NovelToon NovelToon

OHH, No!!!

1. Kembali

Rambut yang di kuncir kuda dengan make-up tipis diwajahnya. Seorang perempuan turun dari mobil pajero sport merah dengan langkah kaki jenjang, halus nan putih miliknya berjalan bak model memasuki lobi hotel mewah yang ada di kota batik, Pekalongan.

Seorang security tua mengukir senyum terbaik yang dia punya. Hanya dia yang tau Kana Feo Indahlia pendiri dari Foindah Hotel, pendiri sekaligus pemegang saham terbanyak tempat dia bekerja.

Dari kejauhan mata nampak seorang pegawai memarahi OB yang sedang mengepel lantai. Sungguh kana penasaran dengan apa yang perempuan cantik itu katakan pada sang OB tersebut.

"Ada apa ini?" Kana datang secara tiba-tiba, menghentikan perempuan itu yang terus saja bicara. Kana bukanlah seseorang yang suka ikut campur masalah orang lain.Tetapi hal itu terjadi didalam hotelnya dan dia tidak ingin penilaian hotel ini menurun karena masalah yang disebabkan oleh mereka berdua.

Mata yang menyipit nan sinis menatap kana dari ujung atas hingga bawah, layaknya menilai penampilan kana hari ini dengan jaket tebal menutup tubuhnya di pagi yang panas ini.

"Ini urusan saya dengannya, anda tidak usah ikut campur. Masalah kami,"

"Masalah apapun yang terjadi didalam hotel ini juga masalah saya. Jadi, masalah kalian juga termasuk masalah saya." Jelas Kana setenang mungkin untuk tidak meledak di pagi hari.

Perempuan itu berdecak pinggang menatap kana dengan tatapan jijik nan benci, "Sungguh, anda tidak punya sopan santun ya? Ikut campur masalah orang lain dan berlagak layaknya pahlawan."

"Veny Rosmalina, sales marketing manager. Detik ini juga anda akan dipecat secara tidak hormat." Nama yang tergantung dileher perempuan tersebut diraih oleh Kana dengan sedikit tarikan. Sungguh dirinya sudah tidak sanggup lagi menahan amarahnya.

Gelak tawa tanpa henti keluar dari bibir pedas Veny, "Anda tau saya siapa? Saya adalah adik dari gineral manager hotel ini dan anda hanyalah seorang pengunjung."

"Iyakah, anda adik dari Vina Hisa Oktazia?"

"Tentu saja saya adik dari kak Vina, berlututlah dan minta maaf denganku atas perkataan busukmu itu atau security akan menyeret anda keluar secara tidak hormat dari hotel ini." Dengan tangan menyilang di depan dada membuat dirinya layaknya penguasa. Sungguh Kana muak dengan sikap angkuhnya, Kana heran mengapa ada makhluk dengan sikap sepertinya dimuka bumi ini.

"Are you crazy? Saya seorang pengunjung hotel ini dan saya membayar disini. Camkan itu baik-baik saya membayar disini, keberadaan saya di hotel ini jauh lebih berharga dibandingkan anda. Ingat visi misi hotel ini, dengan hitungan detik saya bisa membuat hotel ini mengalami penurunan nilai dan dengan ketikan jari saya kamu bisa dipecat detik ini juga." Kian Kana ikut menyilangkan tangan di depan dada, dengan satu kaki kanan Kana majukan kedepan.

Wajah Veny yang sebelumnya garang nan angkuh kian luntur begitu saja, rasa takut menjalar dalam dirinya. Memang pada dasarnya rasa angkuh itu bersarang dalam diri manusia untuk mengendalikan seluruh gerak tubuhnya.

"Penilaian anda tidak akan mempengaruhi keberadaan saya di hotel ini, setidaknya anda butuh 40% suara untuk memecat saya."

