NovelToon NovelToon

Bloodthirsty Handsome

Awal Pertemuan

Seorang cowok muda sedang duduk santai bersandar pada sofa. Menyilangkan satu kakinya dengan sebatang rokok diselipan jari. Ia nampak mulai geram. Menunggu seseorang yang tak kunjung datang, melengkapi personel keluarga mereka yang berjumlah 7 cogan tersebut.

"5 menit sampai Si Dracula itu nggak nongol di sini...gue potong tuh kakinya biar nggak bisa jalan sekalian." Amarah Chester mencapai puncaknya. Sudah satu jam lamanya ia menunggu. Jujur, si tampan Chester ini sangat benci dengan orang yang tak tepat waktu.

"Santai Boy santai. Lo marah-marah terus, ntar cepat tua loh! Bentar lagi pasti nongol tuh bocah." Felix menyahut. Meredam si gunung merapi yang bersiap memuntahkan lahar panas. Maksudnya amarah Si Chester tuh!

Saat ini ke enam cowok tampan sedang berkumpul bersama disebuah Club malam. Tongkrongan rutin yang dilakukan mereka semua saat malam minggu datang. Berkumpulnya mereka selalu saja memancing perhatian dari para gadis yang berkunjung. Bagaimana tidak?! Aset ketampanan dari setiap wajah mereka sangat istimewa. Selalu sukses melelehkan hati setiap gadis yang melihatnya.

Seperti saat ini, semua wanita di dalam Club sedang menyoroti mereka semua dengan pandangan lapar.

“Duh mau dong satu aja dari mereka gue bawa pulang! Boleh nggak?”

“Gue rela mutusin cowok gue demi salah satu dari mereka.”

“Duh ganteng banget sih mereka. Bawa adek ke KUA dong bang buat di halalin."

Wah, nggak salah mereka ngomong begitu? Tarik lagi kata-katanya deh sebelum nyesal setelah tahu kepribadian dari masing-masing cowok yang kalian elu-elukan.

Tinggal satu cowok saja yang belum terlihat batang hidungnya. Si cowok tampan yang mereka juluki sebagai Dracula.

Tak lama muncul seorang cowok dengan kemeja putih menghampiri mereka. Dengan santai ia duduk disofa kosong sebelah Felix. Tanpa merasa bersalah membiarkan teman-temannya lama menunggu. “Noh si Dracula gantengnya udah datang,” celetuk sambutan dari Felix untuk Devian. Tapi, mereka semua serentak memperhatikan Devian saat mendapati kemeja putihnya bersimbah darah.

“Gue tahu nih! Lo dateng telat karena asyik bermain ya.” Aland menebak sambil mengembangkan senyum.

“Cewek atau cowok nih lawanya?” Denzel menimpali. Naik turun alisnya bergerak sambil menunggu jawaban.

“Dicium dari aromanya ini pasti cewek.” Kali ini giliran Halbert yang menebak. Ia dari tadi duduk menempeli tubuh Devian, menghirup sisa darah segar dikemeja tersebut.

“Tuh sudah dijawab sama Halbert.” Devian menoleh sekilas lalu kembali menatap kedepan. Jelas Halbert tahu. Darah baginya bak bunga harum yang tiap hari wajib ia hirup. Seperti heroin yang mampu membuatnya candu.

Chester membuang puntung rokok. Menatap Devian tajam. “Dasar jam karet lo! Selalu aja telat kalau waktunya kumpul. Waktu itu berharga, Devian. 1 jam kita semua cuma duduk mematung disini nungguin lo dodol.” Chester akhirnya memuntahkan amarah yang sedari tadi bergejolak. Chester kalau ngomel suaranya udah nyamain knalpot bajaj. Nyaring bikin telinga panas.

Devian memutar bola mata jengah “Lo kalau ngomel persis banget kayak emak-emak antri sembako! Di rem sedikit tu mulut biar nggak berisik!" Ejek Devian tak mau kalah.

