"Haruskah, tangan yang bicara
Setiap kali amarahmu bergelora
Tidak bisakah, mulut menguntai frasa
Meski salah diri setinggi pucuk cemara."
"Plak!"
"Plak!"
Dua tamparan keras mendarat di wajah putih Laura. Saking kerasnya tamparan itu, Laura terhuyung dan tubuhnya terjengkang jatuh ke atas sofa. Tanda merah nampak jelas tergambar di pipi itu
Laura menatap suaminya, Andre, dengan tatapan bingung sekaligus kaget. Kenapa suaminya menampar pipinya tanpa basa-basi? Kenapa pula suaminya pulang tiba-tiba, padahal baru beberapa jam setelah pergi.
"Ada apa bang? Kenapa abang tiba-tiba menamparku?" ringis Laura sembari mengusap pipinya.
Laura mencoba bangkit dari sofa. Tapi dia terduduk kembali karena merasakan pusing yang tiba-tiba mendera kepalanya.
Dengan pandangan yang berkunang, Laura melihat ibu mertuanya dan adik iparnya berdiri dibelakang Andre, dengan senyum licik, yang membuat Laura jijik. Pasti ibu mertua dan adik iparnya ada dibalik semua ini, seperti yang sudah-sudah.
Andre, suami Laura, kerap ringan tangan bila ada sesuatu masalah atau sikap Laura ada yang tidak berkenan di hatinya.
"Ada apa kamu bilang? Kamu masih bertanya-tanya?" sentak Andre murka.
Masih mengusap pipinya yang terasa panas. Laura, melontarkan tatapan penuh tanya.
"Kamu lihat ini!" Andre melemparkan secarik kertas kecil tanda transfer sejumlah uang, yang tertera ke nomor rekening ibu Laura.
Laura heran, bagaimana kertas itu bisa berada di tangan suaminya?
"Masih mau berkelit juga?" tatap Andre dengan kilatan tajam.
Laura, bungkam. Dia benar-benar bingung, kenapa kertas kecil itu bisa jatuh ketangan mertuanya. Sehingga mertuanya mengadu kepada suaminya.
"Maaf, bang. Ibu butuh uang, jadi saya mengirim uang untuk ibu?"
"Tuh, kan, ngaku juga," ucap Bu Maya dengan nada menggas.
"Kenapa kamu tidak minta ijin saya dulu. Aku 'kan suami kamu!"
Laura makin diam , dia tau apa yang telah dia lakukan itu salah. Karena diam-diam mengirim uang ke ibunya tanpa seijin suaminya.
Tapi, meminta ijin pun belum tentu dibolehkan. Lagi pula uang itu adalah uangnya sendiri. Hasil dari menulis novel secara diam-diam. Jadi menurutnya tidak akan ada yang tau hal itu.
Tapi sungguh sial, tanda bukti itu, kok bisa jatuh ketangan mertuanya.
"Kenapa kamu diam?"
"Apakah, Abang akan memberi ijin? Lagian, uang itu adalah uangku."
"Apa? Uang kamu? Ngaca dulu! Dari mana kamu dapat uang sebanyak itu, hah! Pastinya juga hasil dari mencuri uangku!"
"Cukup, Bang! Cukup! Kamu sudah sangat keterlaluan. Menuduh aku mencuri." Buliran air mata sudah mulai merebak di kedua netra, Laura, tapi masih berusaha dia tahan agar tidak menganak sungai.
"Hem, istri macam apa dulu, jika suka mencuri uang suami," sindir Bu Maya
"Cukup! Bu. Aku tidak pernah melakukan itu.Justru ibu yang jadi pencuri karena Ibulah yang mengendalikan uang di rumah ini."
Bu Maya melotot mendengar ucapan menantunya.
"Jangan kurang ajar kamu, ya!" Bu Maya hendak menampar Laura, tapi dicegah oleh Andre.
"Andre, istrimu itu sudah sangat kurang ajar pada ibumu. Bagaimana kamu bisa diam saja!"
