NovelToon NovelToon

One Night Romance

Bab 1

Dunia Maura hancur saat benda kecil, pipih dan dengan panjang sekitar lima centimeter yang ada di kedua tangannya menunjukkan hasil dua garis merah. Masa kelam orang tuanya terulang kembali pada dirinya. Karma kedua orang tuanya jatuh tepat pada dirinya tanpa berbelok.

Marah, sedih, kecewa itu yang Maura rasakan saat ini. Marah, kenapa harus dirinya yang mendapatkan karma atas perbuatan orang tuanya dimasa lalu. Sedih, karena tidak bisa menjaga kepercayaan yang sudah Ayah dan Bundanya berikan pada dirinya. Kecewa pada dirinya sendiri yang tidak bisa menjaga diri dengan baik dan melakukan kesalahan yang sangat fatal.

"Kenapa dia harus hadir, ya Allah? Kenapa?" Maura luruh kelantai kamar mandi, dia meraung menangisi nasibnya yang hamil di luar nikah dengan lelaki yang sama sekali tidak dia kenal. Bahkan dia tidak tahu seperti apa wajah lelaki itu.

Maura tidak mempermasalahkan kehormatannya hilang sebelum menikah. Dia tidak perduli bila nanti tidak ada lelaki yang mau menikah dengan dirinya saat tahu dirinya sudah tidak perawan lagi. Tapi yang Maura permasalahkan saat ini kenapa janin itu harus hadir, kenapa harus tumbuh sekarang. Dia tidak ingin ada seorang anak yang bernasib sama seperti dirinya. Dan sialnya itu, kini dia tengah mengandung calon anak yang nantinya bernasib sama seperti dirinya. Seorang anak yang lahir di luar nikah, seorang anak yang nasabnya ikut Ibu yang sudah melahirkan, bukan ikut Ayah biologis.

Syukur kalau Ayah biologis mau mengakui dan bertanggung jawab seperti Ayahnya, Bryan. Kalau tidak entah akan seperti apa anak itu nantinya bila sudah tumbuh dewasa.

Mau menggugurkan kandungannya, Maura tidak memiliki keberanian untuk itu. Dosanya begitu banyak. Dia anak yang lahir dari sebuah dosa kedua orang tuanya. Dia juga sudah berdoa karena berbuat zina dan maksiat sampai menghasilkan janin. Dia tidak ingin menambah dosanya lebih banyak lagi.

"Andai malam itu aku tidak pergi kesana. Mungkin semua itu tidak akan pernah terjadi. Dia tidak akan hadir dan tidak akan pernah hadir " Maura merem mas kaos yang dia kenakan tepat pada bagian perutnya. Dadanya terasa sesak mengetahui kenyataan yang ada saat ini.

Ingatan Maura kembali saat malam dimana dia harus kehilangan kehormatannya. Kesuciannya direnggut paksa orang yang tidak dia kenal karena efek mabuk satu sama lain.

Maura yang malam itu patah hati karena Rafa menikah dengan wanita lain pergi ke kelab malam untuk melampiaskan kemarahannya dengan minuman keras. Maura pergi sendirian meski sebenarnya itu pertama kalinya bagi dirinya pergi ke kelab malam juga minum minuman keras. Dia tahu apa yang dilakukannya itu salah, tapi Maura tetap melakukan itu karena rasa sakit dihatinya yang ditinggal Rafa menikah padahal dirinya sudah menunggu Rafa selama tiga belas tahun. Cintanya pada Rafa selama ini ternyata hanya bertepuk sebelah tangan.

Maura minum sampai mabuk dan hilang kesadaran sampai akhirnya kesuciannya direnggut lelaki yang tidak dia kenal.

"Sorry! Aku harus pergi dulu. Aku akan mempertanggung jawabkan semuanya. Tolong kamu hubungi nomor ini 0813xxxxxxxx. Fabian" secarik surat yang Maura temukan pagi itu.

"Fabian brengsek!!!" Umpat Maura saat mengingat nama lelaki yang sudah menanam benih di rahimnya.

Meski kejadian itu sudah berlangsung selama sekitar tiga minggu, Maura masih mengingat nama itu walau dirinya tidak tahu bagaimana rupa lelaki yang bernama Fabian.

