JAKARTA, 2000
Arinda Khaira Lubis, putri satu-satunya keluarga lubis. Keluarga terhormat dan terpandang. Keluarga yang mengendepankan pendidikan. Hal itu terlihat jelas dari beberapa foto keluarga yang terpajang di rumah luas dan asri itu.
Wajah Ajar lubis, kepala keluarga di rumah ini yang selalu tersenyum lebar. Wajah bulat besar yang sangat gagah itu paling mendominasi dinding keluarga di rumah ini. Foto kelulusan paska sarjana hingga gelar doktor yang baru ia peroleh terlihat sangat membanggakan bagi siapapun yang melihatnya. Disana ia juga memampang beberapa penghargaan sebagai dosen di sebuah universitas.
Pemandangan indah itu juga sebanding dengan wajah Lira lubis. Wanita anggun dengan wajah
cantik khas seorang ibu. Ya, dia ibu dari Arinda dan juga ibu kepala sekolah di sekolah Arinda, SMA Kasanova. Sebuah SMA yang hanya menerima siswa dengan nilai terbaik dan berprestasi. Selain itu, wanita kepala empat puluhan ini juga aktif dalam kegiatan sosial lainnya.
Keberhasilan mereka yang terpampang dinding rumah itu semakin terlihat sempurna dengan sederet foto Arinda. Putri bungsu mereka. Wajah lucu saat masih bayi, senyum menggemaskan saat masih kanak-kanak. Gadis periang dan cerdas saat memasuki usia sekolah dan di usia hendak tujuh belas tahun, wajah itu bermetamorfosis semakin indah. Arinda dikaruniai kecantikan dari ibunya dan kecerdasan kedua orang tuanya.
“Arinda...!”
Rambut panjang bewarna hitam itu berayun cantik saat kepalanya yang bulat oval menoleh kearah suara. Pantulan wajahnya di cermin memperlihatkan wajah ayu khas dari ibu Lira dengan senyum secerah Bapak Ajar Lubis. Arinda memang cantik. Ditambah dagu lancip, hidung mancung dan sepasang mata almond.
“Ya Bunda?” sahutnya dengan suara lembut lagi sopan.
“Ayo buruan?” ajak bu Lira.
Gadis itu bergegas. Merapikan pakaiannya dan poni yang menutup dahinya. Saat gadis itu keluar dari kamarnya, para tamu menatapnya. Menyapanya bahkan mengajaknya mengobrol. Walau bukan siapa-siapa, dia terbiasa akan perlakukan istimewa itu. Terlebih, hari ini acara pesta pernikahan ibunya yang kedua puluh. Kediaman mereka akan
sangat banyak di hadiri oleh tamu-tamu yang seumuran dengan kedua orang tuanya.
“Arinda, kamu mau bergabung dengan agensi tante. Sekarang lagi ada pemilihan cover girl...” tawaran dari Tante Lasmi, seorang direktur majalah ternama menawarinya. Dan itu bukan untuk pertama kalinya.
Arinda hanya mendengar sampai suara ibunya kembali memanggil namanya. “Arinda!”
“Maaf tante, Bunda manggil.” pamit Arinda.
“Kamu pegang ini, siapa tau butuh.” Lasmi menyelipkan satu kartu nama miliknya. Arinda terlihat ragu.. “Gapapa, buat curhat sama tante aja.”
“Arinda!” Lira mendekati mereka.
Lasmi semakin gencar memberikan kartu namanya. Ia pun dengan segera mengambil kartu nama itu dan menyimpannya dalam saku gaunnya. Mereka berdua sama-sama tidak ingin Lira mengetahui transaksi itu.
“Arinda, ayo!” Lira melihat ke Lasmi. Dia agak cemas. Ia segera menggandeng tangan putrinya. Remaja yang itu langsung mengekori sang ibu. Ia menoleh ke arah Lasmi dan merasa tidak enak.
“Bunda, jangan terlalu kencang. Sakit.” Keluh Arinda pelan. Saking pelannya, hanya mereka berdua yang mendengar.
“Dia tidak mengajak kamu kan?” tanya Lira dengan nada yang sama dengan Arinda.
Tidak ada jawaban.
“Pokoknya Bunda tidak mau kamu terlibat dengan Lasmi. Bunda tidak mau kamu jadi model.” Jelas Lira sedikit kesal. “Paham!!”
“Iya!” angguk Arinda.
“Bagus kalo paham.” Lira melepas gandengannya. Lengan Arinda akhirnya merasa lega.
“Arin...!!!” Ajar memeluk putrinya.
“Selamat ulang tahun pernikahan ke dua puluh Ayah!” Arinda membalas pelukan sang ayah.
“Sama-sama kesayanganku.” Ajar terlihat sangat bahagia.
Kata sambutan pun di mulai. Ajar membuka suara. Ia di usia empat puluh akhir, dengan istri yang cantik dan pintar dan putrinya yang cantik, Ajar memberi sambutan ulang tahun pernikahannya yang kedua puluh ini adalah momen yang telah ia tunggu-tunggu.
