Teguh,
Dia adalah seseorang yang kesehariannya berdagang di pasar. Ikan itu ia beli lagi dari para nelayan. Walaupun hasil menjual ikan memang tak seberapa untungnya, tapi dia tetap bekerja keras agar bisa menghidupi keluarganya.
Karena kebutuhannya setiap hari tak pernah habis. Apalagi istrinya yang selalu menuntut Teguh agar cepat kaya raya. Padahal, tidak setiap hari orang yang datang ke pasar membeli ikan di lapak Teguh.
Karena banyak juga yang menjadi pedagang ikan di pasar, bukan hanya teguh saja. Kadang kala ikannya habis terjual, tapi itu sangat jarang. Dan bahkan tidak setiap hari ikan yang teguh jual laris oleh pembeli.
Bahkan sering pula tak ada terjual satupun. Kalau sudah begini, Teguh tak berani pulang ke rumah. Teguh lebih baik tidur di rumah saudaranya, atau di emperan pasar. Karena baginya sama saja, kalau pun dia pulang tanpa membawa uang sudah pasti Teguh akan diusur oleh istrinya.
Namun beruntungnya hari ini, ikan yang Teguh jual habis diborong oleh seorang perempuan yang kaya raya. Terlihat dari penampilannya, dia bukan dari kalangan orang kelas bawah. Dia tak segan membeli semua dagangan Teguh tanpa tawar menawar.
Bahkan wanita itu memberikan bonus untuk Teguh. Teguh yang beberapa hari ini dagangannya sedang sepi pembeli, merasa sangat senang.
"Terimakasih Bu. Ibu sudah memborong dagangan saya." (Teguh)
"*Iya sama-sama. Lebih baik kamu berdagang di tempat lain saja. Atau berjualan di rumah. Dari pada disini, kelihatannya sepi pembeli."
"Iya Bu, sebenarnya saya juga ingin berjualan di tempat lain. Tapi ya mau bagaimana lagi Bu, saya belum punya modal." (Teguh)
"Kamu harus terus berusaha dan berdoa. Jangan pernah menyerah, karena masih banyak pula orang di luar sana yang hidupnya jauh lebih memprihatinkan dari kamu."
"Ehh... iya Bu. Oh ya Bu, ibu yakin tidak mau menawar harga dagangan saya?" (Teguh)
"Saya rasa tidak perlu, lagi pula saya percaya kamu orang yang jujur dan sangat menjaga kebersihan. Karena itu saya tidak segan-segan untuk memborong dagangan kamu."
"Iya Bu, sekali lagi terimakasih ya Bu." (Teguh)
"Iya. Tapi ingat ya, dua hari sekali saya akan datang kemari dengan anak buah saya. Jadi siapkan ikan sebanyak mungkin."
"Baik Bu. Tapi kalau boleh saya tahu, memangnya untuk acara apa ya Bu? Siapa tahu saya bisa mencarikan ikan jenis lain yang ibu butuhkan." (Teguh)
"Ikan yang sekarang kamu jual. Dan ini uangnya, saya permisi dulu."
"Iya Bu." (Teguh*)
Teguh mulai merasa kebingungan dengan tingkah wanita itu. Untuk apa dia ingin memborong ikannya dua hari sekali. Padahal menurut Teguh, selera orang kaya bukanlah ikan yang ada di pasar seperti ini. Seharusnya di tempat yang lebih berkelas dari pada pasar yang suasananya sumpek seperti ini.
"Lah... Ngga papa lah, yang pentingkan ikan ku terjual habis. Jadi besok-besok aku harus membeli ikan lebih banyak lagi, supaya untungnya juga lebih banyak." (Teguh)
Teguh kegirangan mendapat rejeki nomplok. Dengan penuh semangat dan kebahagiaan, Teguh pulang ke rumahnya. Dia sangat yakin kalau istrinya pasti akan sangat senang melihat Teguh membawa banyak uang.
"Assaalamualaikum. De, ini aku bawa uang banyak de. Satu juta! Banyak kan de?!" (Teguh)
Istrinya terlihat sangat cuek kepada Teguh, bahkan sangat acuh tak mendengarkan Teguh. Dia lebih asik dengan Handphonenya dari pada menjawab sapa-an suaminya itu. Dia malah senyim-senyum dengan Handphonenya di depan Teguh.
