"Salwa, apa sudah ada kabar dari suami kamu?" sebuah pertanyaan melayang bebas di bibir wanita tua yang kini berada di kursi roda. Sedangkan Salwa sendiri yang saat ini tengah memasak hanya bisa menarik napas berat, sebelum menjawab pertanyaan mertuanya.
"Belum ada Mak, aku tidak tahu harus menghubungi siapa lagi, karena tidak ada yang mempunyai nomor ponsel Mas Haikal." Jawab Salwa dengan suara bergetar. Pasalnya sudah enam bulan ini suaminya tidak ada kabar, bahkan Haikal pun selama merantau ke kota belum mengirimkan uang seperti yang dikatakan waktu itu.
"Mak minta maaf ya Wa, karena tidak bisa membantu kamu untuk mencari nafkah." Mata tua itu sudah berkaca-kaca, karena tidak tahu mesti berbuat apa dengan keadaannya yang sama sekali tidak bisa digerakkan.
"Jangan berbicara seperti itu Mak, doakan saja supaya aku bisa terus mendapatkan rezeki untuk biaya makan kita dan obat untuk Emak." Dengan seulas senyuman, Salwa mencoba menghibur mak Saroh orang tua dari suaminya, yang mana telah memilih hidup dengannya. Sedangkan anak keduanya entah berada di mana karena selama bertahun-tahun tidak pernah kembali.
Meski dengan keadaan yang sulit, Salwa sama sekali tidak mengeluh perihal ekonomi yang sudah membelitnya dan tidak dipungkiri jika dirinya harus menahan rasa lapar, agar anak dan mertuanya bisa makan.
Hidup berdua dengan mertuanya dan Salwa juga hanya bisa mengandalkan pekerjaannya sebagai buruh cuci, ia juga harus terus berhemat agar uang yang ia kumpulkan bisa untuk pengobatan mak Saroh.
Sedangkan anak semata wayangnya yang ia dapatkan dari hasil pernikanya dengan Haikal, kini sudah berusia 10 tahun dan duduk di bangku kelas empat SD.
Tepat pukul 12 siang dan sebentar lagi Alfi akan pulang. Beruntung juga hari ini Salwa bisa memasak makanan enak, yakni ayam suwir kesukaan Alfi.
"Mak, kita ke dapur ya untuk makan. Sebentar lagi Alfi akan pulang dan kebetulan tadi, saat aku dapat pekerjaan saat hendak pulang diberi ayam sama Ibu Desi." Salwa terus mendorong kursi roda tersebut untuk mengajak mertuanya makan.
"Wa, sekali lagi emak minta maaf ya. Sudah terlalu banyak emak meropatkamu," ucap mak Saroh lagi-lagi dengan perasaan bersalah.
"Sudahlah Mak, jangan seperti ini. Rasanya tidak pantas jika nanti dilihat sama Alfi," balas Salwa karena lelah, jika setiap hari telinganya mendengar kata maaf dari mertuanya.
Benar saja, tidak berapa lama terdengar suara salam dari depan dan Salwa pun menimpalinya.
"Bun!" sapa Alfi sembari mengulurkan tangannya untuk meraih punggung tangan Salwa.
"Al, kamu mandi, sholat, dan setelah itu kita makan siang ya. Kasihan nenek sudah menunggu," ucap Salwa pada Alfi.
"Iya Bun." Jawab Alfi yang seketika berjalan meninggalkan Salwa yang kala itu masih berdiri, menatap kepergian Alfi.
"Lihatlah Mas, anak kamu begitu patuh pada orang tuanya. Apa kamu sedikitpun tidak memikirkan Alfi? Bahkan sudah enam bulan lebih kamu tidak ada kabar," batin Salwa dengan tatapan sendunya ia mengingat akan kata-kata yang pernah terucap di bibir Haikal.
Sesaat kemudian Salwa pergi dari ruang tamu untuk menuju ke dapur, karena tidak ingin larut dalam kesedihan. Bahkan Salwa juga tidak tahu suaminya berada di kota mana, yang ia tahu jika Haikal ingin mengadu nasib di kota J.
Setelah itu, ketiganya kini makan dengan hikmat. Tidak ada percakapan saat mereka makan, tapi terlihat jika Alfi begitu sangat lahap dengan lauk yang jarang bisa dinikmati oleh bocah kecil itu.