“Ada begitu banyak hal yang kami hadapi. Tidak ada yang mulus. Jalan yang berliku-liku, terjal dan berkerikil pun juga kami hadapi. Tidak ada istilah, kalau kami selalu hidup damai. Tidak! Kami juga mengalaminya. Bertengkar? Jangan salah, Lira lawan debat yang sangat tangguh. “
Tamu undangan tertawa mendengarnya.
“Tapi itu bagian dari komunikasi kami. Dalam sebuah hubungan pernikahan di usia yang semakin tua ini hanya satu kuncinya, komunikasi.” Ajar menutup kata sambutannya. para tamu bertepuk tangan dan berseru untuk pasangan yang tidak muda itu.
Di tengah acara para orang tua itu, Arinda akhirnya menemukan tamu yang sepantaran dengannya. Dia Tito, anak tetangga sekaligus teman sejak kecil. Saat ini pria berbadan bantet, berkaca mata itu tengah sibuk memilih makanan.
“Lu hadir juga?” tanya Arinda menghampirinya.
“Di suruh nyokap!” jawab Tito datar. “Kata nyokap, dia lagi malas masak, jadi gua inisiatif aja kesini cari makanan.”
“Hmm pantes!” Arinda hanya mengangguk mendengar pengakuan sahabatnya. “Ambil makanan yang banyak, trus bawa ke atas.” Perintah Arinda.
“Ide bagus!” seru Tito. “Gue ga tahan suara tawa mak-mak. Berisik!” keluhnya yang menatap gerombolan mak-mak yang ada di setiap penjuru ruangan. “Kuntilanak aja minder kalau dengar mereka.”
“Hahaha.. makanya.” Ujar Arinda. “Gue bakal telfon Karin sama Fitri.” Ia langsung mengeluarkan hp lipatnya dan menekan nomor yang bertulis Karin.
“Baru tuh hp? Gamenya pasti bukan cacing cari telor lagi ya? ” puji Tito melihat ponsel milik Arinda.
Arinda hanya tersenyum mengangkat bahu. “hahaha.... Ntar gue pinjam buat main game.”
“Bagus!!”
.
.
.
Bak sebuah titah, tak lama setelah panggilan tersebut dua gadis remaja bernama Karin dan Fitri pun datang. Fitri yang mengenakan baju tidur memasang wajah tidak terima. Gadis berkaca mata dan berbadan gempal itu protes karena salah kostum.
“Kenapa lo ga bilang di bawah ada jamuan makan-makan orang tua?” keluh Fitri yang datang paling terakhir.
“Hahaha.. sorry darling, gua juga ga tau kalo lo pake baju sesantai ini.” Arinda mengelus rambut Fitri.
Fitri masih memasang wajah kesal. “Hampir aja gua di suruh jagain bocah, dikira gua *baby sitter *kali.”
“Mirip, kok. Ntar acara kelar lu cuci piring di bawah.” Jelas Tito yang rebahan di lantai kamar sambil baca sebuah majalah.
“Kurang ajar, mulut tolong di jagain ya!”
“Haha... udah jangan berantem!!” Arinda tertawa melihat tingkah teman-temannya. Memang, ia akan bersikap agak berbeda. Bersama dengan teman-temannya, Arinda merasa bebas mengekspresikan dirinya.
Lalu satu temannya, Karin. Gadis dengan tampilan swag, jaket denim dengan celana denim pendek, ia juga mengenakan riasan mata hitam agar terkesan keren seperti Avril lavigne, idola Karin. Ia terus menatap kearah jendela kamar. Disana ia di bawa kepada pemandangan taman halaman belakang rumah Arinda yang telah di dekor untuk acara malam ini. Ia dengan mata kucingnya terus mengamati tingkah para tamu yang pada umumnya sepantaran dengan orang tuanya.
“Lo ngapain?”tanya Arinda menghampiri Karin. Ia memberikan segelas jus air jeruk dingin.
“Gua lagi ngincar orang.” Jawab Karin pendek.
“Apa?” Arinda melihat ke bawah. “Hanya orang-orang tua.”
“Diantara orang tua ini ada duda kaya tapi ga punya anak ga sih?” tanya Karin.
“Eh.. eh... Mau nagapain lu?” tanya Tito yang segera bangkit dari rebahannya.
“Mau jadiin pacar lah!” seru Karin tanpa beban.
“Emang anak gila lu, sinting. Masa jalan sama om-om?” ledek Tito.
“Ihh jijik gua dengarnya!?” Fitri menutup kedua daun telinganya.
“Kenapa sih, norak amat lu berdua. Ini udah tahun 2000, tahun milenials. Bukan hal tabu lagi cinta beda usia. Awalnya gua mikir mau cinta beda agama aja.” Jelas Karin.
“Masalah nya lo bukan cari pacar. Lo mau porotin duit doang kali.” Tuduh Arinda menahan tawanya. Dia tau Karin pasti hanya bercanda.
