NovelToon NovelToon

Lepaskan, Jika Tak Lagi Sayang

Si Gadis Miskin

Coretan Daisya Humairah,

Sehari setelah menikah.

Judul: Tuhan, tolong sayang aku.

...▪︎Bisa dibilang jika ini mirip puisi, tapi aku menulisnya dengan sepenuh hati▪︎...

Aku, si manusia hina di mata keluarga suamiku. Aku, yang diinjak-injak harga diriku karena keberadaanku yang tidak tahu malu.

-Itu kata mereka.

Terkadang aku berpikir, apa benar cara manusia menggolongkan manusia dilihat perbedaan yang ada? Mudah memang menemukan perbedaan karena kesamaan sulit ditemukan sebab pada dasarnya makhluk diciptakan oleh Tuhan dengan banyak perbedaan.

Bisa kusebutkan salah satu contoh penggolongan manusia yakni dalam dua kelompok–antara si kaya dan si hina.

"Tidak, itu tidak benar!" Ucap orang-orang yang lurus, tapi itu bukan aku. Karena aku menyaksikan sendiri bagaimana cara mereka memperlakukan 'aku' seperti makhluk hina yang pantas menjadi bahan ocehan mereka si kaya.

Namun, yang selalu kuingat jika Tuhanku tidak pernah melihat hambanya berdasarkan penggolongan duniawi. Itulah kalimat motivasi supaya aku kuat berdiri di telapak kaki sendiri–karena aku percaya keberadaan Tuhan.

Tuhan Maha Bijak, Maha Adil, Maha Segalanya.

Semua itu terpatri dalam dadaku. Kalau begitu, harusnya aku tidak goyah dengan prinsip hidup yang seperti itu. Namun, mengapa?

Ya, semua terasa lebih nyata dan keadilan itu nyaris kurasa tidak ada saat aku melihat dunia luar yang selama ini aku butakan.

Dalam prinsip hidupku, sering kuberkata, "alah, semua pasti sudah ada yang mengatur, Tuhanku mengatur segalanya dengan sedemikian rupa. Kita hanya perlu menjalaninya saja," atau "sudahlah, tidak perlu menangisi semua yang telah terjadi, semua sudah diatur oleh yang Kuasa."

Terlalu remeh aku memandang jalan takdir Tuhan dengan kalimat, "semua telah ada yang mengatur." Well, aku yang salah mengartikan. Sebagai hamba, rasanya terlalu kurang ajar jika kita hanya berjalan leha-leha beranggapan semua jalan telah diatur-Nya tanpa melihat persimpangan yang Tuhan berikan sebagai salah satu ujian menuju keputusan hidup yang benar.

Jika benar jalan takdir tidak bisa diubah atau sudah tertulis sebelumnya dan menjadi hak paten Tuhan semata. Ya, itu benar.

Namun, keputusan baik dan benar, belok atau tidaknya di persimpangan jalan adalah pilihan manusianya sendiri. Jadi, tidak mungkin takdirku tertukar atau Tuhan sengaja memberikan ujian yang melampaui porsi kesabaranku? Tidak mungkin, walau tidak ada yang tidak mungkin.

Yakin, aku bisa mengatasi permasalahn jalan hidupku yang rumit karena mungkin aku yang salah mengambil jalan di suatu persimpangan.

Anggap saja itu sebagai word affirmation-ku.

Pernikahan.

Terdengar indah dan menyenangnkan dengan ciri pengantin baru yang duduk bersanding dan bersenda gurau, bagaikan raja dan permaisuri, tersenyum simpul bagaikan bidadari. Duhai senangnya pengantin baru.

Bohong! Justru, semua kepedihan dapat kurasakan setelah aku menikah. Awal kehidupan baru, tahap melangkahkan kaki ke perjalanan takdir yang baru. Andai kalian tahu, rasanya pahit benar. Memang tidak semuanya pahit, tapi kebetulan aku mendapatkan bagian yang pahit.

...▪︎Semua berawal dari sini▪︎...

Aku si gadis miskin yang menikah dengan pria–anak orang kaya–yang hartanya tidak habis sampai tujuh turunan. Minder? Memang. Aku sadar, memang kondisi perekonomian keluargaku tidak sebanding dengan mereka–termasuk harta dan kasta sosial–dari keluarga suamiku.

