...Pertemuan pertama telah berhasil menghanyutkanku pada indahnya cinta dalam diam. Tiap pertemuan selanjutnya selalu menghadirkan canda dan tawa. Kuharap itu tak akan pernah berakhir. Walau kusadar, setiap pertemuan pasti ada perpisahan....
...________________________________________...
Langit jingga mulai menghiasi nabastala, matahari pun perlahan turun ke kaki langit menjemput bulan yang tak lama lagi akan menampakkan pantulan cahayanya. Memberi peringatan kepada para insan yang sibuk bekerja untuk mengistirahatkan tubuh yang sudah dirundung lelah.
Aura, seorang wanita anggun dengan jas dokter tampak masih betah menikmati waktu di dalam ruangannya. Sebuah ponsel yang memperlihatkan gambar seorang pria tampan berkacamata tak lepas dari genggaman. Begitu pun dengan senyuman yang tak memudar sedikit pun ketika membayangkan jika sebentar lagi pria itu akan menjadi imam dalam hidupnya.
Kisah cinta mereka memang begitu manis! Awal pertemuan hingga akhirnya berakhir dalam sebuah lamaran tak terduga, selalu saja menjadi kenangan tak terlupakan. Besok adalah hari yang menjadi impiannya selama ini, menikah dengan pria yang sangat ia cintai.
Tring
Aura segera mengalihkan gambar calon suaminya itu ketika sebuah pesan dari nomor tak di kenal masuk. Wanita itu mengerutkan dahinya beberapa saat membaca tiap kata yang ada dalam pesan tersebut, lalu segera pergi meninggalkan ruangannya.
Aura melajukan mobilnya menuju ke sebuah rumah makan malam itu juga. Ia mengambil tempat duduk di pojok ruangan sambil menunggu kedatangan orang yang tadi mengirimkannya pesan. Sembari menunggu, seorang wanita yang kebetulan berada di tempat itu tiba-tiba menyapanya.
"Kak Aura?" sapa wanita cantik berhijab itu dengan senyuman ramah.
"Bintang?" balas Aura ikut tersenyum tak kalah ramah.
Mereka saling berbincang selama hampir satu jam, tapi orang yang ingin ditemui Aura tak kunjung datang. Kedua wanita itu pun akhirnya memutuskan untuk pulang. Namun, akibat sebuah masalah, Aura menawarkan diri untuk mengantar Bintang pulang ke rumahnya malam itu, tapi naas, mobil yang mereka tumpangi tiba-tiba meledak dan terbakar di tengah jalan yang cukup sepi.
Ledakan itu tak hanya menyisakan luka akan kehilangan sosok yang tercinta, tapi juga luka akan lepasnya sebuah harapan dan impian yang sudah di depan mata.
"Jodoh ialah takdir yang telah Allah tetapkan dalam kitab Lauhul Mahfuz. Tak ada siapa pun yang tahu, kecuali Allah. Sama halnya dengan kematian, ia telah tertulis dengan rapi, bahkan sebelum manusia itu dilahirkan," tutur Aura sambil menatap ke arah rembulan yang tampak cerah malam itu.
Nizam tersenyum kala mendengar penuturan dari gadis berhijab di sampingnya. "Kamu benar."
Aura mengalihkan pandangannya dan sejenak menatap laki-laki yang juga sedang memandangnya. "Nizam, ayo kita menyimpan benda istimewa kita di sana." Aura menunjuk ke belakang gazebo yang tidak jauh dari tempat mereka duduk saat ini.
Laki-laki itu mengerutkan keningnya. "Benda istimewa? Untuk apa?"
"Sebagai penanda saja, siapa tahu kita masih dipertemukan kembali saat dewasa, misal berjodoh, kita bisa kembali mengambil benda istimewa itu bersama. Namun, jika tidak, maka kamu bisa memberikan benda istimewa itu kepada istrimu."
"Ciee yang udah bahas jodoh. Tenang saja, Aura. Saat aku telah memiliki penghasilan sendiri, aku akan langsung melamarmu."
Aura tertawa pelan mendengar perkataan sahabat kecilnya itu.