"De, kalau suami ngucapin salam itu ya dijawab de. Terus suami lagi ngomong ya didengirin dong de." (Teguh)
"Heh Mas! Uang satu juta itu buat apa mas!? Hah?! Satu hari habis!" (Vera)
"Ya Allah Ver. Kamu tuh jangan boros dong Ver. Kamu itu udah nikah, kamu harusnya bisa ngatur kebutuhan dapur kita. Kebutuhan dapur itu yang paling utama Ver." (Teguh)
"Heh mas! Kita hidup itu ngga hanya untuk memenuhi kebutuhan dapur. Aku tuh malu mas sama temen-temenku! sama tetangga! Kalau aku dandannya jelek." (Vera)
"Vera! Aku udah sabar dari dulu ngadepin sikap kamu yang selalu mojokkin aku! Sekarang aku bakal pergi dari rumah ini, dan kamu urus hidup kami sendiri! Aku juga akan jual rumah ini!" (Teguh)
Vera kaget dan terdiam mendengar jawaban suaminya itu. Selama ini Teguh tak pernah melawan Vera, dan selalu mengalah. Bahkan Teguh pun sering di usir dari rumahnya sendiri, tapi tak pernah memarahi Vera. Teguh hanya menasehati Vera ketika Vera melakukan kesalahan.
Tapi hari ini, dia membentak dengan nada suara yang keras dan bahkan Teguh menendang pintu kamarnya sampai pintu itu lepas. Vera tak bisa berbuat apa-apa selain berdiam diri ketakutan. Bahkan Vera tak berani berbicara, apalagi melakukan sesuatu.
Teguh lalu keluar dari kamarnya, sembari menenteng tas dan barang-barang yang telah ia kemasi. Lalu merebut Handphone Vera.
"Apa apaan ini mas? Itu Handphone aku mas!" (Vera)
"Heh! Kamu dengar Yah! Ini handphone aku yang beliin dengan hasil kerja keras aku!" (Teguh)
"Kalau kamu mau, beli sendir! Pakai uang sendiri! Inget yah Ver, aku akan buktiin sama kamu! Aku akan kaya raya, dan kamu hanya akan jadi gelandangan! Karena rumah ini akan aku jual!" (Teguh)
"Mas! Tolong Mas jangan mas! aku minta maaf mas! Aku minta maaf. Aku salah!" (Vera)
Vera menangis di hadapan Teguh dan bahkan dia sampai bersujud di kaki Teguh. Berharap suaminya akan mengurungkan niat untuk meninggalkan Vera. Apalagi kalau rumah ini sampai dijual. Karena rumah ini warisan orang tau Teguh.
Namun sepertinya Teguh sudah tak peduli lagi. Hatinya benar-benar sudah panas dan hancur karena sikap Vera yang selama ini selalu merendahkannya. Akibatnya Teguh melampiaskan seluruh rasa kesalnya dengan pergi dari rumah dan dengan tanpa belas kasih meninggalkan istrinya.
Dengan rasa kesal yang sudah menggerogoti seluruh jiwanya itu, Teguh lalu pergi meninggalkan istrinya. Dia sudah tidak peduli lagi dengan tangisan istrinya itu. Apalagi mereka belum memiliki seorang anak. Itu akan memudahkan Teguh untuk meninggalkan istrinya.
Di depan rumah saudaranya itu, Teguh terduduk lesu karena kesedihan yang begitu mendalam dan menyakitkan. Andai kata istrinya mau berubah, pastilah dia tak akan meninggalkannya. Istrinya benar-benar tak memiliki perasaan kasihan sedikit pun kepada Teguh. Bahkan selama pernikahan, Teguh jarang sekali mendapatkan haknya sebagai seorang suami.