"Bun, akhirnya aku bisa makan ayam kesukaanku juga."
Jlepp.
Ada rasa ngilu di hati Salwa, ketika Alfi dengan gamblang mengatakan jika dia begitu menyukai ayam suwir itu.
"Doakan bunda ya Nak, supaya bunda terus mendapatkan pekerjaan agar kamu bisa sering makan dengan lauk ayam." Sekuat hati Salwa menahan sesak di hatinya dan berusaha untuk tidak menangis.
"Tentu Bunda, bahkan aku setiap hari berdoa agar Bunda punya uang banyak. Supaya bisa makan enak terus, tapi …." Alfi menggantung kalimatnya dan wajahnya tertunduk. Tadinya makan dengan lahap, sekarang Alfi tidak menyentuh makanan yang ada di piringnya.
"Nak, doakan supaya bapakmu bisa pulang dan berkumpul bersama dengan kita lagi." Salwa yang mendengar hal itu, merasa hatinya semakin tercabik oleh rasa penyesalan. Andai dirinya dulu tidak mengizinkan ketika Haikal ingin merantau. Mungkin nasibnya tidak akan seperti ini.
"Iya Nek, aku selalu doain bapak supaya cepat pulang, karena aku juga sudah kangen sama bapak." Dengan polosnya bocah berumur 10 tahun itu berucap. Sama halnya dan Alfi, Salwa juga menginginkan suaminya kembali dengan keadaan sehat tanpa kekurangan apa pun.
Hari-hari yang dilalui Salwa begitu semakin sulit. Satu tahun sudah Haikal benar-benar menghilang bagai terbawa angin hingga tidak meninggalkan jejak sama sekali.
Mak Saroh yang semakin kesusahan untuk mendapatkan perawatan karena terhalang oleh uang, harus tergantikan obat warung.
"Mak, aku minta maaf ya. Aku belum bisa memberikan pengobatan yang layak karena sulitnya mencari pekerjaan," ucap Salwa nelangsa saat melihat mertuanya kini tengah menahan sakit di kepalanya.
"Tidak Wa, ini hanya pusing biasa. Setelah emak minum obat ini pasti nanti sembuh," balas mak Saroh yang terlihat begitu sangat kesakitan. Tidak tega melihat wajah polos Salwa yang terus menerus merasa bersalah, lebih baik mak Saroh memilih untuk menahannya.
"Wa, maafkan anak emak ya, karena sudah lebih dari setahun nyatanya Haikal tak kunjung pulang dan melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami."
"Emak jangan berbicara lagi ya, lebih baik Emak istirahat supaya kembali sehat."
"Tidak Wa, mak tahu hati kamu seperti apa! Karena kita sama-sama perempuan yang punya batas kesabaran, punya batas di mana kita harus mengeluarkan isi hati kita."
Salwa tidak bisa menahan air matanya lagi dan seketika memeluk sosok yang tengah berbaring, rasa tak sanggup mulai ia rasakan ketika tidak ada satu orang pun yang menyuruhnya. Bahkan sepeser uang Salwa tidak memegangnya.
"Menangislah Nak, dengan begitu bebanmu akan berkurang."
"Jika kamu lelah, pergi dan cari kebahagiaanmu. Usah menunggu anak emak yang tak lagi mengingat kalian, mak masih sanggup di sini sendirian." Salwa makin terisak ketika dirinya diminta untuk pergi.
"Apa Emak mengusirku?" dengan wajah yang sudah dibasahi oleh air mata, Salwa berbicara meski dengan keadaan keluh.
"Emak tidak mengusirmu. Hanya saja, kamu butuh kebahagiaan dan tidak terus-menerus mengurus emak yang tak berarti apa-apa."
"Tidak Mak, sampai kapan pun aku tidak akan meninggalkan Emak. Dari kecil aku sudah hidup sebatang kara dan Emak lah orang tua bagiku meski Emak juga tidak pernah melahirkan aku. Untuk mas Haikal jangan pernah berharap padanya karena aku lelah menunggunya meski begitu aku tidak akan meninggalkannya, jika kata pisah tidak diucapkannya.