"Kenapa tertawa? Aku serius, loh, ini." Nizam menatap serius ke arah Aura, membuat tawa gadis itu mereda.
"Nizam, Nizam. Usia kita itu 17 tahun loh! Gampang banget ngomong lamar kayak anak kecil nyebutin cita-cita aja."
"Ya memangnya kenapa? Itu memang cita-citaku."
"Kamu jangan lupa, bahwa cita-cita manusia itu tidak selamanya sejalan dengan rencana Allah."
"Iya, sih. Tapi bukankah kita bisa merayuNya di sepertiga malam?"
"Memang, tapi kembali lagi, Allah lebih mengetahui mana yang terbaik untukmu. Kalau memang bukan, ya jangan maksa."
Nizam mencebik lalu membuang tatapannya ke depan. "Kamu itu bicara seolah tidak ingin aku melamarmu, sangat kontras dengan apa yang kamu bahas dan ingin kamu lakukan sekarang."
Aura hanya tersenyum simpul menanggapi perkataan Nizam. "Karena aku juga manusia, Zam. Aku tentu memiliki keinginan sendiri, tapi aku tidak tahu, mana yang kelak akan melamarku lebih dulu, kamu atau kematian."
"Huss, ngomong apa, sih! Nanti orang tua kita bisa dengar." Nizam kini menatap pada kumpulan para orang tua yang ada di hadapannya. Di sana sudah ada Khaira, Boy, Ali, dan Silfi yang sedang asik membuat ayam bakar guna menikmati akhir pekan mereka sebelum Aura dan kedua orang tuanya, Ali dan Silfi kembali ke kota mereka.
"Mereka dengar juga nggak papa kali, toh kita semua ini memang sedang menanti kematian kita," ujar Aura. "Cepat! Ambil benda istimewa kamu! Aku akan menunggumu di sana," lanjutnya sambil menunjuk gazebo, lalu mendorong Nizam untuk mengambil benda istimewanya di dalam rumah.
Dengan membuang napas kasar, Nizam berdiri dan berjalan memasuki pintu belakang yang menjadi penghubung dapur dan halaman belakang rumahnya. Laki-laki itu berjalan menuju kamar dan membuka lemari untuk mencari benda yang menurutnya istimewa.
Cukup sulit mencari benda istimewa bagi Nizam, remaja yang memiliki karakter cuek itu tak memiliki teman gadis selain Aura yang tidak lain adalah anak dari saudara tiri sang ayah. Mereka sudah menjadi teman dekat bahkan sejak mereka masih kecil.
Pandangan laki-laki itu kini tertuju pada sebuah sapu tangan dengan warna mencolok yang terlipat rapi di dalam lemarinya. Tak berselang lama, Nizam kembali dengan sebuah sapu tangan bermotif helokitty berwarna pink dan sebuah kapsul berukuran besar.
"Wow, aku tidak tahu cowok maco kayak kamu sukanya hellokitty," cibir Aura sambil menutup mulutnya menahan tawa.
"Kamu tadi mintanya benda istimewa. Sapu tangan ini satu-satunya benda bermotif cewek di kamarku, makanya ini menjadi benda istimewa. Tahu 'kan istimewa? Ya, beda dari yang lain," jelas Nizam.
"Iya, sih! Apa itu milikmu?"
"Bukan, ini milik anak kecil yang menghiburku saat aku mengalami kecelakaan tujuh tahun lalu. Aku ingin mengembalikannya, tapi aku nggak tahu nama dan alamatnya, ya sudah kusimpan saja barangnya."
"Umur berapa anaknya? Cewek, yah?"
Nizam mengangguk. "Kalau nggak salah dia setinggi dadaku waktu itu. Mungkin dia seumuran Nizwa. Kenapa?"
"Nggak papa, sini kotak dan sapu tangannya." Aura menengadahkan tangan ke arah Nizam, dan laki-laki itu langsung memberikannya tanpa berbicara lagi.
