NovelToon NovelToon

Because Of You

BAB 1

[[REVISI]]

Surakarta, Desember 2018

-

[Lina]

Hujan masih mengguyur kota Surakarta sore ini. Udara dingin disambung dengan suara dedaunan bergoyang dan saling bergesekan membuat melodi tersendiri di telingaku. Aku duduk di balkon kamarku menatap setiap tetes air hujan yang turun, meratapi nasibku yang sudah mirip Siti Nurbaya. Aku kembali meneguk segelas susu cokelat yang masih mengeluarkan asap, kemudian kuletakkan di meja kecil di sampingku.

Aku mendengus.

Kesal.

Aku masih berusia 17 tahun, bahkan baru minggu lalu aku merayakan ulang tahunku yang ke-17. Mereka dengan santainya mengatakan niatnya untuk menjodohkanku dengan putra sahabat ibuku. Katanya sih supaya mengeluarkanku dari masalah ekonomi yang tengah menjerat keluargaku karena pria itu berasal dari keluarga kaya.

Aku berdiri dan berjalan kembali ke kamarku dengan membawa cangkir yang tadi kugunakan untuk menikmati susu cokelat. Aku duduk di tempat tidurku setelah meletakkannya di meja belajarku. Aku menatap sebuah gaun putih yang tergantung di dekat lemariku. Tak menyangka besok aku harus bertunangan. Padahal melihatnya saja belum pernah bagaimana bisa bertunangan?

“Lin?” panggil seseorang yang kutahu adalah ibuku. Ia kemudian membuka sedikit pintu kamarku dan memasukkan kepalanya. “Mama masuk ya?”

Belum saja aku menjawab, ibuku sudah membuka pintu kamarku sepenuhnya dan masuk. Ia menatapku sejenak kemudian duduk di sampingku. Ia mengelus pundakku. “Mama minta maaf memaksamu seperti ini. Tapi kami cuma ingin kamu ada yang ngurus. Kamu kan tahu Mama juga sudah nggak sanggup penuhi kebutuhan kamu yang tiap tahun tambah banyak.”

Oh Tuhan bisakah aku lari dari semua ini?

Jika bukan karenanya, aku tidak akan menyetujui perjodohan gila ini. Aku menyayanginya bahkan sangat sangat menyayanginya. Aku bukan tipe anak yang pembangkang dan suka membantah keinginan dan perintah orang tua. Dan ini adalah permintaan terakhir ayah dan ibuku sebelum mereka bercerai.

Aku tak begitu ingat kapan mereka bercerai. Saat SD, ayahku memang selalu mengantar jemputku seperti biasa, tapi ia jarang pulang ke rumah, katanya ada urusan di luar kota. Waktu itu keluarga kami punya banyak uang, tetapi sedikit waktu untuk bersama. Ayahku hanya menurutiku membeli yang aku inginkan, mulai dari makanan hingga mainan yang mahal. Juga membayar uang sekolah yang terbilang mahal karena aku bersekolah di sekolah swasta internasional. Setiap pulang sekolah aku bercerita kalau teman-temanku punya tempat pensil bertingkat, tas sekolah yang bisa ditarik seperti koper, sling bag yang berbentuk seperti boneka, jam tangan laser yang bisa mengeluarkan gambar-gambar lucu. Ayahku langsung membelikannya dong! Idaman banget memang. Tapi ketika aku memasuki kelas 6 SD, aku mulai berpikir apakah sebanding jika waktu quality time itu ditukar dengan hadiah-hadiah mahal seperti itu? Kurasa tidak.

Barulah semasa SMP keberadaannya di rumah semakin jarang lagi. Mama bilang kalau Papa dapat kerja di Malaysia dan hanya bisa pulang setahun sekali. Ya awalnya begitu. Namun tahun-tahun berikutnya tak pernah kembali. Bahkan saat kelas IX, Mama harus bekerja lebih keras untuk bisa memasukkanku ke SMA yang masih satu yayasan dengan SMPku. Mungkin di periode ini, Mama melakukan perjanjian itu pada Bu Kirana, secara beliau adalah ketua yayasan seligus teman lama Mamaku.