Tidak ada lagi yang mereka bicarakan sekarang, menangis tidak membuat perut kenyang. Hingga membuat Salwa harus secepatnya mencari pekerjaan agar mertuanya dan anaknya bisa makan dan mendapatkan perawatan.
"Mak, aku akan pergi. Mak lekas istirahat ya," pinta Salwa karena memang sekarang dirinya tengah membutuhkan uang. Jadi, jalan satu-satunya adalah keliling ke rumah warga untuk menawarkan bahunya. Yang mana akan mengerjakan apa pun yang bisa Salwa kerjakan.
Tepat pada saat Salwa sudah berjalan lumayan jauh. Terdengar suara seseorang tengah memanggilnya.
"Salwa! Tinggu." Sejenak Salwa menoleh karena merasa namanya dipanggil.
"Iya, Bu Nunung." Salwa yang saat ini berjalan menyusuri setiap rumah warga, kini dipertemukan dengan bu Nunung.
"Kebetulan kamu lewat, saya mau minta tolong untuk membersihkan rumah karena habis ada acara, bagaimana?"
"Alhamdulillah, mau Bu, saya mau banget." Dengan senyuman sumringah, Salwa langsung mengiyakan karena dengan begitu. Dirinya bisa membelikan obat untuk mertuanya.
"Kapan Bu, saya bisa melakukannya?" tanya Salwa dengan wajah yang begitu senang ketika sebuah pekerjaan ia dapatkan.
"Sekarang juga bisa, kok Sal."
Untuk siang ini Salwa begitu bersyukur karena Tuhan masih memberikan rezeki untuknya. Dengan langkah cepat akhirnya Salwa sampai di rumah bu Nunung dan dengan segera, ia langsung mengerjakan pekerjaan yang dijelaskan oleh pemilik rumah.
Salwa yang sudah selesai bekerja, kini pulang dengan membawa lembaran uang dan beberapa makanan untuk di bawanya pulang.
Sesampainya di rumah Alif yang menunggu Salwa pulang, kini langsung menghampiri bundanya saat wanita itu tengah memasuki pekarangan rumah sederhana yang mereka tinggali.
"Bunda!" teriak Alfi dengan mata berbinar, karena jika satu tangan dari Salwa menenteng sebuah kantung kresek dan Alfi pun bisa memastikan jika itu adalah makanan.
"Al, rupanya kamu sudah pulang?" kata Salwa dengan hati yang hancur, ketika melihat anaknya pulang. Tetapi, di dapur sama sekali tidak ada apa pun untuk dimakan.
"Iya Bun, oh iya, itu apa?" untuk memastikan saja agar hatinya tidak kecewa Alfi memilih untuk bertanya.
"Iya, ini makanan dan sekarang kita masuk untuk makan siang, ya."
"Bunda kenapa tadi tidak masak, apa Bunda–."
"Tidak Sayang, tadi bunda buru-buru karena ada tetangga yang meminta tolong. Makanya bunda tidak sempat buat masak," ucap Salwa menjelaskan meski dengan berbohong.
"Ya sudah, yuk!" ajak Salwa.
Alfi sudah membawa beberapa kantung kresek yang di bawa oleh Salwa tadi, tanpa terasa tiba-tiba matanya mengeluarkan air mata yang kini sudah bercucuran, setelah Alfi membawa apa yang didapatkannya tadi.
"Apa kamu memang sudah melupakan aku Mas? Ada setitik rasa kecewaku padamu, tapi aku berusaha untuk tetap bertahan meski semua telah menguras hati dan pikiranku." Salwa hanya mampu membatin, karena tidak mau jika mertuanya akan semakin merasa bersalah, ketika hatinya rapuh dan sekarang tidak tahu harus bersandar pada siapa.
"Bunda!" Mendengar suara Alfi yang sedang memanggil, membuat Salwa buru-buru mengusap air matanya karena tidak mau anaknya sampai melihat.
"Iya Sayang, sebentar!" timpal Salwa dan ia pun segera berjalan menyusul Alif yang ada di dapur.
Malam hari, ketika Alfi sudah terlelap. Nyatanya Salwa masih terjaga. Sedangkan sekarang sudah pukul 22:00 WIB, tapi matanya sama sekali bisa dipejamkan.
