Hari itu Aisyah melangkah masuk ke kampus dengan mantap, menikmati hembusan angin pagi yang menenangkan. Matanya yang berbinar menatap bangunan kampus dengan penuh semangat.
“Aisyah!” panggil Nisa, sahabat sejak SMA, menyusul dari belakang. “Kau terlambat, lagi!”
“Maaf, Nisa. Tadi harus bantu ibu dulu,” jawab Aisyah sambil tersenyum, mengacungkan tasnya yang berisi Al-Quran dan buku-buku kuliah.
Mereka berdua melangkah menuju kelas mereka. Di tengah perjalanan, sebuah motor sport merah melintas cepat di depan mereka. Penunggangnya, seorang pemuda tampan dengan rambut acak-acakan dan senyum menggetarkan hati, menghentikan motor tepat di depan kelas mereka.
Itu Farhan, anak rektor sekaligus playboy kampus. Aisyah hanya bisa diam dan memandangi Farhan yang turun dari motor dan berjalan masuk kelas, sedangkan Nisa terlihat takjub dan terpesona.
Tak sengaja Aisyah dan Farhan bertemu untuk pertama kalinya dalam satu kelas mata kuliah. Aisyah duduk di belakang, sementara Farhan di depan. Di tengah-tengah kelas, saat dosen sedang menjelaskan, Farhan melirik ke belakang dan menatap Aisyah, yang tengah asyik mencatat.
“Apa dia melihatku?” bisik Aisyah pada Nisa, yang duduk di sebelahnya.
Nisa menyeringai. “Mungkin dia penasaran denganmu, si gadis berhijab di kelas ini.”
Aisyah menggeleng, mencoba menepis dugaan sahabatnya. “Jangan bercanda, Nisa. Dia pasti hanya melihat jilbabku, bukan aku.”
Nisa menatap Aisyah dengan serius. “Mungkin itulah yang membuatmu berbeda, Syah. Itulah yang membuatmu menarik.”
Sementara itu, di depan kelas, Farhan terus mencuri pandang pada gadis berjilbab di belakang. Ia tidak bisa menyangkal, ada sesuatu tentang Aisyah yang membuatnya tertarik.
Setelah kelas selesai, Farhan menghampiri Aisyah dan Nisa. “Hai, bolehkah saya bergabung?” tanya Farhan dengan senyum ramahnya.
Nisa terkejut tapi segera membalas senyum Farhan, “Tentu saja, Farhan.”
Sedangkan Aisyah hanya menunduk, merasa malu dan gugup dengan kehadiran Farhan. Ini pertama kalinya pemuda populer itu berbicara dengannya.
“Kamu Aisyah, kan?” tanya Farhan, menatap Aisyah yang tengah memungut bukunya.
Aisyah menatap Farhan, terkejut bahwa dia tahu namanya. “Iya, saya Aisyah. Anda tahu dari mana?”
Farhan tersenyum, “Saya mendengar Nisa memanggilmu tadi. Saya Farhan.”
“Saya tahu,” jawab Aisyah, sambil tersenyum malu.
Farhan tertawa lembut mendengar jawaban Aisyah. “Itu bagus. Jadi kita tidak perlu berkenalan lagi, bukan?”
“Sepertinya begitu,” balas Aisyah, masih dengan senyum malu di wajahnya.
“Kamu selalu berhijab setiap hari, ya?” Farhan bertanya, mencoba memulai percakapan.
Aisyah mengangguk, “Iya. Itu bagian dari keyakinan dan identitas saya.”
“Aku menghargai itu,” ucap Farhan dengan serius, mengejutkan Aisyah dan Nisa.
Hari-hari berikutnya, Farhan terus mencoba mendekati Aisyah. Meski pada awalnya canggung dan kikuk, namun lambat laun Aisyah mulai merasa nyaman dengan kehadiran Farhan. Dia mulai melihat sisi lain dari Farhan, bukan hanya seorang playboy kampus, tetapi juga seorang pemuda yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu.
Sementara itu, Nisa memperhatikan perubahan sikap Farhan. Ia merasa ada yang berbeda, ada yang lebih dari sekedar rasa ingin tahu. “Syah, aku rasa Farhan menyukaimu,” bisik Nisa suatu hari.