Nizam memperhatikan Aura yang mulai memasukkan sapu tangan itu ke dalam kapsul, kemudian gadis itu mengeluarkan sebuah kertas yang telah dilipat dan ikut memasukkannya ke dalam kapsul itu.
"Apaan, tuh?"
"Surat. Pokoknya kamu jangan pernah membukanya sampai kamu menikah, janji?"
"Iya, insya Allah."
Mereka kemudian menggali lubang di belakang gazebo hingga muat untuk menanam kotak itu. Keduanya saling menatap sejenak lalu tersenyum.
Aura mengalihkan pandangannya menatap bulan dengan cahaya putih yang indah. "Biarkan Allah yang memberikan jawaban atas rencana kita di masa depan."
Nizam hanya mengangguk pelan sambil tersenyum. "Laukanatiln najma wal qamar tatakalam, arsaltu ma'a kulli najmah wal qamar kalimatun bihubbik," lirihnya.
(Kalau saja bintang-bintang dan bulan bisa bicara, maka aku akan kirimkan lewat semua bintang dan bulan kata aku cinta kamu).
-Bersambung-
...__________________________________________...
...Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh....
...Sebelumnya mohon maaf karena baru muncul lagi ke permukaan. Ini novel ke sembilan yang tidak lain adalah sequel dari novel sebelumnya yang berjudul "He's Not A Bad Boy" kisah antara Khaira dan Boy....
...Jika ingin membaca novel tersebut silahkan, tapi jika tidak juga tidak masalah, insya Allah novelnya tidak bikin bingung kok 🤭....
...Aku usahakan update satu episode setiap hari pukul 20.00 WITA. Jika tidak sempat update hari itu, akan dikabarkan. Mohon kerja samanya dengan memberi dukungan berupa subscribe, like, komen, hadiah, dan votenya....
...Jika suka silahkan rate bintang lima (⭐⭐⭐⭐⭐), tapi jika tidak suka, tolong skip saja tanpa memberikan rate atau pun komentar buruk. Jika di dunia nyata, lidah mampu menyakiti melalui perkataan, di dunia maya, jari mampu menyakiti melalui tulisan. Saling menghargai itu lebih baik dan dukungan kakak-kakak adalah penyemangat untuk para Author....
...Terima kasih, semoga novel ini bisa menghibur dan memberi pesan moral yang baik....
...Salam hangat dari Author...
...UQies...
...Kehilangan memberi kita suatu pelajaran yaitu akan ada pertemuan yang baru....
...(Fenny Febrian)...
...________________________________________...
Seorang pria dewasa berkacamata baru saja keluar dari mobilnya bersama sang asisten di halaman parkir hotel. Dengan langkah tegap dan lebar, pria dengan setelan jas itu berjalan memasuki ruangan multifungsi hotel yang telah disulap menjadi sebuah ruangan yang begitu indah.
Dengan ornamen bunga berwarna pink dan putih, dipadukan dengan hiasan kain berwana senada, membuat ruangan yang awalnya polos kini berubah bak sebuah istana bunga.
"Persiapan sudah 97% sebelum acara pernikahan kalian besok. Bagaimana, Zam? Ini sudah disesuaikan dengan permintaan calon istrimu," ujar Arfan, sang asisten pribadi sekaligus sahabat kuliah Nizam.
Nizam mengangguk pelan sambil tersenyum. "Selera Aura memang sangat lembut, dia pasti sangat menyukai ini." Pria itu mengeluarkan ponselnya lalu mengambil gambar di beberapa titik ruangan.
Baru saja ia hendak mengirimkan foto itu ke nomor ponsel Aura, sebuah panggilan dari calon mertuanya telah lebih dulu masuk. Tak ingin mengurung waktu, Nizam langsung mengangkatnya.
Namun, bagai tersambar petir, wajah pria itu seketika berubah pias. "Saya langsung ke sana, Om."
"Ada apa, Zam?" tanya Arfan yang bisa melihat dengan jelas perubahan raut wajah sahabatnya itu hanya dalam hitungan detik.
"Aura, dia ...." Nizam tak sempat menyelesaikan perkataannya dan langsung berlari keluar dari ruangan itu. "Fan, cepat!" titahnya sedikit berteriak karena jarak mereka yang semakin jauh.