Resah yang selalu menghantui, membuat Salwa ingin membuang rasa itu dengan cara memandangi Alif, dengan wajah sendunya Salwa terus mengelus lembut wajah anak lelakinya, hingga beberapa ciuman ia berikan pada sang penyemangat hidup.
"Maafkan bunda Nak, selama ini kamu belum merasakan kebahagiaan karena keterbatasan bunda dalam pencari nafkah." Salwa membisikkan secarik kalimat pada Alif, berharap suatu hari anaknya akan menjadi orang yang berhasil, tidak seperti dirinya serba kekurangan.
Setelah puas memandangi putranya itu, kini Salwa merasakan kantuk dan dalam sekejap ia pun terlelap lalu membawa raganya ke alam mimpi.
Di lain tempat.
Keesokan paginya, di mana seorang wanita telah menyiapkan secangkir kopi untuk suaminya, yang siap untuk bekerja. Namun, sebelum itu lelaki yang bernama Putra ingin menikmati sajian di atas meja. Olahan yang dibuat oleh sang istri bernama Almira.
"Mas, kopinya." Almira atau yang biasa di sapa Mira, tengah memberikan secangkir kopi pesanan Putra.
"Terima kasih istriku," ucap Putra pada Mira dengan suara manjanya.
"Pagi-pagi jangan ngegombal," balas Mira dengan melirik sekilas.
"Memangnya aku tidak boleh memuji istriku yang cantik ini, itu cuma bentuk terima kasih saja." Dengan mengedipkan satu matanya, Putra berujar.
"Sudahlah, jangan menggodaku terus. Sekarang kamu makan itu roti bakar dan jangan lupa kopinya, karena aku mau ke dapur dulu." Terlihat harmonis bukan, ketika pasangan suami istri itu saling melempar candaan di usia pernikahannya yang akan menginjak satu tahun itu.
Lelaki yang bernama Putra itu, merasa puas dengan hasil yang ia dapatkan selama ini. Perjuangannya sudah membuahkan hasil tanpa harus bersusah payah, ketika seseorang menawarkan pekerjaan sekaligus menjadi suami dari pemilik perusahaan, di mana dirinya pernah bekerja menjadi bawahan setahun lalu.
"Lihatlah wahai dunia, aku bisa menaklukan hati seorang wanita dengan bonus kekayaan. Semua itu terasa mudah jika alam menghendaki," batin Putra dengan bangga, karena berhasil meraih hati seseorang wanita kaya raya hingga sekarang dirinyalah yang menjadi bosnya.
Di kursi yang telah menjadi tempat singgah sananya. Putra dengan bangganya menjadi seorang bos. Di mana Mira memutuskan untuk berhenti bekerja karena kehamilannya yang begitu menganggu aktifitasnya.
Saat Putra tengah menikmati hari-harinya. Sebuah ketukan membuatnya harus bisa menunjukkan wibawanya pada semua orang.
"Masuk saja," sahut Putra dari dalam.
Setelah ia menimpali, tidak ada ketukan karena pintu itu sudah dibuka oleh lelaki dengan membawa setumpuk berkas.
"Ada apa?" tanya Putra dengan suara tegasnya.
"Ini pak, ada yang perlu Bapak cek dan setelah itu saya minta tanda tangan Bapak juga." Seketika Putra melotot saat melihat tumpukan berkas yang ada di mejanya.
"Baik, sekarang kamu boleh pergi." Lelaki tersebut langsung keluar dengan meninggalkan setumpuk berkas di depan Putra.
"Kenapa bisa sebanyak ini, apa mereka kira tanganku ini robot." Putra menggerutu sambil membuka lembar demi lembar, hingga tanpa terasa matanya yang berat. Hingga bersandar di kursi dengan keadaan mata terpejam.
Di balik itu, Mira yang kini sudah di depan ruangan dan dibuat tercengang kala melihat Putra begitu sangat pulas.
"Kasihan suamiku, sampai tertidur hanya karena kecapean." Mira bergumam seraya masuk secara perlahan agar tidak mengganggu suaminya yang sudah terlelap.
Yah, kedatangan Mira untuk mengantarkan ponsel suaminya, yang lupa di bawa dan meninggalkannya begitu saja. Hingga membuat Mira datang ke kantor hanya untuk memberikan benda pipih tersebut, tapi sayangnya yang punya ponsel justru sekarang sedang menikmati alam mimpi.