“Nanti jam tujuh kita akan dinner sama mereka, di resto dekat rumahnya. Kamu siap-siap yang rapi.” katanya. Aku hanya terdiam. “Mama yakin 100% kamu akan suka sama dia. Sudah ganteng, rajin bekerja, kaya lagi. Kurang apa sih dia? Nggak ada kurangnya!”

Iya nggak ada kurangnya caranya mempromosikan calon mantu! Ya katanya suami-able, tapi berat bagiku menerima hal gila ini. Bukan hanya karena masa depan yang telah aku rencanakan auto-deleted dari folder kehidupanku, juga karena aku sedang menanti kepulangan seseorang yang berjanji mengubah statusku dari girl friend menjadi girlfriend.

***

Aku sudah bersiap dengan inner turtle neck warna hitam dipadukan dengan rok batik warna abu-abu tua serta sneakers putih. Rambutku tergerai dan dihiasi jedai warna ungu untuk mengikat sebagian poni rambutku. Meskipun terpaksa, tak bisa disangkal aku juga semakin penasaran siapakah pria yang akan menjadi pendamping hidupku, yang selalu mereka promosikan.

Ibuku tersenyum melihatku dari mulut pintu. Ia merangkulku kemudian mengajakku keluar. Aku menutup pintu kamarku. Kami berjalan menuruni tangga lalu berjalan dan memasuki taksi online yang sudah kami pesan menuju Crystal Saphiere Restaurant yang jaraknya cukup jauh dari rumahku. Huh, memang beda kelasnya. Aku yang terbiasa makan di Rumah Makan Sederhana atau ya paling banter McD atau KFC, sangat terkejut mengetahui restoran yang mereka pilih.

Sesampainya di lokasi, aku benar-benar terkejut ketika Mama menyalami Bu Kirana dan memperkenalkannya sebagai calon mertuaku. Bu Kirana adalah kepala yayasan yang membawahi sekolahku. Jadi ya bisa dibilang dia pengelola sekolah. Meski bukan pemiliknya, tapi ia sama dihormatinya dengan pemilik sekolah. “San-san mana?” tanya Mama ketika mengetahui yang turun dari mobil hanya Bu Kirana dan suaminya.

Oke noted. Namanya San-san.

Ia tersenyum. “Itu tadi yang antar San-san. Dia buru-buru harus ke sekolah lagi karena ada rapat persiapan ujian akhir semester. Sayang banget sih. Katanya dia pengen banget ketemu Lina. Harusnya kalian sudah sering bertemu di sekolah. Tapi ya... momen seperti ini beda.”

Aku berusaha mencerna maksud kalimatnya.

Bertemu di sekolah?

Jadi dia guruku?

Oh my God!

”Masuk yuk! Saya nggak sabar ngobrol sama kamu, Lina!” Bu Kirana meraih tanganku dan menariknya. Aku berjalan cepat untuk menyamai langkahnya. Telat sedikit bisa njungkel.

“San-san bilang Lina pendiam ya? Atau cuma di kelas saja?” tanya Pak Doni, suami Bu Kirana. Kami menunggu lift terbuka. Aku tersenyum getir.

“Dia banyak cerita tentang Saya ya Pak?”

“Setiap kami tanya tentang kamu, San-san langsung bersemangat menceritakan.”

Jadi penasaran siapa dia. Setahuku di sekolah tak ada guru bernama San-san.

Tak lama pintu lift terbuka. Kami menuju restoran yang dituju. Menunggu makanan datang sambil mendengarkan ketiga orang itu bercerita. Huh membosankan. Aku mulai memainkan ponselku, dan tiba-tiba seseorang meneleponku. Aku tersenyum. Aku ijin keluar untuk mengangkat telepon pada mereka.

“Halo Mas!” ucapku dengan girang. “Masih. Kamu udah balik? Kapan? Oh gitu... Boleh, sabtu ini aku kosong.”

Namanya Krisna, dia adalah orang yang aku ceritakan tadi. Mas Krisna usianya 8 tahun lebih tua dariku. Dia ternyata sudah kembali ke Indonesia sejak akhir tahun lalu dengan membawa gelar MBBS (Bachelor of Medicine, Bachelor of Surgery) dari China dan telah menyelesaikan program adaptasi selama satu tahun. Sempat aku berpikir ‘kok bisa?’ Jawabannya adalah punya orang dalam! Ya yang aku tahu ayahnya itu salah satu anggota KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) dan sepupunya adalah dekan di Fakultas Kedokteran di salah satu universitas negeri. Yah memang negara konoha, semua lancar kalau punya orang dalam!