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi dibalik kendali Nizam. Pria itu terlihat sangat gelisah. Dahinya mengerut, garis rahangnya semakin terlihat jelas dan jari-jemarinya mencengkram kuat stir mobil di hadapannya.
Arfan yang duduk di sampingnya hanya bisa memejamkan mata seolah sedang mengikuti balapan mobil. Manegur pun percuma sebab pekataannya tak akan di gubris oleh Nizam. Rasa khawatir dengan keadaan calon istrinya telah menguasai pikiran pria itu.
Mobil kini telah sampai di depan rumah sakit. "Tolong parkir mobilnya." Nizam berlari lebih dulu meninggalkan mobil di mana Arfan masih duduk di dalamnya.
Pria itu berlari mencari ruang UGD tempat di mana Aura kini mendapatkan penangananan sebagaimana perkataan mertuanya beberapa menit yang lalu. Di sana sudah ada kedua orang tua Aura dan kedua orang tuanya yang menangis. Keadaan itu membuat langkah kaki Nizam melambat dengan jantung yang berdebar penuh rasa takut akan kabar yang sebentar lagi ia dengar.
"Bagaimana keadaan Aura?" Suara pelan dan penuh penekanan dari Nizam sontak membuat keempat orang itu menoleh ke arahnya dengan tatapan sendu. Bahkan sang ibu langsung menghambur memeluknya.
"Kamu yang sabar, yah, Sayang," ucap Khaira dengan suara bergetar dan tangan yang mengusap lembut punggung sang putra.
"Ada apa, Bunda? Apa yang terjadi?" Nizam melepas pelukannya, menatap wanita paruh baya di hadapannya dengan mata yang telah basah oleh air mata.
Khaira tidak menjawab, wanita berusia 46 tahun itu memilih menarik tangan Nizam dan membawanya ke hadapan orang tua Aura.
"Aura, beberapa menit lalu dokter menyatakan waktu kematiannya," ujar Ali dengan suara bergetar dan tangan yang bergerak menghapus air mata, meski pada akhirnya air mata itu tetap saja kembali mengalir.
"A-apa?" Tubuh Nizam seketika terasa tak bertenaga. Pandangannya mulai kabur oleh bulir bening yang berkumpul di pelupuk matanya.
Hatinya patah, hatinya terluka. Ya, dunianya runtuh, mimpi dan cita-cita yang sedang berusaha ia wujudkan kini pupus sudah. Pria itu melangkah mundur dengan tatapan kosong dan tangan yang membekap mulutnya sendiri.
Aku tidak tahu, mana yang kelak akan melamarku lebih dulu, kamu atau kematian.
Sepenggal perkataan Aura tujuh tahun lalu tiba-tiba terlintas dalam pikirannya, semakin membuat hati pria itu sakit dengan keadaan. Kenapa takdir begitu kejam? Padahal besok ia akan melangsungkan pernikahan impiannya, tapi apa ini? Semuanya hancur total!
Nizam melangkah pergi dengan kaki yang terasa begitu lemah, membawa tubuhnya ke sebuah tangga darurat di mana tak seorang pun bisa melihatnya di sana.
Setetes air mata kini telah lolos membasahi pipinya setelah ia berusaha menahannya sejak tadi. Makin lama tetesan itu berganti menjadi sebuah aliran luka yang ikut membawa suara mengiringinya. Pria itu menangis dalam kesendirian, mengeluarkan segala pilu yang sejak tadi membuat dadanya terasa sesak.
"Aura, tega kamu," lirih pria itu lalu duduk di tangga dan membenamkan wajah pada kedua lengan yang bertumpu pada kedua lutut. Tubuh pria itu bergetar, sesekali suara isakan berhasil keluar dari mulutnya.
Entah, sudah berapa lama Nizam menyendiri di tangga darurat itu. Setelah lelah menumpahkan rasa sesaknya, kini pria itu membuka pintu untuk keluar dari tangga darurat. Namun, baru saja ia melangkah keluar, seorang wanita dengan masker yang menutupi sebagian wajahnya tiba-tiba tak sengaja menabraknya.
