“Apakah Dek Za berkenan menerima lamaran saya?” Pertanyaan itu ditujukan Fadhil pada Za setelah ayah sang gadis menyerahkan keputusan pada putrinya.
Zahidah terdiam di tempat duduknya. Bahkan setelah beberapa detik kemudian dia tak kunjung memberi jawaban. Za baru sekali dipertemukan dengan Ammar Fadhil, laki-laki berusia 40 tahun rekomendasi dari teman ayahnya. Dan laki-laki itu langsung melamarnya.
“Bagaimana, Za?” Kali ini Ibu Za yang bertanya. Lebih tepatnya mendesak Za untuk segera menjawab. Terdengar jelas dari nada bicaranya.
Beliau memang orang yang paling getol menuntut Za untuk segera menikah. Setelah ramainya kompor meleduk di sekitar rumah dan teman-teman pengajiannya yang begitu peduli dengan Za. Sampai-sampai khawatir jika Za akan menjadi perawan tua. Karena di usianya yang sudah 25 tahun Za belum juga menikah. Jangankan menikah, dekat dengan laki-laki saja dia tidak pernah. Dan kedatangan pria ketiga yang melamarnya kali ini adalah bukti nyata dari suksesnya mereka mengompori Bu Rahma, ibunya Za.
“Nak Fadhil sedang menunggu jawabanmu, Za. Kok malah dikasih kacang.” Pak Manaf, Ayah Za angkat bicara.
Za melirik sekilas pria yang tengah duduk berhadapan dengannya. Penampilannya terlihat terbilang bersih untuk orang yang sehari-hari bekerja di bengkel. Hanya saja bulu-bulu tipis di wajahnya membuat Za risih. Pandangan Za pun jatuh ke tangan pria itu. Bersih dan sepertinya rutin potong kuku.
Entah apa yang ada dalam pikiran Za hingga sedetail itu memperhatikan laki-laki yang pembawaannya tenang dan tidak banyak bicara. Rasanya sulit mencari cela dalam diri pria yang duduk di depannya. Semua yang menempel di wajah pria itu akan dengan mudah memikat kaum hawa. Apalagi dengan tubuhnya yang tinggi tegap dan mungkin saja berotot. Za menggelengkan kepala sambil beristighfar dalam hati, mengenyahkan pikiran yang sedang membayangkan dada bidang yang tersembunyi di balik kemeja Fadhil.
Perempuan itu pun berdehem kecil. Sebelum akhirnya dia membuka mulut.
“Maaf Mas Fadhil. Apakah saya boleh mengajukan beberapa pertanyaan mengenai diri Mas Fadhil? Selain dari yang ada dalam biodata yang sudah saya baca.” Za akhirnya buka suara.
Fadhil tersenyum mendengar pertanyaan Za. Dia terpukau dengan suara Za yang begitu lembut.
“Silakan, Dek.”
Za mengangguk kaku. “Maaf kalau pertanyaan saya nanti terdengar sedikit nyeleneh atau bahkan sangat nyeleneh,” ujar Za. Meski telah membaca biodata Fadhil, Za merasa harus tahu lebih banyak tentang laki-laki yang sedang melamarnya karena yang dia baca hanya biodata pada umumnya.
Za kembali berdehem sebelum memulai pertanyaannya. Berhadapan dengan Fadhil tak dipungkiri jika membuatnya sedikit gugup. Terlebih sorot mata yang terlihat begitu tajam menukik tepat mengena jantungnya.
“Maaf, Mas. Apakah saya boleh tahu berapa gaji Mas Fadhil setiap bulannya?”
“Za! Apa tidak ada pertanyaan yang lebih sopan?!” Pertanyaan Za seketika mendapat sentilan dari ibunya.
Za menghela nafas pelan. Sementara Fadhill justru mengulum senyum mendengar pertanyaan Za.
“Maaf Nak Fadhil. Za terlalu lancang,” ujar Bu Rahma karena merasa tidak enak dengan tamunya.
“Tidak apa-apa, Bu. Saya memahami kekhawatiran Dek Za.” sahut Fadhil seraya menatap Za yang masih menunduk.
“Begini, Dek. Karena saya bukan pegawai seperti Bapak atau pun Dek Za, jadi penghasilan saya tidak selalu pasti setiap bulannya. Tapi alhamdulillah, selalu dicukupkan," terang Fadhil menjawab pertanyaan Za.
