Sekitar jam satu dini hari rombongan mobil-mobil berbaris depan gedung besar. Jauh di atas panggung sedang diadakan pagelaran. Seorang biduanita meraih mikropone dan berteriak menyanyikan lagu-lagu keras. Selesai itu keadaan riuh rendah oleh tepuk tangan hadirin.
Selesai pementasan perempuan itu memasuki skene. “Ada orang mau ketemu.” sekuriti muncul tiba-tiba dibelakang penyanyi besar itu.
Mereka akhirnya putuskan menemui tamu itu. Di tengah-tengah pintu rias Stella berhenti. “Aku tahu semua royalti sudah diserahkan.”
“Bukan itu non, bukan. Ada yang lain.”
Mereka bicara sambil berjalan di tengah lorong.
“Apa ini?”
Stella membuka bungkus kertas berisi putaran angka-angka dengan gambar wajah iblis. “Maafkan. Aku enggan terlibat. Tahu siapa aku?”
“Ya, nona,”
“Bacalah sendiri.” Stella berjalan kasar meninggalkan lelaki jas hitam itu.
“Selamat malam nona!”
Stella sama sekali tidak menjawab sopirnya. Kakinya memasuki mobil volk hitam.
Wajahnya kuyu hampir-hampir seperti mayit. Nafasnya dibuang kasar keluar jendela. “Buat apa peranku sejauh ini di sana. Kalau toh mereka tidak mau mendengar. Hanya uang-uang!”
Sopir mengintip melalui spion. Stella merokok dengan papier dan mulai membaca-baca majalah Sin Po.
“Nona suka Tionghoa?”
“Bukan suka lagi. Dahulu sebuah dari keluargaku pernah jadi serdadu Sun Wen. Pensiunnya dia sudah empat belas hari. Pensiun juga sudaraku itu.”
“Muka nona benar-benar Belanda.”
“Hanya ibuku yang bukan.” Stella tersenyum meneguk bolsh botol kaca.
“Kurangi minum nona. Kebanyakan tidak membantu sama sekali.”
“Tetapi jika tidak malah lebih bukan membantu lagi.” Stella mengerling kemudian tersenyum.
“Berapa kilometer?”
“Kira-kira lima belas menit lagi.”
Stella memandang perumahan sampai bangunan besar dan luas sepanjang Braga. “Semasa kecilku bagus sekali daerah ini.”
“Dari dulu-dulu manusia hanya bisa maju pembangunannya, non. Tetapi akalnya tetap saling makan bahkan lebih buruk lagi busuk isinya.”
Stella tertawa menanggapi. “Katamu benar. Aku pun pernah ingin mati saja. Hanya Tuhan berikan jalan padaku.”
“Nona bersih?”
Stella mengernyit mendengar itu.
“Sepenuhnya tidak. Lagi pula dunia memang hanya untuk kapital. Mereka yang berusaha revolusi hanya membunuh dirinya sendiri.”
“Selamanya modal memang dibutuhkan nona. Termasuk dari bayi sampai mati. Orang tetap membutuhkan modal untuk hidupnya. Tanpa itu tentu perang juga mustahil terjadi.”
“Teluk sedang memanas sekarang. Menurutmu siapa pemenangnya?” Stella bertanya.
“Tentu saja negeri pembangunan.”
“Amerika?”
“Siapa lagi?”
Supir hanya menjawab sesekali melihat arloji gantung saku atasnya. “Sabar nona. Sedang macet.”
Stella menyandar dengan setangah menutup matanya. Di persimpangan muncul kedua mobil hitam berhenti pojok tilpun umum. Stella mengawasi diam-diam kendaraan itu. “Siapa itu?” matanya memicing dibalik kaca mobil.
“Mungkin wartawan, jangan nona takut.”
Stella berdegup keras. Wajahnya gelisah melihat jam tangan sudah pukul satu pagi. Ia meneleng selintas melihat keluar mobil. Mereka sudah hilang. Stella lega kemudian membuka kartu tilpun. Ia hendak hubungi asisten. Namun anehnya ketika mobil berjalan melewati tiang-tiang tilgrap. Kedua mobil hitam dengan kaca pekat itu terus mengikuti.
“Cepat!” Stella membisik dalam badan penuh keringat.
