Aku sedang dalam perjalanan ke rumah mertuaku. Berjalan menelusuri jalan setapak melewati gang sempit di daerah perumahan itu, aku membawa rantang berisi Sop Kambing masakan kesukaan mertuaku.
Tadi pagi, tidak biasanya tetangga sebelahnya yang terkenal pelit tiba-tiba membagikan daging kambing kepada. Jadi aku teringat dengan Ibu dan berinisiatif untuk mengolah dan saat ini aku hendak mengantarkan masakan olahan ke rumah mertua.
Tidak perlu waktu lama akhirnya aku sampai di depan rumah Ibu. Aku berjalan melangkah ke halaman rumah Ibu yang terlihat begitu asri karena mertuaku senang sekali berkebun, berbagai macam bunga yang di tanam oleh Ibu di halaman, sungguh cantik orang yang memandang.
Samar-samar terdengar suara Ibu di samping halaman rumah seperti sedang berbicara dengan seseorang.
Aku tidak jadi masuk pintu depan, tetapi melangkah berjalan ke samping rumah karena Ibu ada di sana.
"Kamu pintar membuat bayi, Nak ibu bahagia sekali akhirnya istrinya Danang bisa hamil Jaga kesehatan selalu ya! Sayang. Kalau ada apa-apa jangan lupa kabari ibu."
Deg,
'Hah istrinya Mas Danang? Siapa yang ditelepon ibu mertua? Benarkah apa yang aku dengar ini ya Allah.... Benarkah Mas Danang sudah menikah lagi? Sejak kapan Siapa wanita beruntung itu?.' Dadaku bergemuruh seketika saat ini sebab istrinya Danang hanyalah dirinya seorang. Dan hingga kini ia belum kembali hamil.
Aku terdiam mendengar obrolan Ibu yang ternyata sedang menelpon, tapi dari kata-katanya Ibu mengatakan istrinya Danang? Istri nya Mas Danang kan aku, Apakah Mas Danang menikah lagi? dan diam-diam aku di madu?, benar-benar brengs*k, Aku tidak terima! tanganku terkepal kuat, rasanya di dalam sini sudah tidak karuan.
Aku harus tetap bisa mengontrol emosi ku, walaupun pada kenyataan bahwa ini sangat menyakitkan, tapi aku belum memiliki bukti apa-apa. Jadi aku putuskan untuk mendengarkan terus obrolan Ibu dengan wanita yang aku kira dia adalah maduku.
Sungguh rasanya sangat sakit sekali, apalagi Ibu terus saja melontarkan pujian kepada wanita yang tengah hamil itu. Seolah anak itu tercipta karena kepandaian kita diatas ranjang semata. Mau sepandai gaya apapun kita kalau memang belum di takdirkan memiliki momongan kita bisa apa?.
"Ya, Ibu akan selalu mendoakan kebaikan untukmu, Sayang. Hati-hati di sana yah. Nanti kalau sudah saat nya tiba, Ibu akan datang ke sama. Masalah kakak madumu- Riska itu gampang menjadi urusan Ibu. Kamu jangan pikirkan itu. Saat ini yang terpenting kamu konsentrasi ke kandungan saja, ya. Ibu tidak mau calon cucuku kenapa-kenapa." Suara Ibu di samping rumahnya sukses mengoyak hati ku hingga hancur berkeping-keping.
Lututku lemas seketika. Tanpa di komando, butiran bening ini menetes membasahi pipi.
Aku masih tidak menyangka, wanita yang terlihat menyanyangiku dan bisa mengerti kondisi ku saat ini ternyata mampu menorehkan luka di hati ini. Bahkan secara terang-terangan bahwa dia akan mengatasi ku. 'Apa yang akan di lakukan Ibu?.'
"Danang, kamu harus menjaga calon anakmu dengan baik. Kali ini Ibu tidak mau kehilangan lagi. Menantu kesayangan Ibu tidak boleh stres. Dia harus selalu dalam kondisi happy. Dan itu tugasmu sebagai seorang suami." lagi-lagi terdengar jelas suara Zainab, mertuaku mewanti-wanti anak laki-laki nya itu.
