NovelToon NovelToon

USTADZ GALAK

1. Kena Hukuman

"Ada yang bisa menjawab pertanyaan ini?"

Suara guru laki-laki yang sedang mengajarkan rumus molekul itu bagaikan dongeng untuk anak-anak muridnya yang mayoritas perempuan. Saat mendengar pertanyaan dari sang guru, semua murid menunduk, berpura-pura sibuk agar tidak ditunjuk. Meskipun sejak tadi terlihat mendengarkan, mereka sama sekali tidak fokus. Sudah pukul 14:00, sudah waktunya makan dan tidur siang.

Syahla, yang duduk di barisan nomor tiga, tampak sibuk dengan hal lain. Dia terlihat tertawa sendiri sambil menulis di buku kwarto-nya. Sesekali ia membayangkan adegan romantis dan kembali menuliskannya di atas buku.

"Tidak ada yang mau menjawab? Kenapa kalian semua diam saja? Kalian ini sebenarnya paham atau tidak?"

Guru muda berwajah tampan dengan perawakan tinggi gagah itu mengerutkan kening melihat ekspresi anak muridnya yang tampak enggan menjawab. Ia menghela napas sebelum melanjutkan, "Oke, kalau begitu saya tunjuk saja,"

Semua kepala semakin tertunduk. Sebisa mungkin menghindari bertatapan mata dengan guru mereka. Sementara Syahla yang masih asyik dengan dunianya sendiri tidak menyadari hal itu.

"Syahla!" Seru si guru muda. "Coba jawab pertanyaan saya!"

Syahla yang namanya tiba-tiba disebut segera berdiri. Memandang wajah sang guru yang terlihat menyeramkan.

"Ee.. tidak tahu Ustadz,"

"Tidak tahu?" Guru muda yang akrab dipanggil Ustadz Amar itu menghampiri meja Syahla. "Terus, dari tadi ngapain aja kok nggak tahu?"

Secepat kilat, Syahla berusaha menyembunyikan buku kwarto yang sejak tadi ia tekuri. "Saya tidak paham Ustadz,"

"Tidak paham? Bukannya dari tadi kamu sibuk mencatat? Coba sini, saya lihat isi catatan kamu."

Mampus! Syahla mengumpat dalam hati. Kalau ketahuan Ustadz Amar, bisa berabe semuanya.

"Satu.."

Ini adalah senjata andalan Ustadz Amar. Ia akan mulai menghitung untuk membuat anak muridnya merasa diintimidasi. Biasanya, sebelum hitungan ketiga, mereka akan menyerahkan diri terlebih dulu sebelum dimarahi.

"Dua.."

Keringat dingin mengalir di pelipis Syahla, membuat jilbabnya basah. Ia menggigit bibir, apa yang harus ia lakukan sekarang?

"Tiga!"

Pada akhirnya, Syahla menyerahkan buku itu pada Ustadz Amar. Ustadz Amar menerimanya dengan tatapan tajam.

"Ustadz Galak?" Ustadz Amar membaca judul pada halaman pertama buku itu. "Kamu yakin ini buku catatan kimia?"

Ustadz Amar membaca halaman berikutnya keras-keras. "Ustadz Rohman adalah seorang pria berhati dingin yang tidak pernah merasakan hal-hal remeh seperti perasaan cinta. Namun, semuanya berubah setelah ia bertemu gadis cantik bernama Nabila,"

Paragraf pertama yang dibaca Ustadz Amar mengundang gelak tawa seluruh siswi di kelas itu. Syahla masih berdiri dengan kepala tertunduk.

"Saya lihat dari tadi kamu tekun sekali. Saya kira kamu mencatat penjelasan saya, ternyata malah membuat bahan-bahan perhaluan,"

Ustadz Amar menatap tajam ke seluruh ruangan sampai gelak tawa murid-muridnya seketika berhenti.

