intonasi suara.

What the He-ll.

“Apa sih mau papa?!” gumam Cello dalam hati. Dia memang tidak peduli dengan pendidikan, apalagi sekolah. Tapi dia benci jika papanya mulai ikut campur dan mengusik ketenangan serta ketenangannya di tempat favoritnya untuk mencari masalah. “Lo ngga lagi ngeprank gua kan?”

“Kagak. Lo cepet Dateng ke sekolah deh, atau Lo bakal nyesel terlambat karena Papa Lo mau mindahin Lo ke asrama putra sekolah tentara—”

“Bangsaat!!!” umpatnya menyela kalimat Jaka. Ia pun bergegas bangkit dari tempat tidur nyaman milik Jaka, masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka, lantas memakai seragamnya yang kemarin malam ia gantung di belakang pintu kamar Jaka setelah menggantinya dengan kaos dan celana pendek milik temannya yang dipinjamkan. Cello benci dengan ambisi papanya untuk menjadikannya seorang pembela negara. Cello hanya ingin hidup normal dan bebas menghabiskan kekayaan papanya yang mungkin, tidak akan habis dimakan tujuh turunan itu.

Tanpa sarapan untuk mengganjal perut, Cello melajukan motor sport besar miliknya dengan kecepatan tinggi di jalan. Hanya butuh waktu tidak lebih dari lima belas menit dari jarak tempuh yang seharusnya memakan waktu tiga puluh menit untuk sampai. Koridor sekolah sudah sepi karena semua murid sudah masuk kedalam kelas.

Kaki jenjangnya berlari menyusuri lantai keramik hingga sepatu mahalnya berdecit setelah mendapati mobil mewah papanya memang ada di barisan parkir mobil-mobil milik guru yang berjejer rapi. Bibirnya tidak berhenti merapal umpatan untuk sikap papanya yang sumpah demi Tuhan, sangat dia benci.

Bahkan, Cello bersumpah akan pergi dari rumah dan menjadi gembel jika sampai surat pindah sekolahnya berhasil dibuat dan dia harus menjadi siswa pendidikan militer. Ya, dia akan kabur dan pergi selamanya dari rumah.

Ngomong-ngomong soal rumah, seisi rumah adalah orang terpandang yang dihormari. Papa dan almarhumah mamanya adalah seorang dokter dan pemilik salah satu rumah sakit swasta terbaik di ini kota. Cello bukanlah anak satu-satunya. Dia memiliki satu kakak perempuan yang berprofesi sebagai seorang dokter obgyn, dan satu kakak laki-laki yang juga seorang dokter ortopedi dan menjadi direktur rumah sakit yang sama. Dua-duanya benar-benar menjadi boneka sang papa dan tentu saja, Cello juga tidak sudi untuk hal itu.

Tapi, berbeda dengan kedua kakaknya, Cello lebih cenderung dibentuk oleh sang papa menjadi seorang abdi negara karena melihat fisik Cello yang memang tangguh.

Pintu kaca ruang administrasi sekolah ia buka dengan dorongan kuat. Ia bisa melihat dengan jelas punggung papanya dari tempatnya berdiri. Lalu dengan langkah penuh amarah, dia mendekat.

“Papa mau apa kesini?” teriak Cello dengan suara tinggi. Dia sama sekali tidak peduli jika para guru disini melebelinya sebagai anak bermasalah yang keterlaluan, tanpa etika baik untuk orang tua.

“Apalagi memangnya?” jawab si papa tenang. Ia tidak berniat melihat atau sekedar menoleh untuk memastikan keberadaan Cello. “Kalau bukan merealisasikan ucapan papa semalam, sebelum kamu kabur dari rumah.”

“Ck! Berhenti membuat Ello jadi boneka papa, pa?!” lanjut Cello masih dengan suara bentakan cukup mencengangkan beberapa petugas administrasi yang ada di dalam sana.