Batin ini rasanya ingin langsung menanyaka apa yang sebenarnya terjadi pada Ibu, apa Mas Danang benar sudah menikah lagi? Kenapa mereka tega mengkhianati nya?
Tapi aku tidak boleh gegabah, mereka pasti akan mengelak, apalagi aku tidak punya cukup bukti.
Selama ini Ibu selalu mengatakan kalau aku adalah menantu kesanyangan nya, tapi saat ini aku mendengar langsung dari wanita yang sudah melahirkan suami ku itu menyebut wanita lain sebagai menantu kesayangannya. Jadi apakah selama ini Ibu hanya berpura-pura?.
Semua pengorbananku selama ini sepertinya tidak ada artinya bagi ibu, selama ini akulah yang menanggung semua kebutuhan ibu, tapi dia tega mengkhianati aku?.
Apakah Mas Danang saat ini sedang bersama wanita itu? berarti kerja di luar kota sebagai sopir itu hanya kedok belaka? Innalillahi.... apakah selama ini mereka telah membohongiku dengan begitu sempurna? Ya Tuhan....Apa yang ada di dalam hati mereka?.
Ya Allah apa yang harus aku lakukan setelah ini? Ibu dan Mas Danang pun sampai hati menusukku dari belakang seperti ini?.
Sungguh aku tidak pernah membayangkan sebelumnya. Aku di khianati, selama empat tahun pernikahan Mas Danang terlihat sangat menyanyangi dan selalu memperlakukan aku dengan baik. Apakah ini hanya sebuah kamuflase saja untuk menutupi pengkhianatan nya di belakang ku?.
Dan Ibu aku tidak menyangka Ibu yang lemah lembut dan baik begitu tega kepadaku. Padahal selama ini aku merasa menjadi wanita yang paling beruntung di dunia ini. Memiliki mertua yang baik, tidak suka ikut campur urusan rumah tangga anaknya. Sehingga aku tidak pernah perhitungan untuk mengeluarkan uang padanya. Berapa pun jumlahnya. Namun mulai detik ini semua tidak akan lagi sama Ibu!.
Sebelum aku ketahuan, aku berbalik badan meninggalkan rumah mertua. Aku tidak sanggup bila terus berdiri di rumah cat hijau itu. Rumah yang di renovasi dua tahun yang lalu dengan sebagian besar menggunakan uang itu. Ya delapan puluh sembilan persen untuk merenovasi rumah mertua yang pada saat itu kondisi nya sangat memprihatinkan. Sikap mertua yang sangat baik dan penuh pengertian membuatku rela mengeluarkan uang yang bagiku tidak sedikit jumlahnya.
Dengan langkah gontai dan perasaan hancur aku menelusuri gang menuju rumah. Berulang kali kususut air mata yang menjatuhi pipi. Rantang yang berisi sop kambing pun kembali pulang.
Allah selalu punya cara untuk membongkar sebuah rahasia. Semua itu pasti tidak kebetulan. Jika aku tidak mengantarkan makanan untuk Ibu, aku mungkin tidak pernah tahu rahasia yang selama ini mereka simpan. Tadi pagi tetangga sebelah yang memberi daging kambing, dia bilang dapat kiriman daging dari saudara nya dan kebanyakan. Aku ingat pada Ibu yang menyukai sop kambing. Rupanya Allah sudah mengatur sedemikian rupa agar aku bisa mengetahui rahasia mereka. Mungkin mereka merasa aman dan bisa dikendalikan seperti biasa. Perkiraan mereka salah besar! Mulai saat ini aku tidak akan pernah bisa bersikap sama lagi dengan mereka.
Di Sepanjang jalan pulang, aku beruntung karena tidak bertemu dengan orang lain. Sehingga tidak ada yang akan tahu kalau aku menangis.
Saat kaki menginjak teras rumah, handphone dalam saku gamis berdering. Siapa yang menelpon? Rasa penasaran menuntun untuk mengambil benda canggih tersebut dalam saku.
Mas Danang? Mau ngapain? lebih baik aku abaikan saja.
Kepala ini di penuhi dengan pertanyaan, siapa istri kedua Mas Danang? Aku ingin tahu seperti apa wanita yang telah berhasil menghancurkan rumah tangga kami?.
