"Tinggalkan istrimu, maka Ibu akan membantu!" kata Marini, Marini adalah wanita tua berusia 48 tahun, ia sama sekali tidak menyukai menantunya yang berasal dari panti asuhan.
Dan kata-kata itu selalu terngiang di telinga Bram.
Sekarang, Bram sedang menunggu istrinya yang kritis, baru saja istrinya itu memberikan putri kembar tak seiras, keduanya sangat cantik.
Bram kehilangan kekayaannya karena memilih untuk menikahi Zahra dan sepertinya, sekarang sedang mempertimbangkan apa yang diminta oleh ibunya.
"Apakah aku harus meninggalkanmu untuk mendapatkan biaya persalinan dan perawatan kalian?" tanya Bram seraya menatap Zahra yang masih berbaring dengan mata terpejam.
Tanpa terasa air mata menetes dan membasahi punggung tangan Zahra yang sedari tadi Bram genggam.
Bram mencium punggung tangan itu dan mengusap air mata tersebut.
Kemudian, Bram bangun dari duduknya, pria tampan berwajah oriental itu pergi menemui Marini di kediamannya.
Sesampainya di sana, Bram yang belum memberikan jawaban atas permintaan ibunya itu tidak diperlakukan dengan baik.
"Aku melakukan ini sampai terhina untuk istri dan anakku!" ucap Bram dalam hati.
Sungguh, hatinya terasa amat sakit. Ibu yang seharusnya mengayomi ini tidaklah seperti apa yang seharusnya.
Dua penjaga di depan pintu utama melarang Bram untuk masuk, kemudian Marini yang selalu berpenampilan glamor itu datang dan menyuruh putranya masuk.
"Ibu harap kamu membawa jawaban yang Ibu inginkan!" kata Marini seraya menatap Bram dengan begitu santainya.
"Sediakan uang yang ku minta, Bu!" pinta Bram, ia menatap benci pada Ibunya sendiri.
"Masuklah!" jawab Marini yang tidak menghiraukan tatapan itu dan Bram mulai mengikuti Marini.
Sekarang, keduanya duduk di sofa ruang tamu, lalu, Marini menepuk tangannya sebanyak dua kali sebagai tanda memanggil asisten pribadinya.
Asisten pun datang dan mengangguk pada Marini, "Sara, ambilkan koper yang ada di ruang kerjaku!"
"Baik, Nyonya," jawab Sara.
Seraya menunggu uang itu datang, Bram mencoba kembali meyakinkan Ibunya bahwa Zahra adalah menantu yang baik dan tidak akan membuat malu keluarganya.
"Kamu tau apa yang memalukan darinya?" tanya Marini seraya menatap datar putranya.
Bram diam dan Bram membuang wajahnya saat mendengar kalimat yang menyakitkan.
"Karena terlahir miskin," jawab Marini yang masih menatap putranya.
Tidak lama kemudian, Sara datang membawa koper dan meletakkannya di meja.
Bram yang berniat mengambil koper tersebut harus tertahan saat Marini menahan tangannya.
"Jangan mendustaiku, Bram!" ancam Marini seraya menatap Bram yang sama sekali tak mau menatapnya.
Bram yang sedang menahan amarah, benci, kecewa itu hanya bisa menyingkirkan tangan Marini dan pergi tanpa meninggalkan jawaban apapun.
"Nyonya, apakah Tuan Muda akan menepati janjinya?" tanya Sara yang selalu berdiri di samping Marini.
"Kita buat hidup mereka lebih menderita jika menipuku!"
Mendengar itu, Sara hanya mengangguk.
****
Sekarang, Bram mengambil salah satu putrinya dan pergi meninggalkan Zahra tanpa mengatakan apapun.
Zahra yang sudah membaik itu menunggu suaminya datang, terus menangis di ruangannya dan Zahra tidak dapat menghubunginya.
"Kamu memilih uang dari pada aku, Mas," lirih Zahra seraya menatap putri yang ada di sampingnya.
Ya, Zahra tau betul apa yang terjadi dan ini karena kekuasaan Ibu mertuanya.
Zahra tak berhenti menangis sampai suster datang untuk memberikan obat dan suster yang melihat itu pun menjadi iba.
"Ibu, apakah Keyla sudah diberi asi?" tanya Suster seraya mengusap lengan kecil Keyla.
Zahra merubah posisinya menjadi duduk dan menjawab dengan menggeleng.
"Ibu, lebih baik pikirkan Keyla, dia lebih membutuhkan mu," ucap suster seraya tersenyum.