Tanpa mengurangi wibawa di dirinya, Pradana berdiri, menatap wajah putra bungsunya penuh intimidasi. Lalu tersenyum disudut bibir. “Makanya, nurut sama papa kalau nggak mau masuk sekolah militer.”

Cello mengeratkan rahang sembari membuang tatapan. Menikah, terlalu gila untuk remaja seperti dirinya.

“Tapi nggak nikah juga, Pa! Ello masih muda—”

“Siapa bilang nikah? Kalian cuma akan bertunangan.”

“Sama saja. Papa pasti akan memaksa El untuk menikah setelah lulus nanti. Ya kan?”

Petugas administrasi didalam sana cukup terkejut mendengar ucapan Cello Trias Pradana yang terkenal dingin dan menakutkan dimata murid-murid seantero sekolah.

“Papa perlu mengajarimu cara hidup yang benar. Titik.”Putus pria paruh baya yang wajahnya tak lekang oleh usia itu. “Sekolah militer, cocok untuk kamu.” lanjutnya sembari mengeluarkan kartu hitam dari dompetnya untuk melunasi semua administrasi dan tunggakan yang ternyata cukup membuat Pradana terkejut. Putra bungsunya terlalu mahir memanipulasi keuangan yang selama ini ia berikan. Bibit-bibit koruptor dalam jiwa putranya akan terus tumbuh jika tidak dibasmi mulai dari sekarang.

“Cello akan terima kesepakatan dengan papa, jika papa mau membatalkan dan membiarkan Cello tetap disini.”

Trik yang dibuat Pradana berhasil. Mulai sekarang, dia akan memantau putranya itu lebih intens. Selain itu, dia tidak perlu lagi memikirkan wanita yang akan menjadi pendamping Cello kelak. Cukup kolot, tapi Pradana sudah hampir menyerah menanggapi kenakalan putranya itu.

Lengan Pradana mengapung diudara, ia lantas menarik kembali lengan itu dan memasukkan kartu hitamnya kedalam dompet. “Oke. Kita bicara nanti, dirumah setelah papa pulang kantor.” senyum di bibir Pradana mengembang. Akhirnya, putranya itu bisa sedikit ia kendalikan. Atau setidaknya, dia bisa mengontrol apa-apa yang dilakukan Cello.

Decakan cukup keras menjadi penutup suasana menegangkan antara ayah dan anak itu. Hingga kemudian, Cello meninggalkan ruangan tanpa pamit yang seharusnya ia lakukan penuh kesopanan.

Pradana tersenyum hangat kepada salah satu petugas administrasi yang membantunya hari ini. “Maaf ya, Bu. Saya hanya ingin membuat Cello kembali menjadi anak baik seperti sedia kala sebelum dia berubah seperti sekarang.”

“Ah, iya. Bapak tidak perlu meminta maaf kepada saya.”

“Terima kasih untuk kerja samanya. Saya pamit.” []

...To be continue...

###

Hai-hai, cerita baru nih kakbeb. Semoga suka ya ...

Konfliknya ringan, dan nggak bikin beban. Hehehe

Silahkan di subscribe agar tidak ketinggalan update bab selanjutnya

Jangan lupa baca disclaimer, biar ngga salah faham ☺️

See you

...•••••••••••••••...

...•Disclaimer•...

...-Cerita ini murni imajinasi penulis....

...-Jika ada kesamaan nama visual, gambar properti, ataupun latar yang ada didalam cerita, merupakan unsur ketidaksengajaan....

...-Semua karakter didalam cerita hanya fiksi, tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupan/watak tokoh yang menjadi Visual didalam dunia nyata....

...-Diharap bijak dalam menanggapi semua yang tertulis dalam cerita, baik itu tata bahasa, sesuatu yang bersifat mature ataupun tindak kekerasan....

...-(Point terpenting!!) Hargai karya penulis untuk tidak menjiplak/meniru tanpa izin dari penulis. Dan juga dimohon kebijakannya untuk tidak menyamakan dengan cerita lain....

...Regret,...