"Bukan penilaian kamu yang saya incar, namun penilaian kenyamanan hotel ini yang akan terancam. Ranting pelayanan hotel ini ada ditangan saya." Jelas Kana dengan senyum miring diwajahnya. Bagi Kana, Veny hanyalah bocah ingusan yang tidak paham dengan peraturan hotel namun berlagak layaknya pemilik yang bisa melakukan apapun seenaknya.

"Saya tidak suka dengan manajer seperti anda, terlalu sombong." Ungkap seorang yang menonton perbedaan mereka, lalu menekan bintang satu di handphonenya dan memperlihatkan pada Veny.

"Saya merasa terganggu dengan perdebatan anda dengan OB pagi ini." Ujar seorang perempuan yang keluar dari balik pintu kamar tempat Veny dan sang OB berdebat tadi.

"Saya kurang nyaman dengan sikap anda yang buruk sebagai manager."

"Jika bukan karena kami, anda tidak akan mendapatkan gaji mbak."

"Lihat, sikap anda ternilai jelas disini. Sebuah masalah yang di perdebatkan di depan umum tidak membuat anda keren, kids." Senyum miring yang kana perlihatkan, membuat Veny tambah malu sekaligus geram karena dirinya menjadi sorotan sekitar saat ini.

"Ada apa ini?" Seorang perempuan muda keluar dari life hotel dengan berjalan terburu-buru menghampiri kerumunan ini.

"Kana?" Vina membungkuk hormat. "Apa yang sebenarnya terjadi disini, Veny ada masalah apa ini?"

"Singkatnya adik kesayangan lo ini, memaki seorang OB hanya karena secara tidak sengaja pel yang digunakan oleh OB ini mengenai sepatu seorang tuan putri." Jelas Kana dengan nada mengejek dan lihatlah perubahan wajah lucu Veny yang malu sekaligus takut pada Vina. Sebenarnya kana melihat apa yang sebelumnya terjadi tadi, sebelum dia datang menghampiri perempuan ini.

"Adik?" Vina kebingungan dengan apa yang kana jelaskan karena dirinya anak tunggal tanpa kakak ataupun adik, "Apa penjelasan itu benar Veny. Kamu menghadap saya dalam rungan, begitu juga dengan anda nona Kana."

Dalam ruangan yang begitu luas nan indah dengan memperlihatkan pemandangan indahnya ibu kota dari samping jendela tidak mampu membuat Veny terpesona. Duduk dengan kaki gemetar dan keringat yang bercucuran, bahkan dinginnya AC masih tidak mampu untuk menghembuskan rasa gugupnya. Veny cemas bukan main, duduk dihadapkan Vina yang terkenal dengan sikap garang nan galaknya, tidak pernah menoleransi kesalahan dan memberi kesempatan. Konon katanya kesempatan kedua itu tidak ada di kamus hidup Vina. Banyak dari mereka yang menangis setelah keluar dari ruang kramat ini.

"Jelaskan apa kesalahan kamu?" Suara tegas itu membubarkan lamunan Veny.

"S-saya membuat ranting hotel menurun, membentak OB didepan umum dan mengaku sebagai adik ibu."

"Lalu?"

"Saya hanya melakukan kesalahan itu bu, tolong jangan pecat saya," Wajah melas dengan tetesan air mata tidak akan membuat seorang Vina luluh begitu saja.

"Yakin hanya itu, kamu tau perempuan yang duduk di samping kamu itu siapa?"

Gelengan kepala yang Veny lakukan membuat Vina geram. "Kamu tidak tau dia, tapi kamu ingin mengusirnya?"

"Maaf Bu, maaf saya salah." Hanya kata maaf, maaf, dan maaf yang bisa Veny ucapkan sebagai bentuk permohonan, karena bibirnya terlalu takut nan kelu, bahkan saat ini bibirnya sedikit bergetar saat bicara.

"Bagaimana, kana?"

"Pecat," Veny menatap Kana dengan tajam, layaknya dengan tatapan matanya itu dia dapat membunuh kana detik ini juga.

"Saya sangat menyayangkan perubahan sikap kamu Veny, setelah naik jabatan sikap kamu berubah drastis, sesuai katanya kamu saya pecat silahkan keluar dari ruangan saya."