𝘗𝘶𝘢𝘴 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶 𝘬𝘦𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯𝘮𝘶, 𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘪𝘴𝘢𝘩 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘪 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭 𝘮𝘦𝘮𝘰𝘳𝘪. 𝘊𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘭𝘶 𝘢𝘥𝘢, 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭 𝘣𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨-𝘣𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨, 𝘮𝘶𝘯𝘨𝘬𝘪𝘯𝘬𝘢𝘩 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘶 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢, 𝘩𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢 𝘬𝘢𝘶 𝘣𝘪𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘦𝘳𝘴𝘪𝘬𝘴𝘢.
…….
Mira menatap Putra dengan senyuman yang mengembang di sudut bibirnya. Mira juga begitu bahagia setelah menyakinkan sang paman jika Putra adalah lelaki yang baik serta bertanggung jawab. Kenyataannya bukti ada di depan mata yang mana lelakinya itu tengah terlelap dengan setumpuk berkas.
"Sebaiknya aku meletakkan di sini karena kasihan jika aku membangunkannya," gumam Mira dan setelah itu. Wanita yang kini tengah mengandung dengan usia empat bulan pergi, lalu kembali ke rumahnya di rasa sudah tidak ada lagi urusan.
Di lain tempat.
Pukul delapan malam di rumah sakit, Salwa yang kini tengah termenung menatap ke arah langit-langit. Di mana dirinya dibuat bingung harus mencari uang ke mana lagi dan rasa lelah serta ingin menyerah telah menghantuinya.
"Ya Allah, ke mana lagi hamba harus mencari uang. Sedangkan sudah seharian ke sana-kemari tidak juga aku mendapatkan," gumam Salwa dengan linangan air mata dengan terus mengelus lembut rambut Alfi, yang kini tertidur di pangkuannya karena sama sekali tidak ada sanak saudara untuk dimintai bantuan.
Salwa, masih terus memikirkan cara agar bisa melunasi biaya yang harus ia bayar di rumah sakit, dengan nominal yang cukup lumayan besar menurutnya, karena ia juga bukan berasal dari orang mampu.
Pusing yang melanda tidak dirasakan lagi karena telah dipenuhi bayang-bayang biaya rumah sakit. Di mana mak Saroh di rawat karena kemarin sempat drop. 10 juta, uang yang harus dibayarkan dan jika tidak maka mak Saroh harus keluar dari rumah sakit. Apa Salwa akan setega itu? Tidak, wanita itu masih memiliki hati nurani untuk membuat mertuanya sehat kembali, meski hanya 50 persen.
Di sandaran tembok, Salwa terus bergelut dengan pikirannya yang begitu kacau. Air mata seakan tidak ada habisnya dan terus menemani hari-harinya.
"Jika akhirnya hati dan jiwaku kamu hancurkan, harusnya kamu tak pernah singgah di hidupku Mas, cintamu telah membuatku tersiksa. Entah sampai kapan hati ini sanggup untuk melawan waktu, dengan kepergianmu mengiringi kekecewaanku." Dalam hati Salwa meraung dengan rasa nelangsa yang ia miliki saat ini.
Merasa kasihan dengan Alfi, akhirnya Salwa mengangkat tubuh mungil anaknya, lalu membawanya ke tempat di mana ia akan tidur dengan alas tikar.
Sejenak Salwa menatap wajah tua yang tak berdaya itu. Menatap lekat dengan sejuta doa, agar Tuhan memberikan kesembuhan pada sosok wanita yang selalu menyayanginya, meski keduanya tidak ada ikatan darah.
Malam semakin larut dan waktu begitu cepat, tapi Salwa sama sekali tidak bisa memejamkan matanya hingga. Suara adzan berkumandang dan perempuan itu pun masih terjaga.
Keesokan paginya.
"Bu, bagaimana dengan administrasi?" tanya seorang suster pada Salwa.
"Baik sus, kasih saya waktu dan saya berjanji akan membayar semua tagihannya." Jawab Salwa dengan suara lirihnya.
"Baik Bu, mohon kerja samanya." Suster itu tersenyum lalu pergi, setelah melihat keadaan pasien dan tanpa di sadari bahwa di dalam mak Saroh mendengarkan percakapan, antara Salwa dan seorang suster di luar.