...Author....

SBS-02

...[•]...

Dulu, Cello itu memang pembangkang. Apapun yang coba diterapkan padanya, selalu gagal dan wal hasil, banyak sekali panggilan yang ditujukan kepada Pradana, dari sekolah sebelum-sebelumnya.

Cello pernah dua kali di drop out dari sekolah karena tertangkap basah merokok di kantin sekolah. Selain itu, dia juga pernah tidur di dalam kelas saat jam pelajaran sedang berlangsung. Dan masih banyak lagi kenakalan lainnya yang membuat orang lain geleng kepala.

Di tunjang oleh harta papanya yang luar biasa mentereng, membuat Cello tak ragu untuk bergaya dan berselera.

Ngomong-ngomong soal selera, Cello memiliki kriteria-kriteria tersendiri untuk sesuatu yang ia suka. Misalkan fashion, Cello lebih suka berpenampilan simple dengan konsep dark. Hitam dan abu-abu adalah warna yang selalu ia pilih untuk menemani keseharian.

Sedangkan untuk kekasih, spesifikasi yang ia suka dari seorang perempuan itu ... tidak ada. Dia tidak ingin kesulitan mengurus wanita. Karena menurutnya, wanita itu menyusahkan dan banyak menuntut. Cello ingin hidup bebas.. Tidak terikat apapun adalah motto hidupnya.

Jam menunjuk angka tujuh malam saat ia sampai dirumah. Kakak laki-lakinya menjadi pemandangan pertama saat pintu rumah berhasil ia buka.

“Dari mana saja kamu, dek?” panggil pria yang sebentar lagi akan menikah itu dengan suara pelan. Arman sangat menyayangi Cello, meskipun terkadang dia juga kesal pada kelakuan adiknya yang tengil itu.

Tidak menjawab, Cello justru melengos dan berjalan cepat melewati Arman yang sedang sibuk membaca buku pengetahuan tentang kedokteran. Pria tampan berkaca mata itu mende-sah lelah melihat tingkah sang adik yang belum juga mau berubah meskipun papa mereka sudah memberikan ancaman yang tidak main-main.

“Kalau kamu tetep kayak gitu, papa nggak akan mikir dua kali buat kirim kamu ke sekolah militer.” tegurannya setengah mengancam. Arman tau, Cello akan bereaksi jika pembicaraan yang di bahas adalah tentang jalan hidupnya yang berusaha di kendalikan oleh sang papa. “Papa tadi telepon ke mas Arman, suruh jaga kamu karena nggak bisa pulang—”

“Mas Arman tau bagaimana papa, kan? Ya begitulah dia, diktator kelas atas di rumah. Nggak pernah mau peduli sama anaknya. Bisanya cuma ngancam—”

“Papa nyari duit buat biaya hidup kamu. Buat biaya masa depan kamu.” sahut Arman cepat. Kalimat itu mematahkan ego Cello yang sejak tadi ingin ditampakkan dengan angkuh. “Coba deh, kamu ngerenung satu kali aja, ya satu kali aja, bagaimana tingkah pola papa nyari duit buat kita.” lanjut Arman mencoba membujuk Cello agar mau paham situasi. “Papa ingin yang terbaik buat kita, bukan buat dia sendiri.”

Menatap nanar, entah mengapa Arman hari ini terlihat begitu menyebalkan dimata Cello. Biasanya, Cello selalu luluh saat arman yang bicara. Tapi malam ini, pria itu berpihak pada papanya. Hal itulah yang membuat Cello tidak suka dan kesal kepada kakak laki-laki yang biasanya menjadi malaikat untuknya.

“Papa terlalu maksa, mas. Aku nggak mau jadi tentara. Aku mau hidup sebagai rakyat biasa.”

“Kalau begitu, ubah kebiasaan burukmu. Buat papa percaya agar tidak lagi memaksamu mengikuti kemauannya.” sahut Arman mendapatkan celah dalam pembicaraan. “Intinya, buat papa percaya kalau kamu, nggak seburuk yang papa kira.”