Zahra pun mengangguk, ia menyesal karena tak mampu melihat kebahagiaan yang ada di depan matanya dan terus bersedih karena memikirkan suaminya yang membawa pergi Keyra.
"Maafkan Mama, Nak. Maafkan Mama!" ucap Zahra seraya menjunjung putrinya, ia memeluk kemudian menciumi wajah mungilnya dengan berderai air mata.
****
Di kediaman Marini.
Ia menatap sebal pada Keyra yang ada di kamar bayi bersama suster.
"Kenapa aku harus sebenci ini pada cucuku sendiri?" tanya Marini dalam hati dan jawaban yang diluar nalarnya itu mengatakan, "Karena dia anak dari Zahra, si gadis miskin yang berasal dari panti asuhan!"
Setelah itu, Marini pergi dari tempatnya berdiri tanpa mengatakan apapun.
Sekarang, Marini pergi menemui Bram di kamarnya dan rupanya kamar itu masih terkunci.
Bram, pria tampan yang sekarang menjadi dingin itu berdiri di depan cermin besar sedang memakai dasinya.
Ia tak pernah sedikitpun melupakan Zahra, cintanya yang ia temukan di kampus saat menimba ilmu dulu.
"Zahra, aku meninggalkan mu bukan untuk uang, tapi, untuk kehidupan mu yang lebih baik tanpa aku!" kata hati Bram dan tanpa terasa air mata menetes begitu saja.
"Ini bukti bahwa aku teramat mencintaimu, Zahra!" kata Bram dalam hati.
Sekarang, Bram menatap dirinya di pantulan cermin, di sana ia melihat pria yang begitu menyedihkan.
Ya, Bram adalah pria yang paling menyedihkan setelah tak mampu menjaga cintanya supaya tetap ada di sisinya.
"Tidak, kalian selalu ada di hatiku!" kata Bram kemudian, tentu saja kata-kata itu hanyalah untuk menghibur dirinya.
Sekarang, Bram keluar dari kamar dan ia sudah harus melihat senyum Marini yang ia sebut sebagai nenek sihir.
Bram tidak membalas senyum itu dan pria muda berusia 24 tahun itu berjalan melewatinya begitu saja dan langkah Bram berhenti di depan kamar Keyra.
"Sedang apa Keyla dan ibunya?" tanya Bram dalam hati.
Dan Bram pergi begitu saja tanpa melihat lebih dulu putrinya yang sedang menangis.
Ya, Bram merasa kalau Keyra tengah merindukan Ibunya dan kenyataan itu membuatnya sakit tak berdarah.
Berbeda dengan Keyla, ia sedang tertidur di pelukan Ibunya dan hari ini Zahra sudah di perbolehkan pulang.
Namun, Zahra memilih untuk pergi ke kantor Bram, ia hanya bisa melihat dari kejauhan dan Bram yang melihat itu pura-pura tak melihatnya.
"Pergi, Zahra! Jangan sakiti hatimu dengan seperti ini, aku bukan pria yang pantas untukmu!" kata hati Bram yang baru saja turun dari mobil dan ia segera masuk ke kantornya tanpa menghiraukan wanita yang berdiri di seberang jalan dengan bayinya.
Mendapati Bram yang sudah tidak mau melihatnya lagi, Zahra pun pergi membawa luka hatinya yang terus menganga dan entah akan sampai kapan.
"Aku yakin, Keyra akan hidup bahagia bersama ayahnya, dia adalah bukti cinta kita, kan, Mas?" tanya Zahra dalam hati.
Beberapa hari berlalu, Zahra yang ada di rumah kontrakannya itu menatap uang satu koper penuh yang ditinggalkan oleh Bram.
Dan air matanya tak berhenti mengalir, Zahra berhenti menangis setelah sadar bahwa ada Keyla yang membutuhkannya.
Berbeda dengan Keyra, ia menangis dan hanya ada suster yang menenangkannya.
Bram yang selalu bergelut dengan batinnya itu tak mampu mendengar suara tangisnya dan itu hanya akan semakin membuat Bram merasa membutuhkan Zahra.
Bram yang kesal dengan keadaannya itu meninju kaca yang ada di kamarnya dan itu membuat tangannya terluka.
Bersambung..
Apakah benar hanya sampai di sini cinta Bram untuk Zahra?
Jangan lupa untuk like dan komen, ya. Sampai jumpa di episode selanjutnya.
Tengah malam saat semua orang tidur terlelap, ada Keyra yang sedang menangis dan suster segera menggendong Keyra.