.
.
.
Bersambung....
Setelah masuk kamar, kamar yang dulu menjadi saksi bisa kisah cinta kami itu kini menjadi tujuan utamanya. Mataku memindai seluruh isi kamar bisa jadi sedikit menemukan barang bukti. Lalu mataku menatap lemari. Lekas, kubuka lemari kayu itu, tempat menyimpan barang-barang Mas Danang.
Mataku terus memindai isi lemari. Namun tidak aku temukan sesuatu. "Kamu pintar sekali, Mas. Tapi pasti akan ku temukan bukti itu. Awas saja jika kamu memang benar sudah menikah lagi! aku tak akan tinggal diam."
Kemudian mataku menatap laci di bagian bawah lemari. Semoga, di tempat ini ada petunjuk.
Laci ini penuh dengan barang-barang bekas milik Mas Danang. Aku sempat menegur nya supaya membuang saja barang-barang bekas itu, namun Mas Danang melarang. Di sana ada beberapa topi, ikat pinggang, dua buah dompet yang telah usang, jam tangan yang tidak lagi terpaksa dan tiga buah dompet dan tas selempang yang sudah tidak di gunakan lagi.
Satu persatu kubuka isi dompet tersebut. Tapi, masih nihil. Tidak ada apa-apapun yang bisa memberikan petunjuk tentang siapa istri baru Mas Danang. Lalu aku beralih memeriksa tas selempang pertama. Masih tak ada apapun kosong. Tidak putus asa, aku pun membuka tas kedua, saat kurasa seperti ada beberapa barang-barang di dalamnya. Ada foto kopi KTP. Milik siapa?.
Ya Tuhan... inikah petunjuk yang engkau berikan? dadaku kembali bergemuruh. Kali ini lebih berisik dari sebelumnya, setelah mengetahui siapa pemilik fotokopi KTP tersebut. Siska Aulia. Nama pemilik tanda pengenal tersebut. Kapan Mas Danang bertemu dengan sepupuku? Ada urusan apa lelaki itu menyimpan data pribadi adik sepupuku? kenapa harus dia yang kamu jadikan maduku, Mas? Berbagai spekulasi bermunculan di dalam sini.
Benarkah sepupu ku yang menjadi maduku? Tega kamu Siska! padahal, orang tuaku lah yang membiayai hidup hingga kamu bisa mencari uang sendiri. Tapi, begini balasannya? Di mana letak hati nurani mu saat menikah dengan suami sepupu mu sendiri? Apa yang ada di pikiran mu hingga sanggup menyakiti wanita yang begitu menyanyangimu, Siska? Setan mana yang berhasil menggelapkan mata hati mu, Siska? Tubuhku luruh ke lantai seiring dengan hancurnya perasaanku.
Hatiku hancur berkeping-keping mengetahui kenyataan ini. Air mataku pun bak aliran sungai yang sangat deras. Aku di sakiti oleh orang yang paling ku sayangi sekaligus.
Apa salahku hingga kalian tega berbuat seperti ini padaku? Apa doaku pada kalian semua hingga sampai hati menusukku dari belakang seperti ini.
Ku tatap jarum jam dinding. Sudah satu jam lamanya aku menangis.
Baiklah, kalau ini cara kalian membalas kebaikanku. Maka jangan salahkan aku kalau suatu saat terjadi sesuatu dengan kalian semua!
Segera kuhapus air mata. Aku pastikan tidak akan ada lagi air mata setelah ini. Sudah cukup kalian menghancurkan aku lagi. Bodoh kalau aku terus menangis, sementara mereka merasa bahagia. Tidak akan aku biarkan kalian bahagia setelah pengkhianatan ini.
***
Menjelang Maghrib Mas Danang kembali menghubungiku. Ini sudah kelima kalinya. Namun, aku masih enggan untuk berbicara padanya. Mengabaikan kembali sepertinya lebih baik untuk kesehatan mental ku saat ini.
Lebih baik aku segera ambil air wudu dan menunaikan kewajiban tiga rakaat.