“Sudah sudah! Lo Chaster…sudah tahu si Devian masih labil. Lebih tua lo umurnya dibanding dia. Kalau kasih nasehat pelan-pelan biar kata-kata lu masuk ke otaknya.” Arley menengahi. Selain tampan dia juga bijaksana.

“Lo juga Devian…makin dewasa lo harus juga berubah. Jangan terus kekanak-kanakan. Sudah tahu salah gengsi banget minta maaf.” Wow! 10 jempol dah buat Arley yang dewasa banget sifatnya.

“Iya gue minta maaf.” Devian mengulurkan tangan lebih dulu kepada Chaster. Nasihat emas dari Arley berhasil melunakkan hatinya.

Chester terkekeh lalu menjabat tangan Devian. Bagaimanapun juga mereka tetaplah satu keluarga.

Felix mengangkat satu tangannya. Satu pelayan bergegas menghampiri. Pelayan itu membungkuk setengah badan. “Ada yang bisa dibantu Tuan Felix?”

“Bawa kemari wine favorite gue.” Pelayan itu segera pergi. Tanpa banyak bertanya, ia paham minuman kesukaan pemilik club tersebut.

Tak lama pelayan datang membawakan beberapa botol wine pesanan Felix. “Lo juga harus minum, Devian!” Pinta Felix sembari menuangkan wine ke gelas kaca.

“Terserah lo. Gue nurut aja.” Devian tak keberatan.

Mereka sama-sama mengangkat gelas berisikan wine ke atas lalu serempak bersulang sembari berucap “Chears”

Dentuman musik semakin keras saat hari semakin larut malam. Sorak sorai melantang memenuhi ruangan. Begitu juga dengan mereka- cogan dari keluarga Breadsley, hanyut menikmati musik sambil menari di lantai depan. Terkecuali si Dracula ganteng- Devian Almero. Ia tetap diam, duduk ditempatnya sembari meneguk wine. Jujur saja Devian kurang menyukai suasana ramai dengan musik keras seperti ini. Ia lebih suka suara jerit kesakitan dari setiap mangsanya. Bagai alunan musik penghantar tidur untuknya.

Jangan pernah tertipu oleh topeng pesona ketampanan mereka. Karena dibalik topeng itu tersimpan kepribadian mereka yang mengerikan. Sifat menyimpang saat mencari kesenangan yang justru merugikan orang lain. Disaat kalian lemas ketika melihat darah, berbalik dengan mereka yang justru akan terasa mati saat tak melihatnya. Contohnya si Devian ini, dijuluki Dracula karena ia selalu haus oleh darah. Hasrat membunuh tak pernah membuatnya puas. Setiap hari selalu ada korban incaran berikutnya untuk dijadikan boneka permaianan. Masih mau dekat-dekat dengan keluarga Breadsley?

“Sial! Bosen banget rasanya.” Devian berdecak kesal. Wine di meja telah habis ia teguk sendirian. Devian meletakkan dagunya menempel di atas meja, memandang lurus kedepan melihat teman-temanya menari ria. Seorang gadis rupanya sedari tadi mengamatinya dari kejauhan. Lalu memutuskan untuk menghampiri Devian. Gadis itu kini sudah berdiri tepat di samping mejanya. “Hai ganteng!” Sapanya lembut terdengar. Devian masih saja diam, sedikitpun tak niat merespon bahkan menoleh. Gadis itu memberanikan diri menyentuh lengan Devian mengetahui cowok itu tak acuh padanya. “Sayang gue temenin minum ya! Gue yang tuangin minumanya buat lo!” Devian balas melirik tajam. Auranya seketika berubah mematikan. Cepat Devian mengambil pisau lipat dari dalam saku celana. Menancapkan ujung mata pisau di atas meja, tepat disamping tangan gadis itu diletakkan. Badan pisau yang tajam berhasil sedikit menggores permukaan kulit. Gadis itu kontan terkaget. Lalu segera pergi begitu saja meninggalkan Devian dengan tubuh gemetar. “Untung hari ini gue udah dapet mangsa. Kalau belum, kelar hidup lo hari ini.”