“Ya iyalah. Bakal laki janganlah. Gua ga mau jadi janda muda.” Jelas Karin.
“Lu sinting!” seru Tito. “Eh sapa tau lo yang mati duluan, soalnya dari awa lo di pacarin buat jadi tumbal biar si duda tetap kaya.” Ledek Tito. Ia mengangkat majalah misteri. Ia memamerkan artikel yang berjudul “TUMBAL ISTRI DAN ANAK AGAR TETAP KAYA.”
“Ih.. amit-amit, lu aja kali, gua ogah makan duit setan!!” balas Karin.
“Aduuhhh aku ga mau dengar masalah hantu-hantuan! Lagian lu dapat majalah gitu dari mana ciih, Tong” Desak Fitri.
“Tuh, mak lampir, dia bawa ginian tadi.” Tito menunjuk Karin yang malah memamerkan senyum bangga.
“Wajah kota, tampilan keren, tapi otak terbelakangan.” Omel Fitri, dia memang tidak suka jika Karin sudah mulai dengan hobi berbau misteri.
“Karin, kurang-kurangin deh, gua juga ga suka hantu-hantuan ada di kamar gue ya?” Arinda juga keberatan.
“Tapi ada yang seru tau, disini di tulis satu artikel.” Karin mengambil kembali majalah yang di pegang Tito. Tangannya cekatan membuka satu halaman, “Pesta Jailangkung di malam tahun baru.” Ia membaca judul artikel yang bercetak tebal.
“Maksud lo?” tanya ketiga temannya.
Karin duduk menyilangkan kakinya di atas kasur. Tangannya memamerkan isi artikel itu ke teman-temannya.
“Malam pergantian tahun baru tiga bulan yang lalu, ada lima remaja merayakan dengan main pemanggilan arwah dengan boneka yang mereka sebut malam Jailangkung.”jelas Karin.
“Disini, boneka yang mereka pakai, boneka barbie adiknya, tapi di dalam badan boneka sudah diisi sajen, seperti bunga melati, kuku, rambut dan darah. Di bandingkan boneka jelangkung yang sesungguhnya, ternyata cara ini lebih ampuh. Bahkan satu diantara mereka bisa berinteraksi dengan anggota keluarganya yang telah mati.” Jelas Karin.
Arinda menelan ludah. Ia merinding mendengar cerita Karin. Fitri merangkul tangan Arinda karena ia memang tidak tahan dengan cerita horor.
“Tapi tuh boneka barbie nya pake baju ga sih?” Tanya Tito yang membuat ketiga remaja menatapnya tajam.
“Bu Liraaaa... si Tito otaknya mesum... keluarin aja dari sekolah buuuu....!!” teriak Fitri dan Karin. Suasana kembali kacau seperti semula.
"Kok nuduh gua yang gak gak sih? kan nanya doang?" Tito membela dirinya.
"Ihh ogah temanan sama pria hidung belang kek dia. Rin, usir dia dari sini." Fitri kembali kesel.
"Woo doraemon!" ledek Tito balik.
"Jangan kasih kendor Fit, enak aja lo di panggil doraemon, masa putri tunggal juragan jengkol yang kecantikannya setara Marimar di bilang Doraemon, gua mah sakit hati." adu Karin
"Siapa-siapa, Marimar? Ga salah denger nih gue?!" ledek Tito.
"Hahaha...!" Arinda hanya tertawa melihat tingkah temannya.
"Nda, jangan tertawa aja, belain apa..Nda...!" keluh Fitri.
"Iya... Iya... Maaf... Gue ngakak sama Marimar..." tawa Arinda.
"Iiihhh...!!!" Fitri hanya mendegus kesel.
Mereka bertiga hanya tertawa melepas lelah hari ini. Dan mereka sudah lama tidak tertawa lepas.
"Eh..." tiba-tiba Karin membuat mereka kembali terdiam. "Gimana kalau kita main Jailangkung, buat ketemu sama Mikha."
Ide Karin membuat mereka terdiam. Ide gila dan tidak masuk akal ini pasti ditolak oleh ketiga sahabatnya. Tapi sebelum terjawab, pintu kamar Arinda terbuka. Ibu Lira berdiri diambang pintu itu.
"Arinda..."
Semua yang ada di kamar langsung dalam posisi tegak. Bahkan Tito yang rebahan bisa lompat berdiri dengan kecepatan angin.
"Malam ibu." sapa mereka dengan kikuk, canggung dan sangat hati-hati.
"Oh kalian datang?" sapa ibu Lira sopan.
"I iya b bu."
Ibu Lira mengangguk ramah. Kemudian memanggil Arinda, "Ayo sapa tamu dibawah, mereka mau pulang."
"Haruskah?"
"Buruan!"
Arinda hanya mendesu, dia sangat lelah bertemu dengan tamu-tamu yang bukan tamunya. Dia memberi aba-aba kepada temannya agar tetap disini.