Supir sadar mereka diikuti kemudian belok ke jembatan sampai ke depan toko-toko kosong. Mobil kedua itu sudah lenyap. Keadaan hening dengan mata nyalang Stella yang belum tenang.
“Sebaiknya berhenti dulu nona.”
Stella ragu-ragu namun akhirnya menyetujuinya. Mereka masuk ke restoran cepat saji. Hingga selesai makan diluar angin begitu dingin. Stella mengenakan mantel abu-abu.
Mobil kembali berjalan sampai ke dalam kawasan-kawasan lengang. Sesuatu terdengar keras. Rupa-rupanya ban mogok penumpang lain. Stella semakin tak karuan. Ia berulangkali menelpon markas bos. Tidak ada yang mengangkat. Terus menerus menelpon. Sambungan tetap kosong. Stella putuskan akan jalan kaki tapi supir melarangnya.
Di samping pondok-pondok keluar dua mobil sebelumnya. Stella merunduk hingga kedua mobil itu hilang. Stella kembali duduk tegak. Matanya menyipit jauh ke depan.
“Carikan aku becak!”
“Mustahil ada nona.”
“Kalau begitu biar aku turun!”
“Sedang lampu merah nona.”
Stella mencoba memejamkan matanya. Samar-samar suara knalpot didengarnya. Stella terbangun dan benar saja. Mobil pengganggu itu sudah muncul. Bahkan sekarang begitu dekat. Klakson terus dibunyikan tapi lampu merah tak juga hijau. Hingga situasi itu bikin Stella kebingungan. Ia meraih handle jendela, menguncinya.
Tidak lama sopir memutar stir. Dalam hembusan rapat-rapat hidung perempuan itu, sesuatu yang keras dan panas tiba-tiba meluncur deras dan keras menghantam kaca, suara ledakan tak bisa dihentikan. Pekik juga jerit terputus setelah kelima peluru hantam keras-keras kaca mobil. Stella seketika jatuh telungkup di dalam lemosin miliknya.
Sopir itu segera membersihkan baju-bajunya. Berlari mengejar mobil-mobil sudah hindar jauh. Stella masih bernafas dengan suara tersengal-sengal. Ia memegang dadanya yang sudah kena peluru. Supir itu berteriak memanggil medis. Kemudian shubuh itu Braga dikejutkan tewasnya biduanita muda. Bahkan berita terus menerus menjadikan liputan panas. Hampir siaran-siaran radio dan saluran-saluran tv mengabarkan peristiwa naas itu. Shubuh setempat Stella dinyatakan wafat, ia sudah tidak bisa menahan pendarahan, peluru bersarang di tenggorokan dan perut sampai leher.
Pemakaman dilangsungkan pukul sepuluh pagi. Kerabat juga kolega-kolega datang. Kecuali keluarganya. Stella tidak punya keluarga. Seluruh hidupnya sudah diasuh Sarah. Dalam mana itu wanita barusan hadir. Rombongan usahawan baru datang jam sebelas. Maria sebuahnya. Amanda sebagai perwakilan datang menyampaikan duka. Dan menyiram batu nisan dengan air. “Tenanglah. Kalibanteng adalah juga keluargamu.” Amanda menaburkan bunga-bunga melati kemudian Melissa maju ke panggung. Ia mengatakan sangat kehilangan Stella sebagai perempuan yang konsisten. Lebih lagi ia pekerja keras. Meski begitu tidak pernah memikirkan dirinya sendiri.
Jam satu siang upacara terakhir pemakaman diadakan seremoni penghormatan. Trumpet ditiupkan. Bukan karena Stella semata biduan besar melainkan jasa-jasa sosial dan empatinya selama berkarir. Ia diketahui pernah terlibat dana kelaparan dan menyumbang sebesar delapan ratus juta. Pengamalan Afrika dan penyumbang kemiskinan negeri-negeri konflik sekarang.
Pengusutan kasus masih dilakukan. Norah mengerahkan lima komisi untuk menangani kasus kematian biduan muda itu. Dalam arti bukan semata penembakan tetapi kasus tanda kutip. Keterlibatan satanian. Mendengar itu Amanda berusaha melancarkan pelacakan melalui komputer. Lydia sedang berusaha keras. Tetapi komputer tidak mampu menembusnya. Katanya, mungkin gejala-gejala satelit harini. Maklum saja, semakin padat lintas udara, semakin sulit informasi didapatkan.