Devian berniat pergi meninggalkan Club. Memasukan pisau lipat kembali dalam saku celana. Namun, sesuatu yang menarik berhasil membatalkan niatnya. Melintas seorang gadis yang ditarik kasar oleh seorang pria. Gadis tersebut menoleh sekilas menatap Davian bercucuran air mata. Entah mengapa tatapan gadis itu seketika membuat jantungnya berpacu cepat. Timbul rasa kasihan yang mustahil bisa dirasakan psikopat sepertinya.

Devian memutuskan mengikuti gadis tersebut. Pisau yang sudah tersimpan ia keluarkan kembali. Secepat kilat Devian menyerang dari arah belakang, menusukkan pisaunya mengenai leher pria tua itu. Darah segar muncrat sesaat Devian mencabut pisaunya. Tak sampai disitu, Devian beralih menusuk bagian tubuh bertubi-tubi. Sampai pria itu tewas dengan luka parah ditubuhnya.

Gadis itu berteriak histeris. Memancing munculnya para bodyguard. Kini Devian dikelilingi oleh pria berbadan besar sepertinya.

Tatapan sengit ditunjukan Devian. Hasrat membunuhnya kian membuncah. 5 lawan 1 tak mengerutkan nyalinya. Justru merekalah yang harus berhati-hati melawan psikopat dari keluarga Breadsley. Bisa-bisa pulang dari Club hanya tinggal nama doang.

Devian memulai serangan. Pisau andalanya memang selalu lincah bergerak dan tepat menggores sasaran.

Semua pengunjung gempar, lari keluar meninggalkan club tersebut. Bagaimana mereka tak lari, melihat darah kini penuh membasahi lantai.

Felix dan Chester mendekat. Apa mereka akan membantu Devian? Jawabnya tidak! Mereka justru tertawa senang sambil menempatkan diri duduk santai di atas sofa. Perlu kalian ingat! Mereka semua psikopat berdarah dingin. Tontonan seperti itu malah jadi hiburan layaknya menonton sirkus.

Bagaimana dengan keluarga Breadsley yang lain? Ah mereka malah lebih kocak. Daripada membantu Devian, mereka lebih memilih diam dengan kesibukan masing-masing. Aland membaca komik anime Another kesukaanya. Sedangkan Halbert, dia fokus mengamati mayat si pria tua. Memandangnya penuh minat. Berfikir untuk mana yang lebih dahulu ia congkel. Mata atau jari kuku?

Lalu si jenius dan bijak Arley dimana? Ia sibuk membaca buku ilmu kedokteran favoritenya. Ngomong-ngomong, diantara mereka Arley lah yang berumur lebih tua. Otaknya jenius luar biasa. Ia bisa menghafal isi buku yang tebal hanya dalam dua kali baca. Amazing!

Diandra. Ia memeluk lutut, menyembunyikan wajah sambil terus menangis. Ingin berlari, namun kaki terlanjur melemas. Tubuhnya bergemetar hebat. Lepas dari cengkraman pria tua malah berakhir disituasi yang tak pernah ia alami sebelumnya.

Suara tepuk tangan terdengar kompak. Felix dan Chaster bertepuk tangan melihat Devian berhasil mengalahkan musuh. Terengah-engah Devian berjalan sembari melepas kemejanya yang kini basah terkena cipratan darah. Tubuh kekar, abs menonjol bak batangan coklat terpampang nyata.

Melihat pertunjukan sirkus telah usai, mereka pergi meninggalkan club. Sebelumnya Felix sudah berpesan kepada para pelayan untuk membersihkan para korban bergletakan. Membersihkan dalam artian mengirim mayat itu kedalam ruang rahasianya. Ruang eksekusi pribadi milik Felix yang tersembunyi dalam club miliknya.

Love at the first sight

Devian melenggang pergi begitu saja. Tak menoleh sedikitpun pada sosok gadis malang tersebut. Meninggalkan Diandra sendirian disana.