"Guh?" (Prapto)
"Iya mas." (Teguh)
"Kenapa disini Guh? ayo masuk ke dalam. Ayo masuk Guh. Jangan di luar. Ini sudah sore." (Prapto)
Prapto adalah saudara Teguh yang menjadi malaikat di kehidupannya. Dia sangat peduli kepada Teguh. Setiap Teguh menghadapi masalah, Prapto yang selalu maju duluan. Ketika Teguh mengadakan pesta pernikahan, Prapto yang menanggung seluruh biayanya.
Ketika Teguh diusir oleh istrinya pun, rumah Prapto yang selalu terbuka pintunya untuk Teguh.
"Kenapa Guh? Kamu ada masalah lagi sama istrimu?" (Prapto)
"Iya lah mas, biasa. Mas kan tahu sendiri dia orang seperti apa." (Teguh)
"Aku kan sudah bilang sama kamu Guh, jangan nikah sama Vera. Dia itu..... aduh." (Prapto)
"Mas! Jangan begitu dong. Mbok ya dikasih nasehat si Teguh itu. Jangan malah dimarahi. Hmmmmm" (Dina)
Istri Prapto keluar dari dalam dan duduk bersama suaminya, menyambung pembicaraan mereka. Istri Prapto juga orang yang sangat baik kepada siapa pun. Satu keluarga ini suka menolong orang, tanpa memandang siapa mereka. Terutama Teguh, yang memang keponakan mereka sendiri.
"Bukan bermaksud memarahi Mah, tapi kan begini jadinya. Aku cuman kasihan sama Teguh, dia itu disakiti terus sama istrinya. Padahal kerja udah, usaha juga sekarang udah. Tapi ngga ada artinya apa-apa Mah bagi istrinya itu." (Prapto)
Dengan raut wajah yang sedikit kesal, Prapto mengambil sebatang rokok untuk menenangkan dirinya. Dalam hatinya, Prapto merasa kasihan kepada Teguh. Setiap hari Teguh selalu jadi bahan hinaan istrinya, Vera. Tapi Prapto tidak bisa melakukan apa pun selain menasehati dan mendoakan teguh agar kehidupannya lebih baik.
"Iya mas, aku minta maaf. Tapi mau bagaimana lagi mas, namanya juga cinta. Kalau udah bicara soal cinta ya susah." (Teguh)
"Ya sudahlah Guh, yang penting kamu harus sabar Guh. Kamu harus semangat kerja. Jangan nyerah gitu aja, pokoknya sampai sukses Guh. Mas juga dulu kaya gitu, waktu belum punya apa-apa. Bingung kalau bahagiain istri. Tapi ya Alhamdulillah karena mba mu ini sabar dan mas juga ngga pernah lelah kerja keras dan berdoa. Akhirnya ya seperti yang kamu lihat Guh." (Prapto)
"Iya mas. Saya mau buktikan sama istri saya, kalau selama ini dia salah udah menghina saya mas." (Teguh)
"Nah.... gitu dong Guh. Sekarang kamu makan sana. Aku mau istirahat dulu, besok kita lanjut ngobrol lagi." (Prapto)
"Iya mas." (Prapto)
Setelah itu Prapto dan Dina masuk ke dalam mereka. Membereskan kamar mereka, lalu istirahat. Walaupun masih sore, tapi karena Prapto dan Dina adalah orang yang super sibuk. Mereka jarang sekali punya waktu untuk mengobrol di sore ataupun malam hari.
Sedangkan Teguh masuk ke dalam dapur untuk mengisi perutnya. Walaupun Teguh merasa tidak enak makan, tapi seharian ini perutnya kosong. Teguh meyakinkan dirinya, bahwa dia harus kuat, dia tak boleh lemah hanya karena hinaan. Dia ingin tetap menjadi orang yang kuat.
Dia ingin membuktikan kepada semua orang yang telah menginjak dan menghina dirinya, bahwa dia bisa sukses walaupun hanya menjadi seorang pedagang.
Hari ini seperti biasanya, pagi sekali sehabis subuh Teguh bersiap-siap untuk berangkat ke tempat para nelayan untuk membeli ikan, agar dia bisa berjualan lagi. Setelah sarapan pagi dan berbenah.