Za tertegun dengan jawaban yang malah membuatnya tersipu. Harusnya Za sudah paham, bahwa seberapapun rezeki akan terasa cukup jika disyukuri. Mungkin Fadhil sudah sejauh itu pemahamannya.
“Saya terima jawaban Mas Fadhil. Tapi apa boleh saya tahu berkisar di angka berapa?” tanya Za lagi. Logikanya masih terus menuntut jawaban.
“Za!” Kali ini ayah Za yang mengingatkan putrinya.
Za tertunduk mendengar suara ayahnya yang pelan namun tegas.
“Baik. Karena pertanyaan saya mungkin dianggap tidak sopan, maka saya skip saja. Dan pertanyaan kedua kenapa Mas Fadhil belum menikah sampai sekarang?" tanya Za. Karena mustahil orang setampan Fadhil sulit untuk menemukan pendamping hidup. Tampan? Ya, Za mengakui kalau Fadhil memang tampan.
Fadhil kembali tersenyum mendengar pertanyaan Za yang kembali di luar dugaannya.
"Karena jodoh saya masih menjadi rahasia yang belum saya temukan. Mudah-mudahan pencarian saya berakhir pada Dek Zahidah Nur Afifah," jawabnya diiringi senyum.
Semburat jingga muncul di kedua pipi Za. Kedua orang tua Za hanya senyum-senyum melihat putri mereka yang merona wajahnya karena baru saja dirayu oleh calon menantu, jika Za menerima lamaran Fadhil. Za justru kesal karenannya.
“Baik, Mas Fadhil. Saya cukup. Silakan jika Mas Fadhil ingin bertanya tentang diri saya yang sekiranya ingin Mas ketahui," ujar Za mengakhiri pertanyaannya.
Fadhil pun menggelengkan kepala. "Semua informasi yang saya dapatkan tentang Dek Za sudah cukup untuk memantapkan niat saya datang melamar Dek Za."
“Kalau begitu saya minta waktu untuk mempertimbangkan lamaran Mas Fadhil," sahut Za dengan tegas.
"Baik! Berapa lama saya harus menunggu? Sehari, dua hari atau seminggu?” cecar pria berkulit sawo matang itu.
Za melongo. Keputusan yang menyangkut masa depan seumur hidupnya mana mungkin dia putuskan dalam waktu satu minggu. Apalagi sehari atau dua hari. Za pun meminta waktu satu bulan untuk mempertimbangkan lamaran Fadhil. Namun pria itu menolak. Dengan alasan terlalu lama.
"Jangan lama-lama Za, kasihan Nak Fadhil." Bu Rahma ikut menimpali.
Pada akhirnya Za mengalah. Dia meminta waktu satu minggu untuk menjawab lamaran Fadhil. Dia sudah kalah supporter dengan pria itu yang mendapat dukungan penuh dari kedua orang paruh baya yang duduk mengapitnya.
Za baru bisa bernafas lega saat Fadhil berpamitan pulang. Udara dalam ruang tamu yang sebelumnya terasa pengap mendadak seperti mendapat serbuan oksigen. Dia membiarkan ayah dan ibunya mengantar Fadhil ke depan. Sedangkan dirinya kembali ke belakang melanjutkan makan siangnya tadi yang tertunda karena kedatangan Fadhil.
"Kamu apa-apaan sih, Za? Kalau mau bertanya itu mbok ya dipikir dulu. Bikin malu saja. Nanti Fadhil akan mengira kalau kamu itu perempuan matre. Mata duitan!" Omelan Bu Rahma memberondong putrinya yang baru saja hendak menyuapkan nasi.
"Memangnya kenapa, Bu? Nggak salah kan kalau Za ingin tahu gaji dia?"
"Nggak salah kalau kamu sudah jadi istrinya. Lagi pula kan pekerjaannya sudah jelas. Kamu bisa menaksir sendiri berapa kira-kira pendapatan dia. Ibu nggak pernah mengajari kamu matre. Jadi orang itu harus qonaah. Nrimo," tutur Bu Rahma menggebu-gebu.
"Bu, Za cuma berpikir sedikit realistis. Lagian Za cuma bertanya. Toh dia juga nggak berterus terang. Dan Za nggak mempermasalahkan itu lagi."