"Nona...tempat ini akan segera tutup. Dimohon agar Nona keluar dari sini," perintah seorang pelayan secara sopan. Diandra yang sedang duduk termenung, akhirnya bangkit perlahan lalu mengayunkan kakinya pergi.

"Bisakah mulai sekarang gue hidup dengan tenang?" gumam Diandra seraya melangkah gontai menyusuri trotoar. Dengan mata kepalanya sendiri, Diandra melihat pria tua itu tewas ditangan cowok yang sama sekali tak ia kenali.

Sungguh malang nasibnya. Dari kecil ia sudah menyandang status yatim piatu. Kehidupanya dulu sempat berjalan bahagia saat ia diangkat sebagai anak oleh seorang bujangan pengusaha kaya. Tapi saat ia menginjak dewasa, tiba-tiba Ayahnya jatuh sakit. Uang beserta semua aset berharga perlahan habis untuk membiayai pengobatan sang Ayah yang mengidap kanker otak stadium akhir. Dokter sudah memvonis sisa hidup ayahnya tak lama lagi, dan menyarankan untuk mengakhiri masa pengobatan yang dianggap percuma. Mengetahui biaya pengobatan Kanker yang cukup fantastis. Harapan hidup untuk sang Ayah sangatlah tipis. Penyakit ganas tersebut telah berhasil menjalar ke organ tubuh yang lain.

Tapi Diandra menolak keras, menentang saran dari Dokter. Tetap akan mengupayakan dana pengobatan Ayahnya. Selama Sang Ayah masih bernafas, ia akan selalu terus berjuang.

Sampai pada hari itu akhirnya ia nekad, pergi mencari pinjaman kepada rentenir Berto- Si Pria tua yang terkenal kejam dan mata keranjang.

Jangan berbelas kasih melihat fisik Berto yang menua. Tua-tua keladi. Makin tua makin jadi. Catat!

Ia sengaja memberi kemudahan meminjamkan uang pada Diandra. Mulut manisnya sengaja berkata bahwa uang pinjaman tersebut boleh digunakan tanpa bunga. Garis bawahi SENGAJA! Sama halnya ia menggiring hewan buruan agar masuk perangkapnya.

Fikiran picik muncul saat Berto tertarik dengan pesona mematikan Diandra. Tua-tua begitu dalam memilih wanita, Berto masih jagonya.

Gadis manis berambut coklat dengan bola mata kebiruan. Kulit putih, bibir merah seksi, body menawan, kaki jenjang, juga lesung menghiasi pipi. Siapa mengira gadis manis itu ternyata masih duduk dibangku SMA. Satu kata untuk Diandra, SEMPURNA!

Hingga pada puncaknya, di malam itu Diandra tak lagi bisa berkutik. Dipaksa melayani Berto sebagai ganti bunga uang pinjaman. Tak tanggung-tanggung Berto memberikan bunga pinjaman yang mencekik leher. Jika Diandra menolak, Berto tak segan menghabisi nyawa Diandra juga sang Ayah. Disinilah bakti dari seorang anak diuji. Memikul beban berat sendirian demi Ayah tercinta.

"Arrgghh"

Kakinya terkilir. Diandra terduduk dipinggir jalan sembari memijat pelan kakinya. Ia menggigit bibir, menahan sakit. "Sial! Gara-gara dipaksa memakai high hels jadi begini."

Buru-buru high hels itu dilepas lalu ia melempar, membuangnya kedalam tong sampah begitu saja. Kakinya kini nampak lecet akibat tak biasa memakainya.

Diandra yang lebih suka berpakaian simple. Kaos diselimuti jaket hodie dan sepatu kets sudah menjadi andalanya.

Sebuah mobil BMW berwarna hitam berkecepatan standar melintas di depan Diandra. "Itu kan cowok yang tadi!" gumamnya mengenali sang pengemudi. Kebetulan kaca mobil Devian saat ini sedang terbuka.

