Alina Putri menangis terharu ketika melihat pengumuman di majalah dinding atas hasil nilai ujiannya yang ternyata mendapatkan peringkat pertama tingkat provinsi. Prestasi yang tentu saja diinginkan semua orang.
Ucapan demi ucapan datang bergiliran atas prestasi dari sosok Alina Putri. Gadis cantik berusia 17 tahun tepat di hari kelulusan sekolah tingkat menengah atas atau disebut juga SMA.
“Kau hebat, Alina. Ibu sangat bangga sama kamu,” ucap wali kelas Alina bernama Bu Wiwik.
“Terima kasih, Bu Wiwik. Nilai yang Alina dapat hasil dari didikan Bu Wiwik,” balas Alina.
Alina tak sabar ingin pulang ke rumah, untuk memberitahu hasil nilai yang sangat membanggakan tersebut.
“Pak, tolong antar saya ke jalan himalaya no 22,” ucap Alina pada tukang ojek pengkolan.
“Siap, Dik Alina,” balas Pak Ojek.
Hampir semua tukang ojek pengkolan di tempat itu mengenal Alina. Karena Alina sudah terbiasa naik ojek daripada diantar oleh kedua orang tuanya.
Senyum Alina terus menghiasi wajah cantiknya, ia tak sabar ingin melihat wajah kedua orang tuanya.
“Assalamu'alaikum,” ucap Alina sambil melangkah masuk ke dalam rumah.
“Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” sahut kedua orang tua Alina yang sedang duduk santai di ruang tamu.
Alina berlari kecil menghampiri Ibunya dan berterima kasih atas do'a yang telah Sang Ibu panjatkan untuk dirinya.
“Ibu, terima kasih karena terus mendukung Alina selama ini,” ucap Alina yang berada di pelukan Ibu Desi.
“Sebagai Ibu, tentu saja Ibu harus mendukung putrinya. Cepat beritahu kami ada berita baik apa sehingga Alina nampak sangat bahagia,” tutur Ibu Desi meminta Alina untuk segera memberitahu kabar baik tersebut.
Alina dengan semangat membuka tas ransel miliknya dan memperlihatkan nilai ujian kelulusan yang sangat memuaskan.
“MasyaAllah, nilai Alina sangat sempurna,” ucap Ibu Desi.
“Terima kasih ya sayang, kamu sudah membuktikan kepada Ibu dan juga Ayah atas prestasi yang membanggakan ini,” tutur Ayah Bahri.
Sebagai rasa terima kasih dan juga syukur atas nilai yang Alina raih. Ibu Desi dan Ayah Bahri memutuskan untuk membuat syukuran kelulusan yang akan dihadiri oleh warga sekitar.
Alina menyetujui keinginan kedua orang tuanya dan bersiap-siap untuk membuat acara syukuran kelulusan.
“Ayah, sudah waktunya bagi kita untuk menjodohkan Alina dan Hafiz,” ucap Ibu Desi.
“Secepatnya kita akan mempertemukan kedua keluarga,” balas Ayah Bahri.
Alina yang sudah berada di kamarnya, bergegas mandi agar tubuhnya semakin segar.
Beberapa Jam Kemudian.
Hidangan makanan serta minuman telah siap dan akan segera dinikmati oleh warga sekitar. Senyum manis Alina terus saja menghiasi wajahnya, manakala tetangga berdatangan mengucapkan selamat untuknya.
“Alina, reneo nduk,” ucap Ibu Desi memanggil Alina agar mendekat padanya.
Alina berjalan setelah membungkuk ketika melewati orang-orang yang tengah duduk sila sambil menatapnya dengan penuh kagum.
“MasyaAllah, Cantik sekali,” puji seorang wanita yang seumuran dengan Ibu Desi.
“Alina, ayo salim sama Ibu Nur,” bisik Ibu Desi pada Alina.
Alina pun menyalimi Ibu Nur dan tiba-tiba saja Ibu Nur membelai rambut Alina dengan lembut.
“Dulu kamu masih bayi, sekarang sudah besar saja,” ucap Ibu Nur.
Alina hanya tersenyum mendengar Ibu Nur berkata seperti itu.
“Maaf, Alina izin kembali ke sana,” ujar Alina sambil menunjuk ke arah teman sebayanya yang sedang duduk sambil mengobrol.