"Bu, maaf. Tolong jangan pecat saya." Veny masih memohon dia sangat menyayangkan akan perbuatannya kali ini, Veny tidak ingin di pecat begitu saja terlebih posisinya sudah cukup mapan saat ini.

"Tidak bisa, keputusan saya sudah mutlak tanpa bisa kamu ganggu gugat."

Dengan rasa kecewa Veny berdiri dari kursinya, "Terimakasih bu atas kepercayaan ibu sebelumnya "

Sebelum dia bener-bener melangkah keluar, matanya tertuju pada Kana yang masih duduk di kursi, dengan kesal tangannya terulur menjambak rambut kana.

"Veny, apa-apaan kamu ini?" Bentak Vina shok dengan perbuatan nekat yang Veny lakukan.

"Karena dia saya dipecat bu,"

"Bodoh, kamu tau siapa dia?" Bentak Vina, dengan wajah merah padam menahan tangan agar tidak menghantam.

"Nama kamu akan di blacklist dari daftar seluruh perusahaan yang ada di Indonesia. Keluar dari rungan saya." Dengan nafas memburu dan tangan terkepal. Vina kembali mengatur nafasnya agar tidak melempar Veny dengan barang yang ada di depan matanya ini. "Maafkan saya kana," Ungkap Vina penuh sesal dengan sikap Veny.

"Tidak apa-apa kamu sudah melakukan yang terbaik, Vin. Terlebih dalam kondisimu yang sedang berbadan dua saat ini, maaf jika saya membebankan kamu."

"Apaan si na, gue kerja disini. lagian gaji gue juga tinggi. So, it's okay." Jawab Vina dengan mata berkaca-kaca memeluk sahabat terbaiknya yang baru saja pulang dari Eropa.

2. Rumah Vina

Siang menjelang petang pun tiba dimana matahari telah menyembunyikan wajahnya, berganti dengan rembulan yang menyinari alam sekitar, dibantu oleh lampu-lampu putih di sepanjang jalan.

"Kana, bagaimana jika kamu tinggal denganku untuk beberapa waktu?" Usul Vina yang sudah lelah dengan sahabatnya ini, begitu banyak tawaran tempat yang bisa dia tinggali, mulai dari rumah mewah, perumahan elit, dan apartemen mewah. Semua data ada diatas meja tapi satupun tidak menarik bagi Kana. Sungguh Vina benar-benar lelah dengan sahabatnya yang satu ini, jika bukan dia bosnya mungkin sudah Vina tendang dari ruang kerjanya sejak tadi. Terlebih Kana yang seharusnya menempati ruang sebelah kini berpindah dalam satu ruang dengan Vina dengan alasan ingin menjaga Vina yang sedang hamil, sikap posesif kana tidak berubah setelah bertahun-tahun lamanya.

"Ide, bagus. Saya setuju, yuk pulang. I'm coming cava-cevi." Lihatlah sekarang, bahkan Kana yang berjalan lebih dulu meninggalkan Vina dalam ruangan. Vina tidak habis pikir dengan anak itu, dia pemilik hotel bintang ini namun tidak ingin tinggal disini. Sekedar mengindap saja dia tidak mau, padahal kamar khusus telah disiapkan untuk kedatangannya.

Ck... Insting saya menurun. Bahkan saya tidak bisa membaca jalan pikir anak tuyul satu itu. Batin Vina menjerit, tertekan batin dengan kana yang sedikit bicara namun orang lain harus bisa memahami kemauannya. Kana tidak akan mengatakan apa yang dia inginkan, namun orang lain harus bisa membaca apa yang dia butuhkan.

Dalam keheningan malam, mobil mereka melaju menembus jalanan kota yang asri dengan pepohonan di sampingnya. Penjual kaki lima ditepi jalan menambah kesan ketenangan malam dalam suasana nyaman di iringi bintang-bintang yang berhamburan di daratan dan lampu kota yang berbaris di pinggir jalan. Sungguh kota ini begitu indah di matanya.