Laura sangat kaget saat Mertuanya hendak menamparnya. Meskipun dilerai, Andre. Tapi perlakuan mertuanya sudah sangat berlebihan.
"Laura, kapan kamu ambil uang itu?"
"Memang abang ada kehilangan, uang?" Laura balik bertanya dengan tenang. Tatapannya dingin, menghunus.
"Lalu kamu dapat dari mana?"
"Itu urusanku, abang tidak perlu pusing memikirkan soal itu."
"Palingan juga, hasil melac***," timpal Luna tiba-tiba. Membuat mata Andre dan Bu Maya melotot.
"Jaga mulutmu, Luna! Kamu masih anak kecil jangan turut campur!" hentak Andre garang. Membuat nyali Luna mengkerut.
"Kamu ngutang ke orang lain, ya. Jangan membuatku malu, Laura!"
Laura diam, tak menyahut lagi. Dia sudah muak dengan perlakuan suami dan ibu mertuanya serta adik iparnya, yang selalu memperlakukannya seperti budak saja dirumahnya sendiri.
"Kamu, makin kurang ajar, ya. Tidak menghargai suami sendiri!" Andre sudah mengangkat tangannya bersiap hendak menampar lagi wajah Laura.
Namun, tangannya menggantung di udara, saat melihat tatapan istrinya yang sedingin salju. Wajahnya menantang, tidak menunduk atau hendak menghindar dari tangan kasar Andre.
"Memang dasar! Istri tidak tau diri!" umpat Bu Maya, saat melihat reaksi Laura dengan tatapan dinginnya.
Perlahan Andre menurunkan tangannya, dan berbalik cepat menghindari mata Laura.
"Oke, aku tidak akan mencampuri urusanmu, tapi dari mana kau peroleh uang itu?",,ucap Andre lirih.
"Uang itu adalah gaji pertama aku, menulis novel online," sahut Laura datar.
"Novel online?" jawaban serempak keluar dari mulut Andre, Luna dan Maya. Ketiganya saling menatap.
"Lantas, kenapa uang itu kau berikan pada ibumu saja. Seharusnya keluarga ini yang lebih kau utamakan," sindir Maya.
"Ibu, serakah sekali. Setelah menguasai uang suamiku, ibu mau mengambil uangku juga," ucap Laura datar. Namun matanya menatap tajam pada mertuanya. Bu Maya, bungkam dengan wajah memerah. Baginya ucapan menantunya itu memang benar adanya.
"Sudah! Masalah ini aku anggap selesai. Aku mau balik ke Kafe. Lain kali kalau ibu mengadu, cari dulu sumbernya yang jelas." Andre, melangkah pergi, meninggalkan istri dan ibunya.
Tadi, ibunya menelepon kalau istrinya telah mengirimkan sejumlah uang secara diam-diam ke orang tua Laura. Awalnya, Andre tidak percaya. Bagaimana istrinya bisa memiliki uang untuk dia kirimkan pada orang tuanya.
Sementara yang memegang uang selama ini adalah ibunya. Sejak ibunya tinggal bersama mereka, ibunyalah yang memegang kendali atas keuangan rumah tangganya.
Ibunya selalu bercerita kalau istrinya itu sangat boros, tidak pandai menggunakan uang. Bertepatan dengan kelahiran putranya, Bobby, ibunya lah yang memegang uang.
Istrinya yang awalnya protes, tapi pada akhirnya diam saja. Entah setuju atau tidak, tapi Laura pernah memperjuangkan haknya itu. Hanya saja dirinya sebagai suami Laura tak menggubrisnya.
"Sudah, biar sajalah ibu yang pegang uang dan mengurus keperluan di rumah ini. Toh, dia ibuku, tidak mungkin menelantarkan keluarga ini."
"Tapi, Bang, aku 'kan istri kamu. Masak ibu yang pegang semua uang di rumah ini.Kalau abang memang mau ngasih jatah sama ibu, silahkan. Tapi jatah untuk aku dan Bobby juga harus abang kasih."