Ibu Desi maupun Ibu Nur mengiyakan ucapan Alina.
“Desi, Putrimu itu sangat cantik dan juga pintar. Hafiz pasti langsung jatuh cinta melihat calon mantuku,” ucap Ibu Nur pada calon besannya.
“Mbak bisa saja, Alina pun pasti langsung menyukai Nak Hafiz,” balas Ibu Desi sambil tertawa malu-malu.
Syukuran di hari itu berjalan dengan lancar dan setiap orang yang datang, tentu saja akan mendapatkan nasi kotak untuk dibawa pulang ke rumah mereka masing-masing.
Keluarga Alina, bisa dikatakan adalah keluarga terpandang di daerah itu. Bahkan, dihormati dan disegani oleh masyarakat sekitar karena kepribadian baik orang tua Alina Putri.
***
Malam Hari.
Alina mengalami demam yang cukup tinggi, tapi gadis itu tidak ingin memberitahu kedua orang tuanya. Yang bisa Alina lakukan hanya beristirahat di dalam kamarnya agar besok pagi dirinya sudah pulih.
“Alina, ayo makan malam bersama. Ibu sudah membuatkan tempe goreng dan sambal terong kesukaan kamu,” ucap Ibu Desi.
Alina tidak bisa menolak ajakan Ibunya tercinta. Karena Alina tidak ingin membuat Sang Ibu kecewa karena menolak ajakan makan malam bersama.
“Alina habis ngapain di kamar?” tanya Ibu Desi ketika Alina baru saja keluar dari kamarnya.
“Alina tadi tiduran, Ibu,” jawab Alina terpaksa berbohong.
Ibu Desi meminta Alina untuk makan malam bersama, setelah itu Alina boleh melanjutkan istirahatnya di kamar.
“Nak, bagaimana kalau Kamu dalam waktu dekat ini menikah?” tanya Ayah Bahri pada Alina yang tengah fokus mengunyah makanan.
“Uhuk.. uhuk..” Alina tersedak dan buru-buru menegak air minumnya.
Alina memutuskan untuk kembali ke kamarnya, padahal nasi di piringnya masih tersisa 2 sendok makan.
“Ayah, Ibu. Alina mau istirahat dulu, permisi,” ucap Alina dan bergegas kembali ke kamarnya.
Ibu Desi menepuk bahu suaminya yang membuat Alina pergi padahal belum selesai makan.
“Ayah kok ngono to? Lihat, makanan dia saja tidak habis karena pertanyaan Ayah yang tiba-tiba begini,” ucap Ibu Desi kesal.
“Ya maaf, tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari mulut Ayah,” balas Ayah Bahri.
Setelah makan malam, Ibu Desi bergegas menyusul Alina di kamar dan ternyata Sang putri sudah tidur nyenyak.
“Sudah tidur rupanya,” gumam Ibu Desi.
Wanita berusia 40 tahun itu kembali menutup pintu kamar Alina dengan pelan agar tak membangunkan Alina. Kemudian, kembali ke ruang makan untuk membereskan meja makan yang sempat tertunda.
Alina sebenarnya belum tidur, gadis yang baru berusia 17 tahun itu hanya berpura-pura tidur untuk menghindari pertanyaan dari orang tuanya.
“Bahkan Aku tidak pernah jatuh cinta dengan cowok manapun. Bagaimana Ayah bisa bertanya seperti itu?” tanya Alina bermonolog.
Sejak SD sampai lulus SMA, yang Alina pikirkan hanyalah belajar dan belajar. Bahkan, untuk seorang teman saja Alina tidak punya. Karena saking fokusnya ia dalam dunia pendidikan.
Kadangkala Alina merasa kesepian, ia ingin seperti teman-teman yang lain. Yang bisa melakukan semuanya dengan sangat bebas. Seperti bermain, menghabiskan akhir pekan dengan pergi ke pusat perbelanjaan atau sekedar nongkrong santai.
Akan tetapi, teman sekolah yang datang padanya tidaklah tulus. Banyak dari mereka yang datang hanya untuk menyontek dan ketika tidak diberi, mereka akan mengejek maupun menjelekkan sosok Alina.
“Tetaplah tenang, Alina. Kamu pasti bisa menghadapi hari esok,” gumam Alina sebelum tidur.