Maura yang masih menangisi nasibnya sendiri harus segera sadar dan tidak boleh larut dalam kekalutan hidup atau nanti mentalnya yang akan diserang. Dia segera bangkit dan membuang tast pack pada tempat sampah secara kasar. Dia juga segera membasuh wajahnya supaya terlihat segar kembali.

"Aku harus cerita sama Ayah Bunda. Mereka harus tahu. Aku tidak peduli bila harus kena marah atau diusir dari rumah bahkan dicoret dari kartu keluarga. Aku tidak ingin Ayah sama Bunda tahu dari orang lain."

🌷🌷🌷

"Selamat pagi Dokter Raka!" Sapa dokter Gerry yang baru saja masuk ke ruang khusu spesialis bedah.

"Pagi juga." Jawab Raka. "Tumben sendiri, mana Dokter Bian?" Tanya Raka yang tidak melihat rekan satunya lagi yang biasanya berangkat bersama Gerry.

"Dokter Raka nggak tahu?" Raka mengerutkan keningnya bingung saat Gerry justru bertanya pada dirinya.

Gerry yang melihat Raka tampak bingung pun menjawab pertanyaannya sendiri. " Semalam istri Dokter Bian masuk rumah sakit. Kambuh lagi sakitnya. Mungkin sekarang Dokter Bian ada di kamar rawat istrinya."

Raka mengangguk paham. Istrinya Bian, yang merupakan adiknya memang sering keluar masuk rumah sakit karena sakit asam lambung yang dideritanya. Dan dia tadi juga sudah sempat menjenguk adik satu-satunya itu.

"Kasihan banget ya istrinya Dokter Bian. Masih muda loh padahal." Gerry merasa iba dengan istrinya Bian, rekan kerjanya. Dia sepertinya tidak sadar saat mengatakan itu Raka bisa mendengarnya.

"Namanya penyakit tidak mengenal muda atau tua, miskin atau kaya. Yang jaga pola hidup sehat aja bisa sakit, apalagi tidak." Sahut Vira yang baru saja masuk dan mendengar perkataan Gerry. Dia juga seorang dokter spesialis bedah

"Benar juga sih." Gerry manggut-manggut, setuju apa yang Vira katakan.

"Dokter Raka! Sudah bisa tinjau bangsal?" Tanya Irene, dokter residen yang juga baru saja masuk bersama dokter Danu juga seorang perawat.

Raka melihat jam terpasang di dinding. Sudah menunjukkan pukul sembilan kurang dua menit. "Ayo kita bersiap!" Ajak Raka selaku kepala dokter spesialis bedah.

Semuanya bersiap-siap dan memakai seragam kebesaran mereka. Tidak lupa membawa stetoskop dan perlengkapan lainnya yang sering dokter gunakan untuk berkunjung memeriksa pasien.

"Maaf telat! Kalian duluan saja. Aku akan menyusul."

Mereka semua mengangguk dan meninggalkan Fabian, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Dokter Bian.

Fabian bersiap dengan tergesa dan menyusul rekannya yang sudah berjalan duluan menuju bangsal.

"Bagaimana keadaan istrimu?" Tanya Gerry pada Fabian setelah mereka selesai berkunjung ke bangsal pasien untuk memeriksa kondisi pasien.

"Sudah lebih baik dari semalam." Jawab Fabian. Tampangnya terlihat begitu lesu. Mungkin kurang tidur karena harus menjaga istrinya yang tengah sakit.

"Wanita itu belum ada hubungi kamu?" Gerry bertanya dengan suara pelan nyaris berbisik.

Melihat Fabian yang menggelengkan kepala membuat Gerry mengangguk kepalanya paham. "Aku juga sudah coba selidiki, tapi susah banget. Wajahnya tidak terdeteksi, plat mobilnya juga sama, tidak terdeteksi. Aku jadi overthinking deh. Jangan-jangan dia anak pejabat atau pengusaha sukses?" Tebak Gerry karena identitas wanita yang mereka bicarakan sangat sulit didapat.

Fabian menghentikan langkah kakinya. Dia jadi kepikiran apa yang Gerry katakan barusan. "Apa benar wanita itu anak pejabat atau pengusaha sukses?" Batin Fabian.