"Ya Robb, aku harus mendapatkan uang di mana lagi." Di ujung kegelisahan Salwa bergumam dan setelah itu ia masuk untuk melihat keadaan mak Saroh.
Salwa yang melihat mak Saroh langsung menawari sarapan, agar bisa segera minum obat.
"Mak, aku suapi, ya!" ucap Salwa dengan satu tangan mengangkat mangkuk berisikan bubur.
"Salwa, jual rumah agar bisa membayar rumah sakit ini!" perintah mak Saroh.
"Mak sarapan ya, mumpung ini bubur masih hangat." Salwa sengaja mengalihkan pembicaraan, agar orang tua iru tidak ikut campur untuk urusan biaya.
"Salwa, jangan mengalihkan pembicaraan–."
"Mak, jangan ikut memikirkan yang tak perlu Emak pikirkan. Biarkan aku yang mencarinya," ucap Salwa dengan nada sedikit tinggi.
"Wa, kamu mau cari uang di mana. Mak tidak butuh rumah karena pada kenyataannya emak akan pergi," kata mak Saroh dengan wajah yang tak biasa.
"Rumah itu bukan milikku Mak, apakah pantas aku menjualnya hanya karena tidak mampu membayar biaya rumah sakit ini!" ucap Salwa dengan hati yang ngilu.
"Mak tidak butuh pernyataan seperti itu, karena kamu akan membutuhkan uang hasil penjulannya." Keduanya masih besitegang karena Salwa menolak untuk menjual rumah satu-satunya sebagai tempat berteduh.
"Mak, jikapun rumah itu dijual. Lantas kita mau tinggal di mana?" tanya Salwa akhirnya mengatakan alasan mengapa menolak.
"Itu urusan belakang, yang terpenting sekarang kamu bisa membayar biaya rumah sakit yang semakin membengkak."
Benar apa yang dikatakan oleh mertuanya, 10 juta itu hanya yang terlihat dan tidak untuk yang belum masuk rincian. Semuanya masih membuat bingung, karena setelah rumah itu laku. Lantas mereka akan tinggal di mana?
"Jangan memikirkan yang belum kita jalani." Mak Saroh sepertinya tengah mengajak bernegosiasi.
Sekarang pulanglah dan segera jual rumah itu, karena mak ingin istirahat." Dengan wajah terlukis sebuah senyuman mak Saroh pun berkata.
"Mak, tapi Emak belum makan!" kata Salwa yang tak ingin meninggalkan mertuanya saat ini.
"Nanti jika mak lapar akan makan, untuk sekarang segera jualah dan sisanya entah mau dikemanakan terserah kamu." Dengan sedikit tidak tega, Salwa mengangguk dan dengan langkah lemah ia pun pergi dari rumah sakit ini.
Tidak membutuhkan waktu lama, Salwa pun sudah sampai di rumah lalu menuju kamar mak Saroh untuk mengambil sertifikat rumah tersebut, karena Salwa akan membawanya pada rentenir yang ada di desanya kini.
Setelah itu.
"Memangnya rumah itu mau kamu gadai berapa?" tanya wanita yang kini tengah berdiri dengan menyilangkan kedua tangannya.
"Saya hanya butuh 30 juta untuk biaya rumah sakit, karena saya tidak tahu lagi harus mencari ke mana." Jawab Salwa dengan gemetar. Baginya pantang berurusan dengan lintah darat, tapi lagi-lagi keadaan yang memaksanya untuk melakukan hal ini.
"Baiklah, saya akan memberikan dan ingat. Kalau sampai kamu tidak mampu membayar maka, rumah itu akan saya sita."
"Insya Allah saya akan menebusnya." Dengan dada yang berdebar Salwa berkata. Setelah uang 30 juta berada di tangannya. Ia pun kembali ke rumah sekaligus menunggu putranya pulang dari sekolah.
Masih kurang 30 menit lagi Alfi akan pulang, tapi saat Salwa ingin memejamkan matanya sebentar karena panas serta sedikit merasa pusing, harus gugur karena ponselnya tiba-tiba berbunyi.
"📲Apa!" Syok tentu, ketika pihak rumah sakit menghubunginya dan belum sempat bertanya apa pun.
"📲Baik, saya akan segera ke sana."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!