Dan ya... Krisna katanya akan membuka praktek mulai bulan depan. I’m so proud. Warga Solo juga harus bangga punya dokter lulusan luar negeri, yang pastinya sangat kompeten.

Lalu sekarang pertanyaannya: ngejar Mas Krisna atau menerima perjodohan dengan San-san yang belum jelas bentukannya kayak gimana. Sama-sama berduit sih. Satunya anak anggota KKI yang berprofesi dokter, dan yang satu meski cuma berprofesi sebagai guru, tapi dia adalah anak ketua yayasan.

Let it flow!

Aku melihat jam di ponselku. Sudah hampir jam 9. Tidak terasa ngobrol dengan Mas Krisna sudah satu  jam. “Mas, maaf ya aku matiin dulu. Aku harus balik ke acara.”

“Acara apa?”

“Dinner sama... sama...” Aku segera memutar otak untuk menutupi perjodohan gila ini. Malu yang ada. “Itu... aku baru nemeni Mama dinner sama temen-temennya.”

“Dimana? Kalau aku bisa, aku jemput.”

“Nggak ngerepoti? Aku di BW, Best Western Solo Baru, deket sekolahku.”

“Wah ya nggak papa banget! Aku juga mau mampir ke rumah orang tuaku dulu daerah sana.”

“Oh ya udah kalau gitu. Nanti kabari aja kalau udah nyampe!” Aku mematikan sambungan telepon dan segera kembali ke ruangan.

----

Catatan revisi Bab I:

- Penggantian latar waktu dari tahun 2012 menjadi tahun 2018. Mengapa? karena dapat memudahkan author membayangkan hal yang terjadi pada masa tersebut karena tidak terlalu jauh dari saat naskah ini direvisi (2023).

- Penambahan narasi untuk memperkuat cerita dan karakter tokoh.

- Penggantian latar belakang pendidikan dan keluarga dari beberapa tokoh.

Regards,

Queensy Fancy

BAB 2

[[REVISI]]

[Krisan]

Namaku Krisan. Di bulan-bulan menjelang akhir semester seperti ini, aku dan semua orang yang berprofesi sebagai guru mulai disibukkan dengan pembuatan soal-soal untuk ujian. Beberapa sekolah juga memikirkan penataan ruang kelas khusus untuk ujian. Termasuk sekolahku. Besok Senin anak-anak sudah harus menjalani ujian akhir semester. Kami para guru harus rapat hari ini, meski hari Sabtu. Mengapa? Karena hari Sabtu, kegiatan belajar-mengajar tidak ada. Biasanya hanya ada ekskul, kerja kelompok mandiri, atau ada remedial test. Nah, hari ini sekolah sengaja disterilkan untuk penataan ruang-ruang kelas. Rapat kami ada 3 sesi: pagi, siang dan malam, dan masing-masing ada break yang cukup untuk makan, istirahat, atau pulang sebentar. Seperti aku sekarang. Pulang untuk mandi.

“Beneran nggak bisa ijin San?” tanya ibuku.

“Enggak Ma.” Jawabku sambil mengikat tali sepatu sneakers ku. Aku kemudian duduk di kursi tamu. “Aku koordinator kelas XI dan aku harus memastikan kertas ujian cukup dengan jumlah siswa selama 5 hari. Juga harus mengecek nama mereka udah ada di tempat duduk mereka.”

Ibuku berdecak. “Bertanggung jawab banget sih?”

Aku tersenyum. “Kan Mama sendiri yang ngajarin kalau: kerja harus dengan sepenuh hati.”

“Ini kok masih ngobrol?” tanya ayahku dari dalam rumah. “San, kamu tolong anterin Papa Mama dulu ya? Lewat BW kan?”

“Siap... Aku juga pengen lihat calonku.”

Mereka tertawa.

“Makanya ikutan!”

“Udahlah Ma. San-san harus rapat.” Sahut ayahkku.