Bab 2

Maura mengambil nafas dan dia hembuskan nya perlahan dan mengambil nafas lagi lalu dia hembuskan lagi secara perlahan dan dia lakukan itu beberapa kali sebelum akhirnya masuk kedalam rumah. Dia mengucapkan salam, namun tidak ada sahutan sama sekali dari dalam rumah.

"Bunda dimana ya?" Gumam Maura menanyakan keberadaan Freya. Biasanya sore seperti ini rumah terlihat ramai, tapi hari ini kenapa terlihat begitu sepi seperti tidak ada yang penghuninya sama sekali. Dia celingukan mencari keberadaan sang Bunda.

"Non Maura!"

Maura terlonjak kaget saat tiba-tiba ada yang menepuk bahunya dari belakang dan memanggil namanya. Dia bahkan sampai mengusap dadanya karena terkejut.

"Bik Mae! Bikin kaget Maura aja." Seru Maura yang kesal karena dikagetkan sama pelayan rumah. Bahkan detak jantung nya masih terasa berdebar karena kaget.

"Maaf, Non. Lagian Non Maura di rumah sendiri clingak clinguk, kaya maling." Seloroh Bik Mae yang berani mengatai anak majikannya sendiri maling.

Maura mencebikkan bibirnya, apa yang Bik Mae katakan memang benar. Dia tadi sudah seperti maling padahal di rumah sendiri. "Bunda mana?" Tanya Maura.

"Nyonya sama yang lainnya di rumah samping, Non." Bik Mae memberi tahu keberadaan Freya dan anggota keluarga yang lain.

Maura mengangguk dan berterima kasih sebelum akhirnya melangkah menuju rumah samping. Namun langkah Maura terhenti, dia mengurungkan niatnya untuk kesana dan memilih menuju kamarnya. Sudah hampir sebulan dia tidak pulang dan lebih memilih tinggal di apartemen sendiri.

"Bagaimana reaksi Ayah sama Bunda nanti ya?" Maura yang belum bercerita saja sudah merasa takut membayangkan reaksi Bryan sama Freya saat tahu dirinya hamil di luar nikah. Apalagi dengan lelaki yang sama sekali tidak dia kenal.

"Aku yakin, Ayah sama Bunda pasti akan sangat marah dan kecewa sama aku." Air mata Maura tiba-tiba jatuh tanpa dikomando. Dia belum siap bila melihat Bryan dan juga Freya marah pada dirinya. Dia juga belum siap kalau kedua orang tuanya membenci dirinya bahkan mengusir dirinya. Maura belum siap untuk menerima semua itu. Ditambah kondisinya yang sekarang, Maura rasanya ingin mati saja. Tapi dia sendiri juga tidak mau lari dari masalah dan juga tanggung jawab.

"Apa aku batalkan saja ya? Cerita nanti kalau aku sudah siap." Maura ragu sekarang. Dia bingung harus bagaimana. Kalau ditunda, pasti lama-lama akan ketahuan juga seperti bau busuk yang disimpan lama akan tetap ketahuan pada akhirnya.

"Aku sudah disini, pasti Ayah melarang aku kembali ke apartemen." Maura mengingat Bryan yang menentang keras dirinya tinggal sendiri di apartemen meski sudah dewasa. Bryan ingin anak-anaknya tetap tinggal dirumah, kecuali saat menempuh pendidikan di luar atau sudah menikah, baru boleh tinggal terpisah.

Tok Tok Tok

"Sayang!!"

Maura yang mendengar suara pintu kamarnya diketuk dari luar dan juga suara Freya memanggil dirinya, buru-buru dia menyeka air matanya dan menepuk pelan kedua pipinya pelan. Dia mencoba tersenyum supaya Freya tidak mengetahui kalau dirinya tadi habis menangis.

"Iya, Bun. Masuk!!"

Freya membuka pintu dan tersenyum saat melihat putrinya pulang ke rumah setelah hampir satu bulan tidak pulang dan memilih tinggal di apartemen.

"Kenapa pulang nggak ngasih kabar sama Bunda?" Tanya Freya saat putrinya itu memeluk tubuh nya. Dia membalas pelukan putrinya itu dengan hangat dan penuh kasih sayang. Meski sebenarnya keduanya juga sering bertemu saat di kantor, tapi tetap saja dia rindu Maura ada di rumah.