Di atas sajadah aku menumpahkan segala keresahan dan kegundahan di dalam hati. Ku adukan segala lara di hidup ini pada Sang penguasa kehidupan. Ya Allah tuntun hambamu ini untuk bisa melewati semuanya
Di atas ranjang aku mencoba menenangkan diri dengan membaca Al-quran, lalu berusaha mentadaburi.
"Nak Riska," Suara Ibu mertua itu terdengar sangat khawatir. Aku yakin Bu Zainab ke sini karena panggilan anaknya yang berulang kali aku abaikan.
Seandainya aku tidak mendengar langsung dari mulut Ibu mertua, sudah pasti sampai saat ini aku masih beranggapan menjadi satu-satunya istri Mas Danang. Dan aku merasa menjadi wanita yang paling beruntung di muka bumi ini sebab memiliki suami dan mertua yang sangat pengertian. Sayangnya itu semua hanya kamuflase.
Ketukan di pintu semakin terdengar nyaring dan sering. Aku pun segera mengatur penampilan agar terlihat seperti orang yang sedang bangun tidur.
"Waalaikumsalam, Bu," kubuka pintu depan dengan lesu. Sebisa mungkin aku akting seperti seseorang yang sedang sakit. Tidak sepenuhnya aku bohong dalam hal ini. Bukankah aku memang sedang sakit hati begitu dalam?.
"Nak, kamu sakit?." Ibu menatapku dengan Iba. Ya Allah.... pandai sekali manusia di depanku ini berlakon.
"Sedikit pusing, Bu." kuraih punggung tangan Ibu. Meskipun sakit hati, sopan santun tetap harus di kedepankan bukan?.
Kutatap punggung Ibu yang masuk ke dalam rumah. Lalu Mertua ku duduk di sofa ruang taku yang baru aku beli beberapa minggu lalu.
"Kamu baru bangun tidur, Nak?." Aku mengangguk seraya membetulkan letak sweater hitam yang kukenakan.
"Pantas telepon dari Danang kamu abaikan. Kamu sudah minum obat?." Aku menggelengkan kepala.
"Sudah makan?." Aku kembali menggeleng.
"Gimana mau sembuh kalau kayak gini. Ayo makan dulu, lalu minum obat. Kamu di sini harus sehat. Suamimu di sana biar tenang dalam bekerja." ucapan mertua ku terdengar manis sekali. Melihat perlakuannta padaku, tidak akan ada orang percaya kalau Bu Zainab tega menyakitimu.
"Ayo cepat makan terus minum obat!. sebenarnya Ibu mau ngomong sesuatu yang penting. Tapi, kalau kamu sakit begini. Ibu jadi tidak tega mau menyampaikan nya."
Aki penasaran apa yang ingin ibu sampaikan. Apa soal Mas Danang yang menikah lagi? atau mau bilang aku harus mundur dari pernikahan ini?
"Ibu, kalau mau ngomong, ngomong aja. Aku tidak apa-apa kok." Aku rasa lebih cepat Ibu jujur agar aku bisa mengambil langkah. Tapi, apa mungkin Ibu mau jujur padaku mengenai hal ini? Rasanya mustahil.
"Kamu minum obatlah dulu," Ibu memijat pundakku pelan setelah aku duduk di sisinya.
"Ibu sudah makan? aku tadi masak sop kambing. Tadinya mau aku antar, tapi mendadak sakit jadi urung. Nanti Ibu bawa ya. Aku masak itu memang buat ibu." sesakit hati apapun aku tetap harus membagi menu itu dengan ibu. Dimakan sendiri terlalu banyak. Aku tidak mungkin makan sop kambing seorang diri.
"Benarkah? kamu memang tahu cara menyenangkan hati mertua. Ibu jadi makin sayang sama kamu, Ris," senyum Ibu lebar, wajahnya terlihat sumringah.
Dulu aku bahagia melihat wajahnya yang sumringah seperti itu. Sayangnya, saat ibu aku tidak lagi bisa merasakan itu seperti dulu lagi. Sakit hari menutup rasa empati ku padanya.
"Tapi bagaimana kalau aku tidak bisa memberikan keturunan pada Mas Danang, Bu?." dengan segera aku menyahut demikian ingin tahu apa reaksinya.
.
.
.
Bersambung....