"Maaf," ucap wanita itu singkat lalu kembali berlari. Nizam tidak tahu apa yang terjadi, tapi mata wanita itu juga sembab sama seperti dirinya, bahkan air mata masih terlihat mengalir deras dari matanya.
Nizam memandangi seluruh sudut tempat itu yang kini sangat sepi. Bisa ia pastikan bahwa saat ini telah masuk waktu dini hari. Hening dan sepi, itulah yang terjadi dan ia rasakan saat ini. Ingin menyalahkan keadaan tak akan merubah apa pun, semua telah tertulis di Lauhul Mahfuz.
Baru saja ia hendak melangkah, pandangannya malah tertuju pada sebuah kalung dengan liontin Bulan di lantai. Nizam tidak tahu siapa pemiliknya. Namun, dugannya mengarah pada wanita yang baru saja menabraknya tadi.
☘☘☘
Satu bulan telah berlalu, sudah satu bulan pula Nizam tidak banyak bicara. Tak ada senyuman dan tak ada lagi candaan dari pria itu. Walau dia memiliki karakter cuek, tapi untuk adik dan kedua orang tuanya, karakter itu tidak berlaku.
Tok tok tok
"Kak Nizam, boleh Nizwa masuk?" tanya gadis itu setelah mengetuk pintu kamar sang kakak.
Tak ada sahutan dari dalam kamar, tapi tak berselang lama pintu itu terbuka.
"Kakak!" Nizwa menyembulkan kepalanya ke dalam kamar, menatap punggung sang kakak yang kini telah kembali duduk di sofa berhadapan dengan macbooknya.
Nizwa memanyunkan bibir saat panggilannya tak direspon oleh Nizam. Gadis itu memasuki kamar dan memilih duduk di samping sang kakak.
"Sibuk yah, Kak?" tanya gadis itu. Alih-alih mendengar suara Nizam, justru suara keyboard-lah yang memenuhi pendengarannya saat ini.
"Mau sampai kapan Kakak seperti ini? Nggak mau bersosialisaisi, bahkan hanya sama keluarga di rumah pun tidak. Setelah bekerja, Kakak melakukan segala sesuatu pun hanya dari kamar."
Nizam lagi-lagi tak menjawab rentetan pertanyaan dari Nizwa. Ia hanya menatap sang adik dengan tatapan lesu.
"Kenapa diam, Kak? Nizwa rindu sama sikap jahil Kakak. Kemana Kak Nizamku?" Mata gadis itu berkaca-kaca, bulir-bulir bening itu kini lolos membasahi pipinya.
"Maaf." Hanya perkataan itu yang bisa diucapkan Nizam sambil tertunduk.
"Ikhlaskan kepergian Kak Aura. Jangan lemah, Kak. Malu sama otot-otot kekarmu itu." Nizwa menunjuk lengan berotot Nizam sambil tertawa nanar, berharap sang kakak bisa terhibur. Namun, nyatanya pria itu hanya menarik ujung bibir seolah tersenyum, tapi matanya masih saja terlihat sendu.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu, disertai salam dari Arfan, membuat Nizwa sedikit panik dan dengan cepat ingin menghapus air matanya, tapi terhenti saat Nizam lebih dulu mengusap pipinya dengan dua ibu jari. "Kamu jelek kalau lagi nangis."
Nizwa hanya tersenyum menatap Nizam. Ia berharap sang kakak tidak terpuruk lagi dan bisa keceriaannya kembali seperti biasa.
"Kak, pinjam sarungnya, aku nggak pake kerudung soalnya."
Nizam mengangguk dan memberikan sarungnya yang kebetulan terlipat di atas meja. Pria itu menatap kepergian sang adik yang kemudian berganti dengan masuknya Arfan di kamarnya.
"Hasil penyelidikan sudah keluar." Arfan duduk di samping Nizam lalu mengeluarkan beberapa kertas dari dalam map.