"Mau kasih kejutan sama Bunda." Freya tertawa kecil mendengar jawaban putrinya, Maura.

"Lihat! Kurus banget kamu sekarang, sayang." Freya yang sudah melepas pelukannya pada tubuh Maura mengomentari penampilan putrinya saat ini. "Apa kamu masih memikirkan Rafa terus?" Tebak Freya yang mengira kalau Maura masih memikirkan Rafa, cinta pertama yang kandas lebih dahulu sebelum dimulai. Juga mata Maura yang bengkak seperti habis menangis. Pasti masih memikirkan Rafa, siapa lagi yang Maura pikirkan selain Rafa, pikir Freya.

"Nggak kok, Bun. Maura sudah melupakan Kak Rafa. Maura sudah mengikhlaskan Kak Rafa sama yang lain. Maura hanya diet saja, makanya makin kurus." Dengan tersenyum, Maura membohongi Freya. Lebih baik dia bilang diet daripada bilang yang lainnya yang nantinya pasti akan membuat Freya syok. Bukan sekarang waktunya untuk bercerita, tapi nanti setelah keadaan rumah sudah mulai sepi. Mungkin malam nanti. Dia masih mau menyiapkan mental terlebih dahulu.

"Badan kamu sudah bagus, nggak usah diet lagi. Gadis kalau kurus itu kurang menarik. Laki-laki tidak suka yang kurus kering. Langsing boleh, tapi porsi tubuh harus pas, bukan depan belakang tepos macam triplek." Maura tertawa mendengar celotehan Freya. Bundanya itu ada-ada saja ucapannya.

🌷🌷🌷

Aurel yang berbaring membuka kedua matanya saat mendengar suara pintu terbuka. Dia tersenyum saat melihat siapa yang datang. Dia melihat jam yang tergantung di dinding sudah menunjukkan pukul setengah enam sore kurang tujuh menit.

"Sudah selesai kerjanya?" Tanya Aurel pada suaminya yang baru saja datang.

"Belum." Fabian menggeleng kepala pelan. "Nanti jam delapan aku ada jadwal operasi." Sambung Fabian memberi tahu istrinya.

"Bagaimana keadaan kamu sekarang? Apa mulutnya masih terasa pahit? Masih sering muntah apa mual aja?" Tanya Fabian sambil mengusap kening Aurel. Wajah istrinya itu masih terlihat pucat.

"Masih semuanya." Jawab Aurel yang memang masih sering muntah juga mual. Mulutnya juga masih terasa pahit.

Fabian mengambil apel dan mengupasnya. "Apa yang kamu pikirkan?" Tanya Fabian. Karena biasanya kalau Aurel tengah banyak pikiran, pasti asam lambung nya akan kambuh dan berakhir sesak nafas.

"Nggak ada." Jawab Aurel dengan menggeleng pelan. Dia tidak mungkin akan mengatakan yang sebenarnya pada Fabian atau Fabian nanti akan memarahi dirinya karena terlalu banyak pikiran.

"Aku nggak suka dibohongi, kamu tahu itu." Melihat Aurel tidak menanggapinya, Fabian tahu kalau sebenarnya istrinya itu tengah berbohong juga merahasiakan sesuatu. Pasti ada sesuatu yang membuat Aurel berpikir keras sampai asam lambung nya kambuh.

"Makanlah!" Fabian menyuapi apel yang dikupasnya tadi pada Aurel.

Aurel menerimanya dan memakan apel yang disuapi Fabian. Aurel makan dalam diam, begitupun Fabian yang tidak mengatakan apapun lagi dan hanya menyuapi Aurel.

"Aku akan pulang sebentar untuk melihat Kasih. Kamu istirahat dan nggak usah memikirkan yang macam-macam." Fabian pergi setelah selesai menyuapi Aurel.

Air mata Aurel jatuh menetes setelah Fabian hilang di balik pintu. Dadanya sesak karena menahan sakit melihat sikap dingin Fabian pada dirinya. Meski suaminya itu perhatian pada dirinya, tapi semua itu hanya sekedar perhatian belaka. Bukan perhatian sayang maupun cinta.

"Kapan kamu bisa tulus sayang dan cinta sama aku, Mas?"