"Kalau sampai ada yang ketahuan melakukan pekerjaan lain selain menyimak pelajaran saya, akan mendapat hukuman!" ucapnya tegas. "Syahla! Buku kamu saya sita!"

"Eh, jangan ustadz!" Syahla buru-buru mencegat Ustadz Amar. "Saya akan lakukan apapun, tapi buku itu tolong jangan disita!"

"Lakukan apapun?" Ustadz Amar tersenyum miring. "Oke! Selama satu bulan ini, bersihkan kamar mandi pesantren putri sampai kinclong! Terus hapalkan semua rumus molekul dalam bab ini dan setorkan pada saya besok! Kalau sudah semuanya, baru bukumu ini dikembalikan,"

"Hah?" Syahla ternganga dengan keputusan hukuman yang diterimanya. Membersihkan toilet putri selama sebulan? Yang benar saja!

"Ustadz! Saya—"

KRING!!

Suara bel tanda sekolah berakhir memotong keluhan Syahla. Ustadz Amar bergegas pergi dari kelas itu tanpa memperdulikan Syahla yang sudah siap memprotes.

"Arghhh!" Syahla menjatuhkan kepalanya di atas meja. Laksmi, teman sebangkunya mengelus-elus punggungnya menghibur.

"Lagian ngapain sih kamu nulis novel di jam pelajarannya Ustadz Amar? Cari mati itu namanya!"

"Pas banget aku baru dapet inspirasi! Makanya cepet-cepet aku tulis! Lagian pelajarannya Ustadz Amar itu bosenin banget, jadinya ngantuk kalau nggak ngapa-ngapain!"

"Lihat aja wajah gantengnya Ustadz Amar, pasti nggak jadi ngantuk!"

Syahla menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar solusi Laksmi yang diluar nalar. "Kenapa sih di kelas dua belas pun aku masih ketemu ustadz galak itu? Bosen tahu!"

"Ye.. Yang bosen mah cuma kamu. Kita-kita seneng kok, hitung-hitung cuci mata," Sahut teman Syahla yang lain.

Syahla mengerucutkan bibirnya. Bukan masalah cuci matanya, tapi galaknya itu loh, naudzubillah! Sejak kelas satu SMP, Syahla memang sudah diajari oleh Ustadz Amar. Entah kenapa Ustadz Amar ini sangat multitalenta. Dari pelajaran matematika, fisika, kimia, sejarah, bahkan bahasa Arab pun dia bisa. Tidak heran Ustadz Amar selalu ditunjuk menjadi guru untuk pelajaran yang sulit di Ponpes Al-Raudhah.

Ponpes Al-Raudhah sendiri adalah pesantren yang cukup terkenal di pulau Jawa. Santrinya banyak, sudah mencapai puluhan ribu. Selain memberikan pelajaran dalam ilmu agama, Pesantren Al-Raudhah juga turut memberikan pelajaran sekolah formal. Pesantren membagi waktunya menjadi dua, pagi sampai siang untuk sekolah formal, dan malam harinya untuk non formal. Di dalam pesantren sendiri sudah ada sekolah dari TK sampai Universitas yang semua dewan gurunya adalah para santri di pesantren tersebut.

Ustadz Amar adalah satu dari sekian banyak Ustadz yang dipercaya untuk mengajar pada kelas santri putri. Alasannya satu, karena Ustadz Amar adalah sosok guru yang tidak pandang bulu, selalu tegas dalam mengajar dan memberi hukuman, tidak peduli laki-laki atau perempuan. Ustadz Amar juga tidak pernah terdengar kabar berpacaran dengan santri putri, dan hanya fokus pada pendidikannya saja.

Karena kecerdasan dan ketegasannya itu, banyak wanita yang mendambakannya, tapi tidak sedikit juga yang sering menyumpahinya kalau sedang kena apes seperti Syahla sekarang ini.