"Apa salahnya sih, ibu yang pegang. Kalau ada hal yang perlu tinggal minta sama ibu, beres 'kan?"
"Tapi, bang!" protes Laura waktu itu. Tapi Andre tetap ngotot, sengotot mertuanya yang ingin tetap memegang kendali atas keuangan keluarga mereka.
Entah, Andre mengetahui atau tidak. Bu Maya tidak pernah mau memberikan uang sekedar pegangan untuk Laura.
Memang sih, untuk urusan dapur dan kebutuhan sehar-hari semua di penuhi. Susu untuk kebutuhan anaknya juga selalu ready.
Namun, Laura tidak pernah pegang uang sepersen pun. Bila ada kebutuhan mendadak harus minta dulu pada mertuanya dan ujung-ujungnya bikin nyesek hati. Pastinya, rayuan pulau kelapa berubah jadi omelan sepanjang jalan kenangan.
Laura tetap diam, agar tidak terjadi keributan dalam rumah tangganya. Untuk bekerja diluar rumah, Laura tidak tega karena Bobby masih kecil.
Akhirnya Laura mendapat ide, karena kesukaannya membaca novel, Laura pun mencoba menulis novel secara online dan mengirimnya ke sebuah platform.
Entah karena nasib baik atau memang sudah rejekinya. Secara perlahan, tulisan Laura makin disukai banyak pembaca. Hingga dia bisa mengirim uang ke ibunya. Juga, masih memiliki sedikit tabungan.*****
"Jangan tanam luka dihatiku, karena buahnya akan sangat menyakitkan.
Bila hati telah melafazkan rasa sakit
Itu akan kembali padamu, disuatu saat nanti."
Laura sedang menyuci baju Bobby, yang kena tumpahan air susu, saat memberikan putranya minum susu. Laura takut, semut akan mengerubungi pakaian itu. Makanya dia cuci langsung.
Saat Laura merendam sepasang baju itu, Luna datang ke tempat menyuci di samping rumah. Membawa setumpuk kain kotornya dan lansung meletakkan pakaian itu di dalam ember tempat Laura merendam pakaian, Bobby.
"Apa-apaan kamu, Luna?"
"Yah! Menambah cucian kakak," ucapnya enteng tanpa beban.
"Maksudmu, kakak yang mau menyuci pakaian kamu ini? Dasar tidak sopan!" gerutu Laura kesal.
"Lha, iyalah. Kakak 'kan pas nyuci jadi sekalian ajalah nyuci baju kotor aku."
"Kurang ajar kamu, ya. Kamu pikir kakak pembantumu di rumah ini. Urusan baju kotormu juga gak bisa kamu urus." hardik Laura.
Keributan kecil disamping ternyata kedengaran sampai ke dalam rumah. Bu Maya yang sedang mengambil air dingin di kulkas langsung berjalan menuju teras samping tempat menyuci.
"Ada apa, siang-siang begini udah ribut. Tidak malu apa didengar tetangga!" ucap Bu Maya tajam.
"Luna cuma minta tolong, Ma, sama kak Laura, menyuci baju kotor aku. Aku lagi banyak pr dan harus siap besok, tapi kak Laura tidak mau dan marah-marah," adu Luna. Merasa beruntung atas kedatangan ibunya.
"Ya, ampun Laura, perkara kecil itu aja kenapa mesti ribut. Apa salahnya kamu penuhi permintaan adikmu. Cuma nyuci baju sedikit aja udah protes. Suara kamu sampai kedengaran seisi komplek ini." tanpa merinci kebenaran aduan Luna, Bu Maya langsung mencak-mencak, mana pakai berkacak pinggang segala.
Laura menarik napas panjang, melihat ulah adik ipar dan ibu mertuanya.
Perkara kecil kata ibu mertuanya? Hal ini sudah berulang kali terjadi. Semakin hari Luna makin ngelunjak saja. Anak manja yang seharus lebih tahu diri menempatkan dirirnya.
Mereka numpang selama ini di rumahnya, tapi bersikap seolah yang empunya rumah. Tidak ibu mertuanya, adik iparnya juga ikutan bertingkah. Dibiarkan terus, Luna bisa akan bertindak lebih tak sopan lagi.