3 Hari Kemudian.
Pagi-pagi buta Alina sudah dibangunkan untuk membantu Ibu Desi memasak di dapur. Padahal sebelumnya, Alina tidak diperbolehkan untuk memasak karena Ibu Desi ingin Alina belajar dan terus belajar.
“Alina sayang, tolong kupas bawang merah dan bawang putih ini. Nanti siang kita kedatangan tamu penting,” ucap Ibu Desi pada Alina yang tampak masih mengantuk.
“Baik, Bu.” Alina segera melakukan apa yang diucapkan Ibunya tanpa ingin bertanya siapa tamu yang datang tersebut.
Alina melakukannya dengan senang hati, karena akhirnya ia bisa menyentuh dunia perdapuran.
“Bu, Alina sudah mengupas semua bawang ini. Apa ada bahan lain yang bisa Alina lakukan lagi?” tanya Alina bersemangat.
“Alina bisa mengiris bawang yang sudah dikupas tadi?” tanya Ibu Desi.
“Bisa. Alina tentu saja bisa melakukannya,” jawab Alina dan menunjukkan skillnya dalam mengiris bawang.
Ibu Desi cukup terkejut melihat Alina yang pandai mengiris bawang.
“Kamu bisa melakukannya, Nak? Sejak kapan? Perasaan kamu tidak pernah turun dapur,” ucap Ibu Desi terheran-heran.
Alina tertawa mendengar ucapan Ibu Desi yang terheran-heran hanya karena dirinya bisa mengiris bawang.
“Hanya mengiris bawang saja Ibu sampai terheran-heran begini? Alina pernah melihat Ibu memasak dan Alina sering melihat tutorial memasak di YouTube. Jadi, hal seperti ini bagi Alina tidaklah sulit,” ungkap Alina.
Ibu Desi cukup terkesan dengan jawaban Alina dan memuji kepintaran Alina dalam dunia masak.
Setelah hampir 3 jam berkutat di dapur, Alina memutuskan untuk mandi. Karena pada saat itu dirinya tengah datang bulan.
Sementara Ibu Desi, sedang sibuk mengepel lantai dapur setelah memasak beberapa menu makanan untuk calon besannya.
***
Siang Hari.
Alina sedikit heran dengan pakaian yang dikenakan oleh kedua orang tuanya. Ayah Bahri mengenakan baju batik dan Ibu Desi mengenakan kebaya Jawa, padahal tidak berpergian keluar rumah.
“Ayah dan Ibu kenapa berpakaian seperti ini? Apakah tamu kita ini sangat penting?” tanya Alina terheran-heran.
“Alina, kamu sekarang pergi ke kamar dan pakai kebaya yang sudah Ibu siapkan. Jangan lupa, kamu harus berhias. Setidaknya gunakan bedak dan pewarna bibir,” perintah Ibu Desi.
Alina semakin bingung dan pada akhirnya menuruti perintah Sang Ibu.
“Kebaya berwarna biru muda ini ternyata cocok denganku,” ucap Alina yang sudah mengenakan kebaya pemberian Sang Ibu.
Saat Alina tengah sibuk merias dirinya, rupanya keluarga dari Hafiz Alwi telah datang.
Ayah Bahri dan Ibu Desi menyambut kedatangan mereka dengan penuh suka cita.
“Assalamu'alaikum,” ucap mereka bertiga.
“Wa'alaikumsalam, silakan masuk,” balas Ayah Bahri dan Ibu Desi mempersilakan mereka untuk segera masuk ke dalam.
Orang tua Alina cukup terkesima dengan tampang wajah Hafiz yang ternyata sangat tampan. Jauh berbeda ketika terakhir mereka bertemu.
“Ini benar Hafiz?” tanya Ibu Desi memastikan.
“Iya Bu, saya Hafiz,” jawab Hafiz.
Alina berjalan menghampiri kedua orang tuanya di ruang tamu dan saat itu juga semua mata tertuju kepada Alina yang nampak cantik mengenakan kebaya berwarna biru muda yang membuat sosok Alina semakin menawan.
“Alina, salim sama tamu kita,” ucap Ayah Bahri.
Alina dengan patuh menyalami mereka, termasuk juga dengan Hafiz.
“Hafiz, kamu ingat dengan Alina?” tanya Ibu Nur pada putra sulungnya.
“Sedikit,” jawab Hafiz singkat.