"Di sini dijelaskan bahwa mobil Aura mengalami kebocoran bensin hingga menimbulkan masalah kelistrikan dan menyebabkan mobil itu terbakar saat sedang melaju."
Nizam mengambil kertas itu dan membaca ulang laporan hasil penyelidikan. Ia sudah mendengar cerita dari Ali bahwa Aura ditemukan dalam keadaan mengenaskan, hampir seluruh tubuhnya sudah terbakar, meski masih bernapas saat dilarikan ke rumah sakit, pada akhirnya nyawa wanita itu tak bisa di selamatkan.
"Baiklah, terima kasih," ucap Nizam singkat, lalu meminta Arfan untuk keluar karena ingin menyendiri.
...
Malam telah tiba, tapi kamar Nizam masih saja gelap. Hanya cahaya bulan yang masuk melalui celah jendela dan membuat sebagian kamar itu sedikit terang termasuk sofa, tempat di mana pria itu duduk seraya melihat koleksi foto-foto Aura yang ada di media sosialnya.
Dari sekian banyak foto yang ia lihat secara bergantian, ibu jarinya justru berhenti pada sebuah foto di mana Aura berdiri di depan sebuah gudang tua. Nizam baru ingat, baru-baru ini Aura diwawancari sebagai saksi atas transaksi narkoba beberapa orang yang menjadikan gudang itu sebagai markasnya.
Pria itu kembali menggeser foto Aura dan lagi-lagi jarinya berhenti pada sebuah foto di mana Aura sedang berfoto depan cermin di dalam tempat ia melakukan fitting baju pengantin.
Tak ada yang aneh dari foto tersebut jika dilihat sekilas, tapi dari pantulan cermin itu, terlihat seorang pria tengah menatap Aura dari luar kaca jendela yang menjadi latar belakangnya.
Nizam memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Ia berusaha berpikir positif jika semua itu hanya kebetulan. Namun, pandangan pria itu tak sengaja jatuh pada map dari Arfan mengikuti cahaya bulan yang masuk menerangi meja. Rasa penasaran membuatnya kembali membuka map tersebut dan mengamati beberapa foto hasil penyelidikan polisi di kota A. Dahi pria itu berkerut ketika melihat salah satu foto yang menurutnya ganjal.
"Aku berusaha berpikir positif, tapi kenapa semakin melihat foto-foto ini, aku merasa kecelakaan ini seolah ada yang sengaja melakukannya?
-Bersambung-
Nizam baru saja tiba di kantor polisi yang menangani kasus kecelakaan Aura di kota A. Ia sangat terkejut saat mengetahui bahwa kasus itu ternyata sudah di tutup karena dianggap murni kecelakaan.
"Pak, tolong periksa sekali lagi, kebocoran bensin itu di sengaja, ada yang sengaja melakukannya."
"Mana buktinya? Kami sudah memeriksa CCTV di area parkir rumah sakit tempat korban sebelum pergi, dan tidak ada satu pun yang mencurigakan. Korban datang sendiri dan pergi pun sendiri. Lalu siapa yang ingin anda salahkan?"
Nizam mengepalkan tangannya begitu tidak terima dengan perkataan polisi itu. Rasanya ingin sekali ia memaki, tapi tertahan saat Arfan memegang pundaknya.
"Tenang, Zam. Jika mereka tidak bisa menyelesaikannya, kita bisa selesaikan dengan cara kita. Jangan habiskan tenagamu untuk hal yang sia-sia ini."
Nizam menarik napas dalam dan membuangnya perlahan beberapa kali untuk menenangkan pikirannya. Ia memutuskan berjalan keluar dari kantor polisi walau dengan perasaan kecewa.
"Bawa aku ke kantor Diki, Fan," titah Nizam setelah duduk di dalam mobil.
Arfan tidak langsung menjawab, pria itu melihat ponselnya yang berdering dan langsung mengangkatnya. Beberapa saat berbicara, dia menoleh ke arah Nizam, "Zam, ada panggilan dari pamanmu."
Nizam menerima ponsel yang diberikan oleh Arfan dan langsung mengangkatnya.
"Assalamu 'alaikum, Paman David."