Bersambung ….
Arnita sedang tiduran sendirian dikamar. Cecil menutup pintu diam-diam dengan gerakan badan mengejuti. “Door!” Cecil bergaya koboi dengan tangan menodong ke depan.
“Brengsek!” Arnita melempar guling miliknya.
“Hanya mau bilang.” Cecil mendudukan diri ke tepian ranjang. “Amanda sudah menerima orang-orang lagi semalam.”
“Lalu?” Arnita melepas bajunya dari kaus ke dalam jas hijau tanah.
“Mereka setuju. Amanda setuju juga.”
“Kita bisa saja mengajukan petisi penolakan. Tahu kau? Dampak surat itu bukan main hebatnya. Mereka bisa memecah negeri jadi bongkar-bangkir. Padahal hanya petisi.”
“Maklumat itu mematikan. Katanya, mereka bisa meremajakan pengeluaran.”
“Bukan meremajakan, justru dengan pecahnya perang, orang-orang itu bisa menyerap dan menghabisi kekayaan negeri-negeri lain.”
“Mungkin saja?” Cecil mengeluarkan sesuatu dari dompet kotornya.
“Uangmu sangat banyak. Gantilah dompetmu.”
“Lihat?” Cecil menyorong sesuatu.
Arnita membaca hasil undian semalam itu. “Jangan berurusan dengan mereka. Kau bisa mampus nanti. Kami sudah bagian penting buatmu.”
“Tentu tidak. Kau sendiri sudah kakakku.”
“Baguslah. Kaum jalanan memang tidak punya wibawa jelas. Mereka hanya halangi kita. Aku berniat musnahkan orang-orang itu. Tapi keputusan sidang belum diambil.”
“Aku ingin sarankan, lebih baik jangan, Arnita, kau tahu? Dengan adanya kaum jalanan itu mereka juga membantu ekonomi.”
“Di samping itu mereka jadi senjata kaum liberalis tulen.” Arnita membalas.
“Orang kecil memang tidak diuntungkan. Tapi mereka sudah jadi keseimbangan dunia sekarang. Invetasi perusahaan mereka besar-besar. Sebuahnya prodak hiburan seperti musik dan film.”
“Ah, itu alasan belaka, bagaimana rasanya bersantap kasih?”
“Aku tidak bisa beritahukan.”
“Marry tidak akan bisa ke kamarku. Aku perintahkan penjaga dari golongan Surti untuk melarang perempuan periang itu ke mari.”
“Mula-mula aku canggung, mereka menawarkan dua lelaki, aku menolaknya, jadi kami melakukan itu di apartemen sore-sore. Cukup sekali, dan yang kedua kau datang dengan perempuan brengsek itu, kalian membakar rumah-rumah inap kami.”
“Kau kotor.”
Arnita terbelalak. Suszie cekikikan di atas jendela kamarnya. “Keluar dari kamarku!” Arnita mengambil sapu injuk memukul Suszie yang terbang kian ke mari.
Tidak lama pintu terbuka dan Sarah masuk. Suszie keluar pintu. Arnita mengayun keras-keras ke muka Sarah. Kepala perempuan itu jatuh ke lantai. “Ambilkan kepalaku!”
Arnita cengar-cengir kemudian memasang kepala ibunya.
Sarah pitam kemudian menyuruh Cecil mengajari Suszie hitung-hitungan.
“Bukan lima, lima ditambah lima sama dengan sepuluh!”
Suszie mencoret-coret jawaban yang salah. “Kau benar-benar dikamar Arnita?”
“Sialan, ibumu sangat membenciku, kau jangan turut sepertinya juga, baik habis ini aku ajak makan. Kau kelaparan bukan?”
“Memang aku lapar. Kadang ayam hutan atau kijang aku makan saja.”
“Harusnya seumurmu dibiasakan makan makanan manusia. Kau bukan hewan. Sekalinya ibumu begitu.”
Sarah menarik telinga Cecil dan menegurnya dalam Prancis.
“Kau seperti belum mau tua saja. Sudah biarkan Cecil denganku!” Maria menarik-narik tangan Cecil. Sarah mengalah. Ia mengajari puterinya hitung-hitungan.