Diandra terperangah. Ia baru menyadari sosok malaikat penyelamat itu berwajah tampan. Padahal Diandra hanya melihatnya sekilas. Bagaimana jika wajah keduanya bertemu saling beradu tatap? Dijamin Diandra akan mimisan tanpa henti.

Tertatih-tatih Diandra kembali berjalan tanpa alas kaki. Ia lebih memilih jalan nyeker seperti ayam ketimbang memakai high hels terkutuk itu. Diandra ingin segera sampai dirumah. Ayahnya pasti sangat khawatir menunggu kedatanganya.

*

Devian memarkirkan mobil, dan segera masuk kedalam rumah keluarga besar Breadsley. Rumah besar bergaya modern eropa. Jauh dari peradaban juga keramaian. Hamparan luas tanah lapang memutari rumah tersebut. Sudah pasti, kalian yang baru pertama kali datang ke rumah itu akan tersesat.

Felix bersama Aland tengah asyik bermain bilyard diruang tengah. Melihat Devian muncul, Felix mengajaknya untuk gabung bermain bersama.

Devian hanya diam. Felix mengernyitkan kening. Menatap heran melihat Devian mengabaikan ajakanya. "Si dracula kenapa Land?" Felix bertanya pada Aland, "Kena penyakit bisu dadakan kalik!" Aland mengejek. Disusul suara Felix tertawa terbahak-bahak.

Felix kontan menurunkan volume suara tawa saat merasakan remasan kuat dari belakang mencengkram bahunya. Ia memutar arah tubuh, mendapati Devian menatapnya tajam. "Gue jahit tuh mulut biar mingkem! Berisik!" ancam Devian geram.

"Woo... santai cuy." Felix tersenyum. "Ini nih akibatnya si Chester kalau masak kebanyakan garam! Devian jadi kena penyakit darah tinggi kan! Bercanda sedikit cepet marah." Imbuh Felix mengejek. Dia memang cowok over santai sedunia. Diancam dracula kaya Devian juga nggak bakal mempan, nggak ada rasa takutnya.

"Mau gue tolongin ambil jarum sekalian benang nggak?!" Aland menimpal. Senyumnya mengembang diikuti gerakan alis naik turun. Dih serem amat si Aland. Dia justru senang melihat mulut Felix dijahit oleh Devian.

"Lo kenapa sih bocah?! Sensitif amat nggak kaya biasanya!" Felix menyingkirkan tangan Devian dari bahunya.

Devian tersadar. Emosi mulai bisa ia kendalikan. Cowok itu menghela nafas. "Waktu di Club, gue ngerasain hal aneh. Baru kali ini gue sudi bela'in orang asing kaya tadi."

"Maksud lo si cewek yang di Club?" Tanya Felix terdengar menggoda.

Devian membuang muka, menandakan kebenaran ucapan dari Felix.

"Jantung lo berdebar nggak waktu liat tuh cewek?!" Tanya Aland memberi penekanan.

"Kaya mau copot rasanya." Cepat Devian menjawab.

"Sial...!" Aland berdecak kesal. "Itu tandanya lo jatuh cinta bocah!" Aland kesal terhadap Devian. Hal umum seperti itu saja Devian tak tahu.

Felix mendekatkan wajah ke telinga Devian. Lalu berbisik lembut "love at the first sight."

"Maksud Lo... gue jatuh cinta pandangan pertama?!"

Aland dan Felix kompak mengangguk. Membenarkan pernyataan Devian barusan.

Wajah Devian jelas merona. Pipi sampai telinga memanas. Wajar saja jika ia masih bingung akan perasaanya. Jujur, baru kali ini ia merasakan rasa aneh yang dinamakan jatuh cinta. Lebih tepatnya "Cinta Pandangan Pertama"

"Kalau hati sudah memilih, otakku ini bisa apa?" batinya sambil tersenyum senang. Ia menandai gadis yang ia jumpai tadi sebagai milik.