Suster merasakan suhu panas dari tubuh bayi itu dan suster segera keluar dari kamar.
Tujuan suster adalah kamar Bram, ia ingin memberitahu bahwa putri kecilnya tengah demam.
Tetapi, langkah suster terhenti saat mendengar suara Marini yang memanggilnya dari arah belakang.
"Suster, mau kamu bawa kemana bayi itu?" tanya Marini seraya berjalan ke arahnya.
Terlihat, Marini mengikat rambut pendeknya dan Marini mengangguk saat mendengar jawaban suster.
"Jangan ganggu Bram, dia sedang lelah. Dan ingat, kami di sini mempekerjakanmu untuk mengurus Keyra!" ucap Marini dan suster yang bernama Rani itu mengangguk mengerti.
"Ikuti aku!" perintah Marini dan Marini membawa suster ke pos depan, ia memerintahkan sopir untuk mengantarkan suster ke rumah sakit.
"Kalau sakit pergi ke rumah sakit!" kata Marini seraya menatap suster yang tertunduk.
"Astaga, Nenek macam apa dia, dia sama sekali tidak perduli dengan cucunya," kata Marini dalam hati.
Dan di perjalanan, suster meminta pada sopir untuk cepat karena tiba-tibaKeyra menjadi diam bahkan Keyra terlihat lemas.
Suster yang tulus dan baik hati itu menangis, ia takut hal buruk akan terjadi pada gadis malang yang terabaikan.
****
Esok paginya, di meja makan, Marini melihat tangan kanan Bram yang berbalut perban dan Marini menanyakan itu.
"Bram, kenapa dengan tanganmu?"
Mendengar pertanyaan itu, Bram tidak menjawab.
Lalu, Bram yang tak melihat Keyra itu menanyakannya pada Marini, "Di mana Keyra, kenapa tidak ikut makan bersama kita?" Bram bertanya tanpa melihat ke arah lawan bicaranya.
"Ada, mungkin sedang dimandikan oleh suster," jawab Marini seraya tersenyum pada Bram dan Marini mengatakan itu supaya Bram tidak memikirkan Keyra yang sakit.
Setelah mendengar itu, Bram pun bangun dari duduk. Ia pergi meninggalkan meja makan tanpa mengatakan apapun pada ibunya.
Mendapati perlakuan dingin dari putranya, Marini hanya bisa menarik nafas, wanita bersanggul itu mengerti bahwa putranya masih marah padanya.
"Aku yakin, lama-kelamaan kamu akan membaik dengan sendirinya," kata Marini seraya menancapkan garpu dengan begitu kesalnya ke sandwich yang ada di piringnya.
"Zahra, kamu harus menghilang dari pikiran anakku!" geram Marini seraya melepaskan garpu dan pisau dengan begitu kasarnya.
Wanita itu pun bangun dari duduk dan menyuruh Sara untuk mengambil tas, sementara itu, Marini menunggu di mobil dan entah kemana tujuannya pagi ini.
Apakah ke kantor? Atau menemui Zahra untuk mengganggunya? Lalu, bagaimana dengan Kerya?
****
Di rumah sakit, karena demam tinggi, Keyra harus mendapatkan perawatan dan dokter menanyakan keberadaan ibu Keyra.
Suster yang tidak mengetahui apapun menjawab apa adanya kalau dirinya memang tidak mengetahui.
Suster juga mengatakan kalau dirinya yang bertanggung jawab, maka dari itu suster meminta yang terbaik pada dokter untuk Keyra.
Keyra berada di ruangan VVIP dan berpikir untuk memberitahu Bram.
Tetapi, bayangan wajah Marini membuatnya takut sehingga mengurungkan niatnya.
"Adik kecil, jangan sedih, ya. Ada suster Rani di sini yang akan selalu menemani, cepat sembuh anak cantik," ucap suster dengan begitu lembutnya.
Di tempat lain, Marini mendatangi rumah Zahra dan rumah itu terlihat sepi, ya, karena Zahra sedang membawa Keyla ke rumah sakit.
Keyla mengalami demam dan harus mendapatkan perawatan.
Demamnya Keyla membuat Zahra berpikir kalau Keyra juga sedang sakit.
"Biasanya ikatan batin anak kembar itu sangat kuat, apakah Kerya juga sedang sakit?" tanyanya pada diri sendiri.