"Tapi Fadhil bisa ilfill karena pertanyaan kamu," sahut Bu Rahma geram.
"Ya bagus. Anggap saja itu seleksi alam," balas Za tak acuh.
Bu Rahma menggelengkan kepala seraya beristighfar.
"Kamu bukan sedang bermaksud mengulur waktu untuk menolak dia kan, Za?!" tanya Bu Rahma dengan tatapan menyelidik.
"Fadhil itu kurang apa? Dia dewasa, punya pekerjaan, punya tempat tinggal, hanif, sholeh. Apalagi yang kamu cari?" lanjut Bu Rahma seolah seorang salesman yang sedang mempromosikan sebuah produk.
"Ketuaan, Bu. Sama ibu aja selisih umurnya cuma 6 tahun. Dia lebih pantas jadi omnya Za daripada suami."
Bu Rahma mendesah pelan. Sudah dapat dia duga jika Za sebenarnya ingin menolak lamaran Fadhil namun dia mungkin merasa segan untuk menolak terang-terangan.
"Fadhil itu usianya memang sudah kepala empat. Tapi kamu juga sudah lihat sendiri wajah dia masih seperti umur tiga puluhan," ujar Bu Rahma menanggapi ucapan Za. Dan Za tidak menyangkalnya. Fadhil terlalu imut untuk dikatakan pria berusia 40 tahun.
Perhatian Za beralih pada ponsel di meja yang berdenting. Tangannya terulur meraih benda pipih itu. Dahi Za mengernyit melihat nomor tak dikenal yang mengirim pesan. Ibu jarinya mengetuk layar sehingga muncul sederet pesan dari orang yang memperkenalkan diri bernama Fadhil. Bibir Za tertarik membaca deretan pesan dari pria yang baru saja melamarnya itu.
"Dari siapa sampai bikin kamu senyum-senyum sendiri?" tanya Bu Rahma.
"Dari Mas Fadhil!" sahut Za mempertegas kata Mas. Karena ibu Za tidak suka jika Za menyebut Fadhil tanpa embel-embel Mas.
"Dia bilang apa?"
"Rahasia!" Za sengaja menggoda ibunya yang sudah pasti tidak bisa membendung rasa ingin tahunya.
"Sudah ada jawaban yang akan kamu sampaikan pada Nak Fadhil, Za?" Setelah tiga hari diam, ayah Za akhirnya menanyakan perihal keputusan Za tentang lamaran Fadhil.
"Belum, Yah," jawab Za lesu.
Pada dasarnya, ibu ataupun ayahnya sama saja. Ingin Za segera menikah. Jika ibunya tersulut kompor tetangga, maka ayah Za mengatakan jika Za sudah cukup usia untuk menikah.
Ayah Za menatap putri satu-satunya dan berkata dengan lembut. "Menikah itu menyempurnakan ibadah, Za. Selain kamu beribadah pada Allah, ketaatan pada suami juga ibadah. Ada banyak sekali pahala mengalir dalam setiap kebaikan yang dilakukan seorang istri untuk suaminya. Jangan terlalu banyak membuang waktu untuk menunda berbuat kebaikan, Za," tuturnya.
Za mengerti hal itu. Tapi banyak hal yang menjadi pertimbangannya. Usianya baru 25 tahun meskipun banyak orang bilang sudah matang dan tidak sedikit wanita seusia Za bahkan sudah menikah dan memiliki anak lebih dari satu. Termasuk beberapa teman Za. Namun dia merasa masih belum berbuat apa-apa untuk kedua orang tuanya. Meski sudah bekerja, namun gajinya hanya cukup untuk membeli kebutuhan pribadinya sendiri. Dia pun masih mendapat uang jajan dari ayahnya setiap bulan.
"Ada hal yang membuatmu ragu?" tanya laki-laki paruh baya itu melihat putrinya diam saja.
Za mengangguk perlahan. Hal terakhir yang membuatnya masih gamang karena dia takut jika nantinya salah memilih pasangan hidup. Tidak sedikit laki-laki yang manis di awal. Namun setelah berumah tangga ketahuan belangnya. Yang berpacaran bertahun-tahun dengan alasan agar bisa mengenal lebih jauh sebelum menikah saja banyak yang menemui masalah setelah menikah. Bagaimana dengan dia nantinya yang menikah dengan orang yang hanya dia kenal lewat biodata dan informasi dari orang lain.