"Nanti malam pelajaran apa nih? Nggak mood rasanya kalau ketemu Ustadz Amar lagi," Syahla menopang dagu dengan tangannya.

"Nahwu," Laksmi meringis. "Sudah pasti ketemu lagi,"

Badan Syahla langsung melorot di atas kursi. Kenapa sih Ustadz Amar ini serba bisa banget? Setiap hari ketemu dia lagi, dia lagi.

Syahla sudah merasa bosan bertemu wajah Ustadz Amar yang katanya ganteng banget itu. Percuma ganteng kalau galak, batinnya jengkel.

"Terus novel aku gimana dong? Padahal sudah mau aku upload di internet besok,"

"Tulis ulang aja deh," Laksmi mencoba memberi saran, tapi kemudian ia segera menutup mulut melihat tatapan tajam sahabatnya.

"Tulis ulang? Enak banget kamu ngomongnya! Selama seminggu aku sudah nulis lima belas bab dari pagi, siang, malam! Kamu kira nulis ulang semudah itu?"

"Yaudah deh jangan marah.." Laksmi kembali mengelus-elus punggung Syahla. "Minta aja baik-baik deh,"

"Nggak mungkin ustadz galak itu bisa dimintain baik-baik," Syahla melipat tangannya sambil berpikir. "Eh, ngomong-ngomong, sekarang tanggal 31 kan?"

Laksmi terlebih dulu mengecek kalender pada dinding kelas sebelum mengangguk. "Iya, kenapa?"

"Pas banget! Setiap akhir bulan kan guru-guru pada rapat! Kita masuk aja ke ruang guru dan ambil bukunya!"

Laksmi melotot. "Kamu ngajakin aku nyolong?"

"Siapa bilang nyolong?" Syahla mendekati Laksmi dan berbisik. "Aku cuma mau mengambil hakku yang sudah diambil Ustadz Amar,"

"Nggak mau ah," tolak Laksmi mentah-mentah. "Aku takut dosa,"

"Yasudah," Syahla pura-pura marah. "Kamu nggak akan aku jadikan pembaca eksklusif lagi,"

"Eh, jangan dong!" Laksmi panik. "Yaudah aku bantu deh!"

"Bener ya!" Syahla tersenyum senang. "Nanti malam kita mulai eksekusi,"

Laksmi menelan ludah dan menganggukkan kepala ragu-ragu.

Sejak dulu, Syahla memang sangat suka membaca novel. Dia sangat kagum dengan kemampuan penulis yang seolah menciptakan dunia sendiri untuk tokoh-tokoh yang ia tulis. Untuk itulah Syahla mulai menulis novel di aplikasi novel online, yang ternyata menarik banyak pembaca. Pengikutnya bahkan sudah ada sepuluh ribu sekarang.

Teman-teman di asrama juga suka sekali membaca karyanya. Namun karena tidak ada ponsel dan mereka hanya bisa mengakses internet satu minggu sekali saat pelajaran komputer, mereka cuma bisa membaca dari buku kwarto yang ditulis tangan oleh Syahla. Buku itu kadang bisa berputar dari satu asrama ke asrama lain, bergantian setiap orang, dan harus menunggu lama sampai setiap orang selesai membacanya. Laksmi sebagai teman sekamar Syahla mendapatkan privilege untuk membaca buku itu duluan dibandingkan teman-temannya yang lain.

Jadi, kalau sampai kesempatan itu hilang, Laksmi tidak akan bisa lagi membaca cerita romantis ustadz Rohman dengan Nabila. Padahal dia sudah sangat penasaran dengan kelanjutannya!

Pada akhirnya, tidak ada lagi alasan untuk Laksmi menolak rencana 'mengambil hak' milik Syahla malam ini.

2. Partner Of Crime

Seperti dugaan Syahla, malam itu tidak ada ustadz atau ustadzah yang masuk ke kelas mereka. Setelah memastikan bahwa semuanya aman, Syahla dan Laksmi langsung melancarkan aksi yang sudah mereka rencanakan sebelumnya.