"Mas, aku berangkat dulu ya. Soalnya harus buru-buru, dapat pesanan mas." (Teguh)
"Alhamdulillah.... Ya sudah hati-hati ya Guh. Oh ya Guh..." (Prapto)
Prapto menyodorkan uang lima ratus ribu ditangannya untuk Teguh. Karena dia tahu kalau dua hari ini Teguh baru berjualan, pasti dia belum dapat penghasilan sedikit pun.
"Ngga usah mas. Saya ada kok." (Teguh)
"Eeehhh.... jangan begitu Guh, rejeki ngga boleh ditolak loh Guh. Siapa tahu aja kamu butuh nanti" (Prapto)
"Tapi kan mas, saya ngga enaklah sama mba Dina." (Teguh)
"Sudah ini ambil." (Prapto)
"Ya udah mas, makasih ya mas. Alhamdulillah." (Teguh)
"Ya Guh, bawa motor ku aja Guh, biar enak nanti bawa ikannya. Nih kuncinya Guh." (Prapto)
"Makasih banyak ya mas. Insya Allah nanti aku pulang cepet kok mas." (Teguh)
"Sudah Guh. Kamu santai aja, kamu kan keponakan ku Guh. Sekarang berangkat sana, jangan lupa berdoa." (Prapto)
"Iya mas. Assalamualaikum." (Teguh)
"Walaikumsalam." (Prapto)
Teguh menjadi lebih semangat bekerja, karena dia tidak enak pada Prapto kalau sampai dia bermalas-malasan di rumahnya. Apalagi sekarang dia kan numpang hidup pada Prapto.
Setelah sampai di tepi pantai, Teguh melihat-lihat sekitar sembari menunggu para nelayan datang. Biasanya pagi sekali para nelayan sudah menjajakan ikannya disini. Tapi pagi ini sepertinya mereka agak terlambat.
"Waduh.... ini kok nelayan belum pada dateng yah. Biasanya jam segini udah pada siap disini. Bisa bahaya nih kalau aku telat ke pasar, bisa-bisa aku kena marah karena aku ngga nepatin janji." (Teguh)
Pagi itu Teguh merasa sangat gelisah, karena tak seperti biasanya para nelayan terlambat mangkal di tempat ini. Juga karena Teguh sudah berjanji akan membawakan banyak ikan untuk wanita itu. Andai tidak membawa banyak ikan, pasti pelanggan baru itu akan kecewa pada Teguh.
"Nah.... itu mereka. Syukurlah Ya Allah. Mudah-mudahan mereka bawa ikan banyak." (Teguh)
Setelah para nelayan dari pasar, banyak pedagang ikan yang langsung memborong ikan para nelayan itu, terutama Teguh yang sudah sangat yakin bahwa ikannya hari ini akan habis terjual.
"Eaalahh mas, tumben ambil ikannya banyak sekali. Lagi lancar yah?"
"Ya Alhamdulillah pak, lagi ada pesanan buat orang kaya." (Teguh)
"Alhamdulillah kalau gitu mas, saya juga sebagai nelayankan ikut untung juga. Mudah-mudahan lancar terus ya mas."
"Amin pak. Ya udah ya pak, ini uangnya. Saya mau nganter ikannya dulu ke pasar." (Teguh)
"Lah, ngga langsung antar ke rumahnya mas?"
"Ngga pak, katanya dia mau datang ke pasar saja. Barangkali mau belanja yang lain juga pak. Ya udah ya pak, Assalamualaikum." (Teguh)
"Nggih Monggo mas, walaikumsalam."
Setelah membereskan ikannya, Teguh langsung tancap gas berangkat ke pasar. Sampainya di pasar, wanita itu sudah menunggu di lapak Teguh bersama dengan dua anak buahnya.
"Maaf ya Bu. Saya terlambat, soalnya nelayannya juga baru datang tadi." (Teguh)
"Iya tidak apa-apa. Lagi pula saya juga tidak terburu-buru."
"Iya Bu. Oh ya Bu, mau pesan berapa?" (Teguh)
"Saya mau semuanya saja, sekalian dengan karung plastik yang kamu pakai."
"Yakin Bu? ngga mau di lihat dulu ikannya?" (Teguh)
"Tidak perlu, saya inginkan semuanya."