"Wa'alaikum salam, kamu di mana, Zam? Aku menelepon ke kantormu, tapi kata sekretarismu kamu lagi punya urusan diluar."
"Iya, Paman, Nizam sedang di luar kota sekarang, ada beberapa hal yang harus di urus," ucap Nizam tak berterus-terang, tapi juga tak berbohong.
"Apa Malaga ada masalah?"
Malaga adalah nama anak perusahaan dari Anderson Group, perusahaan yang dirintis oleh mendiang Kakeknya yang bernama Anderson dan sekarang di pegang oleh sang Paman bernama David yang tidak lain adalah keponakan mendiang Kakeknya.
Kenapa bukan ayah dari Nizam yang memegangnya? Ya, karena ayah Nizam yang bernama Boy Anderson itu ingin fokus mengurus pesantren yang kini menjadi tanggung jawabnya setelah kepergian Kiai Rahman, sang pendiri sekaligus orang tua angkatnya.
Lagi pula, lokasinya yang berbeda kota juga menjadi salah satu kendala bagi Boy. Perusahaan di kota A, dan pesantren sekaligus tempat tinggal Boy di kota B. Butuh waktu dua hari untuk melakukan perjalanan jika melalui jalur darat, dan satu setengah jam jika melalui jalur udara.
Malaga sendiri adalah perusahaan distribusi obat yang berdiri di kota B. Di dirikan atas kerja sama antara David, Nizam, Boy, dan Khaira, sang ibu yang berprofesi sebagai dokter di kota B.
"Tidak, Paman. Malaga baik-baik saja. Ini hanya sedikit masalah pribadi," balas Nizam.
"Oh, baiklah, uruslah masalahmu dulu, aku hanya ingin mendengar kabarmu tadi."
Setelah saling mengucapkan salam, panggilan pun berakhir.
Tak terasa langit telah menjadi gelap saat Nizam dan Arfan tiba di sebuah kantor polisi yang memang agak jauh dari kantor polisi di pusat kota.
"Maaf, Zam. Aku tidak bisa. Kasus ini berada di luar lingkungan kerja kami."
"Tolonglah aku, Dik. Lihatlah ini, apa yang kau pikirkan saat melihat gambar ini?" Nizam memperlihatkan gambar yang ia dapatkan dari Arfan.
"Ya, ini memang terlihat seperti sengaja dilubangi."
"Nah, kan-"
"Tapi maaf, Zam. Aku benar-benar tidak bisa."
"Ayolah, Dik. Aku akan membayarmu, berapa pun yang kamu minta."
"Maaf, Zam. Ini bukan masalah uang. Aku bahkan tidak akan menerima bayaran apa pun jika memang itu berada di lingkungan kerjaku."
"Kumohon, Dik. Kalau begitu bicaralah pada rekan kerjamu di kantor pusat, barangkali mereka ingin mendengarmu. Kumohon, aku tidak ingin mereka yang telah membunuh Aura bebas berkeliaran tanpa beban apa pun. Kejahatan tetap harus diberantas, Dik. Kau jelas tahu itu."
Diki terdiam, pria itu tampak merenungi apa yang dikatakan Nizam, temannya sejak SMA bersama Arfan.
"Baiklah, aku akan mencoba berbicara dengan temanku, tapi aku tidak bisa berjanji bahwa mereka akan mengabulkan permintaanku ini."
Nizam akhirnya tersenyum lega dan menjabat tangan Diki. "Terima kasih, Dik. Semoga permintaanmu diterima."
Usai berbicara dengan Diki, Nizam dan Arfan memutuskan untuk kembali ke hotel yang berada di pusat kota. Meski lelah, ia tetap harus mencari kebenaran dan pelaku dibalik kecelakaan yang telah merenggut nyawa calon istrinya itu.
"Zam, sampai kapan kau akan di sini? Dion sejak tadi menghubungiku, katanya ada beberapa undangan kegiatan yang sedang menunggumu di Kota B," tanya Arfan memecah keheningan di dalam mobil itu.