"Kalian juga, sudah malam, kalian pulang juga ya." ucap ibu Lira yang auto dipatuhi oleh ketiga remeja ini.
.
.
.
.
Malam menjelang, para tamu undangan telah membubarkan diri. Pakaian yang terlihat elegan itu telah di tanggalkan. Begitu juga dengan nilai keserasian dan keharmonisannya.
Sudut rumah yang berisi gelak tawa sedari sore itupun juga sudah hampa. Penghuninya sibuk dengan dunia mereka. Dengan pikiran mereka. Arinda memasang wajah kuyu, lelah tertawa bersama teman-temannya. Suaranya serak dan tenggorokannya kering. Segelas air mineral dingin, itulah yang ada dibenaknya.
Ia melangkahkan kaki jenjang itu ke dapur. Mengambil gelas dan menuangkan sebotol air dingin di kulkas.
Saat itu hening. Sangat hening. Tidak ada suara. Setidaknya ia merasa lega jika malam ini tidak akan mendengar keributan. Tapi suasana damai ini dalam hitungan menit akan hilang. Karena, tidak ada rahasia yang bisa disimpan dengan sempurna, terlebih lagi di dalam rumah.
“Saya tau, mahasiswi itu datang!” samar, tapi pasti. Malam ini Lira yang membuka suara. Memang bukan di depannya, pasti di kamar kedua orang tuanya.
“Kenapa? Dia hanya menghormati saya sebagai dosen. Kamu selalu berlebihan.” Itu suara Ajar yang tidak bisa menerima tuduhan itu.
“Alah... ngaku saja.”
“Lira, jangan mulai lagi. Saya capek berdebat.”
“Tapi suara kamu tetap saja tinggi. Jangan coba-coba berkilah dari saya.” Ibunya tidak mau diam. “Dua puluh tahun apanya. Tidak ada yang bagus dalam dua puluh tahun ini. semuanya berantakan.” Lira mengamuk. Arinda hafal kemana ujung dari pertikaian ini.
“Jangan bahas itu lagi!” Ajar terdengar semakin kesal.
Arinda segera meninggalkan dapur untuk menuju kamarnya. Suara pertikaian itu semakin jelas tertangkap di daun telinganya. Saat hendak meniti anak tangga pertama pintu kamar kedua orang tuanya terbuka.
“Ya, aku akan tetap ingat. Ibu mana yang tidak sakit melihat putrinya meninggal begitu saja. Itu karena dia tau ayahnya orang yang brengsek.”
“Tapi dia tidak akan mati jika tidak memiliki ibu yang egois. Dia mati karena kau Lira. Bukan saya!!!” Ajar terlihat geram. Wajahnya memerah dan menyeramkan. Emosi itu langsung reda saat sadar Arinda berada di dekat dengan pintu kamar.
Arinda tertunduk. Dia muak dan bosan tapi tak ada upaya untuk bertindak. Pembicaraan yang sama, emosi yang sama dan akhir yang sama. Ia berlari meniti anak tangga.
Dikejar kah? Tidak. Kedua orang tuanya sudah sering seperti itu. Mereka berharap Arinda bisa bersikap bijak dengan kondisi kedua orang tuanya yang diambang krisis keharmonisan. ~~~~
BERSAMBUNG...
.
.
.
.
Bayangan rembulan semakin terlihat nyata. Ia berdiri kokoh diatas langit ibu kota. Diantara lampu-lampu jalan yang satu-persatu mulai padam, rembulan menampakkannya keindahannya.
Bentuknya yang bulat penuh sangat melihatkan secara nyata betapa ia sangat congkak malam ini.
Sedangkan di bawahnya, para pencakar langit tidak mau kalah.
Mereka terlihat mewah dan elegan dengan hiasan lampu yang semakin membuat
malam semakin bewarna. Setidaknya lampu-lampu itu membuat manusia terhibur
untuk sesaat. Membuat mereka merasa nyaman untuk sejenak, dan lupa akan satu hal yang tidak bisa di tepiskan keberadaannya.
Diatas daratan berselimut aspal beton, seribu satu manusia lalu lalang. Mereka dengan dua langkah kakinya. Mereka dengan sepasang sepatu mengkilapnya. Mereka dengan isi pikirannya. Dengan keinginannya. Nafsu sebagai makhluk serakahnya. Dengan jiwa malamnya yang liar. Seolah merekalah sang
penguasa siang dan malam dari planet bumi ini dan mereka adalah para manusia.
Sedangkan disisi lain, beberapa pasang mata hanya melihat, mengawasi, menguntit bahkan mengikuti para manusia tersebut. Memang tidak ada yang tau, bahkan kebanyakan dari manusia tidak menyadarinya. Mereka makhluk tak kasat mata.
Tapi beberapa manusia bisa menyadarinya, mungkin dengan merasakan, mendengar, dari aroma dan juga melihat. Terkadang, ada manusia terlahir dengan satu kelebihan, dimana semua indranya menyadari keharidan makhluk-makhluk ini.