"Bentar deh Na, kalau dipikir-pikir malah kepikiran. Gue kayaknya pengen belanja daster deh," Ide yang cerdik dan cerdas, bagaimana bisa hanya mainan Cava dan Cavi yang ada didalam mobil ini, mereka mendapatkan berbagai bentuk mainan sedangkan dirinya. Tidak mendapatkan apapun sebagai bentuk oleh-oleh Kana dari Eropa.

"Daster. Bukannya kamu tidak suka pakai daster, waktu hamil dulu saja kamu pakainya rok dan baju bukan daster." Tanya Kana yang terheran-heran dengan keinginan Vina.

"Itukan dulu, anak yang saya kandung cowok. Nah kalau sekarang diakan cewek. Jadi bedalah, Na. Kamu gimana sih?"

"Emang bisa gitu, setau saya sama aja mau cowok atau cewek yang menentukan pakaian yang ingin dipakai kan diri kamu sendiri, bukan anak yang masih dalam kandungan kamu."

"Gini ya Na, pikiran ibu hamil dan mood ibu hamil itu juga tergantung anak ini. Kalau dia nggak mau, ya nggak akan mau. Jika permintaannya tidak dituruti maka dia akan menyiksa saya dengan segala tingkah perbuatannya, mual, pusing, mood buruk dan paling parah malas beraktivitas apapun."

"Emang bisa gitu?"

"Yaa, bisalah. Makannya nikah biar tau rasanya hamil bagaimana." Diam, itulah keputusan yang tepat untuk Kana jika ada yang menyinggung tentang pernikahan padanya. Kapan dirinya menikah, adalah pertanyaan yang tidak Kana sukai. Baginya, menikah bukan hanya sekedar sebuah mainan tapi sebuah kesiapan fisik dan mental. Menikah bukan karena malu dengan umur, namun karena siap dengan resiko dan tanggung jawab yang harus dibendung.

"Turun. Pilih apapun yang kamu mau, saya yang bayar." Tutur kana membuat Vina kegirangan bukan main, lumayan bukan merasakan kembali harumnya uang kana setelah bertahun-tahun lamanya, kini dia bisa merasakan uang kana lagi.

Berbagai jenis, desain, dan motif ada dalam toko ini. Sebuah toko sederhana khusus batik yang Kana singgahi berada di pinggir jalan namun menyedikan berbagai macam batik dengan berbagai bentuk dan ukuran.

Simpel saja Kana mengambil 5 baju jenis batik yang menurutnya cocok dengan bentuk tubuhnya. Namun Vina mengambil berpuluh-puluh baju hingga memenuhi ke-3 keranjang bajunya. Inilah definisi diberi ginjal meraih hati, bahkan hanya 4 daster yang Vina ambil lalu sisanya berbagai macam baju batik yang tentunya tidak akan muat dipakai olehnya dalam kondisi saat ini yang sedang hamil 4 bulan.

Helaan nafas berhembus keluar dari hidung kana. Kana tidaklah pelit dan perhitungan, dia juga tidak pernah mempermasalahkan uang yang telah dia keluarkan untuk belanja, namun sebaliknya Kana akan sangat mempermasalahkan uang yang masuk walupun hanya selisih seratus ribu saja.

Rumah mewah tiga lantai dengan halaman rumah yang begitu luas yang di tanami bunga mawar berbagai warna, tertanam sebagai hiasan di depannya.

Pajero merah kian terparkir di bagasi mobil samping rumah dan tidak lama setelahnya, keluarlah mereka berdua dari pintu kemudi dan penumpang dengan menjinjing paper bag di kedua tangan. Begitu banyak barang yang mereka beli hingga memanggil pembantu untuk mengambil barang yang masih ada dalam bagasi.

"Hai, bro. Apa kabar bro? Baik nggak bro? Kelihatan lusuh sekali wajahmu itu bro, apa tidak di setrika oleh Vina bro?"