"Aku tidak tahu, kau pulanglah lebih dulu ke kota B, kau bisa mewakilkan aku di acara-acara itu," jawab Nizam sambil memejamkan matanya walau tidak tidur.
"Tapi, Zam ...."
"Sebentar saja, Fan. Jika aku mendapat titik terang, aku akan langsung kembali ke kota B."
Arfan membuang napas kasar, "Baiklah jika itu perintahmu, Bos."
Hening sesaat.
"Fan, tolong carikan aku lokasi dari gudang ini." Nizam memberikan foto Aura yang berdiri di depan gudang kepada Arfan.
"Untuk apa?"
"Carikan saja dulu, ada sesuatu yang ingin kucari tahu."
"Baik, Bos."
...
Nizam duduk di atas tempat tidur yang berada di kamar hotel. Pria berkacamata itu tampak fokus memperhatikan foto demi foto milik Aura yang ia curigai. Entah, dari mana ia harus memulai, tapi ia merasa kecelakaan Aura memiliki hubungan dengan foto-foto tersebut.
Suara ponsel Nizam berbunyi, rupanya itu adalah pesan yang dikirim Arfan mengenai lokasi dari gudang tua yang berada di belakang Aura dalam foto. Tak ingin tinggal diam, malam iti juga Nizam menarik jaket dan menyewa sebuah motor untuk ia gunakan pergi ke sana.
Suasana gudang tua itu tampak gelap dan sepi. Nizam hanya mengamati dari jauh karena terdapat pita polisi di depan jalan menuju gudang tersebut yang bertuliskan "do not cross."
Ketika hendak pergi, suara beberapa motor dari kejauhan terdengar mendekat. Nizam yang menyadari hal itu segera bersembunyi dan memperhatikan gerombolan motor dan pengendaranya yang memakai pakaian serba hitam.
Terlihat mereka berhenti di depan gudang, di mana seorang pria berlari masuk ke dalam gudang. Tak lama setelah itu, pria tersebut keluar dengan membawa beberapa barang dalam tas hitam, entah apa isinya. Beberapa saat kemudian, gerombolan motor itu kembali melaju.
Tanpa rasa takut sedikit pun, Nizam mengikutinya hingga sampai di tempat yang cukup sepi. Di sana sudah menunggu dua orang berbaju serba hitam, dan satu berbaju merah.
Satu satu pria bertubuh besar dengan wajah tertutup helm turun dari motor dan langsung memukul pria berbaju merah. Tak hanya satu kali, bahkan beberapa pukulan diterima pria itu hingga tak berdaya di tanah. Mereka juga terlibat percakapan beberapa saat. Meskipun Nizam tidak mengetahui apa yang mereka bicarakan, tapi dari nada suaranya, ia tahu jika pria bertubuh besar itu sedang marah.
Setelah puas memukul dan memarahi, pria bertubuh besar itu pergi dengan motornya diikuti dengan beberapa gerombolan motor lainnya dibelakang. Nizam yang merasa kondisi sudah aman akhirnya langsung menghampiri pria berbaju itu dan membawanya ke rumah sakit karena kasihan.
Di rumah sakit, Nizam baru saja membayar biaya administrasi pria berbaju merah. Namun, ketika ia kembali ke IGD, pria itu sudah tidak ada.
"Maaf, Pak. Pria tadi pergi usai kami mengobati lukanya. Kami berusaha menahan, tapi dia memberontak." Nizam hanya bisa membuang napas kasar mendengar penuturan sang perawat. Padahal ia cukup penasaran dengan apa yang baru saja terjadi kepada pria itu.
☘☘☘
Keesokan harinya, Arfan benar-benar pulang lebih dulu untuk menggantikan Nizam memenuhi undangan beberapa acara. Sementara Nizam masih memilih tinggal di kota A untuk kembali menemui Diki yang memintanya kembali datang sore itu.
Chiiiit
Nizam menghentikan mobilnya secara mendadak saat tiba-tiba seorang wanita berhijab dengan pakaian yang sedikit berantakan berlari ketakutan ke depan mobilnya yang sementara berjalan.
"Astaghfirullah!"
-Bersambung-
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!