"Tidak bisa, Bu. Kali ini Luna sudah keterlaluan. Dia sudah sepantasnya bisa mengurus milik pribadinya."
Bola mata Bu Maya langsung terloncat mendengar jawaban Laura yang diluar dugaannya.
"Beraninya kamu ngomong begitu sekarang, ya! Apa kamu lupa, Luna itu adiknya Andre putra saya. Mestinya kamu yang tau diri, kalau kamu itu cuma orang lain!"
Laura hanya bisa mengelus dadanya. Ibu mertuanya terlalu memanjakan adik iparnya. Sehingga suka bertindak sesukanya.
Belum lagi sikapnya yang tidak punya etika. Dirinya dianggap seolah babu dirumahnya sendiri. Protes sedikit saja, ibu mertuanya akan marah. Bila mengadu pada suaminya, tanggapannya juga sama seperti ibu mertuanya.
Bahkan, lebih marah lagi, dari ibu mertuanya.
Jadi, diam adalah solusi terbaik. Tapi sampai kapan dia bisa diam terus, menerima perlakuan suami dan mertua serta adik iparnya.
Mertuanya dari hari kehari, makin leluasa menindasnya.
"Maaf, Bu. Untuk kali ini, Laura tidak bisa." Buru-buru Laura, meninggalkan ibu mertua dan adik iparnya.
Tapi ibu mertua, menjegal langkah, Laura. Sehingga Laura jatuh terduduk.
"Ibu, jahat!" beliak Laura, dia berdiri sambil mengusap pantatnya. Bu Maya tersenyum puas. Berbalik meninggalkan Laura. Tapi, Bu Maya kesandung kakinya sendiri, sehingga jatuh kejengkang.
"Itu balasan perlakuan Ibu, sama saya. Langsung bayar tunai." Laura melengos pergi. Luna bergegas menolong ibunya.
Bu Maya merasa tertampar dengan ucapan, Laura.
Hampir lima tahun mereka tinggal di rumah ini, baru kali ini Laura berani berucap kasar. Alih-alih menolongnya, malah pergi begitu saja.
Laura, masuk kekamarnya melihat Bobby. Tadi, Laura meninggalkan putranya di kamar, bersama suaminya yang kurang enak badan.
Baru lagi hendak membuka pintu, ibu mertuanya sudah menyusulnya. Laura segera menjauhi pintu. Takut suaminya akan terbangun yang akan memicu pertengkaran di rumah ini.
Sepertinya ibu mertuanya masih kesal, nampak dari raut wajahnya.
"Laura!"
Mau apalagi sih, ibu mertua ini? Monolog hati Laura.
"Plak!" sebuah tamparan tepat mendarat di pipi, Laura. "Itu, balasan akibat mulutmu tidak sopan, pada Ibu."
Laura mengusap pipinya yang terasa panas. Kali ini, kesabarannya sudah melewati batas.
"Sungguh, ibu sangat keterlaluan sekali!
Sekarang juga, Ibu pergi dari rumah ini!" teriak Laura lantang.
"Apa, hah! Kamu mau mengusir ibu, ya?Beraninya kamu!"
"Karena ini adalah rumahku!"
"Andre itu anak ibu.Ibulah yang telah bersusah payah melahirkan dan merawatnya sampai dewasa. Jadi, kamu adalah orang lain yang kebetulan jadi istri, Andre. Jadi kamu tidak berhak mengusir ibu dari rumah ini."
Laura tidak menyahuti lagi ucapan ibu mertuanya. Percuma saja, ibu mertuanya merasa paling benar dan tidak mau kalah.
"Maksud ucapanmu itu, apa. Menyuruh ibu diam saja, sementara kamu bertingkah seenaknya gitu?" Bu Maya, masih meradang. Dia benar- benar kesal akan ancaman Laura yang hendak mengusirnya dari rumah. Meski dia tau kalau rumah ini memang atas nama, Laura.