Seperti yang dialami gadis ini.
Ya, seorang gadis remaja, bisa dikatakan masih SMA, usia yang cukup labil dalam menyikapi masa depan. Usia dimana tugas utamanya adalah belajar dan mencari jati diri. Tapi untuk usia yang sangat belia dan
bercahaya, ia mengutuki dirinya. "Gadis sial." begitulah ia menyebut dirinya.
Dengan hoodi yang menutup kepala hingga separuh wajahnya. Ia duduk mematung di dalam mobil sedan bewarna merah maroon. Ia bukannya tertidur, melainkan berdoa. Di malam yang semakin larut, ia pasti tidak akan pernah mau mengosongkan pikirannya. Terlebih lagi dalam kondisi seperti saat ini, yakni menunggu sang ibu yang sedang menangani salah satu pasiennya.
“GYAAAAAAAAA....AMPUUUUUNNNNN!!!” teriakan itu membuatnya kaget.
Bulu kuduknya berdiri. Ia tau, itu teriakan dari pasien ibunya. Kenapa berteriak? Karena penyakitnya tidak wajar. Bukan penyakit yang bisa di tangani oleh tim medis. Ya, Sebut saja penyakit tidak wajar. ketempelan atau ksurupan, sejenis itu.
“GYAAAAAAAAA.....!!!!!!” suara itu terdengar makin keras dan mengganggu pendengarannya. Ia segera menutup telinganya.
Bagi orang awam, itu mungkin teriakan seorang wanita. Sedangkan bagi gendang telinganya, ia menangkap tiga warna suara. Satu warna suara dari seorang wanita pada umumnya. Suara kedua adalah suara nenek tua yang melengking sangat tajam hingga memekakkan telinga dan yang ketiga suara besar yang berat. Suara itu tidak
berteriak, melainkan mengaum. Entah itu harimau atau sejenisnya, tapi hal itu membuat bulu kuduknya merinding.
Di tambah lagi, lengkingan suara itu menarik perhatian warga sekitar. Mereka meihat namun tidak berani mendekat. Para tetangga memberi jarak aman dan cukup jauh. Mereka memperhatikan dalam bentuk kelompok. diantara mereka juga berbisik-bisik.
"Itu pasti kesurupan!"
"Memangnya siapa?"
"Si Uli, Pembantunya Pak Ricko. Ini mah udah ketiga kalinya dalam bulan ini. Kasihan."
Begitulah diskusi warga sekitar. Selain mereka, para penghuni batang pohon pisang pun tidak mau ketinggalan. Jeritan itu membuat mereka terpanggil. Satu persatu dari mereka keluar. Hal ini lah yang membuat gadis ini semakin semakin ketakutan. Dia dapat dengan jelas melihat wajah para pocong yang sangat penasaran itu satu persatu. Sialya satu dari sekian pocong itu menyadari kemampuannya. Ia di perhatikan.
Gadis itu segera menuju ke dalam mobil yang terpakir di halaman rumah besar ini. Ibunya sengaja memakirkan didepan pagar rumah untuk sebuah alasan. Ia pun duduk di samping bangku pengemudi. mengunci semua pintu dan kaca mobil. menyetel lagu agar bisa mengalihkan semua rasa takutnya.
Akan tetapi.....
TUK TUK TUK TUK
Pintu sedan tiba-tiba di ketuk. Ia melirik kejendela. Tidak ada siapa-siapa.
“Orang iseng?” pikirnya. Ia bahkan berharap itu memang orang iseng.
Tapi tidak ada siapa-siapa. Orang-orang yang penasaran itu memang ada, berdiri. Tapi mereka berkumpul dan memilih jarak aman. Bahkan beberapa dari mereka ada yang memilih untuk pergi saja. terlebih lagi sekarang menunjukkan pukul dua belas malam.
Melihat keadaan yang sebenarnya, ia semakin gelisah. Disekitarnya tidak ada orang. Tidak ada manusia. Hanya satu Pocong yang berdiri di samping pintu sedannya. Bulu kuduknya berdiri. Dia mengeluarkan kalung leontin yang disembunyikan di balik hoodinya. Ia menunduk semakin dalam.
“Saya tidak lihat apapun. Saya tidak dengar apapun.” Ia berbisik dengan suara gemetar dan jantungnya berdegup kencang. “Saya tidak lihat apapun.... saya tidak dengar apapun.”
Penasaran, ia mencoba melirik, berharap setan dengan terbungkus kain kafan itu tidak berdiri lagi disana. Namun apa yang ia tangkap: makhluk itu masih berdiri disana.
TUK TUK TUK
Pintu mobil kembali di ketuk, membuatnya semakin kuat memincingkan mata dan menggenggam erat
liontinnya. volume suara radio semakin ia kencangkan.
Tapi keputusan untuk mendengar radio jam 12 malam adalah pilihan yang buruk. Chanel nya berubah sendiri, menimbulkan suara berisik dan kemudian terhenti pada satu chanel yang tidak ia kenal.