"Bro-Bro, saya lempar diatas genting juga kamu ya. Biar seperti burung beo dibelakang rumah. Bro... Bro... Bro..." Cibir Mufi dengan menirukan suara burung beo peliharaannya.

Dehaman Vina menggantikan perdebatan diantara Kana dan Mufi, sungguh setiap bertemu pasti akan seperti ini ada saja drama di antara mereka berdua.

"Maaf sayang dia yang mulai duluan," Mufi berjalan menghampiri Vina yang sedang membuka-buka semua jenis pakaian yang telah dia beli tadi.

"Astaga telinga saya alergi dengan suara kak Mufi, sangatlah menjijikan untuk didengar."

"Kana! Kenapa lebih banyak mainan Cava dan Cavi dari pada baju saya. Apa-apaan ini puluhan lego, sungguh saya benci benda ini begitu kecil dan menjengkelkan. Harusnya tadi saya meminta satu toko bukan beberapa helai baju seperti ini," Ujar Vina membuat Kana melonggo, bagaimana bisa puluhan baju yang dia ambil itu apa tidak nampak di matanya sehingga hanya mengatakan beberapa helai saja.

"Bisa-bisanya kamu Vin, iri dengan anak sendiri astaga."

"Lagian kamu datang jauh-jauh yang dibelikan oleh-oleh hanya Cava, Cavi. Saya sebal dan marah pokoknya," Mulai ini mode ngambeknya, kalau sudah begini akan sangat susah dikendalikan dan hanya sang suami tercinta Vina yang bisa mengatasinya. Jadi lebih baik Kana segera pergi keluar dari kandang singa, karena hawanya sudah tidak bersahabat lagi.

"Maaf Vin. Ini handphone saya, terserah kamu mau beli apa. Saya pergi dulu, kak Mufi ini istrinya diurus." Ucap Kana sebelum benar-benar pergi menjauh dari mereka berdua dan tidak lupa paper bag mainan Cava dan Cavi dia bawa di kedua tangannya. Tujuan Kana saat ini hanya satu, menuju ruang belajar mereka yang berdua di lantai dua. Sebetulnya kamar utama mereka semua ada di lantai dua, begitu juga dengan Vina dan Mufi hanya saja saat keadaan Vina sedang hamil maka mereka berdua akan tidur di lantai bawah sementara waktu, agar memudahkan Vina untuk tidak naik-turun tangga.

"Setelah ini kamu menghadap saya Kana Feo Indahlia," Lontar Mufi setelah Kana menutup pintu kamar mereka. sungguh kana merinding bukan main setelah mendengar apa yang Mufi katakan. Berhadapan empat mata dengan Mufi adalah hal yang paling Kana hindari, karena Mufi adalah seorang dr. SpKJ atau spesialis kedokteran jiwa. Sehingga akan sangat sulit bagi Kana untuk berbohong di hadapannya. Jadi saat Mufi bertanya sangat kecil peluang bagi Kana untuk tidak menjawabnya dengan jujur.

3. Kesiapan calon ibu

Anak adalah harta paling berharga dari apapun yang ada d idunia ini, anak adalah bentuk rezeki yang tidak ternilai nominalnya. Anak adalah bentuk amanah tanggung jawab dari sang pencipta untuk dijaga dan didik dengan sebaik-baiknya seiring berkembang usianya, hak-hak anak harus dipenuhi oleh kedua orang tua sebagai bentuk pertanggung jawaban dilahirkannya dia di dunia.

"Cava, Cevi. Mami datang." Teriak Kana mengalihkan fokus kedua anak laki-laki berusia 7thn yang sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Cava yang sedang membaca dengan kaca mata terpasang di kedua matanya dan Cavi yang sedang menyusun lego mainannya. Sungguh anak kembar, Mufi dan Vina sangatlah tampan dengan kulit seputih susu, badan berisi, dan mata bulat dengan netra tengah berwarna coklat.