Karena, orang-tuanya yang telah membangun rumah ini, juga yang memodali usaha kafe anaknya dulu. Tapi Bu Maya tidak ingin terlihat lemah dihadapan menantunya, apalagi sampai ketakutan akibat ancaman itu.
"Laura tidak pernah bertingkah selama ini. Ibu dan Luna yang selalu bikin kacau. Menghasut Laura dengan bang Andre." Laura masih berusaha menjelaskan agar ibu mertuanya bisa menarik benang merah.
"Tentu saja, ibu mengadukan kamu ke Andre. Dia 'kan anak ibu. Dan saya ibunya. Sudah sejak lama ibu tidak menyukaimu. Bahkan pernikahan kalian tidak pernah ibu restui. Kamu itu istri pembawa sial. Tidak seharusnya kamu masuk dalam keluarga kami."
"Ibu! Ibu jahat sekali bicara seperti itu. Ibu tidak menghargai perasaan aku sebagai menantu ibu," ucap Laura tercekat.
Ada yang berdarah, jauh dilubuk hatinya. Luka yang tidak pernah mengering. Yang ditoreh tiap hari oleh ibu mertua, suami dan adik iparnya.
"Makanya kamu, tau diri! Jangan asal nyerocos. Mau sok-sokan mengusir ibu dari rumah ini. Bisanya malah kamu yang akan kena usir."
"Ada apa ribut-ribut, berisik tau. Mengganggu tidur orang saja," ucap Andre yang tiba-tiba sudah berdiri di pintu kamar.
"Istrimu ini Andre bersikap tidak sopan sama, Ibu. Dia mau mengusir ibu dan Luna dari rumah ini. Karena rumah ini adalah rumah pemberian ayahnya. Kami tidak punya hak untuk tinggal disini!" Adu Bu Maya pada Andre.
"Beraninya kamu bicara seperti itu pada ibuku!" bentak Andre.
"Abang jangan dengar dari satu pihak saja. Bersikaplah adil antara aku dan ibu juga Luna." ucap Laura terpancing emosi. Karena lagi-lagi Andre selalu membela ibu dan adiknya. Tanpa pernah menelaah lebih dulu siapa yang salah. Siapa yang selalu cari keributan
"Kamu lihat sendiri 'kan, Andre. Kalau istri kamu itu, sudah tidak punya adab. Bicara seenaknya,sama sekali tidak ada hormatnya sama orang tua." ucap Bu Maya memanasi
Laura menatap suami dan Ibu mertuanya bergantian, keduanya ibarat monster yang akan siap menelannya setiap saat.
Meluluh lantakkan hidupnya, dalam sekejap. Dia merasa dirinya sudah tidak punya arti apa-apa lagi di rumah ini. Suami dan ibu mertuanya setali tiga uang memperlakukannya. *****
"Jika cinta bagimu hanya sebatas kamu butuh. Alangkah munafiknya saat kau menoreh tinta emas dihati yang lain.
Entah, untuk alasan apapun, jiwamu telah mati sejak hari itu."
Masih cukup pagi untuk menerima, kedatangan tamu di hari ini. Jika hanya mau sekedar bertandang. Di saat Laura tengah sibuk berkutat di dapur dengan alat tempur masaknya. Tiba-tiba bel berdering.
"Siapa, tamu pagi-pagi begini?" batin Laura seraya melepas celemeknya. Lalu mematikan kompor. Karena dia hendak menggoreng ikan, jadi terpaksa dia matikan. Mana ibu mertua atau Luna tidak mendengar jeritan bel yang berulang ditekan.
"Iya, sebentar," sahut Laura dengan langkah tergopoh.
Klik....
Suara pintu terbuka. Laura kaget saat melihat seraut wajah asing dihadapannya.
"Anda siapa?" tanya Laura kaget sekaligus heran.
"Apa benar ini rumah Andre, atau Ibu Maya?" tamu wanita itu bertanya dengan sedikit angkuh.
"Ya, benar. Anda siapa dan dari mana?"