Lalu, selagi Keyla tidur, Zahra berpikir untuk membeli keperluan bayi seperti popok dan tisu basah, baru saja Zahra membuka pintu ruang rawat, Zahra dibuat terkejut saat tiba-tiba saja nenek sihir ada di depan matanya.
"Dari mana Ibu tau saya ada di sini?" tanya Zahra seraya menatap Marini yang sedang menatapnya tajam.
"Pergi dari kota ini, aku ingin anakku bahagia tanpa bayang-bayangmu!" perintah Marini dengan begitu sinisnya.
"Kenapa? Apakah Ibu hanya memiliki raganya, sedangkan hatinya ada bersamaku?" tanya Zahra dan pertanyaan itu berhasil membuat darah Marini mendidih.
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi tirus Zahra, walau sakit, tetapi, Zahra masih mampu menunjukkan senyumnya dan itu seolah mengejek bagi Marini.
"Ini awal saja, kalau kamu masih ingin menderita lebih dari ini, tetaplah di sini dan aku akan melihat betapa menyedihkannya hidupmu!" kata Marini dengan tegasnya dan setelah itu, Marini pergi meninggalkan Zahra yang masih gemetar.
Tiga bulan berlalu, Zahra mendengar kabar bahwa Bram akan menikah lagi.
"Apa? Mas Bram akan menikah lagi? Aku saja belum diceraikan, kenapa dia menikah lagi?" tanya Zahra dalam hatinya.
Zahra yang sangat merindukan suaminya dan ingin menyapanya itu hanya bisa mengirimkan surat dan suratnya sekarang ini sudah ada di meja kerja Bram.
Bram hanya menatap, ia merasa takkan mampu untuk membaca isi surat dari kekasihnya.
"Maafkan aku, Zahra. Aku tidak ingin melukaimu lebih jauh dari ini," kata Bram seraya menyimpan surat itu di laci meja kerjanya.
Sekarang, Bram bangun dari duduk, ia harus pergi untuk menemui klien.
Tanpa Bram tau, sebenarnya, isi surat itu lebih dari ungkapan isi hati Zahra, karena nyatanya, Zahra dan Keyla sedang menunggu di kafe.
"Ayah kamu tidak datang, Nak," lirih Zahra seraya menatap Keyla yang ada di kereta bayinya.
****
Walau begitu, Zahra terus mengirim surat untuk Bram dan tidak satupun surat itu Bram baca, apalagi untuk membalasnya.
Sampai hari pernikahan Bram tiba dan Zahra yang menyaksikan itu di televisi hanya bisa menangis.
Ya, Bram adalah putra dari keluarga konglomerat dan pernikahannya masuk ke berita hangat terkini.
"Ya, dia memang pantas bersanding dengan putri konglomerat juga, bukan rakyat jelata seperti ku!" Sekali lagi Zahra menyeka air matanya dan Zahra mematikan televisi, ia menyusul Keyla yang ada di kamar.
"Key, mulai sekarang, kita tidak usah berharap akan kedatangannya lagi, kita harus berjuang berdua," lirih Zahra seraya menatap putri kecilnya dan ia sangat-sangat merindukan Keyra.
"Dia pasti mendapatkan kasih sayang dari ayahnya, aku tidak perlu khawatir," gumam Zahra.
Namun, kenyataannya tidak seperti apa yang Zahra pikirkan, hidup bergelimang harta tak membuat hidup Keyra lebih baik dari Keyla.
Bram yang tak sanggup untuk menyapa Keyra itu hanya perlu mengetahui bahwa keadaannya baik-baik saja.
Baginya, melihat Keyra akan membuatnya teringat dengan Zahra dan luka hatinya akan kembali menganga.
Sekarang, seharusnya menjadi malam yang indah bagi pengantin baru tersebut, tetapi, Bram sama sekali tidak melirik pada Celine membuat Celine semakin tidak tau harus berbuat apa.
Lalu, Celine yang sudah rapi dengan piyamanya itu menghampiri Bram yang berdiri di depan cermin sedang melepaskan kancing kemeja putihnya.
"Biar ku bantu," kata Celine seraya meraih kancing kemeja yang belum terbuka.
Lalu, Celine menelan salivanya saat tangan Bram menggenggam tangannya. Celine gemetar, gadis cantik berusia 20 tahun itu berpikir bahwa malam pertama akan segera terjadi.
Benarkah apa yang Celine pikirkan?
Bersambung..
Setelah membaca jangan lupa untuk klik like dan komentar, ya. Sampai jumpa di episode selanjutnya.
Tidak, bukan itu yang terjadi, karena nyatanya Bram mengeraskan rahangnya, ia kesal karena Celine berani menyentuhnya.