Aisyah terkejut, “Jangan mengarang, Nisa. Dia hanya teman.”
“Tapi lihatlah cara dia melihatmu, Syah. Itu bukan cara seorang teman melihat temannya,” Nisa berusaha meyakinkan Aisyah.
Aisyah menatap Nisa, terlihat bingung. "Maksudmu apa, Nis?"
Nisa menghela napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku maksud, dia melihatmu dengan cara yang berbeda, Syah. Lebih dalam, lebih intens. Itu bukan cara biasa seseorang melihat temannya."
Tiba-tiba, suara Farhan memecah lamunan mereka. "Hai, gadis-gadis. Apa yang sedang kalian bicarakan?"
Nisa memandang Aisyah sejenak sebelum membalas. "Oh, tidak apa-apa. Hanya obrolan ringan."
Farhan tersenyum, lalu menatap Aisyah, "Bagaimana kalau kita belajar bersama hari ini, Aisyah? Ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan tentang materi kuliah kemarin."
Aisyah menatap Farhan, merasa terkejut namun juga senang. "Tentu, saya tidak keberatan."
“Baiklah, bagaimana kalau kita mulai dari bab dua?” Farhan mulai membuka bukunya, fokus pada halaman yang ingin dibahas.
Mereka mulai membahas materi bersama, dengan Aisyah yang sesekali memberikan penjelasan lebih mendalam kepada Farhan. Tidak disangka, Farhan ternyata seorang pendengar yang baik dan cepat paham.
“Terima kasih, Aisyah. Kamu sangat membantu,” ucap Farhan setelah sesi belajar mereka selesai.
“Sama-sama, Farhan. Saya juga belajar banyak dari kamu,” balas Aisyah, tersenyum.
Farhan menatap Aisyah, senyumannya membuat hatinya hangat. "Saya juga, Aisyah. Saya belajar banyak darimu."
Mereka berpisah setelah belajar bersama, namun rasa hangat itu masih terasa di hati Farhan. Dia memutuskan untuk berbicara dengan Rafi, sahabatnya, tentang perasaan barunya.
"Maksudmu, kamu menyukai Aisyah?" Rafi terkejut mendengar pengakuan Farhan. "Tapi dia berbeda, Far. Dia bukan tipe gadis yang biasa kamu dekati."
"Saya tahu, Rafi. Mungkin itulah yang membuat saya tertarik," jawab Farhan. "Ada sesuatu tentang dia yang membuat saya merasa nyaman. Saya merasa berbeda ketika bersamanya."
Di sisi lain, Aisyah juga merasa bingung dengan perasaan barunya. Dia memutuskan untuk berbicara dengan ibunya, wanita yang selalu menjadi tempat curah hatinya.
"Ibu, apa yang harus saya lakukan jika saya merasa berbeda terhadap seorang teman?" tanya Aisyah, ragu.
Ibunya menatapnya dengan lembut, "Perasaan seperti apa, Syah?"
Aisyah merasa jantungnya berdegup kencang, "Seperti... seperti saya senang ketika bersamanya, merasa nyaman dan damai. Tapi dia bukan teman biasa, Bu. Dia adalah Farhan, anak rektor dan playboy kampus."
Ibunya tersenyum, "Cinta bisa datang dari mana saja, Syah. Jika kamu merasa nyaman dan bahagia, mungkin itu adalah cinta. Tapi kamu harus berhati-hati, Syah. Jangan sampai kamu terluka."
Aisyah mengangguk, merenung atas kata-kata ibunya. "Tapi Bu, Farhan berbeda. Dia selalu berubah-ubah."
"Sudahkah kamu melihat perubahan itu, Syah?" tanya ibunya dengan lembut.
Aisyah terdiam. Memang, Farhan tampak berbeda saat bersamanya. Tapi apakah itu cukup untuk meyakinkan hatinya?
Sementara itu, Farhan berdiskusi dengan Rafi tentang niatannya. "Aku akan berubah, Rafi. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa menjadi lebih baik."
Rafi menatap Farhan dengan ragu. "Itu bukan hal yang mudah, Far. Apalagi untuk seorang Aisyah."