"Iya baik Bu. Saya bawa kemana ini Bu?" (Teguh)
"Biar anak buah saya saja yang membawanya."
"Oh ya Bu. Terimakasih ya banyak Bu." (Teguh)
"Ini uangnya, dua hari lagi saya kesini."
"Ini kebanyakan Bu. Saya ngga mau kalau seperti ini. Ini 600 ribu saja Bu*." (Teguh)
"Rezeki tidak boleh ditolak kan?"
Teguh diam menundukkan kepalanya, tak menjawab apapun. Sebenarnya dia tidak enak hati menerima semua kebaikan wanita itu. Karena antara modal dan keuntungan itu semua tidak sebanding. Bahkan Teguh hanya membawa dagangannya ke pasar. Tapi wanita itu membayar uang begitu banyaknya.
"Hmmm.... tapi ya ngga papa lah, mudah-mudahan ini memang rezeki ku dari mu Ya Allah." (Teguh)
Teguh lalu pulang ke rumah Prapto, karena tak ada lagi yang bisa dia jual. Di jalan Teguh masih terheran-heran dengan tingkah wanita itu. Membeli ikan begitu banyaknya, dengan waktu satu kali dalam dua hari.
Dia menjadi penasaran dengan wanita itu. Orang kaya yang sangat baik hati, dan mau menghamburkan uang hanya demi ikan. Seakan Teguh sudah diawasi jauh hari, barangkali memang wanita itu merasa kasihan kepadanya.
"Masa orang kasihan dengan nasibku sampai segitunya ya. Padahalkan banyak sekali pedagang ikan di pasar. Kenapa harus aku? dia benar-benar seperti malaikat. Tapi ya udahlah, yang penting aku untung." (Teguh)
Teguh tertawa sendiri karena merasa sangat bahagia, ikannya habis terjual setiap dua hari sekali. Jadi sekarang Teguh tak perlu jualan setiap hari. Karena untuk apa dia membeli setiap hari, kalau keuntungan dua hari sekali bisa menutup sampai seminggu lebih.
"Assalamualaikum." (Teguh)
"Walaikumsalam. Lah Guh, ngga jualan kamu?" (Prapto)
"Jualan kok mas, tapi udah habis." (Teguh)
"Alhamdulillah. Tapi kok ngga biasanya sih Guh? Ini kan baru jam 8. Biasanya sampai siang saja kamu belum dapet apa-apa." (Prapto)
"Nah itu mas, aku juga bingung. Mas ngga ke pabrik?" (Teguh)
"Ngga Guh, nanti siang Insya Allah. Pengin istirahat dululah di rumah." (Prapto)
"Oh gitu mas. Aku bingung loh mas, dalam empat hari aku udah dapat keuntungan yang sepadan dengan dua Minggu mas." (Teguh)
"Maksudnya?" (Prapto)
"Iya jadi gini mas. Aku itu dapet pelanggan baru, wanita kaya. Tapi aku juga ngga tahu siapa namanya. Nah dia itu aneh banget mas." (Teguh)
"Aneh kenapa?" (Prapto)
"Wanita itu, pesen ikan sama aku setiap dua hari sekali. Nah yang bikin aku bingung, dia pesen ikannya ngga pakai ukuran mas. Ikan yang aku jual di borong semua sama dia mas. Bahkan sampai karung plastiknya juga dia beli mas." (Teguh)
"Ya mungkin dia ada acara kumpul keluarga, atau apa gitu. Diakan orang kaya." (Prapto)
"Ya tapikan aneh mas. Masa sama karung plastiknya. Terus mintanya dua hari sekali. Nah udah gitu, diborong semuanya mas." (Teguh)
"Wahhh.... iya juga ya Guh. Tapi kalau menurut mas sih ngga papa Guh. Yang pentingkan untung, uangnya juga halalkan. Lagi pula kamu juga ngga maksa kan dagangnya." (Prapto)
"Iya juga sih mas." (Teguh)
"Ya sudah, sana bikin kopi. Kita ngopi aja dulu." (Prapto)
"Siap mas." (Teguh)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!