"Dengar!" ucap Bram dengan datar, "pernikahan kita ada karena bisnis, tidak lebih. Maka, jangan kamu berharap lebih dari menyentuh ku!" Setelah mengatakan itu Bram melepaskan tangan Celine dengan kasar.
Tentu saja, perlakuan Bram membuat Celine sakit hati, tetapi, demi mendapatkan cinta suaminya Celine memutuskan untuk bersabar.
Lalu, setelah menjadi istri dari Bram, apakah Celine juga akan menjadi ibu dari Keyra?
Ya, awalnya Celine menjadi ibu yang baik demi mendapatkan perhatian dari Bram.
Tetapi, sebaik dan setulus apapun Celine tidak berhasil membuat Bram melihat kepadanya.
Sekarang, Celine sedang berada di ruangan bayi, wanita berpakaian trendy itu menatap Keyra yang sedari tadi menangis.
"Nangis terus, apa ini pekerjaan mu setiap hari, hah?" bentak Celine, tentu saja mendengar suara lantang itu membuat Keyra semakin menangis.
Celine yang kesal itu berbalik badan dan ia sangat terkejut saat melihat Marini berdiri di pintu.
Kemudian, Celine pun menjelaskan bahwa dia tidak benar-benar marah pada bayi tersebut, bahkan Celine mengira kalau dirinya akan mendapatkan masalah setelah ini.
Tetapi, apa yang Celine pikirkan itu tidaklah benar, nyatanya, Marini tersenyum manis pada Celine.
"Tidak apa, menjadi ibu sambung itu tidak mudah, Ibu mengerti itu," kata Marini dan Celine pun mengangguk.
****
Sekarang, semua orang berkumpul di ruang makan, semua orang menunggu Bram dan yang ditunggu sama sekali tidak datang.
"Mungkin Bram makan malam di luar," kata Marini pada Celine dan Celine pun mengangguk mengerti.
Hari semakin larut..
Di kantor Bram, pria menyedihkan itu sedang meminum anggur seorang diri di ruangannya, ia merasa jijik pada dirinya sendiri yang tak mampu mengendalikan hidupnya.
"Ck," decak Bram, kemudian pria yang sudah kusut itu kembali menenggak minumannya.
"Aku hanya sebuah boneka, ya, aku hanya boneka!" ucap Bram dan Bram yang sudah cukup mabuk itu bangun dari duduk, ia keluar dari ruangan dan singkat cerita, sekarang Bram sudah ada di rumahnya.
Ia berjalan di lantai dua dan harus melewati kamar Marini.
Bram yang tengah mabuk itu seolah memiliki jalan keluar atas deritanya.
"Bram, bunuh saja wanita menyebalkan itu, maka, semua drama ini akan selesai!" bisik setan yang mendorong Bram untuk melakukan kejahatan.
"Ya, kalau dia tidak ada, maka semua harta ini akan menjadi milikku, begitu juga dengan Zahra, aku bisa kembali padanya," kata hati Bram.
Kemudian, Bram membuka pintu kamar Marini, ia melihat Marini yang sudah terlelap, dengan perlahan Bram semakin mendekat dan menatap wajah ibunya yang cantik, namun, begitu menyebalkan.
"Bunuh dia, Bram!" kata setan yang kembali berbisik di telinga Bram.
Dan Bram yang memang menyimpan kebencian itu pun mulai mengambil bantal, ia berniat menutup wajah Marini menggunakan bantal tersebut.
Diam..
Bram masih menatap Marini dan sekarang bayangan Zahra datang, Bram pun tersadar kalau tidak akan mungkin mendapatkan Zahra kembali jika dirinya menjadi seorang pembunuh.
Bram melepaskan bantal yang digenggamnya dan membiarkan bantal tersebut tergeletak di lantai.
****
Di rumah sederhana Zahra, wanita itu sedang menyusui bayinya dengan penuh kasih dan sayang, ia juga menyanyikan lagu tidur untuknya.
Sesekali air mata menetes, ia begitu merindukan Keyra dan yang dirindukan seolah mengerti, ia menangis kencang dan itu membuat Celine tidak dpat tidur.
"Astaga, kenapa bayi itu menangis di tengah malam seperti ini," gerutu Celine dan Celine segera bangun dari tidur, ia melihat kalau Bram sudah berbaring di sofa panjang kamar tersebut.