Bisa dikatakan, awal kami disatukan dengan cara dipaksa. Suatu hari, saat aku sedang libur bekerja dan posisi rumah sepi hanya ada orang tua, keluarga pria–yang baru saja kukenal sebulan yang lalu–datang ke rumahku dengan membawa rombongan keluarga besarnya.

Mereka hendak meminangku dengan memberikan perhiasan sebagai simbol pertunangan secara kekeluargaan. Namun, kondisinya yang tidak tepat. Karena aku yang tidak mempunyai kesempatan untuk berpikir untuk memberi keputusan mantap,"ya atau tidak" pada lamaran atau pertunangan itu.

Harusnya aku berhak memutuskan, harusnya mereka mau memberiku waktu karena kami harus berdiskusi terlebih dahulu dengan anghota keluarga inti yang lain karena ini bukan hanya tentangku. Hal salah lainnya adalah karena mereka ingin segera mendapatkan jawabanku dan menganggap jika aku adalah anak orang kaya.

Saat melihat penampilanku–di media sosial dan kehidupan di luar rumah yang penuh haha hihi canda tawa, mereka beranggapan jika aku anak orang berada dan memiliki strata sosial yang sepadan dengan mereka. Sorry to say, memangnya orang miskin tidak boleh ya berpenampilan rapi? Tidak boleh ya tertawa dan happy-happy? Tidak boleh ya berpenampilan menarik? Tidak boleh ya berpose cantik?

Kuakui jika aku juga salah karena menganggukkan kepala pada saat acara pertunangan itu terjadi, ya, walaupun jawaban itu samar yang kulakukan dengan sekali anggukan. Mungkin hanya sebatas anggukan kepala, tapi mampu mengubah perjalanan kehidupanku berikutnya.

Kehidupan berikutnya yang kemudian membawaku ke lubang kesengsaraan hanya karena mereka tahu jika sebenarnya aku adalah gadis miskin yang hidup pontang-panting. Memilukan memang.

Bukan habis manis dibuang, tapi habis manis dan tidak pernah disayang.

Mertuaku memang baik, walau ada kalanya menyindir. Bukan masalah, karena memang aku merasa jika aku pun turut bersalah. Aku yang sebenarnya belum siap menikah, seharusnya bisa lebih tegas memutuskan untuk menolak sejak awal.

Ini semua berawal dariku yang menerima sebuah pertunangan dadakan dan cepat mengiyakan, parahnya itu membawaku pada kehidupan yang menyakitkan. Tidak lain dan tidak bukan, hanya karena aku terlahir sebagai gadis miskin yang nista di mata mereka para orang-orang yang berada.

Berlanjut...

Kisah Sebelum Akad

Hanya cerita fiksi yang mungkin akan menyayat hati.

Hari dimana terjadinya prosesi lamaran secara mendadak dari keluarga calon suamiku.

Dislaimer terlebih dulu. Awal mula aku dan dia berkenalan ialah lewat media sosial dan ditambah adegan saling dikenalkan dari teman ke teman sewaktu menghadiri kondangan pernikahan teman SMA. Kami saling salah tingkah dan mulai berkontak di sana dan semakin intens sejak sebulan terakhir, walau aku tidak pernah tahu jika dia rupanya serius dan berani mendatangkan keluarganya bertandang ke rumahku untuk meminta restu dan melamarku.

"Abah merasa bangga sama anak-anak abah. alhamdulillah, punya rumah di sini, kompleks perumahan yang layak, airnya pakai PAM, listriknya pakai token sebulan habis jutaan. Alhamdulillahnya lagi, abah yang kerja serabutan ini bisa menyekolahkan anak-anak sampai lulusan SMU semua. Anak abah yang pertama, Alhamdulillah, dia sudah menikah dengan pengusaha batu bara yang kaya raya," ujar Abah saat keluarga calon suami bertandang untuk pertama kalinya ke rumah kami.

Dari raut wajah keluarga sang pria yang duduk berlesehan di sana, mereka seperti ikut berbangga hati dengan kondisi keluarga yang tergambar bahagia dengan kesuksesan dan bergelimang harta karena punya menantu pegawai batu bara dan hunian yang layak di kompleks perumahan cukup elit.