Bab 3

"Bagaimana keadaan istri kamu?"

Fabian yang baru saja masuk rumah sedikit kaget saat langsung mendapat pertanyaan dari wanita paruh baya, Shanti, mamanya.

"Mama kok ada disini?" Fabian justru bertanya balik dan terlihat kaget melihat Shanti ada di rumah nya. Biasa sang Mama kalau mau datang ke rumahnya selalu memberi kabar terlebih dahulu.

Shanti memutar bola matanya jengah mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Fabian. "Memang Mama nggak boleh datang ke rumah anak Mama sendiri untuk melihat keadaan cucu Mama?" Sungut Shanti yang merasa Fabian tidak suka dirinya datang berkunjung.

"Bian nggak pernah bilang seperti itu." Jawab Fabian sekenanya. Dia malas berdebat dengan Shanti.

"Terus gimana istri kamu? Apa dia diet lagi makanya lambung nya kambuh lagi? Sudah dibilang nggak usah diet, diet segala. Gini kan jadinya. Ngerepotin orang rumah." Shanti ngomel sendiri karena kesal pada menantunya. Dia sudah memperingati Aurel untuk tidak perlu diet padahal badannya juga tidak terlalu gemuk, tapi menantunya itu tetap saja diet dengan alasan takut kalau Fabian berpaling darinya.

Fabian menghembuskan nafas lelah mendengar omelan Shanti yang membahas Aurel diet karena memang setahu Shanti, Aurel pernah masuk rumah sakit karena diet. Tapi kali ini berbeda, Aurel masuk rumah sakit bukan karena diet, melainkan terlalu banyak pikiran. Entah apa yang Aurel pikirkan, Fabian sendiri tidak begitu tahu.

Tanpa memberi tanggapan Shanti, Fabian pergi begitu saja untuk menemui Kasih. Namun langkah terhenti saat Shanti mengatakan sesuatu.

"Mama tahu sampai saat ini kamu belum cinta sama Aurel. Seenggaknya kamu pikirkan Kasih. Bagaimana kalau dia sampai tanya kenapa kedua orang tuanya ternyata tidur terpisah selama ini?"

🌷🌷🌷

PLAKKK

Sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi mulus Maura sebelah kiri hingga menimbulkan bekas merah di pipi putih nan mulus itu. Maura memejamkan kedua matanya saat mendapat tamparan dari orang yang sudah melahirkan nya, siapa lagi kalau bukan Freya, sang Bunda.

Freya yang syok mendengar pengakuan Maura tanpa sadar menampar pipi putrinya dengan sangat keras. Dia sungguh marah dan kecewa pada Maura, terutama pada dirinya sendiri yang tidak becus mengurus Maura hingga putrinya itu melakukan perbuatan zina.

Dengan derai air mata Freya menatap Maura dengan bibir bergetar. Nafasnya memburu karena marah dan kecewa bercampur jadi satu. Dia bahkan tidak perduli pada Maura yang saat ini jatuh tersungkur ke lantai karena tamparan keras darinya. Meski sebenarnya dia juga sedikit terkejut akan tindakannya tadi pada Maura.

Sedangkan Bryan, lelaki itu hanya diam dengan rahang mengeras. Kedua mata tertutup dan juga kedua tangan mengepal erat. Hatinya sakit, hatinya hancur mendengar pengakuan Maura.

Kemana saja dirinya sampai tidak tahu kalau Maura sudah direnggut kesuciannya sama lelaki bahkan sampai hamil benih lelaki yang sama sekali tidak diketahui orangnya seperti apa. Padahal sampai detik ini Bryan selalu mengawasi Maura melalui orang suruhannya yang bekerja dua puluh empat jam khusus untuk mengawasi Maura. Apa yang mereka kerjakan sampai tidak tahu Maura mengalami perbuatan keji itu walau tidak disengaja.

"Maaf!" Ucap Maura dengan sesenggukan. Dia tidak berani menatap mata kedua orang tuanya. Dia begitu malu pada kedua orang tuanya atas perbuatannya.

"Maaf kamu tidak ada gunanya. Bunda kecewa sama kamu Maura. Kamu sudah melukai hati Ayah sama Bunda." Freya mengatakan itu dengan suara bergetar. Dia berlalu pergi dari ruang kerja begitu saja karena sudah tidak sanggup melihat putrinya yang sudah membuatnya kecewa.