Pintu utama kembali terbuka. Kali ini kakak perempuan Cello dan suaminya datang bersama putri cantik mereka, Ciara.

“Om Ello.”

Cello menghela nafas. Dia hanya ingin hidup tenang.

Gadis kecil itu meronta turun dari gendongan sang papa, lantas berlari mendekati Cello yang mencoba bersikap santai.

By the way, Ciara suka berada didekat Cello karena dia pernah mengajaknya keliling kompleks dengan sepeda kayuh. Ciara bahagia, dan ya beginilah sekarang. Dia suka berada di sekeliling paman muda nya.

“Ada apa sih, Ci. Om mau mandi dulu.”

“Kenapa baru pulang?” ketus Diana yang kini duduk di sofa samping Arman. Ibu satu anak itu menatap si bungsu dengan tatapan tajam, persis seperti tatapan mata sang papa.

“Ya ngapain juga di rumah, mbak. Males.”

“Kamu pelajar, kan? Harusnya kamu belajar.”

Apes.

Kalau bertemu dengan kakak perempuannya, Cello selalu merasa kalau dirinya sedang apes karena Diana, tidak jauh beda dengan papanya.

“Kan udah di sekolah, mbak. Bosan ih belajar terus. Nanti aku tambah pinter kalau belajar mulu.”

“Ngeles aja kalau di ajak ngomong. Pantes saja papa selalu emosi kalau ngajak kamu ngomong.”

“Salah sendiri. Siapa juga yang mau diajak ngobrol.”

“Cel,” tegur Arman mulai menjadi pihak penengah. Memang cocoknya, Arman ini jadi wasit kalau sedang berada di satu ruangan bersama kakak dan adiknya. Mereka tidak pernah akur. Dari dulu seperti itu. “Udah, kamu mandi sana, terus belajar. Mau kamu jadi gelandangan kalau papa putus fasilitas yang diberikan ke kamu?”

Mendengar Arman yang bicara, Cello memilih mengalah dan pergi. Dia bahkan tidak peduli dengan Ciara yang mengejarnya hingga didepan pintu kamar karena minta ditemani bermain.

Seperginya Cello, Diana tidak diam begitu saja. Dia justru melampiaskan kekesalannya pada adik pertamanya, Arman.

“Kamu itu, jangan lindungi dia kalau mbak lagi marahi atau nasehati dia, Ar.”

Arman melepas kacamata yang bertengger di hidung bangirnya. Ia menatap lembut pada kakak perempuannya yang keras kepala melebihi papanya itu.

“Gini lho mbak. Kalau mbak menekan dia sama seperti papa, dia makin nggak betah dirumah.” jawab Arman dewasa. “Arman nggak bela Cello, tapi lebih mencoba mengarahkannya dengan mengambil celah dari satu sisi hatinya agar tersentuh dan mau mendengarkan. Kalau dipaksa, anak modelan Cello itu justru semakin berontak dan nggak bisa diatur.” lanjut Arman membuat Diana yang tadi bersungut-sungut, kini diam. “Jangan jadi seperti papa yang selalu memaksakan kehendaknya harus dituruti, mbak. Cello juga punya keinginan untuk hidupnya sendiri.”

Diana memperhatikan adiknya lamat-lamat.

“Kalau kita, memang tipikal iya-iya saja saat di tuntut papa untuk jadi sempurna dan jadi seperti yang papa mau. Tapi beda kasus dengan Cello. Dia tidak bisa dipaksa seperti kita, mbak. Dia anaknya tidak bisa dikendalikan.”

Arman memungut buku yang tadi sempat ia letakkan di meja. Istirahat dan chating dengan Sintia, mungkin akan lebih menyenangkan.

“Tolong awasi dan beri arahan saja pada Cello jika dia sedang bandel. Atau kita akan kehilangan dia kalau terus memaksanya untuk menjadi sesuatu yang tidak dia inginkan.”