"Ya, Pak. Jadi, karena ini sudah lamaran, untuk pernikahannya kira-kira bisa dilaksanakan kapan ya?" Tanya seorang wanita paruh baya yang merupakan calon mertuaku. Dia wanita dengan kharisma keibuan dan penuh keteduhan dalam tutur katanya. Jangan lupakan, jika beliau mempunyai tabiat yang ramah, murah senyum, dan pandai bergaul.

...🍁🍁🍁...

Seminggu sebelum akad.

"Ouh, jadi seperti ini kondisi keluargamu? Abahmu yang sakit-sakitan itu hanya bisa pamer harta, tapi gak bisa mewujudkan semuanya. Dia hanya berfantasi ingin jadi orang kaya, huh!" Ujar dia–pria yang melamarku beberapa waktu lalu.

Semuanya terbongkar, jika harta yang pernah abah ceritakan pada calon menantu sekaligus di hadapan calon besan tidaklah semuanya benar, meski tidak semuanya juga salah. Namun, ternyata tidak sesuai dengan ekspetasi keluarga calon besan yang mengira kami orang berkuasa.

"Keluargamu itu gak punya apa-apa, tapi sombongnya minta ampun! Mending keluargaku yang berada, tapi gak pernah tuh cerita-cerita punya ini dan itu." Calon suamiku itu terus memakiku, aku hanya bisa diam dan menunduk mendengarkan cemoohan darinya.

"Bilang punya rumah di kompleks perumahan mewah, prett! Padahal cuma ngontrak!" Ujar dia dengan mencibir tanpa ampun.

Masih kubiarkan dia berkata sesuka hatinya, selagi apa yang dikatakannya memanglah kenyataan.

"Sekarang apa? Nikahan kamu aja, mereka gak ada modal! Pret! Cuma bacot abah mamamu itu!" Hatiku rasanya sakit seperti tertusuk-tusuk ratusan pucuk jerami yang lancip.

"Siapa itu, kakakmu yang katanya suaminya kaya raya dan kerja jadi pengusaha batu bara? Pruttt! Siapa namanya? Nuri sama Fadlan? Apa kontribusinya untuk resepsi pernikahan adiknya sendiri? Nol! Gak ada, dia tuh cuma ngibul punya duit banyak di sana, padahal mah mereka makan batu atau jadi pengemis pun gak ada yang tahu, prutt!" Ujarnya seraya menjulurkan lidah, lalu menyesap ujung batang rokok yang tinggal separuh.

"Bacot doang digedein, sok jadi pengusaha batu bara kaya raya, padahal cuma karyawan biasa. Sebenarnya dia orang susah cuma jauh aja. Jadi, kita nggak tahu kalau ternyata di sana cuma jadi sampah!" Rasanya aku tidak tahan jika harus mendengarkan kalimat hinaan lainnya yang lebih menyakitkan di hatiku.

Keluargaku seperti tidak ada harganya di mata mereka. Abah dan mama tidak pernah tahu seberapa buruknya keluarga pria menjelekkan keluarganya. Mungkin, jika aku menceritakan penghinaan ini lebih awal pada keluargaku, aku tidak akan menjalani kehidupan perih bersama pria dan keluarganya ini yang kata-katanya sangat tajam dan berkali-kali menusuk jantung hatiku sampai rasanya organ dalamku hancur lebur karena belati yang tertancap berulang kali.

Giliran sekarang aku yang menanggapi, "ya, Mas. Memang keadaan keluargaku sedang di bawah. Sekarang mas tahu sendiri kalau aku bukan anak orang kaya raya, jadi, sekarang mau apa? Dibatalin aja pernikahan kita?" Ujarku memastikan akan dibawa kemana hubungan kita jika memang kenyataanya, aku bukanlah sesuai ekspetasinya.

Pria itu meneguk kopi hitam pekatnya dari cangkir kecil hasil buatanku sendiri dari dapur rumahnya–katanya, kopi buatanku enak. Jadi, aku selalu semangat saat diperintah membuatkan kopi untuknya.

"Ya, gak bisa dong. Semua undangan sudah tersebar luas. Aku cuma gak menyangka kalau keluarga kamu itu ternyata komplotan penipu, cuih!" Tega benar dia mengatakan kalau keluargaku komplotan penipu, padahal sama sekali tidak pernah aku atau keluargaku meminta-minta sepeser pun uang untuk keperluan pribadi.