"JANGAN AMBIL TUMBAL KUUUU!!!!" terial suara dari radio denga warna suara mekutkan seperti nenek sihir.
“GYAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!” jerit wanita yang berada di dalam rumah besar itu. Jeritan itu membuat
suasana semakin mencekam. Tinggi melengking dan kemudian berhenti.
Gadis itu mendengarnya. Bulu kuduknya juga berdiri. Ia bahkan tidak berani melihat keadaan di luar. terlebih dengan aroma busuk yang mengaduk perutnya. Terparahnya, sumber dari aroma itu juga berada di dekatnya. Sumber dari aroma itu saat ini duduk di sebelahnya. Entah bagaimana ia bisa masuk. Yang pasti saat Ia membuka sedikit matanya, ia melihat bayanngan putih kotor dan lusuh itu duduk disampingnya dan menatapnya.
“Dia milikku dan dia sudah di persembahkan untuk tuanku..!!!” sosok itu berbisik di telinganya. Membuat bulu kuduknya bergidik.
Demi apapun ia tidak akan mau membukakan kedua matanya. Ia tidak mau melihat sosok itu. Ia
tidak ingin sosok itu juga mengetahui jika ia bisa menyadari keberadaan mereka. Jika itu terjadi, maka tidak ada hari yang indah baginya.
Terakhir kali, satu bulan yang lalu, sesosok hantu perempuan menyadari kemampuannya, maka yang terjadi, ia kesurupan saat mengisi jawaban soal-soal ujian. Alhasil satu kelas ketakutan dan ia di keluarkan dari sekolah karena bisa memberikan efek tidak baik bagi siswa lainnya.
Pintu mobil di buka. Ia kaget dan spontan membuka matanya. Segera ia melihat kesamping. Ibunya terlihat berkeringat duduk dengan tenang di sampingnya.
“Ibu...!” ia memastikan itu benar-benar ibunya atau bukan.
Ibunya hanya melihatnya sekilas. Wanita kepala empat itu segera mengambil rokok dan pemantik. Ia mengisap satu batang rokok dan menyembulnya keluar kaca mobilnya.
Melihat tingkah wanita itu, ia sedikit merasa lega. Kali ini benar, bukan hantu atau apapun yang masuk ke sedan tua ini.
“Sudah selesai, bu?” tanyanya. Wajahnya terlihat pucat.
“Ya!” jawab wanita itu sekenanya. Ibunya membuang puntung rokok yang belum habis terbakar. Ituah kebiasaan ibunya. Ia tidak merokok, ia hanya meninggalkan jejak, untuk menyempurnakan ritualnya.
Kemudian wanita itu menaroh benda aneh, sebuah papan yang di lingkari dengan huruf alfabet dan angka nol hingga sembilan. Kemudian satu jangka yang di ujungnya di lilit beberapa utas rambut.
“Ibu tidak menyangka jika permainan jalangkung bisa di lakukan dengan benda konyol ini. Bukankah ini untuk membuat lingkaran untuk pelajaran menggambar?” tanya ibunya.
Tidak ada tanggapan. Ibunya melirik ke samping, melihat anaknya yang duduk kaku.
“Merri.” Panggilnya, ia menggoncang tubuh kecil gadis itu. Kepalanya tertunduk dan hooding menghalangi pandangannya.
“Merri, kau tidak apa-apa, nak?” ibunya membangunkan. Saat ia menggenggam tangan putrinya,
ia merasakan dingin. Bak es, tangan itu juga terlihat pucat dan kuku tangan gadis bernama Merri itu juga menghitam.
Ini pertanda tidak baik. Gadis itu, Merry dalam bahaya.
Benar saja, saat ibunya mencoba menarik hoodi dari kepalanya, ia meliat pemandangan paling tidak
diinginkan. Kedua bola mata Merry memutih, kedua pupilnya tertarik keatas. Bibir gadis itu juga membiru dan mulut itu bergerak terbata-bata. Seolah ada pergulatan di dalam badannya dan ia berusaha berteriak minta tolong.
Pastinya untuk masalah satu ini, Merry akan kalah, dan benar saja, wajah kaku itu seketika memperlihatkan gurat senyum yang sangat menakutkan.
“KAU MENILAIKU RENDAH, KUSUMA? KAU PIKIR AKU MUDAH DI LENYAPKAN?”
“Hmm beraninya kau memasuki tubuh anakku. Apa kau cari mati, makhluk sialan.”
Lansung saja, dengan sikapnya sebagai paranormal yang terbiasa melakukan hal ini, Kusuma dengan sikap tenang, mengambil liontin yang menggantung di leher Merri. Ia menatap mata putih itu. Ia tidak akan takut, apalagi jika sudah berurusan dengan anaknya.
“Kau tau kenapa aku tidak takut?” tanya Kusuma dengan tatapannya yang dingin bagaikan es.