"Tapi bagaimana kalau aku tidak bisa memberikan keturunan pada Mas Danang, Bu?." dengan segera aku menyahut demikian ingin tahu apa reaksinya.
"Ibu akan tetap menyanyangimu sebagaimana mestinya. Cucu bukan segalanya bagi Ibu. Yang penting kamu tetap menjadi menantu, Ibu." jawabannya sangat menenangkan dan menentramkan, bukan? sayangnya itu dulu.
Sekarang semua itu seperti angin lalu. Omong kosong. Riska tidak akan pernah terkecoh lagi. Sudah cukup ia menjadi wanita bodoh selama ini, di bodohi oleh 3 pengkhianat ini.
Eh, tunggu sebentar. Apa maksudnya kata-kata Ibu tadi. Cucu bukan segalanya?, asal aku tetap menjadi menantunya. Apa yang Ibu inginkan sebenarnya?.
Ah, aku paham saat ini. Tentu, Ibu tidak akan mengusik anak pada wanita yang pernah mengandung namun keguguran. Bukan karena cinta, dan kasih sayang yang tulus. Tapi semata-mata karena uang. Bukan suudzon, tapi begitu kenyataannya. Selama ini, aku selalu memenuhi kebutuhan Ibu. Dan mulai sekarang, aku tidak akan lagi mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhannya lagi. Biarlah menantu barunya yang memenuhi kebutuhannya.
Handphone jadul Ibu berdering. Pasti Mas Danang yang menelpon.
"Waalaikumsalam, Iyah Nang. Iya Ibu sudah ada di rumahmu. Kamu mau ngomong sama istrimu?." Ibu menyodorkan handphone nya kepadaku.
Dengan terpaksa aku pun menerima nya padahal aku enggan sekali berbicara dengan Mas Danang.
Sebelum itu aku mengatur nafas terlebih dahulu tanpa Ibu tahu lalu menjawab telepon, "Assalamualaikum, Mas. Maaf teleponmu tidak terangkat. Aku sedang tidak enak badan." setenang mungkin kusampaikan itu. Padahal, di dalam sini aku sangat ingin sekali mengumpat dan memakinya habis-habusan atas pernikahan keduanya.
"Waalaikumsalam, Sayang. Alhamdulillah...Akhirnya Mas bisa mendengar suara mu. Mas khawatir sekali tadi. Takut kamu kenapa-napa. Kamu sakit apa, Sayang?." Nada penuh kekhawatiran terdengar jelas dari suara Mas Danang.
Seandainya aku tidak mendengar obrolan Ibu dan menantu barunya. Mungkin hatiku melayang mendapatkan perhatian dari suami dan mertuanya.
"Sayang, kok diam. Kenapa?." Mas Danang menegurku.
"Aku hanya sedang pusing, Mas. Mungkin kecapean. Soalnya di toko belakangan ini sangat ramai banget. Hari ini aku pun sengaja buka toko setengah hari. Toko serame itu kalau sendiri juga kecapean. Sayangnya, tidak ada yang membantu. Gimana kalau Mas pulang saja? Bantu aku menjaga toko kembali." Aku ingin tahu apa reaksi Mas Danang.
"Sayang, jangan minta Mas pulang. Di sini Mas sudah nyaman. Di sini Mas merasa bisa menjadi suami seutuhnya, sebab bisa menafkahi istri dengan keringat sendiri.
"Tapi, bukankah dari dulu aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu, Mas? Pernah aku mengungkit soal nafkah? pernah aku menjatuhkan harga diri kamu karena kamu tidak memberiku nafkah? tidak kan?."
Bodohnya Aku mempercayai alasan Mas Galang untuk bekerja di luar kota Aku pintar dan jeli kalau alasannya percaya ke kota itu hanya modus semata. Bayangkan Aku di rumah memiliki toko sembako yang hasilnya lebih dari cukup untuk memenuhi semua kebutuhan kami kuliah itu ingin Mandiri tidak mau dicap sebagai penikmat hasil keringat istri perasaan itu lalu minta izin merantau ke kota.
Padahal, aku pun sudah melarangnya kerja di luar, Bahkan aku sudah siap memberikan modal kembali padanya, kali ini, untuk beternak ayam, sayangnya, makanan, tetap menolak, dengan alasan ingin melafal istri dengan keringatnya sendiri. aku menghargai keputusannya, serta percaya, lalu melepaskan kepergiannya begItu saja.