Aku berdiri dan menutup pintu. “Ya udah, ayo berangkat.” Aku mendahuluinya untuk masuk ke mobil. Ponselku berdering ada pesan masuk. Kulihat mereka sudah masuk ke mobil. “Ma, Pa, katanya nanti Jiang-jiang mau mampir. Gimana?”

“Oh ya nggak papa. Tapi suruh datang jam 9 ke atas ya. Kasian nanti nunggu kelamaan.” Jawab Mama yang baru saja masuk lalu menutup pintu mobil.

Jiang-jiang adalah saudara kembarku, dia lebih tua katanya karena lahir setelah aku. Kelahiran kami sebenarnya hanya terpaut dua jam, tapi karena aku lahir jam 11 malam dan Jiang-jiang jam 1 pagi, jadi tanggal lahir kami beda sehari. Meski kami kembar, perhatian kedua orang tuaku tidak sama. Jiang-jiang anak kesayangan Mama, karena dia yang paling ganteng, nggak rewel, dan berprestasi dari kecil. Huh, ya... aku hanya butiran debu jika dibanding dengan dia. Papa kadang kasihan denganku dan selalu bilang aku jadi anak kesayangan Papa. Maka dari itu, aku sering dinasehati untuk bisa bekerja keras, dan kalau bisa ambil pekerjaan yang berdampak bagi banyak orang. Makanya aku memilih menjadi guru.

Tak lama kami sudah sampai tempat tujuan. Orang tuaku akan dinner dengan temannya dan anaknya yang akan dijodohkan denganku. Aku awalnya menolak, perjodohan adalah sesuatu yang kuno dan pemaksaan. Tapi katanya kalau tidak dijodohkan aku tidak bisa kenal cewek karena terlalu sibuk kerja. Kebanyakan gaul sama bocil-bocil. Lha tapi yang mereka kenalkan juga bocil. Gimana sih?

Katanya sih aku udah pemuda lumutan  makanya harus segera dinikahkan. Mereka menganggap usia dua puluh ke atas jika masih melajang selalu dianggap tua. Tapi berbeda dengan diriku. Aku masih ingin berkarir dan tentang mendirikan rumah tangga rasanya belum terlintas di benakku. Tapi ya sudahlah, apa salahnya berkenalan dulu? Apalagi setelah aku tahu calonku seperti dia, tentu aku dengan senang hati dijodohkan.

“Tuh Lina juga baru nyampe San. Nggak mau ngobrol dulu? Kalian kan belum pernah ketemu langsung.” Kata Mama lagi.

Aku tersenyum lalu menggeleng. “Kalau ketemu sih tiap hari, Ma. Udah biar jadi kejutan aja. Biar dia penasaran dulu.” Aku tertawa kecil lalu pamit untuk langsung ke sekolah. Setelah mereka turun dan menutup pintu aku langsung pergi.

Sesampainya di sekolah, aku memarkirkan mobilku di area parkir guru di halaman belakang. Aku memasukkan ponsel ke dalam saku celanaku lalu tuurn dari mobil. Aku berjalan masuk melalui pintu belakang. Aku bertemu Mbak Hesti, salah seorang guru kelas XI juga. “Bagaimana Mbak, kelas sudah beres?”

“Kelas XI sudah, Mas.” Jawabnya. Ia ijin pamit pulang duluan. Maklum ibu muda yang baru melahirkan tidak bisa meninggalkan anaknya terlalu lama, meskipun ada ibu dan suaminya di rumah. Lagi pula Mbak Hesti tidak mengambil break-nya agar bisa segera pulang.

Aku melanjutkan langkahku. “Gimana bro?” tanyaku pada Mas Kenny, teman dekatku sejak bekerja di sini.

“Gimana, gimana. Enaknya nanya!” sahutnya. “Oh iya aku lupa kamu anak ketua yayasan! Kenapa nggak jadi kepala sekolah aja?” Aku segera menjambak rambut ikalnya yang persis seperti sarang burung di atas pohon. “Aduh maaf, Pak Bos!”

Aku segera melepaskannya ketika melihatnya kesakitan. “Awas kowe!” Aku pergi meninggalkannya naik tangga ke lantai 2. Memang Mas Kenny sering membully statusku yang adalah anak ketua yayasan. Dia sering bertanya kenapa nggak jadi kepala sekolah aja? Menurutku terlalu mendadak sih. Aku butuh pengalaman mengajar anak-anak baru bisa menjadi kepala sekolah. Nggak mau mempertaruhkan nama baik sekolah dan yayasan.