“Kau hanya masuk kedalam tubuh anakku, tapi kau tidak akan pernah bisa menguasainya. Hal
ini adalah kesempatanku untuk melenyapkan makhluk sialan seperti kau.” Kusuma menarohkan liontin itu di dahi Merry. Mulut kusuma bergerak cepat, ia melafaskan beberapa mantra yang hanya ia pahami.
“GYYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA.....!!!!” asap putih keluar dari dahi Merry. Ia berteriak. Hantu itu merintih kesakitan, tapi ia tidak bisa keluar dengan keadaan selamat. Tubuhnya yang tak kasat mata lama-kelamaan lumer menjadi asap putih kemerahan dan lenyap begitu saja.
Suasana kembali hening. Merry tertidur lemah. Ia kelelahan. Mungkin di dalam tubuhnya ia juga berusaha melawan. Kusuma mengelus wajah Merry. Ia melihatkan mimik iba. Ada perasaan keibuan yang tidak tega melihat jika Merry memiliki bakat yang sama dengannya. Atau mungkin lebih hebat dibandigkan dirinya dan para leluhur terdahulu. Bakat yang luar biasa hebat sekaligus menakutkan, yang bisa saja mengintai nyawanya.
Arinda meletakkan tasnya diatas bangku. Masih lengang dan pagi. Belum ada seorang pun yang datang. Ia sengaja datang lebih awal. Duduk di bangkunya sendirian. Ia menganggap ini terapi yang paling jitu. Duduk diam, tidak melakukan apa-apa. Hanya alunan musik yang mengisi keheningan dari walkmannya. Lagu-lagu pop kesukaannya menjadi penghiburnya. Padahal ia bisa berangkat bersama dengan ibunya.
Di luar kelas, bunyi serak lantai yang tersapu juga menggema keseluruh ruangan. Pak Asep yang bertugas membersih lingkungan sekolah juga sibuk. Suara sapu lidinya membuat bangunan tua khas rumah sakit bekas peninggalan Belanda berasa lebih hidup. Kemudian, para ibu kantin juga menyuci gelas, piring dan mempersiapkan menu yang akan di banjiri murid sekolah seragam putih abu-abu ini nantinya.
Setelah itu, seorang remaja menapakkan kakinya untuk pertama kali di sekolah ini. Ia Merri. Langkahnya yang
tidak bertenaga, terkesan jika ia agak malas untuk berangkat kesekolah. Lingkungan ini masih begitu asing. Ya, karena ini adalah hari pertamanya. Karena tidak tau kelas mana yang akan ia tepati, gadis itu memilih duduk di salah satu bangku taman di depan ruang guru.
“Anak baru, nak?” tanya Pak Asep yang memperhatikan kecanggungan Merri.
Gadis berwajah pucat itu mengangguk.
“Tunggu aja disana, nanti guru bakalan datang. Lagian masih pagi Neng, cepat amat datangnya.” Ucap Pak Asep. Merri tidak merubris. Dia memilih diam dan kemudian mengambil buku bacaan di dalam tasnya. Merasa di abaikan Pak Asep terihat kesal.
“Anak zaman sekarang ga ada sopan-sopannya sama orang tua. Lagian ngapain pagi-pagi amat kesekolah?” gumam pak Asep.
Merri mendengarnya. Ia tetap tidak bergeming. Omongan itu lebih baik ia dapatkan, dari pada ia harus jujur
kepada bapak tua . Jika dari tadi sesosok hantu memperhatikannya dari jarak dekat. Sosok yang tidak jelas antara pria atau wanita. Sosok itu berambut panjang dengan wajah pucat. Bola matanya putih, berhidung panjang dan senyum lebar. Sekilas mirip nenek lampir.
Tidak mungkin ia harus menjelaskan hal itu lagi, yang ada kejadian di sekolah lama terulang lagi dan Ia di anggap bocah aneh pembawa sial.
.
.
.
Satu persatu para siswa mulai berdatangan. Begitu juga dengan kedua sahabat Arinda, yakni Karin dan Fitri. Bangku yang lengang dan dingin itu seketika hangat. Arinda memamerkan senyumnya kepada kedua temannya. Karin yang heboh dan Fitri yang kekanakan. Berbagai cerita seru entah apa topiknya membuat mereka tertawa.
Tak lama kemudian, Tito datang yang kemudian diiringi auman bel sekolah.
“To, lo pembawa sial banget sih!” ledek Karin.
“Ada apasih, pagi-pagi udah bikin ulah aja.” Tito ga paham.
“Maksudnya si jelek ini, bilang kalo lo datang sama persis sama bel masuk.” Jelas Fitri.
“Enak aja gue jelek.” Karin membantah, mencubit pipi Fitri.
Tito mengambil kertas dari laci bangkunya. Ia menggulung dan melempar ke arah Karin yang lagi menyubit
Fitri. Sasaran pertama meleset dan malah mengenai Arinda yang sibuk menggulung kabel headsetnya.