"Mami!" Hanya Cavilah yang menghampiri dirinya, lalu memeluk kedua kaki Kana dengan erat. Sedangkan Cava, jangan harap dia akan menghampiri Kana yang baru datang lalu memeluknya. Jikapun hantu paling menyeramkan muncul di samping Cava dan dia sedang membaca, maka yang Cava lakukan hanya meliriknya saja tanpa mempedulikan hantu tersebut.

"Mami tau tidak?" Tanya Cavi dengan senyum yang tidak luntur sejak Kana memasuki ruangan itu. Sungguh senyum Cavi sangatlah candu, dengan lesung tercetak di kedua pipi tembem miliknya. Senyum yang menenangkan layaknya senyum rembulan yang bersinar terang di malam hari.

"Jumlah mainan yang mami beli ini begitu banyak, terus tadi Cavi foto buat story whatsapp dan banyak teman Cavi yang mau beli mami. Kata bunda, kita tidak boleh berlebihan dalam memiliki suatu barang, nanti kasihan orang lain yang tidak bisa membelinya, karena semua mainan sudah habis dibeli mami." Jelas Cavi pada Kana yang sedang memasang lego kecil menjadi sebuah bentuk kapal.

Kana memekikkan kedua bola matanya, sungguh jiwa-jiwa pengusaha tertanam sejak dini dalam diri Cavi dan juga jiwa kedokteran tertanam dalam diri Cava yang saat ini sedang membaca buku anatomi.

"Cavi, siapa yang mengajari kamu berjualan online?"

"Tidak ada mami, tapi Cavi melihat banyak para penjual yang meng-upload produk yang mereka jual di instagram,"

"Cavi bisa menggunakan handphone. Cavi, tau cara menggunakan instagram dari siapa?"

"Cavi diajari sama om Reza caranya main instagram dan youtube dengan baik dan benar."

"Coba lihat, mana akun instagram Cavi." Kana sungguh penasaran sekaligus kagum dengan kedua anak Vina dan Mufi, setelah hampir 2tahun tidak bertemu dan hanya bisa bicara melalui handphone membuat Kana terkejut dengan akal kepintaran mereka berdua. Terlebih dengan Cava yang pintar secara akademis.

Mata Kana di buat melotot karenanya, akun instagram bocah usia 7tahun, tapi pengikutnya jauh lebih banyak dibandingkan milik Kana, dimana tertera di layar handphone Cavi 65,7RB pengikut dan hanya 12 foto yang diunggah.

"Banyak juga ya pengikut Cavi,"

"Iya, soalnya Cavi ganteng." Jawab Cavi dengan penuh percaya diri dan ini baru duplikat asli Mufi dan Vina yang memiliki rasa percaya diri setinggi langit senja.

"Emang Cavi, ganteng?"

"Ganteng lah... "

"Emang iyah, jelek gini juga." Ejek Kana dengan mencubit dan mencium kedua pipi tembem Cavi.

"Mami, ndak boleh pegang wajah adek, ndak boleh cubit-cubit, ndak boleh bicara keras-keras, menganggu." Setelah sekian lama es kutub mulai bersuara, walau fokus matanya masih sama menghadap buku yang ada di hadapannya.

"Dengar itu, apa kata Cava." Seorang laki-laki muncul secara tiba-tiba dari balik pintu coklat setelah sekian lama dan siapa lagi kalau bukan Mufi Pratamaja Sp.KJ ayah dari mereka berdua, suami dari Vina yang berprofesi sebagai psikiater.

Suara serak itu membuat bulu kuduk Kana merinding, meremang, dan menegang. Jantung Kana berpacu begitu capat, berdetak tanpa aturan. Seperti ujian akan segera dimulai dan Kana belum menyiapkan diri.

Dibawah pantulan cahaya bulan yang nampak di dalam kolam renang dengan bintang sebagai hiasan malam. Kana dan Mufi berada di taman belakang tepat di samping kolam renang dengan secangkir teh sebagai minuman.