Abah memang tidak sehat, beliau harus terus melakukan periksa rutin sebulan sekali, tapi semua biaya ditanggung oleh asuransi. Kalau pun butuh biaya, paling cuma buat transportasi yang gak seberapa dan gak sampai harus minta-minta.

"Ya sudah, mas sebenarnya sayang dan cinta nggak sama aku? Kalau iya, harusnya perkara ini tidak menjadi masalah yang diperbesar dan menghancurkan dua hubungan keluarga," ujarku dengan penuh kedamaian, meski di dalam hati mencoba menekan emosi sekuat tenaga.

"Ya, harusnya kamu bilang dari awal dong, Sayang, kalau keluargamu bukanlah orang yang berada dan gak punya apa-apa. Nggak usah ditutup-tutupin, di sini kan kamu jadi malu sendiri. Ternyata anak orang miskin," ujar pria calon suamiku itu.

Harusnya aku sadar, jika memang hubungan asmara kami tidaklah sehat dan tidak akan menjadi baik jika diteruskan. Namun, kembali aku berpikir dan berusaha menyakinkan hati bahwa ini adalah sementara karena dia dan keluarganya sedang kecewa. Dan lagi, karena aku tidak ingin tinggal berlama-lama dengan orang tua atau akan semakin membuat beban mereka semakin terasa berat. Jadi, pilihan untuk segera menikah menjadi keputusanku. Meski aku tidak tahu akan seperti apa kehidupan rumah tangga ke depannya.

Di setiap malam, kuberharap jika nanti setelah aku menikah, maka kehidupanku akan berjalan lebih baik dan syukur-syukur bisa membantu perekonomian abah dan mama dan bisa membangun rumah dengan hasil keringatku sendiri.

"Kalau mas masih tidak bisa menerima kenyataan ini semua, kalau mas mau pernikahan ini batal. Ya, silakan saja, aku tidak menghalangi." Aku membebaskan dia akan terus atau berhenti, terserah. Karena jujur saja, ini masih bisa dibatalkan sebelum semuanya semakin jauh dan sebelum kami saling jatuh semakin dalam.

"Ya gak bisa gitu dong, mau ditaruh di mana mukaku ini? Jangan berpikir picik begitu! Kamu tidak tahu seberapa banyak uang yang sudah dikeluarkan untuk pesta pernikahan kita? Kamu dan keluargamu mana tahu, karena mereka gak ikut iuran buat bayar ini dan itu. Semua uang keluar dari pihakku, mana sumbangsihnya keluargamu yang punya menantu pengusaha itu?" Sentaknya tidak terima. Aku hanya diam dan menelaah semua kalimatnya yang memang tidaklah semua benar adanya, tapi tidak salah juga.

Dia belum puas dengan kekesalannya karena tersinggung dengan kalimatku sebelumnya, jadi, dia kembali berkata, "enak aja kamu ngomong mau dibatalin! Bayar dong sini, kembalikan semua uangnya sekarang juga. Bisa, gak?" Dia menengadahkan tangannya di depan wajahku. Seharusnya saat itu aku tahu, jika aku sudah tidak akan dihargai sebagai seorang manusia di sini.

Terkadang manusia itu sendiri belum tentu mempunyai perikemanusiaan, sebagian dari mereka masih menganggap uang lebih tinggi daripada harga diri dan lebih berkuasa dari segalanya. Siapa pun yang sedang berada di atas, mereka akan lupa jika orang yang sedang berada di bawah juga mempunyai perasaan dan hati nurani yang rawan tersakiti.

Mertua Julid

Aku cukup bahagia setelah menikah. Suamiku yang menyanyangiku, dia menunjukkan cinta kasih yang tulus padaku. Memerlakukanku dengan sangat baik dan lembut, seketika aku terbuai dengan kasih sayangnya. Hanya ada senyuman bahagia di awal pernikahan.

Malam pertama yang kubayangkan akan menjadi momen menegangkan, ternyata menjadi indah saat bersamanya. Kelembutan di setiap sentuhan yang merupakan awal bagiku, aku merasakan kehangatan dan kenikmatan hakiki yang sudah sewajarnya dialami oleh para pasangan baru. Aku bersyukur untuk itu.