"Laki-laki tidak ada gunanya, kamu pikir, aku tidak membutuhkan nafkah batin?" geram Celine dalam hati, mulutnya mengeratkan gigi-giginya dan sekarang, Celine keluar dari kamar untuk memeriksa apakah suster bekerja dengan benar.
Sesampainya di kamar Keyra, Celine melihat suster sedang menimang Keyra seraya memberikannya susu.
"Jaga dia baik-baik, jangan sampai membuat malamku terganggu!" seru Celine pada suster dan karena mendengar suara lantang, Keyra yang semula sudah tenang itu kembali menangis dan hampir tersedak susu.
Sebelum pergi, Celine menendang pintu kamar yang sama sekali tidak bersalah.
Mendapatkan perlakuan yang seperti itu membuat suster menangis, ia merasa tidak ada satupun orang waras di rumah mewah tersebut.
"Ya Tuhan, kalau bukan karena sayang pada Nona Keyra, aku tidak sanggup bertahan di rumah ini," batin suster seraya memeluk Keyra, mengusap punggung gadis kecil itu supaya merasa aman.
****
Sekarang, Celine sudah kembali berbaring di kasur empuknya, ia menatap sebal pada Bram yang sampai sekarang belum juga menyentuhnya.
Celine pun tidur dengan membawa perasaan kesal.
Esok harinya, di meja makan, semua orang sudah berkumpul dan seperti biasa, cukup bagi Bram untuk melihat Keyra ada di ruangan yang sama, tanpa menyapa dan itu berlaku pada semua orang.
Tentu saja, sikap Bram yang masih dingin itu membuat Marini lama-lama kesal. Sesudah sarapan, Marini pun meminta Bram untuk menemuinya di ruang kerjanya.
Belum sempat duduk, Marini sudah mencecar Bram dengan rentetan pertanyaan darinya.
"Mau sampai kapan, Bram?" tanya Marini dan Bram memilih untuk diam, ia duduk di kursi yang tersedia.
Bram membuka ponselnya dan ia tertawa saat melihat konten lucu.
Lalu, Marini yang terabaikan itu menggebrak meja kerjanya.
Brak!
Mendengar itu, Bram pun kembali menyimpan ponselnya, pria bermata elang itu menatap datar wanita yang sudah melahirkannya.
"Kamu pikir, semua yang Ibu miliki untuk siapa, Bram?" tanya Marini dengan nada yang tinggi.
Bram berdecak, "Ck."
"Begini balasan mu pada Ibumu, hah?" Tanya Marini seraya bangun dari duduk. Wanita yang mengenakan dress hitam tanpa lengan itu berkacak pinggang, rasanya ingin sekali menampar putra semata wayangnya.
Namun, Marini sadar kalau itu hanya akan semakin membuat jarak diantara ke duanya.
Marini menarik nafas dalam dan mulai mengatur nafasnya.
"Bram, katakan apa maumu untuk menebus semua kesalahan Ibu, selain gadis itu!" kata Marini seraya kembali duduk di kursi kebesarannya.
"Apakah aku anak mu, Bu?" tanya Bram seraya menatap datar wanita yang terdiam itu.
"Apa maksudmu?" tanya Marini, ia merasa sesak saat anak yang sudah ia besarkan susah payah itu berani melawannya.
"Jawab saja," kata Bram seraya menyenderkan punggungnya ke kursi.
"Kamu keterlaluan, Bram!" bentak Marini seraya menyibak semua benda yang ada di meja termasuk laptopnya.
Melihat ibunya yang sudah frustasi, ternyata itu tidak cukup memuaskan baginya.
Jika aku menderita, maka Ibu harus menderita, begitulah pikir Bram.
"Ibu mau tau? Di sini yang keterlaluan adalah Ibu," kata Bram seraya bangun dari duduk.
Dan sebelum pergi dari ruangan itu, Bram kembali bertanya dan pertanyaan itu kembali membuat Marini kesal.
"Bu, pernahkah Ibu menuruti ku walau hanya sekali?" tanya Bram seraya menoleh dan Bram melihat wajah datar ibunya, terlihat kalau wanita itu mulai menitikkan air mata.
"Air mata andalan mu sudah tidak mempan lagi, Bu!" kata Bram dan kali ini Bram benar-benar pergi dari ruangan tersebut.
Lalu, Marini mengambil ponselnya, ia menghubungi seseorang dan mengatakan, "Bunuh wanita jalan*g itu!"
Tamatkah riwayat Zahra kali ini?
Jangan lupa klik like dan komen setelah membaca, ya.
Sampai jumpa di episode selanjutnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!