Melihat Bunda yang dia sayang pergi begitu saja membuat air mata Maura jatuh begitu deras. Dadanya sesak karena sakit melihat kedua orang tuanya marah dan kecewa pada dirinya. Terutama Bundanya, dia tidak senang bila harus melihat Bundanya menangis, apalagi karena dirinya.

"Siapa lelaki itu?" Tanya Bryan tanpa melihat kearah Maura. Dia masih enggan menatap Maura meski hati kecilnya begitu kasihan pada putri kesayangannya itu.

"Maura tidak tahu." Jawab Maura lirih dengan gelengan kepala. Dia masih menangis sesenggukan.

"Ayah!! Ayah, maafin Maura!!" Maura bergeser mendekat pada Bryan dan bersimpuh memohon maaf pada Ayahnya.

"Seharusnya kamu minta maaf sama Bunda kamu, bukan sama Ayah." Bryan mengatakan itu sambil memejamkan kedua matanya.

Mendengar itu, Maura semakin menunduk dalam. Bahunya bergetar karena menangis.

"Berdirilah!" Bryan yang tidak tega melihat Maura seperti itu membantu Maura berdiri dan duduk disebelahnya. Bryan memeluk Maura dari samping dan gadis itu melingkar kedua tangannya pada tubuh sang Ayah. Dia menangis dalam pelukan Bryan, cinta pertama nya.

Meski saat ini Bryan tengah marah dan kecewa, dia tetap menerima Maura. Dia akan tetap menemani putrinya itu melewati masa sulit dalam hidupnya. Maura butuh dukungan dan semangat keluarga, bukan amarah dan kebencian. Semua itu kecelakaan, seperti dirinya dulu saat bersama Freya.

"Sudah jangan nangis lagi. Ayah akan cari tahu siapa lelaki itu dan Ayah akan meminta pertanggung jawaban darinya." Maura mengangguk dalam pelukan Bryan.

"Ayah sudah nggak marah lagi sama Maura?" Tanya gadis itu dan kini mengurai pelukannya menatap mata sang Ayah dengan pandangan kabur karena matanya masih sangat basah dan merah.

"Marah itu masih ada, apalagi kecewa." Maura menunduk lagi mendengar jawaban yang Bryan berikan. "Tapi rasa marah dan kecewa itu lebih kecil dan tertutup rasa sayang dan cinta Ayah sama kamu." Maura kembali menatap Bryan, dia tersenyum senang dan kembali memeluk tubuh Bryan.

"Terima kasih, Ayah." Ucap Maura yang bersyukur Bryan masih mau menerima dirinya. Masih sayang dan cinta pada dirinya.

"Mulai sekarang, kalau lagi patah hati jangan pergi ke kelab malam lagi. Apalagi sampai mabuk dan berakhir tidur sama lelaki yang tidak diketahui identitasnya. Itu untuk pertama dan terakhir kalinya. Ayah tidak mau mendengar kamu minta maaf karena kesalahan yang sama." Bryan memberi peringatan pada Maura untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

"Iya, Ayah. Maura janji." Maura mengangguk dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua ketiga dan seterusnya. Maura tidak mau membuat Ayah juga Bundanya semakin membenci dirinya.

"Sudah, lebih baik kamu kembali ke kamar, ini sudah malam. Nggak usah pikirkan Bunda kamu. Besok juga pasti akan luluh lagi. Bunda lagi syok aja tadi makanya bersikap seperti itu sama kamu." Bryan mengatakan itu sambil memegang pipi kiri Maura yang terlihat memerah dan sedikit bengkak karena tamparan dari Freya. "Jangan lupa, pipinya dikompres." Maura mengangguk mengiyakan.

"Maura ke kamar dulu, Ayah." Pamit Maura yang diangguki Bryan.

"Ayah!!" Bryan mengangkat kepalanya dan melihat Maura yang berdiri didekat pintu.

"Maura tidak ingat rupanya seperti apa, tapi Maura ingat namanya. Namanya Fabian, nomor teleponnya 0813xxxxxxxx." Ucap Maura sebelum akhirnya dirinya benar-benar keluar dari ruang kerja sang Ayah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!