Aku berjalan menuju ruang ujian 2A. Aku mengecek apakah kartu ujian sudah ditempel dengan baik di meja siswa. Aku berhenti di meja baris depan kolom 4. Aku tersenyum. Itu adalah meja Lina. Tepat di depan meja guru. Menyenangkan pasti kalau ia dapat giliran jaga di ruang 2A. Aku duduk di meja itu dan melihat kartu ujiannya yang terdapat pas foto terbaru. Aku teringat pertama bertemu Lina waktu MPLS. Waktu itu aku sudah ditugasi menjadi wali kelas, dan itu adalah kali pertamanya. Aku memegang kelas X-IPS-1. Waktu itu pula kedua orang tuaku telah memberitahu bahwa aku akan dijodohkan. Pikiranku dipenuhi dengan prediksiku tentang masa depanku sehingga membuat hari pertamaku cukup kacau. Di perjalanan menuju sekolah, aku yang membawa motor sempat hampir menabrak tukang becak, tukang kacang hijau, dan juga barisan bebek yang lewat di area persawahan dekat sekolah. Oleh karena itu aku sedikit lagi terlambat.

Baru saja masuk ke ruang guru, bel masuk sudah berbunyi. Aku segera mempersiapkan diri untuk masuk ke kelas pertamaku. Aku mengambil laptopku dan berjalan dengan tergesa. Masih sama: kata 'perjodohan’ itu menyelinap lagi di otakku. Apalagi setelah aku tahu gadis yang dijodohkan denganku masih berusia 16 tahun kala itu. Orang tuaku ingin menjodohkanku dengan bocil? Ia masih SMA dan sudah akan menjadi isteri? Bayangkan saja remaja seusia mereka –anak didikku sudah harus diam di dapur melayani suaminya!

Hingga aku tak sengaja menabrak seorang murid. Dia masih berseragam putih-biru, itu artinya dia anak kelas X yang akan mulai MPLS hari ini. Ia tak terlalu cantik bagi sebagian orang. Berpenampilan apa adanya, dan senyuman yang… masih terngiang di benakku. Kami sempat saling menatap, namun hanya sejenak. Ia langsung menunduk. “Maaf, Pak!.” satu kata yang diucapkannya sebelum dia berjalan cepat masuk ke kelasnya. Aku terdiam saat ia masuk ke kelas X-IPS-1. Ternyata dia muridku.

Di hari pertama masuk, teman-temannya langsung mengajukannya sebagai sekretaris. Hasil voting juga memperkuat posisinya. Ia menjadi sering bertemu denganku untuk mengembalikan buku absensi, jurnal kelas dan buku tugas. Aku juga mulai mengambil kesempatan untuk melibatkannya dalam proses mengajar, seperti membantuku membawakan laptop atau kertas ulangan. Ya biar kami bisa berbicara banyak. Tapi hasilnya aku hanya mengenalnya di permukaan. Penasaran, dan aku memutuskan untuk mengejarnya.

Menjelang ujian kenaikan kelas, mereka mengajakku bertemu orang tuanya. Waktu itu aku belum tahu jika dialah yang dijodohkan denganku. “Sayang banget Lina baru kerja kelompok di rumah temennya.” Kata ayahnya. Aku melihat sekeliling dan setelah aku melihat foto-foto di ruang tengah aku baru mengetahui bahwa dia orangnya, Tau gitu sih dengan sukarela aku dijodohkan.

Aku beranjak dari posisiku lalu kembali mengecek semua meja siswa di ruangan itu. Lalu aku juga mengecek di ruangan lainnya. Terakhir aku pergi ke ruang panitia dan memastikan paket soal sudah disegel dengan rapi sejumlah siswa. Hingga ponselku berdering: telepon dari Papa. Ternyata sudah hampir pukul sembilan. Aku menjawabnya sambil pamit pulang. Aku menuruni tangga dan menuju ke mobil.