Arinda menoleh ke arah Tito dan memasang wajah tidak suka.
“Maaf, ga sengaja.” Ucapnya.
Kemudian Tito mencoba percobaan kedua, ia mengambil kertas yang ia gulung dengan ukuran lebih besar dari
sebelumnya. Kemudian dengan menentukan target yang sudah duduk anteng, Tito melayangkan tembakan.
Sekali lagi, sasaran itu meleset dan terlempar lebih jauh ke arah pintu kelas. Saat bersamaan, guru dan seorang
siswi masuk. Langkah pertama siswi berambut sebahu dan terihat kecil kurus. Meski kuyu dan pucat, ia melihat ada tanda bahaya sedang mengarah kepadanya. Dengan cekatan ia menangkap gulungan kertas yang bisa saja mengenai dahinya.
“Waw...!!!” Karin dan Fitri terkesima.
Arinda kembali menoleh ke belakang. Tito sedang dalam masalah akibat keisengannya.
“Sukarela saja, siapa pelakunya?” tanya Ibu Tatum, wali kelas mereka. Spontan semua mata menoleh kearah Tito, yang hanya memamerkan senyum kaku.
Tito membayar perbuatannya dengan berdiri disudut kelas. Bisa jadi hal ini akan berlansung selama dua jam pelajaran. Karin terlihat puas melihat Tito yang malang. Tapi kelas tetap lanjut. Perhatian mereka lebih tertarik kepada siswi baru di hadapannya.
“Mulai hari ini kalian akan menerima teman baru. Nak, coba perkenalkan dirimu.” Pinta bu Tatum.
Ia tertunduk dalam. Hal itu membuat seisi kelas penasaran dengannya. Arinda melihat tangannya yang tampak
gugup. Sedari tadi ia memegangi sesuatu yang menggantung di dadanya.
“Kurusan siapa? Gue apa dia?” tanya Karin yang terpaku dengan badan kecil siswi itu.
“Dia.” Bisik Fitri menoleh kearah Merri yang juga sedang menatapnya lalu kemudian menunduk.
“Berarti gue harus lebih ketat lagi dietnya.” Gumam Karin.
Bu Tatum memperhatikan siswi baru tersebut.. Ia belum bersuara, ia hanya diam. Semua siswa di depannya juga menunggu. Tito yang berdiri di sudut kelas juga memperhatikannya.
“Nak?” tanya guru yang cukup berumur dan cukup di takuti oleh warga sekolah.
“Hmm... nama saya Merri Anggraini. Pindahan dari Bandung.” Suara itu keluar, meski kecil dan nyaris hampir tidak bisa di tangkap seluruh kelas.
“Akhirnya ngomong juga.” Sambut Bu Tatum. Merri menoleh ke arah bu Tatum, ia memperhatikan wajah guru galak itu di sudut matanya.
Memang tidak sopan, tapi Bu Tatum memaklumkannya karena ini baru hari pertama siswa ini masuk.
“Merri, kamu duduk di samping Arinda.”
Arinda mengambil ranselnya yang ia letakkan di bangku yang hampir sebulan ini kosong. Merri yang terihat canggungpun segera berjalan kearah yang di maksud. Ia merasa tidak nyaman. Semua terihat asing, begitu
juga dengan orang-orangnya. Bahkan ia merasa tidak enak saat di tatap dengan wajah ketus oleh dua siswi yang duduk di depan bangkunya. Siapa lagi kalau bukan Karin dan Fitri.
Karin mengacungkan tangannya ke atas. “Nanti kalau Mikha udah masuk lagi, dia duduk dimana, Bu?” tanya Karin.
“Nanti kita pikirkan. Saat ini fokus dengan mata pelajaran saya.” Bu Tatum menguasai kelasnya. “Buka buku paket kalian, kita masuk mata pelajaran baru, minggu depan kita lansung ulangan harian.” Jelas Bu Tatum dengan suara lantangnya.
Seisi kelas terlihat kecewa. Tapi untuk urusan pelajaran, Bu Tatum tetap dengan pendiriannya.
Arinda mengikuti perintah Bu Tatum. Ia mengambil buku paket bertuliskan Fisika kelas dua SMA. Saat mulai
membuka halaman yang dimaksud, ia melihat teman sebangkunya yang masih terduduk. Merri hanya menundukkan kepala. Sekali lagi ia memegangi liontinnya.
“Mau berdua?” agak ragu, tapi Arinda menawarkan bukunya. Merri yang sedikit kaget, memperhatikan wajah teman sebangkunya. Meski masih canggung, ia menerima niat baik Arinda. Setidaknya ia bisa mengalihkan rasa takutnya dari sosok yang sejak pagi yang terus mengikutinya. Yang saat ini memperhatikannya dari jendela.
Terimkasih udah mampir di PESTA JAILANKUNG. Jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, vote dan komennya. Agar Arinda dan kawan-kawan makin eksis di sini :>
salam sayang author
roar
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!