Saat teman-temannya memilih untuk kembali ke asrama, Syahla dan Laksmi menunggu di gedung sekolah. Sekolah formal dan non-formal memang masih menggunakan gedung yang sama, tapi kelas non-formal dibedakan bukan dari angkatannya, melainkan dari kemampuan mengajinya. Setelah sekolah sepi, mereka buru-buru pergi ke kantor guru yang berada di lantai dua gedung tersebut.

Syahla terlebih dulu mengintip dari jendela kaca, memastikan tidak ada siapapun di sana. Rapat dewan guru memang diadakan di aula pertemuan pesantren, jadi sudah pasti tidak ada siapa-siapa sekarang. Syahla segera membuka pintu kantor yang memang tidak terkunci, dan Laksmi mengikutinya dari belakang.

Lampu kantor yang dimatikan membuat suasana menjadi gelap gulita. Penglihatan mereka di bantu dengan cahaya senter kecil yang mereka bawa, sehingga membuat keadaan menjadi remang-remang. Ditambah dengan suasana gedung sekolah yang sepi, membuat malam itu terasa lebih horor.

"La," Laksmi mengeratkan pegangannya pada lengan Syahla. "Aku takut,"

"Baca ayat kursi saja," Syahla menjawab asal. Dengan senter kecil di tangannya, dia sibuk mencari meja milik Ustadz Amar.

"Ketemu!" Syahla kegirangan. Amar Maulana Syarief, Syahla membaca nama yang tertempel pada meja. Tanpa membuang waktu, Syahla buru-buru mencari buku yang tadi disita oleh Ustadz Amar.

"Bantu cariin dong Mi," Syahla menyuruh Laksmi yang hanya berdiri di belakangnya. "Kalau cepat ketemu, cepat pulang kita,"

Laksmi berdecak. Dia benar-benar ketakutan sekarang. Bukan hanya takut bertemu hantu, ia juga takut akan ketahuan oleh para guru. Tapi mendengar kata 'cepat pulang', ia akhirnya memutuskan untuk membantu.

Syahla sudah membuka laci-laci kecil yang berada di meja itu. Tapi tetap tidak ketemu.

"Kok nggak ada sih?" Syahla kembali mengacak-acak tumpukan buku di atas meja kerja Ustadz Amar, tapi hasilnya nihil. "Gimana Mi? Ketemu?"

"Nggak ada," Laksmi menggeleng. "Mungkin disimpan di tempat lain,"

"Disimpan dimana ya?" Syahla mulai berpikir sambil tangannya sibuk mencari-cari. "Masa sih Ustadz Amar bawa buku ku kemana-mana?"

"Ya mungkin saja terbawa di tasnya. Sudah yuk, sudah nggak ada, kita pulang saja lah,"

"Nanti, sebentar lagi," Syahla mengibaskan tangan Laksmi yang menepuk-nepuknya mengajak cepat keluar. "Kayanya di sebelah sini belum aku cari deh,"

"Ayolah," Laksmi masih menepuk-nepuknya tidak sabar. "Nanti kita ketahuan,"

"Nggak kok, tenang aja," Syahla berkata sok menenangkan. Ia masih mencari dengan teliti buku kwarto-nya di antara buku-buku tugas di atas meja itu.

"La," Laksmi kembali menepuk-nepuk pundak Syahla. "Ini kok ada yang nepuk-nepuk pundakku ya?"

"Aduh, siapa sih Mi? Kucing kali," Syahla kembali mengibaskan tangan Laksmi.

"La," Laksmi menggoyang-goyangkan badan Syahla lebih kencang. "Ini tangannya manusia,"

"Apa sih Mi? Jangan halu deh,"

"Tapi ini beneran.."