***

“Papi, Seren nggak mau nikah muda,” rengek gadis belia semata wayang yang dimiliki keluarga Tantono itu di lengan sang ayah. Dia sedang merayu agar pertunangan yang disodorkan kepada dirinya, dibatalkan. “Papi nggak kasihan, kalau nanti Seren punya anak sebelum waktunya? Apa nanti papi nggak kangen sama Seren kalau nanti setelah nikah, Seren hidup sama orang lain? Bukan mami dan papi?”

“Kamu sudah bikin papi kecewa, Ren.”

“Seren janji deh, nggak akan ngulangi itu lagi. Lagipula, Seren dan Kito sudah putus kok pap??”

Tantono menggeleng tidak percaya pada ucapan putrinya sendiri yang menganggap seolah berpacaran itu wajar. Seren juga pernah bilang, jika dia berpacaran hanya untuk ajang bersenang-senang. Tapi tidak. Itu sama sekali tidak wajar untuk ukuran orang tua. Apalagi, anak mereka perempuan, jelas nanti akan menjadi pertimbangan tersendiri bagi seorang laki-laki yang hendak meminang, terlebih Seren ini tipikal cewek yang agak centil dan ganjen.

“Kali ini, papi nggak akan ngubah keputusan papi buat kamu. Kalau kamu mau nolak, bilang sendiri ke mami mu saja.”

Mami? Sama saja masuk ke kandang singa. Maminya itu justru lebih galak melebihi induk singa.

Bibir Serena maju kedepan seperti paruh burung Pelecanus conspicillatus. Rayuannya tidak berhasil membuat papanya luluh.

“Papi nggak asyik ih?!” cebiknya kesal. Sumpah demi celana da-lam Spongebob, Serena ingin sekali lari dari rumah, dan pergi ke biki-ni bottom agar hidup bebas bersama makhluk kotak berwarna kuning itu didasar laut. “Ngomong sama mami, sama saja nyari perkara. Bisa-bisa Seren nggak doyan makan tujuh hari tujuh malam, Pi.”

“Ya sudah. Nurut.”[]

...Bersambung...

...🌻🌻🌻...

###

yang nurut, Ren. Papimu pusing mikirin kamu yang udah berani kabur sama si jantan. Jadi ya, nurut aja. Lagian, mas Cello itu ganteng kok. Ini buktinya,

SBS-03

...Selamat membaca...

...Jangan lupa like, komentar, subscribe, vote dan hadiahnya jika berkenan ☺️...

...Terima kasih...

...[•]...

“Ini nggak bisa didiemin. Gue harus ketemu sama anak begundal itu. Gue harus bisa yakinin dia, kalau perjodohan ini tidak harus diteruskan.” gumamnya resah saat melihat punggung Cello yang sedang berjalan di koridor sekolah dengan headset di telinganya. “Gue harus bisa memanipulasi isi kepala pria bodoh itu, agar mau menolak pertemuan yang akan dilakukan papi dan papanya malam ini.”

Ya, benar. Malam ini dua keluarga itu akan bertemu. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk membahas tentang kesepakatan yang berupa sebuah ikatan pertunangan.

Mengesampingkan banyak siswa siswi di koridor, Serena meraih paksa pergelangan tangan Cello dan menariknya untuk ikut bersamanya ke roof top sekolah. Disana adalah tempat paling aman untuk membicarakan hal ini.

Cello yang terkejut, hanya bisa mengikuti langkah murid cantik berpakaian ketat itu menuju tangga penghubung dan sampai di halaman luas bagian atas sekolah.

Sesampainya disana, Cello menarik kasar lengannya, lalu menatap murid perempuan didepannya itu. Cello bahkan tidak kenal, apalagi tau namanya.

Melihat tatapan datar Cello, Serena memilih tersenyum kaku dibuat-buat. Senyuman formalitas yang selalu ia tunjukkan pada banyak siswa yang mencoba mengungkapkan perasaan kepadanya.