Amanda melapurkan kejadian pertemuan dengan memberikan keterangan-keterangan pada Sarah. “Tutup media agar mereka tidak usah mengurusi kita.”
Melissa datang ke ruangan redaksi Adeline. Adeline mengangguk-angguk menerima perintah. Kemudian ia memberikan urutan-urutan pasar berita harini. Ada peningkatan prasarana bangunan, pakaian, kosmetik sampai jam tangan. Musik bahkan tragedi daripadanya. Stella. “Alihkan pemberitaan agar untuk lebih miring ke dalam kematian bintang besar itu. Kurangi politik juga pengaruhnya belakang, usahakan lebih banyak wartawan untung dengan kematian bintang itu, dengan begitu gejolak-gejolak besar bawah permukaan sama sekali tidak dikenal umum.”
“Kau menjual sahabatmu demi kekuasaan.” Adeline membantah.
“Kau juga bekerja di sini untuk apa? Kerjakan keparat aku bisa kena teguran.”
“Mintalah Marry?”
“Kau sudah nikmati jerih payah pembungkaman itu. Jangan munafik Adeline! Percuma saja kau melawan. Kami punya banyak pengawas. Kau minta lindungan? Anton dan kawan-kawan tak pernah bisa melepas cekaman politik. Mereka sudah berusaha tapi? Tidak bisa. Tidak bisa.” Melissa mengecup rambut Adeline dengan hormat dan pergi.
“Sialan dia. Ah, tidak ada kelirunya, biar dunia lebih mengenalmu Stella, kami tetap keluargamu, maafkan jika kami tidak pernah mendengarmu. Kau harus damai. Namamu sudah sejajar dengan mereka yang sekarang dimusiumkan ....” Adeline tersenyum mengelap matanya. Meneruskan mengetik dengan menambahkan klue-klue yang belum diumumkan ke umum. Dengan mengandalkan barang-barang asli penembakan. Perempuan itu menugaskan perangkat wartawan milik mereka. Untuk menjual heboh berita itu. Hingga berbulan-bulan pelaku penembakan belum diketahui. Stella terseret gelumbang politik yang menyasar bawah permukaan. Ia jadi pelindung ganda untuk melenyapkan jejak-jejak peristiwa besar. Yang bahkan jauh lebih penting dari kematiannya.
Amanda sedang mengadakan rapat tertutup dengan dewan pimpinan. “Yang kalian maksud bukan itu polisionil? Yang benar saja. Dengan sadar tidaknya. Tindakan itu bisa memicu konfrontasi kemudian hari. Kalian sudah putuskan. Berarti cenderung memakan dari permukaan. Perang harus dipatahkan.”
“Mengapa begitu?”
“Mengapa?” Amanda mengenakan kacamata besar. Kacamata min itu dipakainya membaca. “Dengan bantuan kami ke medan sekarang. Berarti kalian hendak mekarkan konflik. Kalian sudah hancurkan Teluk sekarang. Kemudian apalagi? Kongow? Afrika? Atau Rusia yang baru dikuasai? Ingat-ingatlah Tuan. Dengan munculnya perang, berarti politik kalian gunakan sudah keluar ketentuan-ketentuan sebelum ini digunakan, misalnya amnesti dalam dua seteru blok harini. Santa Cruz dan negeriku! Kalau perang sungguh hebat sekarang ini. Berarti bukan mustahil juga negara-negara lain mintakan pemerhatian. Terutama pembesar-pembesar mereka lebih utamakan nama dan kehormatan daripada negerinya. Mengartikan pula rakyat lebih menderita. Itu dikemudian hari. Mungkin konflik itu masih kecil, tetapi asas dalam coup de etat tak bisa sembarangan, kalian gunakan petisi berarti siap hunus peluru baru. Ingat-ingat, harini semua terjadi begitu saja, kalian sudah sepakati perjanjian. Sementara negeri-negeri kecil itu harus dibikin belur dulu. Baru negeri-negeri lebih kecil itu bisa kalian berikan bantuan. Lucunya, tapi bukan masalah. Selesai ini bikin keterangan dan jelaskan kenapa bisa Amerika bikin geger. Nah, terima kwitansi. Tanda tangan di sini ....” satu demi satu wakil-wakil negara itu menempelkan cap jari. Kemudian Amanda perintahkan Maria membacakan anggaran sesuai perjanjian.