Syahla menghela napas jengkel. "Mana mungkin sih ada hantu di pondok pesantren Mi? Mungkin cuma—"

Perkataan Syahla berhenti di kerongkongan saat ia menoleh ke belakang. Laksmi yang melihat sahabatnya berekspresi demikian ikut menoleh, alangkah terkejutnya dia saat melihat sebuah wajah yang disinari senter berada tepat di depan muka mereka.

"AAA!!! SETAN!!!" teriak mereka bersamaan.

KLIK!

Ruangan kantor seketika menjadi terang benderang. "Loh, kalian bertiga ngapain di sini gelap-gelapan?"

Yang barusan berbicara adalah Ustadz Yasir, salah satu dewan guru di Pesantren Al-Raudhah. "Kang Amar ngapain?"

Syahla dan Laksmi sontak menoleh ke arah 'hantu' yang berada di depan mereka. Ternyata sosok itu bukan hantu, tapi jelas lebih menakutkan dari hantu, karena wajah Ustadz Amar sudah terlihat mau meledak menahan marah.

Syahla dan Laksmi langsung menundukkan kepala takut-takut. Kenapa Ustadz Amar bisa ada di sini?

"Tadi sih niatnya mau ngambil tugas anak-anak di kantor Kang, tidak tahunya malah ketemu dua tikus kecil ini," Ustadz Amar menjawab pertanyaan Ustadz Yasir sambil kedua matanya menatap tajam ke arah Syahla dan Laksmi.

Kedua gadis itu menelan ludah. Tatapan mata Ustadz Amar sudah seperti mau melahap mereka bulat-bulat.

"Coba jelaskan, ngapain kalian ke sini?" Ustadz Amar memulai interogasi. "Berikan jawaban yang cepat, tepat, dan jelas! Dalam tiga.. dua.."

"Saya mau setor hapalan!" Syahla menjawab cepat sebelum hitungan selesai. "Kan Ustadz bilang saya disuruh hapalan rumus molekul,"

"Oke," Ustadz Amar melipat tangannya di depan dada. "Coba sekarang setorkan,"

Laksmi melotot. Mati sudah. Kenapa sih Syahla harus beralasan seperti itu? Memangnya Syahla beneran hafal?

Tanpa diduga, Syahla ternyata bisa menyebutkan semua rumus-rumus itu dengan lengkap. Laksmi yang berada di sampingnya, serta Ustadz Yasir yang sadari tadi memperhatikan mereka hanya bisa tercengang melihatnya.

"Sudah kan, Ustadz?" Syahla memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Jadi sekarang saya dan Laksmi sudah boleh keluar ya,"

Ustadz Amar menganggukkan kepalanya. "Lumayan sih. Tapi apa gunanya kalau saat pelajaran tidak memperhatikan? Sekarang coba jujur, kalian ke sini karena mencari ini kan?"

Syahla terbelalak karena ternyata buku yang ia cari-cari sedang dipegang oleh Ustadz Amar. Ia dengan cepat mencoba meraih buku itu, tapi Ustadz Amar jauh lebih cepat, mengangkat buku itu tinggi-tinggi.

"Ustadz kan janji mau kembalikan buku itu kalau saya sudah hapalan!"

"Kamu benar. Tapi kan bukan cuma itu syaratnya. Masih ada waktu satu bulan untuk membersihkan toilet santri putri,"

"Tapi kan—"

"Ah, karena sekarang kalian ketahuan menyusup di kantor guru, hukuman ditambah menjadi dua bulan. Bukan cuma Syahla, Laksmi juga,"

"Loh, kok saya juga kena?" Laksmi memprotes tidak terima.

"Kalian ini kan satu paket. Partner of crime namanya, jadi hukumannya kongsi."

Setelah memutuskan hukuman bagaikan hakim pengadilan, Ustadz Amar menunjuk ke arah pintu. "Sekarang, silahkan keluar."

"Tapi Ustadz—"

"Apa mau ditambah jadi tiga bulan?"