Za tak lagi merisaukan soal finansial. Karena Fadhil sudah memberitahunya melalui pesan singkat yang dikirim waktu itu. Tetapi dia sama sekali tidak tahu menahu tentang sikap dan perilaku pria itu kesehariannya. Meski saat bertemu tempo hari Fadhil terlihat seperti pria yang tidak banyak tingkah, Za masih merasa ragu.
"Za, jika kamu menuntut pasangan yang sempurna, kamu tidak akan pernah menemukannya. Karena setiap manusia itu tak lepas dari kekurangan. Pasangan itu sejatinya saling melengkapi kekurangan masing-masing. Memohonlah lebih khusyuk agar kamu segera diberi petunjuk." Ucapan ayahnya kembali direspon dengan anggukan kepala oleh Zahidah.
Za berharap ayahnya akan berada di posisi netral. Namun untuk urusan kali ini laki-laki tercintanya itu satu suara dengan ibunya. Mungkin memang sudah saatnya dia menentukan pilihan untuk mengakhiri masa lajangnya.
Za pun pamit untuk pergi ke Bimbel tempatnya mengajar les. Rutinitasnya setiap sore hari. Sebagai seorang guru honorer, Za butuh penghasilan tambahan. Dia merasa tidak enak jika terus-terusan mengandalkan uang jajan dari ayahnya.
"Hati-hati, Za!" pesan Ayah Za saat anak gadisnya mulai melajukan kendaraan.
Sepanjang perjalanan, pikiran Za sibuk mengingat obrolan dengan ayahnya sebelum berangkat tadi. Begitu istimewa sosok Fadhil bagi kedua orang tuanya. Meski Za melihat Fadhil seperti orang dewasa pada umumnya. Beberapa kali sholat istikharah pun Za belum mendapat petunjuk. Apa benar sholatnya kurang khusyuk? Atau sebenarnya Za memang tidak berniat menerima pinangan laki-laki itu?
"Ish! Masa iya aku harus punya suami tua brewokan begitu?!" Za mengomel di balik maskernya. Gadis itu kembali fokus ke jalan setelah sempat melamun beberapa saat.
***
Za tidak sabar menunggu jam yang terasa begitu lambat berputar. Setelah jam mengajarnya selesai, Za berniat menemui Fatma, teman mengajarnya satu sekolah. Dan mereka pun mengajar di bimbel yang sama.
Hubungan mereka cukup dekat dengan selisih usia hanya beda dua tahun. Bahkan sosok Fatma seolah kakak perempuan bagi Za.
"Kenapa, Za?" tanya Fatma melihat Za hanya diam saja setelah menghampirinya.
"Galau," gumam Za memberi jawaban. Kepalanya seolah terasa berat sehingga dia letakkan di meja.
"Galau kenapa? Disuruh cepat nikah?"
Za mengangkat kepalanya seketika. Matanya menyipit menatap Fatma yang masih sibuk membereskan buku-buku penunjang.
"Kok Mbak Fatma tahu?".
Fatma justru terkekeh alih-alih segera menjawab pertanyaan Za. Memangnya kegalauan apalagi yang melanda wanita seusia Za jika masih saja menyendiri. Karena Fatma pun pernah merasakan di posisi Za. Dikejar deadline menikah oleh orang tuanya.
"Mbak, maaf nih, ya. Aku mau nanya penting banget," ujar Za dengan hati-hati karena takut menyinggung perasaan Fatma.
Dahi Fatma berkerut. Dua tahun mengenal Za, dia hanya tahu Za hanya akan serius saat mengajar. Selebihnya perempuan itu lebih banyak tertawa. Za seolah manusia yang tidak punya beban hidup. Mungkin itu yang menyebabkan wajahnya tidak sesuai dengan usia. Za bahkan masih pantas jika memakai seragam putih abu dan duduk di deretan bangku siswa.
Fatma melipat tangannya di meja dan siap mendengar pertanyaan dari Za.
"Mau nanya apa, Za? Mbak takut nih muka kamu serius banget."
Za memperlihatkan deretan giginya sebelum bertanya. "Emm…kenapa Mbak Fatma dulu memutuskan menikah dengan Pak Irsyad?"
Fatma memicingkan mata. Za bukan tipe orang yang suka ingin tahu dengan urusan orang. Sekalipun itu teman dekatnya. Namun kali ini ada apa dengan kawannya itu?