Ayah Ismail menepuk bahu Hafiz seraya membisikkan sesuatu yang akhirnya membuat Hafiz tersenyum.
“Alina, sini duduk dekat Ibu,” ucap Ibu Nur yang tak lain Ibu kandung Hafiz.
Alina menoleh memandangi wajah kedua orang tuanya yang memberi isyarat agar dirinya segera duduk dekat Ibu Nur.
Sebenarnya siapa mereka? (Batin Alina)
Alina duduk tepat di sisi kanan Ibu Nur tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Sementara Hafiz duduk di sisi kiri Ibu Nur yang juga diam seribu bahasa.
“Kalian kenapa diam saja? Atau ada yang ingin kalian dua bicarakan tanpa kami?” tanya Ibu Nur pada Alina dan juga Hafiz.
Alina menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba gatal dan meminta izin untuk pergi dari ruang tamu.
“Maaf semuanya, Alina izin ke belakang dulu,” ucap Alina.
Alina berlari kecil meninggalkan ruang tamu dan tak sengaja dirinya menabrak kursi didepannya.
Bruk!! Alina menabrak kursi itu dengan cukup keras dan membuat para orang tua terkejut, begitu juga dengan Hafiz.
“Tenang saja, Alina baik-baik saja,” ucap Alina sambil melebarkan senyum manis dan kembali melanjutkan langkahnya menuju toilet.
Ibu Nur khawatir dengan Alina dan memutuskan menyusul Alina yang pergi menuju toilet.
“Bu Nur mau menggunakan toilet juga?” tanya Alina sesaat setelah keluar dari toilet.
“Nak Alina baik-baik saja? Apakah ada yang sakit?” tanya Ibu Nur.
“Bu Nur tidak usah mengkhawatirkan Alina, lagipula Alina sering menabrak kursi maupun meja,” jawab Alina.
Ibu Nur tertawa mendengar jawaban Alina seakan-akan calon menantunya sedang mengajaknya bersenda gurau.
“Kalian berdua sangat cocok,” ucap Ibu Nur yang mengambil kesimpulan bahwa Alina dan putranya sangat cocok jika sudah menjadi suami istri.
“Cocok apanya ya Bu?” tanya Alina bingung.
“Bukan apa-apa, ayo kita ke depan. Ada hal lain yang harus kita bicarakan,” ajak Ibu Nur sambil merangkul lengan Alina.
Entah kenapa, Alina merasa bahwa Ibu Nur sepertinya sangat dekat padanya. Padahal, Alina baru bertemu dengan Ibu Nur ketika acara syukuran kelulusan 3 hari yang lalu. Itupun mereka hanya menyapa dan tidak ada obrolan hal lain.
Alina memutuskan untuk duduk dekat dengan Ibunya dan meminta penjelasan mengenai tamu yang hadir di siang hari itu.
Bukannya mendapatkan jawaban, Ibu Desi justru meminta Alina tetap bersikap manis didepan tamu.
“Sudah waktunya makan siang, sebaiknya kita makan siang terlebih dahulu sebelum membahas hal yang lebih serius lagi,” ucap Ayah Bahri.
Ibu Desi berjalan beriringan dengan Ibu Nur, sementara para pria berjalan lebih dulu dan menyisakan Alina di belakang.
“Tadi yang memasak ini saya dan Alina loh, semoga kalian suka. Termasuk Nak Hafiz,” terang Ibu Desi.
“Ibu jangan berlebihan, yang masak tadi itu Ibu dan Alina hanya menyiapkan bumbunya saja,” ungkap Alina.
Hafiz lebih banyak menunduk, bahkan tak ada niatan untuk melirik Alina. Sementara Alina, terus saja memperhatikan Hafiz yang terus menunduk diam.
Pertemuan dua keluarga itu dimulai dengan obrolan ringan dan setelah itu makan siang bersama.
“Alina kenapa makannya sedikit?” tanya Ibu Nur ketika melihat porsi makan Alina yang sangat sedikit.
“Alina sedang diet?” tanya Ayah Ismail.
Alina hanya tersenyum kecil mendapat pertanyaan dari keduanya. Entah kenapa Alina merasa bahwa hari itu dirinya terus saja diperhatikan oleh Ayah Ismail maupun Ibu Nur.
“Uhuk.. uhuk..” Alina tersedak ketika tak sengaja matanya bertatapan langsung dengan Hafiz.