"Apa Bu Maya, ada?" sang tamu mengabaikan pertanyaan, Laura. Seraya memanjangkan lehernya untuk menjangkau suasana dalam rumah, karena pandangannya terhalang tubuh, Laura.
Laura, menatap tamunya dari ujung kaki hingga kepala. Sikap tamu itu sungguh tak sopan, bertamu ke rumahnya. Sepertinya dia sudah kenal betul dan akrab denga ibu mertuanya. Apakah tamu ini kerabat dari mertuanya?
"Aku tidak ada urusan dengan kamu, aku hanya mau bertemu Andre dan Bu Maya!"
"Saya istri Andre," ucap Laura. Berharap tamu itu akan beubah sikap.
Wajah sang tamu berubah masam. Sikap angkuhnya masih bertahan setelah mendengar ucapan Laura.
"Laura, kamu ngapain disana. Siapa yang datang, pagi-pagi begini?" teriak Bu Maya dari dalam rumah.
Mendengar suara Bu Maya, sang tamu langsung menyahut.
"Tante, saya Irina!" Bu Maya terkejut mendengar teriakan itu. Irina adalah mantan pacar Andre, yang sengaja ia undang untuk datang ke rumahnya. Hendak membalas menantunya itu.
"Kamu Irina, mari masuk. Laura, kenapa tamu istimewa kita kau biarkan berdiri di depan pintu." Bu Maya mendorong Laura supaya menyingkir dari pintu, lalu menarik tangan Irina supaya masuk ke rumah.
"Apa khabar, Irina. Tante kangen banget sama kamu. Mari masuk." sambut Bu Maya dengan hangat. Tidak peduli dengan tatapan heran Laura.
"Laura, ngapain kamu masih berdiri di situ, ayo buatkan minum untuk tamu ibu." Laura, memilin jemarinya, saat melihat sikap mertuanya menyambut tamu yang menurutnya sangat tidak beretika itu.
Namun, Laura tidak berani protes. Laura hanya diam dan bergegas ke dapur. Untuk membuatkan minuman untuk tamu mertuanya. Laura mengambil tempat gula, ternyata stoplesnya sudah hampir kosong. Palingan cukup untuk dua orang saja.
Laura bingung saat hendak menyeduh teh manis. Apakah dia cuma menyeduh untuk dua orang saja. Bagaimana kalau nanti kalau suaminya ikut nimbrung. Gak mungkin tidak membuatkannya juga minuman.
Laura mengintip dari balik gorden pemisah ruang antara ruang tamu dan dapur. Alangkah kagetnya, Laura saat melihat suaminya memeluk Irina, akrab sekali.
Melihat adegan itu, Laura melongo. Sungguh suaminya tidak menjaga perasaannya. Seolah menganggapnya tidak ada di rumah ini.
Mendadak timbul ide didalam pikiran, Laura untuk membalas perlakuan suami dan mertuanya.
Bergegas Laura, menyeduh tiga gelas teh manis. Meletakkannya di atas meja.
Hati Laura seolah dipilin saat melihat Andre duduk sangat berdekatan sekali. Padahal masih ada kursi lain.
Laura, mengambil tempat duduk dekat ibu mertuanya, seraya memegang nampan.
"Mari diminum tehnya, Irina." Bu Maya, mengajak tamunya menyicipi minuman.
"Huek...!"
"Huek...!"
"Huek...!"
Ketiganya langsung memuntahkan teh manis itu. Bu, Maya melotot ke arah Laura. Begitu juga Andre, yang merasa dipermalukan.
Dengan tatapan tajam setajam pedang, Andre melangkah dan dalam sekejap telah berdiri dihadapan, Laura.
"Plak! Sebuah tamparan keras mengenai pipi Laura. Sensasi panas menjalar di pipinya. Laura mengusap pipinya yang telah memerah. Hatinya sangat sakit sekali.
"Apa-apaan ini, Laura!." geram Andre. Laura melihat ibu mertuanya tersenyum puas, begitu juga tamu mereka.