Devian meraih jaket hitam yang tersampir di atas bahu Aland. "Eh itu jaket gue--"

"Gue pinjem sebentar," ucap Devian seraya pergi keluar dari rumah.

*

Diandra melirik arloji. Sudah jam 1 malam rupanya. Wajahnya ditekuk, kening mengkerut, dan bibir meruncing. Ia kesal, menanti angkutan umum yang tak kunjung lewat. Dan sialnya lagi, ponselnya tertinggal dirumah saat Berto menyeret Diandra ikut denganya. Padahal jika ada ponsel, ia tak sampai berakhir seperti ini. Dapat menghubungi temannya untuk menjemput.

Telapak kaki terasa panas menebal. Seakan tak sanggup lagi meneruskan perjalanan pulang kerumah yang jaraknya masih terlampau jauh.

"Duh! Apes banget gue hari ini. Mana jalanan sepi banget." Diandra terduduk dibawah pohon pinggir jalan. Ia memeluk lutut, menopangkan dagunya diatas lutut sembari memandang lurus ke jalan. Dia menghela nafas. "Dah mirip gembel aja gue duduk disini."

Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di depanya. Spontan Diandra menegapkan posisi tubuhnya. Matanya menajam mengamati pergerakan pintu mobil yang dibuka, dan kini matanya berubah membulat mendapati seorang cowok turun dari mobil itu. "Dia lagi?! Kenapa dia kemari?" batinya kini merasa cemas.

Sekilas gambaran pembunuhan di Club itu terputar diotaknya. Dan kini tubuh Diandra bergemetar melihat pelakunya tengah berdiri tegap dihadapanya. Menatap Diandra mulai ujung kaki ke ujung kepala. Mungkin Diandra berfikir cowok itu datang untuk gantian membunuhnya.

Kini 2 pasang mata saling bertemu. Dilihat jelas oleh Diandra bola mata cowok itu berwarna senada dengan bola mata miliknya. Sama-sama kebiruan.

Si cowok menambah langkahnya, mendekat pada Diandra. Oh tidak! Saat ini Diandra membutuhkan pasokan oksigen lebih banyak. Beradu tatap dengan cowok tampan membuat nafasnya terasa berat. Groginya nggak ketulungan.

Si cowok memiringkan sedikit wajahnya, lalu mendekat ke samping telinga Diandra. "Lo punya hutang budi sama gue, Dear!" bisiknya lembut.

Diandra membeku seketika. Kharisma si cowok ini tergolong mematikan. Ia sampai susah payah menelan ludah. Jantungnya ikut bergemuruh, berpacu tak karuan.

Si cowok menarik posisi wajahnya. Diandra tahu cowok itu yang melepaskan cengkraman Berto darinya. Gugup, Diandra menjawab "I-Iya gue lupa bilang makasih sama lo. Terimakasih banyak atas bantuanya. Kalau lo nggak ada, gue pasti sudah berakhir na'as."

"Itu aja...?!" jawabnya dingin.

Diandra tercengang. "Jadi lo mau apa?! Kalau lo minta uang, maaf gue cuma cewek miskin dan nggak bisa kasih lo imbalan uang." Suara Diandra terdengar gemetar. Perasaan senang yang tadi sempat terlintas, sirna terganti cemas.

"Gue nggak butuh uang dari lo. Yang gue mau cuma lo, Dear."

Belum sampai Diandra menjawab, si cowok dengan berani meraih tanganya. Menarik, mengajak Diandra masuk ke dalam mobil.

Namanya?

"Eh, gue mau dibawa kemana sih!" Pekik Diandra kesal. Ia berusaha melepaskan tanganya dari cengkraman cowok misterius itu. Tapi upayanya berujung nihil menilai si cowok mencengkram tanganya cukup kuat.

Cowok tersebut membuka pintu mobil lalu mendorong tubuh Diandra masuk ke dalam. Rasa takut kian menjalar. Merespon tubuhnya kini bergemetar hebat. Dan tanpa ia sadari, air mata ikut lolos membasahi pipi.