Dia pun mengaku puas bermalaman denganku, kami memikmati kehangatan yang memabukkan sekaligus mulai kurasakan getaran dalam dada yang semula terasa samar menjadi semakin nyata. Ya, mungkinkah ini cinta?

"Kamu lelah?" Tanya dia padaku di pagi sebuta ini, dia yang tampak menggoda dengan senyum semburatnya yang paling aku suka darinya.

Sebenarnya aku sungguh lelah karena kemarin merupakan puncak acara resepsi pernikahan, dan malamnya langsung digempur habis-habisan. Rasanya tidak ada tenaga yang tersisa, tapi aku tidak ingin mengecewakannya. Dengan senyuman tulus, aku mengangguk dan menyambutnya dengan penuh kerelaan.

Pagi itu menjadi pagi pertamaku bangun kesiangan yang tidak lain karena ulahnya, tentu menjadi bahan gunjingan sanak saudara yang masih berada di rumah. Namun, pria itu tidak cukup di situ, di dapur saat sedang menyiapkan menu sarapannya, dia kembali bermanja denganku. Menaruh dagunya di pundakku, memeluk dan mengecupi area leher hingga sampai pada bibirku. Aku tidak kuasa jika terus-terusan digoda seperti itu. Alhasil, aku pun mengalah dan kembali melakukannya di dalam kamar kami. Ya, benar, tidak jadi ada acara sarapan karena kami keluar setelah lewat siang.

"Mas, bangun. Sudah sore," aku menepuk-nepuk lengannya yang terbuka tanpa pakaian atasan.

"Huah, nantilah. Sini kembalilah tidur di sampingku," ucapnya dengan tangan yang menepuk-nepuk sisi ranjang sebelahnya.

"Nggak ah, aku gak enak sama saudara. Dari pagi kita belum ketemu mereka lho, kamu juga belum makan," ujarku yang mengajaknya untuk bangun dan membuka matanya yang rapat dengan mulut yang sedikit menganga itu.

"Bawa saja makanannya ke sini, bilang aja kalau aku kelelahan. Sudah sana," pria itu mengibaskan tangannya dan mengenai lengan Daisya.

Wanita itu keluar dengan wajah yang sembab dan sekujur tubuh yang terasa pegal. Namun, dia berusaha tetap tersenyum dan beramah tamah dengan para saudara, om-tantenya, serta bergabunh duduk di ruang tengah menikmati kudapan pasar yang tersedia di meja.

"Aduh, aduh, aduh, pengantin baru sore-sore gini baru keluar kamar ya? Ekhem, bagaimana rasanya jadi pengantin baru, hem?" Senggol Marina–tante dari suamiku, adik pertama mama mertuaku yang terkenal keramah tamahannya.

"Enak kan? Hem?" Tanya Tante Marina mengedip-kedipkan sebelah matanya.

Aku hanya tersenyum malu-malu, mana mungkin aku mengakui jika memang rasanya begitu memabukkan yang sebelumnya belum pernah kurasakan seumur hidupku.

Terlihat banyak sekalian aneka kue dan kudapan pasar yang berwarna-warni, aku mengambil dan memakan kue nagasari yang dibungkus dengan daun pisang dan terasa gurihnya, "bagaimana, enak kan? Itu buatan tante, lho!" Lagi-lagi Tante Marina berbicara.

"Sangat enak, Tante, manis dan gurihnya pas." Komentarku pada kue buatan tante.

"Iyalah, enak. Tinggal makan, gak keluar duit. Gemuklah tuh dia seminggu di sini," celetuk Rohati–mama mertuaku.

Aku yang sedang semangat mengunyah dan ditambah perut sedang kelaparan langsung kenyang seketika karena ucapan mama mertua. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kalimatnya itu, tapi nada bicaranya tidak enak didengar telinga. Mungkin memang karena diriku yang mudah tersentil hatinya, jadi, apa-apa langsung dibawa ke hati.

"Ngakunya anak orang kaya, punya rumah mewah ini itu, mantunya seorang pengusaha bla bla bla, ternyata wlek! Prumpt! Omong kosong," lagi-lagi mama mertuaku seperti mengejekku di hadapan keluarga besarnya.