Katanya Ia pun langsung mendapatkan pekerjaan sebagai sumber pribadi jangan-jangan dia menjadi seperti pribadi dari istri mudanya yang terlalu Naif mempercayainya begitu saja
Sayang masak lagi Transfer ya Tapi maaf tidak seberapa hanya satu juta setengah saja Maklum belum ada kenaikan dari bos nanti kamu bagi dua dengan ibu ya Dan tolong penuhi semua kebutuhan beliau seperti biasa," sambil cengengesan Mas Danang berucap demikian.
Satu juta setengah bagi dua? enak sekali gundulmu! emang gaji supir berapa sih? Dan apa memang benar pekerjaanmu supir di sana, Mas? kamu pikir aku percaya dengan omonganmu begitu saja? Tidak!.
"Mas, sudah tiga bulan loh kamu itu bekerja. Masak belum ada kenaikan gaji. Kalau memang tidak ada perubahan untuk apa di pertahankan? lebih baik pulang." kulirik Ibu mertua yang terlihat tak suka mendengar permintaan ku pada anaknya.
"Tidak mungkin Mas pulang, Sayang. Mas tahu pendapatan mu lebih besar dari apa yang Mas kasih. Tapi, di situlah letak harga diriku sebagai seorang laki-laki." jelas Mas Danang lembut.
Lagi-lagi soal harga diri jadi alasanmu, mungkin aku dulu percaya, tapi saat ini aku tahu kalau kamu hanya membual, Mas.
Baiklah jika itu mau mu, dan kamu lebih nyaman dan betah di tempat istri muda. Jangan menyesal kalau aku tidak sama seperti dulu.
"Kalau gitu cepat transfer duit nya. Kasihan Ibu sudah tidak punya apa-apa," Aku harus pura-pura mengalah saat ini, sepertinya itu lebih baik. Mengalah untuk menang.
"Terima kasih, Sayang. Kamu memang selalu bisa di andalkan. Sudah cantik, baik, pengertian pula. Ibu pasti sangat bahagia memiliki menantu seperti kamu," ingin rasanya aku muntah depan Bu Zainab akibat muak dengan gombalan anak laki-lakinya, namun aku tahan dan berusaha tersenyum karena sejak tadi Bu Zainab terus memperhatikanku saat menelpon dengan Mas Danang.
Setelah basa-basi sebentar. Sambungan telepon pun kami matikan.
Aku bisa di andalkan ? kentara sekali kan kalau Mas Danang itu tergantung pada uangku.
Aku menyerahkan kembali handphone milik Ibu itu pada ibu, dan Ibu pun menerima nya dan memasukkan nya ke dalam saku daster nya.
"Nak, biarkan suamimu merantau di kota. Di sana dia merasa menjadi lelaki seutuhnya." ucap Ibu yang menurut ku kalau kalimat itu sedikit ambigu, aku akan memanfaatkan pernyataan Ibu yang pasti akan membuat Ibu terkaget-kaget.
"Lelaki seutuhnya? maksudnya gimana yah Bu? Apa di sini dia merasa tidak menjadi laki-laki karena belum berhasil menghamili ku? lalu di sana ada istri barunya dan berhasil membuat wanita hamil, begitu?." Aku mengenyitkan dahi pura-pura tidak paham.
Bu Zainab syok dengan pertanyaan dariku yang tiba-tiba dan cukup menohok. Wajahnya pias seketika. Mungkin ia tidak menduga mendapatkan pertanyaan seperti itu dariku.
Aku menikmati pemandangan itu. Dalam hati aku pun tertawa. Menertawakan sikap pengecutnya Ibu mertua dan anaknya, ah bukan tepatnya menertawakan kebodohan ku selama ini.
"Ya bukan seperti juga Ris. Suamimu merasa menjadi laki-laki karena bisa menafkahi istrinya dengan uangnya sendiri." Ibu berani menjawab setelah berhasil menguasai keadaan. Aku hanya mangut-mangut saja seolah percaya dengan penjelasan Ibu mertua.
.
.
.
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!