Fatma baru enam bulan yang lalu menikah dengan Pak Irsyad, Kepala Sekolah mereka. Juga pemilik bimbel di mana Za mengajar les. Lelaki matang yang berusia bahkan dua kali usia Fatma. Merasa hampir satu nasib, Za ingin bertukar pikiran dengan Fatma.
"Karena Pak Irsyad bisa membuat Mbak merasa nyaman," sahut Fatma dengan santai.
"Maksudnya kenyamanan apanya, Mbak? Nyaman orangnya atau dompetnya?" timpal Za seketika.
"Dua-duanya," sahut Fatma diiringi tawa lepas.
"Tapi beneran deh, Za. Dulu aku juga pinginnya nikah sama laki-laki yang paling tidak selisih umurnya nggak jauh-jauh. Ya paling tidak yang ideal saja. Tapi waktu dikenalin sama Pak Irsyad nggak tahu kenapa kayak udah langsung klik aja. Beberapa kali ketemu, Mbak semakin yakin dan .... udahlah, mau nyari yang gimana lagi. Meskipun sudah berumur, dia juga bisa jadi teman ngobrol yang asyik. Nggak kalah sama yang muda-muda. Justru lebih dia sering mengalah saat kita sedang berdebat. Bisa memberikan solusi yang tepat saat kita ada masalah. Mungkin karena sudah lebih berpengalaman juga."
Za menganggukkan kepala. "Pantes aura Mbak Fatma kayaknya bahagia terus sejak nikah."
"Iya, dong. Kan udah nemu pasangan yang tepat."
"Iya lah. Udah ganteng, kaya, baik banget lagi."
Sedikitnya Za mengenal pria paruh baya itu meski baru satu tahun menggantikan posisi kepala sekolah lama yang sudah pensiun. Meski sudah berumur, Pak Irsyad tetap menjadi idola apalagi dengan status dudanya. Siapa sangka dia justru meminang salah satu guru muda yang juga menjadi idola siswa laki-laki. Pernikahan Fatma dan Pak Irsyad tentu saja membuat banyak pengagumnya patah hati.
"Kamu memuji bukan karena naksir Pak Irsyad, kan?" tanya Fatma penuh selidik.
"Nggak, Mbak. Beneran, deh! Takut amat suaminya direbut orang." Za terkekeh.
Fatma pura-pura mendengus. "Jadi apa masalah kamu sekarang?" tanyanya kembali pada topik pembicaraan semula.
"Belum ada pasangan buat diajak nikah? Mbak kenalin sama keponakannya Pak Irsyad mau nggak? Jomblo limited edition. Mapan, ganteng, orangnya nggak neko-neko," ujar Fatma karena dia tahu Za sedang tidak menjalin hubungan dengan siapa pun.
Za pun mendesah pelan. "Nggak dulu deh, Mbak. Aku lagi pusing sama pilihan orang tuaku." Jawaban Za membuat Fatma terbahak.
"Za, kamu itu anak satu-satunya. Orang tuamu pasti nggak main-main jodohin kamu dengan sembarang laki-laki.,"
"Iya. Nggak main-main umurnya."
Fatma kembali tertawa lepas. "Kenapa dengan umurnya? Umurnya banyak kayak Pak Irsyad? Makanya kamu bertanya seperti tadi?" tebak Fatma.
Diamnya Za adalah jawaban jika ucapan Fama benar. Wajah wanita itu pun berubah menjadi serius. "Tidak ada salahnya mempertimbangkan pilihan orang tua, Za," ucapnya kemudian.
Sebuah mobil berhenti di depan mereka. Mobil milik Pak Irsyad, suami Fatma. Za mengangguk ramah saat pria berkacamata itu menurunkan kaca jendela. Fatma pun berpamitan untuk pulang lebih dulu karena sudah dijemput sang suami.
Dia pun melongok jam tangan yang melingkar di lengannya. Sudah hampir jam sembilan, ayah dan ibunya sudah pasti khawatir jika dia pulang terlambat. Za pun bergegas meninggalkan tempat les itu.