Syahla sudah tidak mampu menjawab lagi, buru-buru menarik Laksmi keluar dari ruangan itu.

...----------------...

"Apes, apes, niat bantu sahabat malah jadi ikut kena hukuman," Laksmi mengomel sambil tangannya sibuk menyikati WC.

"Kan kita bestie!" Syahla yang menyikat di bilik lain menyahut. "Lagian tuh Ustadz memang rese banget deh! Sok ganteng! Sok keren! Kok bisa sih banyak yang suka sama dia?"

"Kan memang keren La.." Laksmi berulang kali menahan diri agar tidak muntah. "Aku juga kalau ditembak sama Ustadz Amar bakalan mau kok,"

"Dih!" Syahla mencibir. "Untung ujian akhir tinggal tiga bulan, jadi nggak perlu lagi aku pusing-pusing menghadapi malaikat Izrail itu! Bye bye Ustadz galak!"

"Loh, kenapa begitu?" Laksmi memundurkan badannya agar bisa melihat Syahla. "Kan masih bisa ketemu kalau di kampus,"

"Memang siapa bilang aku akan kuliah di sini?" Syahla ikut memundurkan badannya agar bisa melihat lawan bicaranya. "Aku mau kuliah di Jakarta!"

"Loh, kok bisa? Terus gimana dengan persahabatan kita? Kamu tega ninggalin aku sendirian di sini?"

Syahla menghentikan aktivitas bersih-bersihnya dan berjalan menghampiri Laksmi. "Sayang.. Kadang-kadang kita memang perlu mengorbankan hal-hal paling berharga di hidup kita, demi meraih masa depan yang indah,"

"Nggak usah sok puitis deh! Aku serius! Kamu beneran mau pergi? Terus aku gimana? Nanti masuk kuliah sama siapa? Tidur di asrama sama siapa? Huhuhu.." Tiba-tiba saja, air mata Laksmi sudah mengalir deras.

Syahla panik, buru-buru mengusap pipi Laksmi. "Jangan sedih dong, aku bakalan sering ngabarin kamu kok. Jangan nangis.."

Tangis Laksmi malah semakin kencang. "Syahla!"

"Laksmi!" Syahla turut menangis juga.

Jadilah dua sahabat itu saling berpelukan di dalam kamar mandi yang bau pesing sambil bertangis-tangisan seperti di dalam drama korea. Para santri putri yang lewat di depan kamar mandi hanya bisa terheran-heran melihat mereka.

3. Munafik!

Tiga bulan berlalu dengan cepat. Murid-murid kelas dua belas sudah selesai mengerjakan ujian akhir dengan lancar. Sekarang, sambil mengumumkan kelulusan, Pesantren Al-Raudhah mengadakan acara perpisahan.

"Juara umum pertama diraih oleh Syahla Nafisa!"

Dengan didampingi Gus Sahil, kakak laki-lakinya, Syahla naik ke atas panggung untuk menerima hadiah. Semua murid bertepuk tangan riuh.

Setelah menerima hadiah, Syahla menjadi perwakilan yang membacakan pidato di atas panggung. Suaranya yang tegas serta isi pidatonya yang berbobot kembali mendapatkan tepuk tangan meriah.

Saat turun dari panggung, tampak beberapa santri putra mendekatinya, beramai-ramai memberikan buket bunga dan cokelat.

"Selamat La,"

"Ingat aku ya!"

"Di bunga ini ada nomorku, nanti calling-calling ya!"

Syahla dengan terpaksa menerima semua hadiah itu. Meski dia tidak suka, dia menerimanya untuk sekedar menghargai si pemberi.