Ia berulang kali menarik kaitan pembuka pintu mobil, berteriak meminta tolong mengetahui pintu itu otomatis telah terkunci.

"Manis cup! Jangan nangis lagi ya." Cowok itu menempelkan jari telunjuknya di depan bibir Diandra. Berusaha menenangkan Dindra yang nampak terguncang. Namun, Diandra justru terkesiap, melihat si cowok kini telah duduk sejajar denganya.

"Lepasin gue! Lo jangan pernah berani nyentuh gue." Mata Diandra terbelalak. Tegas memberi peringatan keras untuk si cowok.

"Lo takut sama gue?" Cowok itu menatap sendu. Ia sedih melihat Diandra yang justru takut kepadanya.

"Jelas gue takut! Lo itu pembunuh!" Tuduh Diandra lantang. Memberi penekanan pada kalimat akhir yang ia ucapkan.

Sejenak, cowok itu diam menunduk. Rahangnya mengeras, meremas kuat setir kemudi. Lalu ia kembali mengangkat pandanganya. Menyuguhkan tatapan tajam mematikan. "Lo bilang gue apa? Coba ulangi lagi. Gue pingin denger yang jelas!" Dia memang suka membunuh. Tapi ia tak suka dikatai pembunuh oleh orang baru seperti Diandra.

Gawat! Diandra keceplosan. Ia sungguh menyesali ucapannya barusan. Ini sama saja dengan bunuh diri. Menggali lubang kuburanya sendiri. ******!

Si cowok menarik rambut panjang Diandra. Mengarahkan paksa wajah Diandra tepat dihadapan wajahnya. "Gue gemes pingin robek tuh mulut sekalian sama tuh bibir pingin gue potong pakek pisau lipat milik gue."

Jelas itu kalimat ancaman. Diandra menatap dengan pandangan mengiba. Tubuhnya gemetar bukan main. "Maafin gue," ucapnya lirih. Ia berharap suatu keajaiban terjadi padanya. Tak ingin sia-sia mati di tangan cowok kejam.

Cengkraman kuat di rambutnya terasa melonggar. Cowok itu menjauhkan tanganya. "Dear gue minta maaf. Sumpah... gue nggak ada niat nyakitin lo. Gue nggak mungkin nglakuin itu. Maafin gue. Maafin gue."

Diandra melihat sisi ketulusan dari manik mata cowok itu. Rasa sesal jelas kentara terukir diwajahnya. Diandra sadar, cowok itu membunuh juga demi menyelamatkannya. "Gue yang minta maaf," kata Diandra.

"Nggak! Gue yang udah kasar sama lo." Si cowok mengambil pisau lipat dari balik jaket. Membuka lipatan pisaunya, lalu tanpa Diandra duga, cowok itu menyayat sendiri telapak tanganya.

"Lo gila! Tangan lo terluka!" Diandra panik. Melihat banyaknya darah segar menetes. Tanpa dikomando, Ia bergerak cepat menyobek ujung kain dress miliknya. Membalut luka itu dengan kain agar pendarahanya terhenti.

"Ini hukuman karena tangan gue udah berani berbuat kasar sama lo. Gue juga mau motong lidah gue karena udah berani ngancem lo."

"Jangan! Gue mohon jangan berbuat konyol kaya gini lagi. Ini namanya bunuh diri. Akibatnya bisa fatal kalau lo terus senekad ini." Jantung Diandra rasanya ingin meledak. Siapa sangka si tampan dihadapanya ini memiliki kepribadian mengerikan.

Selesai membalut luka, cowok itu kembali melakukan hal yang sanggup membuat saraf dalam tubuh Diandra lumpuh seketika. Si cowok meletakkan tangan di atas bahu Diandra. Mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Diandra. Sampai hembusan nafasnya jelas terasa dikulit.

Kini mereka saling beradu pandang. Lalu si cowok mengatakan "Devian. Panggil gue Devian. Atau... di panggil sayang juga gue nggak keberatan," tuturnya seraya mengembangkan senyum.