Saat berhenti di persimpangan jalan karena terhalang lampu merah, Za melirik sebuah motor sport yang tidak asing baginya berhenti di samping motornya. Jantung Za berdegup semakin kencang saat melihat pengendara motor itu membuka kaca helm lalu menatap ke arahnya. Za yang mengenakan helm dengan kaca tertutup tetap bersikap tenang di atas motornya. Ekor matanya menangkap lengan seorang gadis yang hinggap di pinggang pria pengendara motor itu. Dia pun tersenyum kecut. Mungkin inilah jawaban dari keraguannya selama ini.
Za berdehem pelan sebelum memberikan jawaban untuk pria yang duduk tenang di depannya. Sementara orang tuanya terlihat harap-harap cemas menanti jawaban Za.
"Bismillah, saya ucapkan terima kasih karena Mas Fadhil telah bersabar untuk menunggu jawaban dari saya selama satu minggu ini. Dan saya juga minta maaf karena saya....belum bisa menerima pinangan Mas Fadhil."
"Za!" Bu Rahma terkejut dengan jawaban putrinya meski sejak awal dia menduga jika Za akan menolak.
"Maaf, semua bukan karena Mas Fadhil. Tapi karena diri saya sendiri yang merasa tidak pantas untuk menjadi pendamping Mas Fadhil. Sekali lagi saya mohon maaf," ucap Za lagi.
Bohong jika Fadhil tidak kecewa. Meski dibalut dengan senyum tipis, kekecewaan laki-laki itu tetap tampak dari sorot mata.
Za menunduk saat tatapan mereka tanpa sengaja beradu. Ada rasa iba yang menyelinap. Namun dia menepisnya. Za tidak ingin tiba-tiba berubah pikiran hanya karena rasa kasihan.
"Terima Kasih, Dek. Suka atau tidak mungkin ini yang terbaik. Saya tidak bisa memaksakan keinginan saya. Saya ikhlas dengan keputusan Dek Za," jawab Fadhil setelah menerima keputusan Za.
Za mengangguk pelan. "Terima kasih atas kebesaran hati Mas Fadhil. Semoga Mas segera dipertemukan dengan wanita yang lebih pantas menjadi pendamping hidup Mas Fadhil."
Fadhil kembali mengulas senyum tipis. Lelaki itu pun berpamitan setelah berbasa basi sebentar dengan kedua orang tua Za. Tidak lebih dari lima menit. Dan kali ini Za ikut mengantar sampai di depan teras. Za manusia biasa yang tentunya masih punya hati untuk memahami perasaan orang. Terlebih dia lah yang menyebabkan Fadhil pulang membawa hati yang mungkin telah patah.
"Za! Ibu ingin bicara sama kamu!" Ibu mencegah Za yang hendak masuk ke dalam kamar selepas mengantar Fadhil ke depan. Mendengar dari nada bicaranya, Za sudah bisa menebak jika ibunya pasti akan marah besar.
"Duduk, Za!" titah sang ibu dengan raut wajah yang terlihat menahan marah.
Za menurut. Duduk kembali ke sofa ruang tamu tanpa protes sedikit pun. Kali ini dia harus mengaku salah. Salah karena membuat ibunya lebih lama menunggu untuk mempunyai menantu dan juga cucu.
Za bersiap menebalkan telinga karena omelan ibunya sudah pasti lebih pedas dari seblak level sepuluh jualan Ce Imah, tetangga sebelahnya.
"Ibu nggak ngerti sama kamu Za. Sebenarnya laki-laki yang bagaimana yang kamu inginkan. Fadhil kurang apa, Za?" Bu Rahma menahan geram.
"Kalau kamu tetap seperti ini, Ibu akan menyetujui usulan Budhe Nur untuk menjodohkan kamu dengan Bian," lanjut Bu Rahma dengan tegas.
Za terbelalak. Bian memang bukan orang asing baginya. Mereka saudara sepupu. Hubungan mereka bahkan sangat dekat. Bian sosok kakak yang begitu penyayang, melindungi Za selayaknya adik kandung. Dan niat Budhe Nur untuk menjodohkan Za dengan Bian sudah tercetus sejak Za masih duduk di sekolah menengah atas. Sampai sekarang niatan itu tidak pernah terwujud bahkan hingga Budhe Nur meninggal.
"Memangnya nggak ada orang lain sampai harus menikah dengan sepupu sendiri?" protes Za.