“Maka dibukalah harini Juni 1991, kami bersedia meminjankan dengan kembalian harus bisa bersih dan banyak, kalian sudahnya mematuhi pasal-pasal peminjaman dengan sebaik-baiknya. Kami membolehkan properti veste untuk dipergunakan. Selagi bangsa-bangsa mampu melunasi secukupnya. Jika menyalahi aturan pembersihan harus terjadi atas nama keluarga dunia.”
Maria menjabat tangan orang-orang. Amanda diiringkan Melissa mengantar tamu-tamu keluar Waddesdon Dee, tidak lama mobil-mobil bagus itu meluncur jauh. “Mereka lebih menginginkan perang daripada kesetaraan.”
“Rosseau berarti membohongi revolusinya sekarang.”
“Buku-buku jaman tengah masih bisa menjawabnya.” Amanda membalas Maria.
Maria memohon Amanda untuk jangan termakan wakil-wakil negarawan itu. “Mereka membahayakan bangsa mereka. Mereka habisi rakyat hanya demi kekuasaan.”
“Kita menyetujuinya. Berarti sama kejam juga.” Amanda memberikan kertas berisi makanan tagihan Meisya.
“Aku sedang tidak memegang uang.”
“Kau bercanda kak,”
“Baik. Aku berikan, hanya segini saja cukup?”
“500 ribu?” Amanda mengangguk senang. Ia berikan ke Meisya. Meisya segera bayarkan ke restoran dan orang-orang di sana berlarian ketakutan.
“Padahal aku hanya ingin membayar.”
“Tapi kau setan.”
“Siapa itu!” Meisya kesal.
“Hanya hendak pesiar.” Suszie keluar dari pintu dapur dan menghilang ke atas langit.
Meisya merokok sendirian di tengah restoran yang kacau balau.
***
Norah menerima panggilan pusat. Ia segera menyanggupi lima pegawainya. “Jadi semua ulah kaum jalanan lagi?”
Dirinya putuskan bertamu ke rumah besar Amanda. Norah diperiksa teliti oleh Surti. Surti ketakutan dipandang garang perempuan itu. Akhirnya Norah jadi tamu pertama-tama yang merasakan istana kecil Sri Ratu.
Amanda sedang bermain tenis lapangan. Marry mendukung dengan suara keras dan cukup menganggu. Norah. “Yang Mulia, sahaya mau bicara sebentar.” katanya begitu pelan seperti dikulum. Dan hampir tak kedengaran.
Amanda hentikan hockeynya. Ia geletakan barang itu ke tanah. Marry tetap berdiri di dekat Norah.
“Maafkan, aku benar-benar mengganggu, dari kedatanganku. Sekarang semua sudah jelas.”
“Siapa pembunuh Stella?”
“Dari keteranganku, ia menolak keras kaum jalanan, jadi sebelum matinya, Stella ditawarkan nama juga seperti Cecil. Dan ia tidak pernah sudi. Mungkin masih perlu penyidikan. Kalau dikenakan lebih baik kita patahkan berita burung. Soal matinya dia.”
“Jika begitu kita melewati janji Norah. Bahwa dengan memunculkan hasil penyidikan. Kita sama saja buka topeng ke dunia luar. Dengan itu bisa saja kita kena jebak. Kaum Satanian itu.”
“Aku paham sekali. Nah, besok tindakan harus kita laksanakan, Ratu.”
“Beritakan ia di pites bisnismen. Lalu kau atur sendiri bagaimana Stella ditembak, mungkin bisa peluru balas peluru.”
“Seperti Kennedy?”
“Itulah kau pikirkan. Baguslah. Kerjakan.”
Norah bersaluir kemudian memandang kesal Marry. Marry duduk lesu menatap Amanda.
“Jangan sedih manis, aku punya kejutan untukmu, kau sudah aku anggap sudaraku Marry. Koronasi bukan mustahil kau pegang.”
“Tapi aku tidak mau disangka buruk Amanda.”
“Tenanglah. Aku berpihak padamu. Nanti aku bikin ketentuan atas namamu. Mungkin berapa tahun lagi.”
“Terima kasih, dan kau seperti tidak pernah luang waktu begini.”
“Maka demikian juga aku usahakan untuk istirahat.”
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!