"Laura...! Jawab!" sambar Andre karena Laura masih bungkam seperti orang bodoh.
"Ada apa, Bu?" sahut Laura tampak bodoh. Dia mengabaikan rasa panas di pipinya. Sepertinya pipinya juga sudah mati rasa karena seringnya kena tampar.
"Kamu taruh apa dalam minuman ini?," hardiknya keras.
"Persediaan gula sudah habis, Bu. Jadi aku campur dengan, garam." sahut Laura datar.
Andre kaget, mendengar ucapan Laura. Matanya nanar memandang ibunya. Juga memaki Laura dalam hatinya atas ketololan istrinya.
"Apa kamu tidak bisa beli di warung dulu?" ucap Bu Maya geram, karena malu dihadapan tamunya.
"Bagaiamana kamu bisa setolol itu, Laura. Menaruh garam di teh manis?" beliak Andre.
"Maaf, Bu. Laura 'kan tidak punya uang. Yang megang uang, 'kan ibu." sahut Laura makin tampak bodoh.
"Dasar tolol, kamu!" hardik Andre menahan geram. Wajahnya serasa ditampar dengan ulah Laura, istrinya.
"Sudah berapa kali ibu katakan, ceraikan saja istri bodohmu itu."
"Salah Ibu juga, kenapa tidak memeriksa kalau stok gula sudah habis."
"Sudah, jangan ribut. Aku tidak apa-apa kok," ucap Irina menengahi keributan kecil itu.
"Tapi, Laura itu telah membuat malu, Ibu."
"Iya, tapi tidak usah diperpanjang lagi, Tante."
Laura mendengus mendengar ucapan manis Irina. Laura berbalik lagi, ke dapur untuk meneruskan pekerjaannya.
Karena masih geram dengan ulah, Laura, Andre menyusul istrinya ke dapur.
Laura pura-pura tidak tau kalau Andre menyusulnya. Laura kembali meneruskan mencuci piring di wastafel.
"Apa maksud kamu, melakukan hal tadi. Sengaja ya, mau membuat aku malu."
"Kenapa malu? Bukankah itu maumu? Kamu yang jahat pada istrimu, kenapa malah menyalahkan istrimu?" sahut Laura dingin. Sepertinya tidak ada rasa takut di hatinya.
"Kamu benar-benar kurang ajar sekarang, ya?"
"Kenapa tidak, bukankah itu hasil perbuatan kamu, Bang. Menurutmu aku ini patung, akan diam terus saat di tindas, gitu? Aku ini manusia, istri kamu! Apa pernah kamu menghargai aku sebagai istrimu?"
"Cukup! Asal kamu tau, aku tidak pernah mencintaimu, sampai kapanpun."
"Hem! Dasar pengecut, jika kamu tidak mencintaiku. Lantas kenapa kamu tidak menceraikan aku saja. Biar kamu bebas mendapatkan siapa saja untuk kau jadikan istrimu!"
"Oke, kalau itu maumu, Aku akan ceraikan kamu saat ini juga."
"Bagus, saat ini juga pergi kalian dari rumah ini!"
"Oh, no! Justru kamulah yang harus pergi dari sini."
"Kamu lupa, kalau rumah ini adalah milikku. Juga saham di dalam kafe itu, setengahnya adalah milikku. Jika kita bercerai!"
Seketika, wajah Andre pucat saat Laura mengingatkan perjanjian itu. Perjanjian yang dibuat oleh mertuanya, saat memberi dana tambahan untuk modal usaha kafe yang di kelola, Andre.
Tentu saja dia tidak lupa akan hal itu. Bahkan rumah yang mereka tempati saat ini adalah, rumah pemberian mendiang mertuanya juga. Atas nama, Laura.
Sekarang, Laura menggunakan itu untuk memukulnya telak di jantung. Ucapan Laura bukan sekedar ancaman baginya. Bukan tidak mungkin Laura nekad menerima berpisah.
Bukankah sudah begitu banyak penderitaan yang mereka timpakan pada Laura. Perempuan yang selalu ia abaikan selama ini? ***
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!