Menit ke detik terus berjalan, tanpa bisa dihentikan. Namun, Kana dam Mufi masih sama-sama diam engan memecah keheningan malam.

Dahaman Mufi memutus fokus pikiran kana, hingga pandangan mereka saling bertemu satu sama lain, dengan posisi yang terhalang meja bundar ditengah keberadaan mereka berdua. Kana mengerutkan dahi dengan mata menyipit menunggu kalimat yang akan Mufi keluarkan.

"Kapan menikah?" To the poin, langsung menuju inti tanpa basa-basi. Karena waktu begitu berharga hanya untuk pembukaan yang menurut Mufi tidak begitu diperlukan sebagai awal percakapan mereka.

Ekspresi wajah yang langsung berubah masam dengan senyum yang di paksakan langsung tercetak jelas pada raut wajah Kana, "Saat sudah tiba waktunya, kak."

"Dalam dunia busnis, kamu membentuk target bukan?"

"Saya akan menikah saat sudah tiba waktunya, tolong jangan pertanyakan tentang pernikahan kepada saya. Karena saya tidak memiliki jawaban pastinya."

"Oke, lalu. Apa yang kamu takutkan dalam dunia pernikahan?"

"Saya tidak takut menikah, namun saya takut dengan tanggung jawabnya. Saya seorang perempuan yang tentunya sangat dirugikan apabila rumah tangga saya hancur berantakan karena ketidak adanya pertanggung jawaban dari kami yang membentuknya."

"Jelaskan maksudnya, bagaimana?"

"Dalam pernikahan yang berperan besar dalam rumah tangga adalah perempuan. Jika di ibaratkan seorang laki-laki sebagai genting pelindung hujan dan panas lalu keindahan dan kenyamanan di dalamnya semuanya tugas perempuan. Apabila rumah tangga saya gagal bukan hanya saya sebagai korban namun anak saya juga akan mejadi korban. Saya belum siap membentuk bahtera rumah tangga, saya belum siap bertanggung jawab dengan keluarga saya nantinya, dan saya belum siap secara fisik dan mental. Mental saya masih berantakan, pikiran saya masih kacau. Saya belum siap kak!"

"Baik, tapi pernah tidak terlintas dalam pikiran kamu untuk tidak menikah?"

"Pernah, namun saya tepis pikiran itu jauh-jauh. Menjadi seorang istri dan seorang ibu adalah sebuah impian bagi perempuan. Namun, sayangnya banyak laki-laki yang tidak bisa bertanggung jawab dengan keputusan yang mereka buat sehingga membuat saya mengundurkan diri untuk tidak membuka hati. Saya hanya ingin seseorang yang bertanggung jawab dengan pilihannya, mampu memberikan kebaikan dan ketenangan hati bagi saya. Makna menikah bagi saya adalah menjalankan visi dan misi yang ada di dalamnya, dimana harus saling menjaga dan menjalankan apa yang ingin di capai bersama, sehingga menjadikan hidup lebih bermakna."

Tatapan mata lekat nan tajam dari Mufi membuat Kana gugup sekaligus bingung secara bersamaan. Entahlah Kana juga bingung dengan dirinya, karena biasanya orang lain yang menghindari tatapan mata Kana. Namun, dengan Mufi. Kanalah yang harus menghindari tatapan mata itu.

"Apa persepsi kamu tadi, saya menyimpulkan suatu hal. Apa yang kamu takutkan dari memiliki seorang anak, bukankah kamu mengatakan jika menjadi seorang ibu juga impian bagi kamu?"

"Saya takut jika saya tidak bisa memenuhi hak-hak mereka, saya takut jika anak saya tidak mendapatkan haknya. Karena saya adalah pondasi awal tumbuh kembang mereka yang membentuk kepribadiannya, bahkan sebelum mereka lahir di dunia."

"Kamu tau, apa hak-hak anak itu?"

"Iya, Kana tau kak. Saya telah membaca buku yang kakak kirimkan dulu. Tentang parenting,"

"Sebutkan hak anak itu apa saja dan jelaskan?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!