“Hai, Lo Cello kan?”

Tak menggubris, Cello masih bungkam.

“Gue Serena, perempuan yang bakalan jadi tumbal keluarga ... ah tidak! Gue cewek yang mau di kawinin sama lo.”

Cello menghela nafas terang-terangan. Lihat, perempuan memang merepotkan bukan? Untuk apa bicara begini saja sampai harus menaiki anak tangga dan bikin keringat? Nggak guna.

“Gini ya, Cello. Gue tuh nggak mau nikah muda, apalagi sama begundal kayak—”

“Siapa juga yang mau nikah sama cewek spek cabe kayak kamu.” sahut Cello sarkas yang berhasil mengundang delikan lebar mata Serena.

Cabe? Cabe-cabean maksudnya?

Eh, enak aja?!

“Maksud Lo?” tanya Serena dengan alis berkerut tajam hingga hampir menyatu.

Tak langsung memberikan jawaban, Cello kini menatap Serena dari ujung kaki hingga ujung kepala. Lalu, tatapan mereka bertemu, terkunci dengan durasi yang tidak terhitung.

“Lo bukan tipe gue. Jadi mending Lo bilang ke papa Lo, kalau gue nggak mau—”

“Nah ini masalahnya.”

Cello kini menatap alis Serena. Malas saja jika harus menatap lama mata indah gadis itu. Ah, maaf. Maksudnya mata belekan yang dipoles memakai pewarna hitam pada lengkungan segaris kelopaknya.

“Kita nggak saling kenal. Sama seperti yang Lo ucapin ke gue, gue rasa Lo juga bukan tipe gue.”

“Lalu?”

“Ya udah. Lo ngomong aja ke orang tua Lo, kalau elo nggak suka sama gue. Biar nanti, nggak jadi—”

“Ya Lo aja yang ngomong. Papa gue pasti mundur kalau Lo nolak.”

“Masalahnya—”

“Hidup Lo masalah Mulu, ya?” potong Cello tanpa tedeng aling-aling.

“Gue lagi serius, kampret!” umpat Serena tidak tahan dengan sikap sok yang dipertontonkan Cello didepan matanya. Serena belum pernah mendapati cowok macam Cello yang terlihat tidak tertarik sama sekali padanya. Karena, biasanya, hampir semua laki-laki bertekuk lutut pada pesona miliknya.

“Dengerin gue.” kesal Serena yang mengubah tatapan matanya menjadi sengit sarat perang. “Di pertemuan nanti, gue harap Lo mau kerja sama buat nolak perjodohan konyol ini.”

Cello membuang muka. Ia tidak sudi di kendalikan seperti ini. Siapa dia memangnya berani mencoba menekannya agar menjadi penurut?

“Kita harus kompak nolak. Biar orang tua kita yakin kalau kita memang nggak cocok.”

Cello mengernyitkan alis saat matanya menatap matahari yang teramat cerah di langit pagi.

“Kalau gue nolak ide Lo?” katanya, menentang.

Serena mendelik lebar. Kesal sekali karena Cello sepertinya akan sulit diajak bekerja sama.

“Jadi, Lo mau nikah sama cewek macam gue? Cewek spek cabe kayak yang Lo bilang tadi?” kesal Serena sedikit meninggikan suara. Ia tidak menduga jika Cello akan memberikan jawaban diluar dugaannya.

Bahu Cello mengedik singkat. Ia lantas memutar tumit hendak pergi meninggalkan Serena. Pembicaraan tidak berguna seperti ini, wajib dihindari. Membosankan. Bikin mood tambah hancur.

“Hey! Lo bakalan nyesel kalau sampai beneran nikah sama gue!” teriak Serena tak kenal kondisi. “Sialan!” umpatnya kencang, lantas mengejar Cello dan menarik bahu laki-laki itu agar kembali melihat ke arahnya.