Wajah Diandra memanas. "Ih sumpah nih cowok gantengnya telak banget," batinya gemas. Jantung Diandra berdenyut tak karuan. Oh, dia merasa beruntung. Di rayu oleh mahluk Tuhan paling ganteng begini.

Tak sadar Diandra menarik sudut bibirnya membentuk senyuman. "Gue Diandra," tutur Diandra lembut didengar. Ah, akhirnya mereka saling menyebutkan nama masing-masing. Walaupun malu-malu Diandra memperkenalkan diri.

"DIANDRA." Devian mengeja, menyebut kembali nama itu. Ia mengusap-usap dadanya sendiri sambil memejamkan mata. Seakan menyimpan nama itu di brankas hatinya agar aman.

Diandra tersenyum malu melihat ekspresi menggemaskan cowok yang diketahui bernama Devian itu.

Devian melepas jaket yang ia kenakan. Meletakkanya tepat di atas paha putih Diandra. "Pakailah sebagai penutup." Ia tahu dress cantik itu rela dirusak demi membalut lukanya. Dan itu jelas membuat Devian semakin luluh.

Berikutnya Devian segera menjalankan mobil. Meminta alamat rumah Diandra untuk mengantar gadis manis itu pulang. Sebenarnya dari awal tadi ia hanya ingin mengantar Diandra pulang. Tapi ia tak sadar perlakuan darinya memancing ketakutan untuk gadis yang telah di cap milik tersebut. Maklum, ini kali pertama ia dekat dengan seorang wanita.

*

Diandra tergelak kaget setelah melihat jam weker menunjukan pukul 7 pagi. Sial! Dia telat bangun pagi. Suara alarm yang nyaring pun sampai tak bisa ia dengar. "Dasar kebo lu Diandra," gumamnya memaki diri sendiri. Biasanya ia selalu bangun lebih awal, mengurus pekerjaan rumah dan membuatkan sarapan untuk sang Ayah sebelum berangkat ke sekolah. Tapi hari ini ia kesiangan dan hal itu membuatnya amat khawatir.

Dengan rambut acak kadut ia berlari keluar dari kamar, menuruni anak tangga tergesa-gesa. Segera menuju ke dapur menyempatkan waktu membuat sarapan. "Astaga!" ujarnya saat mendengar suara riuh dari dapur. Diandra semakin mempercepat langkah saat mengira sosok Ayahnya lah yang lagi memasak.

Sesampainya di ambang pintu, "Ayah maaf aku--"

Diandra terlonjak mendapati bukan sosok Ayahnya disana. Jadi siapakah yang berada di dalam dapur?

"Devian!" Panggil Diandra. Matanya membulat kaget melihat cowok tampan itu sedang riweh dengan teflon berisi telur dadar.

"Good Morning Dear," sapa Devian dengan senyumnya yang manis.

Diandra masih saja berdiri mematung disana. Ia berfikir keras. Bagaimana Devian bisa sampai masuk ke dalam rumahnya? Apakah Ayahnya yang membukakan pintu untuknya? Ah, jika itu benar dia akan sangat malu. Mengingat baru kali ini Diandra mempunyai teman cowok yang berani datang ke rumahnya.

"Pacarnya nyapa kok nggak dijawab sih!" Terdengar suara Devian menggoda. Menyuguhkan senyum menawan sembari menaikan satu alis.

Bangun tidur disuguhi pemandangan manis sama rayuan manis. Sengaja bikin Diandra diabetes sama jantungan di usia muda.

"Pacar?!"

"Iya pacar. Lo resmi jadi pacarnya Devian Almero. Cowok tampan limited edition di Dunia."

Diandra menepuk pipinya sendiri, "Gue mimpi kali ya!" ucapnya sembari mengerjapkan mata.

Devian mengecup puncak kepala gadis lugu itu, "Ini bukan mimpi, Dear." Devian meyakinkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!