Tatapan Hafiz begitu dalam dan mampu membuat Alina menjadi salah tingkah.
Seusai menyantap makan siang bersama, mereka kembali berkumpul di ruang tamu. Ibu Desi mengajak Alina untuk pergi ke dapur, membuat minum dingin sembari melanjutkan obrolan yang sempat tertunda.
“Silakan dinikmati es blewah yang segar ini,” ucap Ibu Desi mempersilakan calon besan dan calon menantunya untuk menikmati es blewah segar tersebut.
Ayah Ismail mengambil segelas es blewah dan mengajak istri serta putranya untuk ikut mencicipi es blewah.
“Alina mau tidak menjadi menantu Ibu?” tanya Ibu Nur sambil memegang tangan Alina dengan lembut.
Alina kaget dengan pertanyaan tiba-tiba dari Ibu Nur padanya.
“Astaghfirullah, maafkan Bu Nur ya Alina. Sepertinya Ibu terlalu berterus terang,” terang Ibu Nur.
Alina seketika itu memandangi kedua orang tuanya secara bergantian dengan penuh tanda tanya.
“Maksudnya apa, Ayah?” tanya Alina pada Sang Ayah.
“Alina tenang dulu dan dengarkan dulu apa yang akan kami sampaikan,” jawab Ayah Bahri.
Sang Ayah kemudian meminta calon besannya untuk memberitahu alasan kedatangan mereka bertamu ke rumah.
Saat itu juga suasana ruang tamu menjadi hening menunggu penjelasan Ayah Ismail dan keluarga.
“Bismillahirrahmanirrahim, hari ini kedatangan kami adalah untuk meminang Alina putri menjadi istri dari putra Kami, bernama Hafiz Alwi. Sudi kiranya Nak Alina mau menerima itikad baik ini,” ungkap Ayah Ismail.
Alina terkejut bukan main mendengar bahwa alasan dari kedatangan mereka adalah meminang dirinya untuk dinikahkan dengan Hafiz.
“Apakah Ayah dan Ibu setuju?” tanya Alina dengan suara gemeteran.
“Kami sudah memutuskan menjodohkan kamu dan Hafiz saat kamu masih bayi, Alina,” jawab Ayah Bahri.
Alina menunduk lesu mendengar jawaban Sang Ayah yang rupanya telah menjodohkan dirinya dengan lelaki yang belum ia kenal, Hafiz namanya.
“Alina jangan sedih, Hafiz ini orang baik dan kami sangat sayang dengan Alina,” ucap Ibu Nur seraya memeluk Alina.
Sejak dulu Alina selalu menuruti apa yang orang tuanya katakan. Bahkan, ia tidak bisa menolak perjodohan yang ternyata sudah diputuskan ketika dirinya masih bayi.
“Ayah, Ibu. Alina bersedia menerima pinangan dari Mas Hafiz,” jawab Alina sambil meneteskan air mata.
Mereka dengan kompak mengucapkan syukur Alhamdulillah karena Alina bersedia menerima pinangan tersebut.
“Terima kasih ya sayang,” ucap Ibu Desi seraya memeluk Sang putri.
Karena Alina sudah setuju, para orang tua pun bermusyawarah untuk menentukan tanggal lamaran yang akan diadakan kurang dari seminggu.
Kedua keluarga begitu bahagia karena tak sabar ingin segera menikahkan Alina dan juga Hafiz. Sementara calon suami istri itu hanya diam membisu menyaksikan para orang tua yang nampak sangat antusias.
Detik demi detik telah berlalu, sudah waktunya bagi keluarga Hafiz untuk kembali ke rumah mereka.
“Bahri, kami pamit pulang. 5 hari lagi kami akan datang melamar Nak Alina sekalian menentukan tanggal pernikahan mereka,” ucap Ayah Ismail.
Ayah Bahri tersenyum bahagia seraya memeluk sahabatnya yang sebentar lagi akan menjadi besannya.
Alina dan Hafiz saling berjabat tangan, namun keduanya kompak buang muka. Yang mana hal itu membuat para orang tua tersenyum lucu melihat ekspresi keduanya.
Setelah mereka pergi, Alina berlari masuk ke dalam kamarnya tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Ibu Desi hendak menyusul Sang putri, namun Ayah Bahri segera menahan istrinya dan meminta Ibu Desi untuk membiarkan Alina seorang diri di dalam kamarnya.