"Ternyata Dek Syahla populer banget ya," goda Hafsa, kakak iparnya. "Banyak banget loh hadiahnya,"

Syahla tersenyum simpul. Gadis itu memang punya wajah yang cantik, serta tubuh yang tinggi semampai. Ditambah dengan kecerdasan otaknya, banyak santri putra yang diam-diam mengaguminya. Tapi Syahla tak pernah memikirkan hal itu, dia lebih senang membaca novel di pojok ruangan daripada menjalin hubungan dengan laki-laki. Menurutnya berpacaran sama saja dengan menambah masalah baru dalam hidupnya.

"Syahla!" Laksmi berlari menghampiri Syahla dan langsung memeluknya erat-erat. "Kita sebentar lagi akan berpisah.."

"Iya.. Kamu jaga kesehatan ya Mi.." Air mata Syahla merebak.

"Ehem!" Deheman seorang laki-laki membuat air mata mereka seketika menyusut. Syahla dan Laksmi sama-sama menoleh, terlihat Ustadz Amar berdiri di belakang mereka.

"Eh, Ustadz Amar ya?" Gus Sahil menyapa laki-laki itu, menjabat tangannya erat-erat. "Saya Sahil, kakaknya Syahla. Saya sudah sering dengar soal njenengan,"

"Suatu kehormatan dikenal oleh njenengan Gus," jawab Ustadz Amar sambil tersenyum lebar. "Kira-kira darimana njenengan mendengar soal saya?"

Gus Sahil melirik ke arah Syahla sebelum menjawab. "Syahla sering cerita kalau ada ustadz galak di—"

"Mas!" Syahla membungkam mulut sang kakak, mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan.

"Jangan jujur-jujur dong," Bisik Syahla. Kedua tangannya bekerja sama dengan baik. Karena tangan kanannya membungkam mulut sang kakak, dan tangan kiri mencubit pinggangnya. Gus Sahil hanya sanggup mengaduh menahan sakit.

"Ini," Ustadz Amar menyerahkan sebuah buku kwarto pada Syahla. "Saya sudah janji mau kembalikan buku kamu, jadi sekarang saya kembalikan."

"Ustadz telat," Meski sambil bersungut-sungut, Syahla tetap menerima buku itu. "Janjinya kan dua bulan sejak saya dihukum,"

"Tapi karena itu kamu bisa juara umum satu angkatan kan? Jadi seharusnya tidak ada masalah,"

Syahla berdecak sebal. Ustadz Amar selalu bisa menjawab perkataannya.

"Kok jadi lecek begini sih, Ustadz?" Syahla tampak membuka-buka halaman bukunya yang terlihat kusut. "Ini dipake buat bantal, ya?"

"Yah, begitulah," Ustadz Amar mengangkat bahu tak peduli. Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada Gus Sahil. "Njenengan bisa nginep di kamar saya Gus. Pasti capek sekali kalau langsung pulang hari ini,"

"Ah, kami menginap di rumah saudara Ustadz, mungkin besok pagi pulangnya. Sekalian mau membereskan barang-barang Syahla,"

Ustadz Amar melirik ke arah Syahla sebentar, kemudian tersenyum pada Gus Sahil. "Yasudah Gus, saya pamit undur diri. Mari Ning,"

"Mari Ustadz," Hafsa menganggukkan kepalanya. Sedangkan Syahla dan Laksmi tampak sibuk sendiri dengan hadiah-hadiah yang mereka terima.

"Eh, ada nomornya Zaky nih. Cepetan dicatat!" Laksmi buru-buru mengeluarkan handphonenya. Memang, karena orangtua mereka datang, mereka diperbolehkan memakai benda pintar itu khusus hari ini saja.

"Kamu saja yang catat deh. Aku malas," sahut Syahla yang malah fokus memakan salah satu cokelat hadiahnya.

"Nanti kalau Zaky suka sama aku jangan nyesel ya,"

"Ambil saja, ambil. Cuma Zaky saja direbutin,"

Laksmi mencibir. "Dasar nggak punya hati!"

Syahla tidak menjawab. Ia masih tetap cuek dan malah membuka bungkus cokelat keduanya.