Hal lain yang tidak disangka oleh Serena adalah, Cello yang menampik lengannya hingga dia hampir jatuh ke belakang. “Lo gila ya?!” pekik Serena marah. Ia kembali berjalan, kali ini menarik seragam Cello hingga kusut untuk menuntut permintaan maaf dari laki-laki tersebut.

“Gue hampir jatuh, dan Lo nggak mau minta maaf?” tuntut Serena tidak tinggal diam. Membiarkan pemuda menyebalkan, begundal dan congkak seperti Cello pergi begitu saja, sama saja menjatuhkan harga dirinya yang selama ini ia agungkan.

“Lo nggak jatuh, kan? Jadi gue nggak perlu minta maaf.”

Rahang Serena mengerat, telapak tangannya mengepal kuat hingga jari-jari lentiknya memutih. Cello ternyata lebih menyebalkan dari yang ia kira. Jika seperti ini, rencana yang ia susun untuk membatalkan perjodohan konyol yang disusun dua keluarga, bisa gagal total.

Tapi, bodo amat. Serena hanya tinggal hadir di acara tersebut, lalu menolak terang-terangan. Dia tidak ingin tinggal apalagi hidup bersama dengan laki-laki seperti Cello yang tidak bisa menghargai dirinya.

“Oke. Sampai jumpa nanti malam, Cello Trias Pradana yang sombong dan congkaknya bukan main?!”

***

“Seren nggak mau ikut, papi. Mami. Seren nggak mau nikah sama cowok itu.” rengek Seren di dalam mobil. Ia sama sekali tidak digubris kedua orangtuanya. Ya, sejak tadi, dia mencoba untuk menolak pertemuan malam ini. Tapi mami nya marah besar dan berhasil membuat nyali Serena ciut.

Mungkin, jika posisinya tidak bersalah, Serena bisa menjabarkan alasan realistis penolakannya terhadap rencana pernikahan ini. Tapi, Serena terlanjur cacat di mata kedua orang tuanya. Dia terlanjur melanggar aturan papinya karena malam itu, dia tidak pulang dan kabur bersama Kito sebab, papi nya menolak hubungan mereka.

“Mam,” panggil Serena yang kini, menangis.

Airmata tersebut tidak membuat hati Ine tersentuh. Dia justru semakin terbakar rasa marah atas tangisan manja putrinya sendiri.

“Sekarang, kamu menangis. Kemana Serena yang berani kabur bersama seorang laki-laki tempo hari?” teriak mamanya kesal setengah mati. Ine tidak akan termakan tangisan buaya Serena yang pasti, akan kembali berulah setelah permintaannya terkabul.

“Serena janji, mam. Serena nggak bakal kayak gitu lagi. Serena akan jadi anak baik—”

“Bullshit! Udah bener kamu nikah aja daripada nambah dosa!” lanjut Ine dengan wajah memerah sarat marah. “Bikin malu orang tua aja!”

Ineke ini memang tidak selembut Tantono. Wanita itu akan berbicara apa adanya tanpa memasang muka dua. Baginya, kejujuran akan selalu membawa kebaikan.

“Seren janji, mam.”

“Kamu, mau janji seribu janji pun, mami nggak bakalan percaya. Sudah berapa kali kamu membohongi kami, orang tuamu sendiri.”

“Udah lah, mam. Diemin aja.” sahut Tantono yang akhirnya tidak tega mendengar putrinya harus menerima kalimat-kalimat menyakitkan yang dilontarkan oleh ibunya sendiri.

“Biar didengerin ini, pap. Dia ini bandelnya minta maupun. Kamu ya, bakalan tau rasanya gimana jadinya orang tua nanti.”

“Maafin Seren, mam.” katanya tulus. Seren benar-benar tidak berbohong saat mengatakan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. “Seren janji setelah ini nurut sama mami, sama papi.”

“Mama bakalan percaya kamu, kalau nanti suami kamu yang bilang itu ke mami. Jadi, stop ngerengek. Senyum dan sopan didepan keluarga calon tunangan kamu.”[]

...To be continue...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!