"Hahaha, gak papa ya, Nduk?" Tante Marina mungkin tahu kesedihanku, beliau mengelus lenganku berulang.

"Lah iya, kita di sini bela-belain hemat. Bikin acara yang yang terbaik yang paling bagus, tapi tetap konsepan sederhana. Sedangkan, mereka di sana minta ini itu, seserahan, barang-barang perabotan rumah. Ternyata apa? Gak ada timbal baliknya, cukup kita yang dibikin bankrut, lah elah Gusti-Gusti, cukup jadi bahan rong-rongan keluarga si Daisya!" Mama mertuaku tipikal orang yang julid dan banyak bicara, tidak ayal jika aku bisa menjadi topik perbincangan kapan dan dimana saja.

Aku tersenyum pias, mungkin sekarang wajahku sudah memucat karena sangkin malunya jadi bahan perbincangan keluarga suami. Kue nagasari yang lezat itu, seketika terasa hambar di lidahku. Tidak lagi berselera dengan kue yang berada di tanganku dan kudapan lainnya meski mereka tadinya terlihat menarik karena berwana-warni di mataku.

"Daisya, bangunkan suamimu! Suruh dia makan dulu," perintah mama mertua yang langsung aku turuti.

"Iya, Ma," sautku kemudian beranjak ke dalam kamar kami. Dia, pria itu masih tengkurap dengan selimut yang menutupi sebagian tubuh bagian bawah.

Aku menepuk-nepuk kakinya pelan, "Mas, mama minta kamu bangun dan makan dulu. Ayo, bangun yuk, sudah cukup tidurnya."

Tidak ada pergerakan, hanya bermengulat sesaat.

"Mas, bangun, yuk! Gak enak sama om tantemu tu di depan nungguin kamu keluar," ajakku lagi.

"Ish! Jangan ganggu orang lagi istirahat bisa, gak? Aku ini capek!" Sentaknya dengan kaki yang menendang dan tanpa sengaja mengenai bagian perut bagian bawahku.

Ah, rasanya nyeri, nyaris kram karena hentakan kakinya. Dia benar-benar kasar.

"Aku disuruh mamamu. Kalau gak disuruh, mungkin aku akan membiarkanmu tidur sampai lusa," ujarku dengan nada yang tetap tenang.

"Akh (menguap), aku masih mengantuk. Cepat siapkan air hangat untuk mandi, siapkan juga baju ganti!" Perintah Rezky–suamiku yang garang ini.

Tanpa membantah, aku menyiapkan air hangat berlanjut dengan mengambilkan pakaian di dalam lemari. Entah, tabiat manusia belahan bumi mana yang selalu mengambil pakaiam dengan cara ditarik dari bawah, bukan diangkat.

Seperti isi lemari suamiku yang berantakan karena bekas tarikan baju urutan bawah, bukan diambil dari yang paling atas atau setidaknya bagian yanh atas diangkat.

Sekenanya, aku mengambilkan kaus berwarna hijau army dan celana jeans selutut untuknya. Kami keluar dari kamar bersama, dia berjalan mendahuluiku.

"Eh, baru keluar pengantin prianya. Kusam sekali wajahnya, Ka Rez? Kenapa?"

"Ah, tidak, Tante. Ini kelelahan saja," ujar Rezky senyam-senyum.

"Ish, baju kamu kusut banget sih? Gak disetrika?" Komentar Rohati alias mama mertuaku.

"Iya nih, Daisya gak setrikain dulu bajunya. Kan jadi kusut begitu, Ma," jawab suamiku yang menyalahkanku atas hal yang seharusnya bukan menjadi kesalahanku.

"Bagaimana sih kamu, Daisya. Penampilan suami diperhatikan dong, jangan cuma minta uangnya aja. Ah, kalau punya menantu pemalas gini, rasanya pengin kusiram dengan air garam!" Ucap mama mertua yang sangat kentara jika beliau membenciku.

Dalam hati aku berujar, "bagaimana aku sempat menyetrikain baju anakmu, Ma.Kalau aku saja baru jadi menantumu semalam. Masa iya langsung beresin kamar yang seperti kandang ayam itu?" Namun, aku belum mempunyai keberanian sebanyak itu untuk mengatakan kalimat itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!