“Ayah, Alina pasti sangat kaget. Ibu harus segera mendatangi Alina di kamarnya,” ucap Ibu Desi pada Sang suami.
“Alina bukan lagi anak kecil, Ibu. Biarkan dia di kamarnya sendiri dan setelah Alina sudah tenang, anak itu pasti mendatangi kita,” tutur Ayah Bahri.
Alina menangis di kamarnya, ia tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan menikah muda. Terlebih lagi, ia belum mengenal sosok Hafiz seperti apa.
Ya Allah, kalau memang ini sudah takdir dan jalanku. Semoga takdir ini adalah sesuatu yang indah dan bukan yang buruk untukku. (Batin Alina)
Alina menangis menumpahkan rasa sedih, kecewa dan kesal bercampur menjadi satu. Sampai akhirnya ia terlelap sambil memeluk guling kesayangannya.
Malam Hari.
Alina keluar dari kamarnya dan meminta izin untuk pergi ke taman bermain. Taman yang jaraknya jaraknya tidak sampai 5 menit jika ditempuh menggunakan kendaraan bermotor.
“Ibu temani Alina ke sana ya?” tanya Ibu Desi yang hendak menemani Alina pergi ke taman bermain.
“Alina pergi sendiri saja ya, Ibu. Lagipula, jaraknya tidak terlalu jauh,” balas Alina.
“Alina marah ya sama Ayah dan Ibu soal perjodohan kamu dan Hafiz?” tanya Ibu Desi sambil menggengam erat tangan putrinya.
“Alina sama sekali tidak marah dengan perjodohan ini, Ibu. Kalau Mas Hafiz adalah pilihan Ayah dan Ibu, kenapa Alina harus marah? Alina yakin kalau Mas Hafiz pilihan terbaik Ayah dan Ibu untuk Alina,” jawab Alina.
Alina akhirnya mendapatkan izin untuk pergi ke taman bermain seorang diri. Gadis cantik yang masih berumur 17 tahun itu pergi menggunakan sepeda berwarna hitam miliknya.
Alina menggowes sepeda dengan santai seraya melamunkan status dirinya yang ternyata sudah memiliki calon suami.
Apakah Mas Hafiz menyukaiku lebih dulu? Tentu saja tidak. Kami bahkan belum pernah bertemu sebelumnya. (Batin Alina)
Tak terasa Alina sudah sampai di taman bermain dan cukup banyak anak-anak kecil yang sedang bermain di taman tersebut.
Alina turun dari sepeda miliknya dan memarkirkan sepeda tersebut di tempat khusus parkir sepeda.
“Mas, mie ayam 1 porsi sama es jeruknya 1 ya,” ucap Alina sambil memilih bangku kosong yang dekat dengan seorang Ibu.
“Siap, Mbak. Tunggu sebentar ya,” sahut penjual mie ayam.
Tak berselang lama, mie ayam dan es jeruk yang Alina pesan datang juga.
“Dewean cah ayu?” tanya wanita yang duduk disamping Alina.
“Iya Bu, saya sendirian,” jawab Alina.
Alina tersenyum seraya mengangguk kecil sebelum menikmati mie ayam miliknya.
Ibu yang duduk disamping Alina telah selesai menikmati mie ayam dan pamit pergi.
Tak berselang lama, Alina pun selesai dan hendak membayar mie ayam serta es jeruk.
“Mbak, mie ayam dan es jeruknya sudah dibayar,” terang penjual mie ayam manakala Alina hendak membayar makanannya.
“Haa? Siapa yang membayar nya?” tanya Alina terkejut.
Penjual mie ayam menjelaskan bahwa yang membayar makanan dan minuman Alina adalah wanita paruh baya yang sebelumnya duduk disamping Alina.
Alina hanya bisa mengucapkan terima kasih dan berharap Allah memberikan rezeki untuk Ibu yang telah mentraktir dirinya.
Ayah Bahri dan Ibu Desi memutuskan untuk mengawasi Alina dari kejauhan tanpa diketahui oleh Alina. Bagaimanapun, mereka tetap harus mengawasi Alina yang pergi seorang diri ke taman bermain. Meskipun, jarak antar rumah dan taman bermain tidaklah jauh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!