Sesampainya di basement Best Western Premiere Hotel, aku melihat ada mobil Jiang-jiang terparkir di sana. Aku memarkirkan mobilku di sebelahnya. Aku kemudian turun dan mengetuk kacanya. Ia membuka pintu lalu turun. “Heh di sini juga?” tanyaku. Ia tersenyum lebar. “Ngapain?”

“Tadi kan aku bilang mau jemput –“

“Ooh.. di sini juga? Beneran deh, aku pengen lihat gebetanmu!”

Tak lama kemudian, aku melihat mereka keluar dari lift. Aku segera masuk ke mobil.

“Maria sama Lina pulang naik apa? Bareng sama kita apa?” tawar Mama. Ya aku masih mendengar mereka berbicara sambil berjalan menuju ke tempat kami karena aku sengaja menurunnkan kaca mobilku sedikit agar bisa mendengar apa yang mereka ucapkan.

“Oh makasih Bu. Ada temen yang jemput.”

“Lho, Jiang, kamu kok di sini?” Papa sepertinya terkejut melihat keberadaan Jiang-jiang.

Ia tersenyum lebar. “Mau jemput temen.”

“Oh, lha mana temenmu?” ia langsung menunjuk Lina. Mataku terbelalak. Jadi Lina gebetannya Jiang-jiang?

“Ehalah.. ternyata kalian udah saling kenal. Lina ini calonnya San-san.”

Senyum lebar Jiang-jiang langsung memudar. Mungkin perasaan kami saat ini sama: sama-sama sesak mengetahui kenyataan kami mencintai perempuan yang sama. Aku tersenyum getir. Seperti inikah nasib saudara kembar?

“Oh. Yaudah Ma, Pa, aku antar Lina sama Tante Maria pulang dulu. Ndak kemaleman.” Ia segera masuk ke mobil untuk menyudahinya.

“Dunia sempit banget ya Pa?” ucap Mama masuk ke mobil. “Lina udah kenal sama Jiang-jiang ternyata.” Sambungnya. Aku hanya tersenyum tipis.

“Bagaimana tadi?”

“Ya nggak gimana-gimana sih. Makanya kamu lain kali ikut...”

Sepertinya benar dugaanku. Mereka lebih banyak ngobrol dengan orang tuanya. Ya seperti biasa, Lina susah diajak bicara. Dia sangat introvert, dan butuh pendamping yang ekstrovert, seperti... aku.

Chapter 3

Mataku masih saja menerawang jauh. Menikmati malam indah ini. Cerah, berbintang. Aku masih berkutat dengan beberapa tugas sekolahku yang mulai menumpuk. Tentu sejak aku ijin tidak masuk sekolah karena ada acara keluarga. Ah bukan. Bukan acara keluarga. Namun tepatnya pernikahanku.

Aku masih di temani angin malam yang mulai berubah menjadi dingin. Dan tugasku belum juga selesai. Lelah dan kantuk telah menghantuiku beberapa kali. Namun tugas ini tetap tidak bisa menungguku.

Aku menghentikan aktivitasku sejenak ketika mataku kembali menatap sebuah cincin emas yang telah melingkar di jari manis tangan kananku. Entah sejak kapan hati ini menerima pernikahan itu. Pernikahan yang hanya kulandasi rasa kagum padanya. Bukan cinta!

Aku tersenyum melihat pria itu. Pria yang dua hari ini selalu aku lihat pertama kali aku membuka mata di pagi hari dan terakhir kali di malam hari. Ya dialah Krisan, suamiku. Kalian boleh menyebutnya guruku juga. Dia itu wali kelasku yang entah sejak kapan berubah status menjadi suamiku.

“Masih belum selesai, Dek?” aku menggeleng. “Mas bantu ya?” aku menggeleng lagi. “Kenapa?”

“Mas, ini kan tugas geografi, mapel yang Mas Kris ampu. Masa yang ngerjain gurunya sendiri. Nggak adil lah, Mas. Biar aku ngerjain sendiri.”

“Iya, Mas tahu. Tapi mukamu udah lelah gitu kelihatannya. Ini juga udah jam sepuluh. Besok katanya mau masuk sekolah.”

“Ya tapi –” belum sempat aku meneruskan ucapanku, tangannya sudah mendarat di bibirku.

“Tidur saja sana. Mas tunda pengumpulannya.” aku menggeleng. “Atau aku –” katanya sambil memonyongkan bibirnya hendak mencium bibirku.