"Orang lain siapa? Haris dan Zidan kamu tolak dengan alasan mereka belum mapan. Dan sekarang Fadhil kamu tolak tanpa alasan yang jelas. Kamu benar-benar bikin malu. Mau ditaruh mana muka Ayah kalau ketemu Pak Cipto nanti," ucap Bu Rahma dengan sengit.
"Bu, Za bukan tanpa alasan menolak Fadhil," sahut gadis itu membela diri.
"Bukan tanpa alasan? Memangnya apa yang yang membuat kamu menolak dia? Karena usianya? Kamu bilang tidak pantas mendampingi dia? Fadhil yang memilih kamu, itu artinya dia merasa kamu pantas menjadi istrinya. Dia tidak pernah menuntut kamu harus memiliki kelebihan ini itu. Lalu alasan apa yang membuat kamu merasa tidak pantas?"
Za hanya bisa menghela nafas mendengar ibunya yang seolah mendominasi pembicaraan. Ibunya memang selalu seperti itu. Berapi-api setiap kali ada hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Bahkan ayah Za yang sejak tadi duduk bersama mereka pun hanya diam saja.
"Coba kamu katakan apa alasan kamu menolak Fadhil, Za. Supaya Ayah punya jawaban jika Pak Cipto menanyakan tentang hal ini," ujar ayah Za akhirnya. Suaranya terdengar tenang membuat Za melunak.
"Za ….beberapa hari yang lalu nggak sengaja bertemu Fadhil di lampu merah. Dia naik motor bersama seorang perempuan."
"Lalu apa hubungannya, Za? Bisa jadi itu adiknya," sela Bu Rahma memotong ucapan Za.
"Ibu lupa kalau Fadhil nggak punya adik. Kakak laki-laki satu-satunya pun sudah meninggal." Za menyangkal perkataan ibunya yang masih saja memihak Fadhil.
"Barangkali temannya atau saudaranya," sahut ibu Za.
"Nggak mungkin, Bu. Kalau cuma teman duduknya serapat itu, bahkan sampai pegang-pegang. Kalau seperti itu berarti Mas Fadhil nggak bisa menjaga batasan dengan lawan jenis. Akan semakin jelas alasan Za menolak. Karena Ibu sama Ayah pasti tidak mau kan punya menantu yang suka pegang-pegang wanita yang bukan mahrom sembarangan?"
"Astaghfirullah. Harusnya kamu tabayyun dulu. Jangan asal menolak seperti tadi."
"Dia pasti beralibi kalau Za bertanya tentang hal itu, Bu. Laki-laki mana mau ngaku kalau kelakuannya nggak benar. Beruntung Za diperlihatkan semuanya sebelum menerima dia. Mungkin lewat perantara itulah jawaban doa Za."
Alasan Za sepertinya tidak bisa diterima begitu saja oleh ibunya. Wanita itu menyesalkan kenapa putrinya tidak mengatakan hal itu sebelum membuat keputusan. Namun Za tetaplah Za. Gadis dengan prinsip yang begitu kuat. Apa yang sudah dia putuskan, sulit untuk tergoyahkan.
"Tadi malam Bian menelepon Ibu. Dia akan pulang besok pagi untuk nyekar ke makam Pakdhe dan Budhe. Besok kita bicarakan tentang hal ini setelah Bian sampai di sini. Ibu nggak mau tahu, kamu harus menerima perjodohan ini."
"Bu, Za nggak mau nikah sama Mas Bianl. Dia itu kakak Za."
"Tidak ada larangan bagi kalian untuk menikah," ucap Bu Rahma bersikeras.
"Ayah! Kenapa diam saja! Za nggak mau nikah sama sepupu sendiri, Yah." Za merengek pada ayahnya. Pria itu pun tahu bagaimana jika istrinya sudah punya keinginan. Watak yang menurun pada putrinya.
"Kalau kamu tidak mau menikah dengan Bian, Ibu beri kesempatan kamu untuk menemukan pria yang menurutmu lebih baik dari Bian."
Za mendesah pelan. Mencari laki-laki yang lebih baik dari Bian seperti mencari jarum dalam jerami bagi Za. Baginya, laki-laki terbaik setelah ayahnya adalah Bian. Karena dia tidak pernah dekat dengan laki-laki lain selain Bian. Semua kriteria yang dia inginkan untuk menjadi suami ada dalam diri sepupunya itu. Namun untuk menikah dengan sepupu sendiri Za tidak mau meskipun diperbolehkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!