...----------------...

"Dari mana Kang?" Sapa Ustadz Yasir yang melihat kedatangan Ustadz Amar.

Ustadz Amar hanya tersenyum. "Dari depan, lihat perpisahan,"

"Tumben," Ustadz Yasir mengerutkan kening. Selama ini, Ustadz Amar memang jarang sekali muncul di acara-acara seperti itu. Kalau ada keramaian, biasanya Ustadz Amar memilih untuk membaca buku di dalam kamar.

"Cuma lihat-lihat saja," jawab Ustadz Amar sambil lalu, kemudian ia menuju meja di pojok kamarnya dan mulai membuka laptop.

"Oh.." Ustadz Yasir tidak mau memperpanjang pertanyaannya lagi. Lagipula tidak terlalu penting juga. Ia beralih menuju rak kecil berisi buku dan kitab-kitab.

"Loh, buku tulisnya mana Kang?" Ustadz Yasir mencari-cari. "Kok sudah nggak ada?"

"Buku tulis apa?" Ustadz Amar menjawab dengan pandangan masih di depan laptop.

"Buku tulis yang ada ceritanya soal ustadz yang galak itu,"

Kali ini Ustadz Amar menoleh dan memandang Ustadz Yasir lekat-lekat. "Sampeyan baca buku itu?"

"Iya lah, masih seru-serunya. Meskipun ceritanya tentang cinta-cintaan remaja, tapi cukup menghibur kepala saya kalau sedang ruwet."

Ustadz Amar menghela napas. "Bukunya sudah dikembalikan,"

"Loh?" Raut wajah Ustadz Yasir terlihat kecewa. "Memangnya punya siapa?"

"Punya salah satu santri,"

"Memangnya itu bukan sampeyan yang nulis?"

Ustadz Amar memandang Ustadz Yasir dengan tatapan seolah berkata: 'serius kamu berpikir begitu?'. Ustadz Yasir yang mengerti arti tatapan Ustadz Amar menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal.

"Ya siapa tahu kan sampeyan punya bakat terpendam,"

Ustadz Amar menggeleng-gelengkan kepalanya. "Daripada baca buku begituan, lebih baik baca ini,"

Ustadz Amar bangkit dan menyerahkan sebuah buku di tangan Ustadz Yasir. Ustadz Yasir mengerutkan kening, membaca judul buku tersebut: Ilmu Nahwu.

"Serius nih Kang?" Ustadz Yasir mengangkat buku itu. "Bukannya terhibur malah makin pusing!"

"Tapi kan lebih ada manfaatnya, lebih ada ilmunya."

Ustadz Yasir menghembuskan nafas, mencoba bersabar. Padahal dia sudah sering melihat Ustadz Amar membaca buku tulis itu setiap hari, sampai-sampai ia kira buku itu adalah surat dari pacarnya. Tapi sekarang dia bilang buku itu tidak ada manfaatnya?

"Munafik," celetuk Ustadz Yasir dengan nada agak keras, membuat Ustadz Amar menolehkan kepala dengan dahi berkerut.

Melihat tatapan tajam teman sekamarnya, Ustadz Yasir buru-buru berlari keluar kamar sebelum terjadi perang dunia ketiga.

Ustadz Amar menggeleng-gelengkan kepala melihat kepergian Ustadz Yasir. Diam-diam, ia melihat ke luar dan memastikan teman sekamarnya itu benar-benar sudah pergi. Setelah dirasa aman, Ustadz Amar menutup pintu dan membuka salah satu folder dalam laptopnya.

UG, begitu nama yang dicantumkan Ustadz Amar pada folder tersebut. Saat dibuka, tampak puluhan foto yang tersimpan di sana, foto yang ia ambil dari buku milik Syahla sebelum ia kembalikan. Sambil tersenyum miring, laki-laki itu mulai membaca kembali tulisan Syahla dari halaman pertama.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!