Aku mendengus kesal dan segera masuk ke kamar. Tak tahu kecelakaan apa yang membuat otaknya menjadi mesum. Memang aku dan dia belum melakukan apapun. Tapi kayaknya pria itu udah seperti cacing kepanasan setiap malamnya. Kasihan sih sebenarnya. Tapi kalau aku meladeninya bisa-bisa aku hamil di usia muda dan aku belum siap itu.

Setelah membersihkan tubuhku aku segera berbaring dan menenggelamkan seluruh tubuhku dalam selimut. Aku memang belum begitu nyaman dengan kamar dan rumah baru ini. Rumah besar namun tak ada tanda kehidupan selain aku dan Krisan. Rasanya begitu menyeramkan. Maklum saja ini rumah hasil kerja keras Krisan sejak remaja. Dan baru dipakai ketika sudah menikah seperti ini.

Aku mengumpati diriku sendiri. Mengapa aku mau jadi isteri pria itu? Cinta saja tidak. Waktu memang ajaib. Seajaib teori-teori pembentukan bumi yang tak tahu yang mana yang benar.

Sebuah tangan tiba-tiba saja melingkar di pinggangku. Siapa lagi kalau bukan suamiku. Dia selalu saja seperti ini. Nempel bak perangko. Aku berharap saja besok dan seterusnya ketika di sekolah dia tidak terus-terusan mengekoriku.

“Mas, jangan menggoda imanku!” bentakku sambil berusaha melepaskan tangannya.

“Mengapa? Nggak mau Mas peluk?”

“Bukan gitu, Mas. Pelukan Mas Kris itu meruntuhkan imanku tau nggak!”

“Kamu juga sih yang terlalu cantik dan mempesona sehingga Mas nggak bisa nahan ini tangan.”

“Sudah ah, Mas, aku mau tidur!” tiba-tiba saja bibirnya telah mendarat tepat di bibirku. Cukup lama. “AA FIRST KISS KU!!”

“Bagus dong first kiss mu aku yang ambil, berarti kamu masih ori.” katanya sambil tersenyum.

“Mas kira aku apaan ori.” aku membalikan tubuhku. Rasanya jantungku bak orang lari maraton. Berdebar begitu kencang. Mungkin saat ini pipiku sudah berubah bak udang dari penggorengan. Ya Tuhan!

“Ya itu kan tandanya kamu belum pernah –”

“Astaga, Mas. Aku ini pacaran aja belum pernah. Masa iya mau ciuman sama cowok lain. Hellow!”

Tiba-tiba tangannya kembali menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Hangat. Astaga perasaan apa yang kurasakan. Mengapa jantungku berdetak semakin kencang. Apakah aku bisa lari sekarang juga?

“Sudah tidur jangan cerewet mulu. Aku baru tahu ya seorang Carlina ternyata aslinya seperti ini.” aku hanya tersenyum. Benar katanya. Aku sudah banyak berubah. Mungkin sejak aku bertunangan dan menikah dengannya. Semua berubah.

***

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku ketika mentari menyusup celah-celah jendela kamarku. Aku menggeliat. Menatap jam dindingku yang sudah menunjukkan pukul enam pagi. Hah jam enam?!

“Mau kemana, dek?” ia memelukku erat mencegahku pergi.

“Mandi lah, Mas. Udah jam enam. Ntar telat lagi.”

“Mandi bareng?”

“Hih enggak!” aku melepaskan pelukannya. Namun usahaku gagal.

“Kiss dulu dong!” Krisan kembali memonyongkan bibirnya. Oh ya Tuhan apa salah hamba punya suami yang manja banget!

“Nggak ah, Mas. Ntar telat lo. Hari ini upacara kan?”

“Biarin telat. Paling kamu berdiri di barisan khusus.” aku tersenyum kecut. “Pokoknya kiss dulu baru aku lepasin.”

“Aduh deh ya, Mas. Nanti aja kalau nggak buru-buru.” aku berusaha melepaskannya. Dan akhirnya!

“Dek, kiss dulu!!”

“Nggak, Mas!!” kataku sambil berlari masuk ke kamar mandi. Astaga ternyata Krisan manja banget sumpah!

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!