"Saya tahu," balas Farhan dengan mantap. "Tapi saya bersedia mencoba. Untuk Aisyah."
Hari-hari berikutnya diisi dengan Farhan yang berusaha menunjukkan perubahan. Dia mulai rajin belajar, menghindari pergaulan yang tidak baik, dan bahkan mulai rajin ke masjid. Perubahan Farhan membuat banyak orang kagum, termasuk Aisyah.
"Sudahkah kamu melihat perubahan itu, Syah?" kata Nisa suatu hari, menirukan kata-kata ibu Aisyah.
Aisyah tersenyum, "Iya, Nisa. Aku melihatnya."
"Tapi apa itu cukup untuk meyakinkan hatimu?" tanya Nisa lagi, kali ini dengan serius.
Aisyah terdiam, menatap Farhan yang tengah serius membaca buku di kejauhan. "Aku tidak tahu, Nisa. Tapi mungkin, aku bisa memberinya kesempatan."
"Aku pikir itu ide yang baik, Syah," sahut Nisa, memberikan dukungan kepada Aisyah.
Aisyah menatap Farhan sekali lagi, kali ini dengan keputusan yang sudah jelas di matanya. "Ya, dia layak mendapatkan kesempatan."
Minggu berikutnya, Farhan mendapatkan kesempatan itu. Aisyah mulai membuka diri, membiarkan Farhan masuk lebih dalam ke dalam hidupnya. Mereka menghabiskan lebih banyak waktu bersama, belajar bersama, bahkan melakukan aktivitas sosial di kampus bersama.
"Mereka tampak cocok, ya?" gumam Rafi suatu siang, melihat Farhan dan Aisyah yang tampak akrab.
"Tampaknya begitu," balas Nisa, tersenyum melihat sahabatnya bahagia.
Namun, di balik semua kebahagiaan itu, ada rasa takut yang mulai tumbuh dalam hati Aisyah. Takut bahwa perubahan Farhan hanyalah sementara. Takut bahwa dia akan terluka.
"Apa yang kamu takutkan, Syah?" tanya ibunya suatu malam, melihat ekspresi khawatir di wajah Aisyah.
"Bukannya aku takut, Bu. Tapi... apa Farhan bisa berubah sepenuhnya? Apa dia tidak akan kembali menjadi seperti dulu?" Aisyah membiarkan keraguan di hatinya terungkap.
Ibunya menatapnya dengan penuh pengertian, "Itu adalah risiko yang harus kamu ambil, Syah. Tapi ingatlah, orang bisa berubah jika mereka memiliki alasan yang cukup kuat."
Aisyah merenung, mencoba mencerna kata-kata ibunya. "Mungkin kamu benar, Bu. Mungkin aku harus memberinya kesempatan."
Berbekal nasehat ibunya, Aisyah memutuskan untuk mengundang Farhan ke rumahnya pada akhir pekan. "Farhan, bagaimana jika kamu datang ke rumahku minggu ini? Kita bisa belajar bersama di sana," usul Aisyah suatu hari di kampus.
Farhan, yang terkejut dengan undangan tersebut, merasa senang dan gugup pada saat yang sama. "Tentu, Aisyah. Saya akan sangat senang."
Minggu itu pun tiba. Farhan berdiri di depan rumah Aisyah dengan rasa gugup. Dia membawa buku-buku dan sebungkus kue sebagai oleh-oleh. Setelah mengetuk pintu, Aisyah membuka pintu dan menyambutnya dengan senyuman.
"Hai, Farhan. Silakan masuk," ujar Aisyah.
"Apa kamu lapar? Saya bisa membuatkan kamu camilan," tawar Aisyah setelah mereka berada di ruang tamu.
"Terima kasih, Aisyah. Tapi, saya sudah membawa kue," sahut Farhan, menunjukkan bungkusan kue yang dibawanya.
Oh," Aisyah tampak terkejut sejenak namun segera tersenyum. "Baiklah, mari kita makan kue itu bersama."
Mereka pun duduk di ruang makan, memotong kue yang dibawa Farhan. "Ini kue favorit saya, Aisyah. Saya berharap kamu juga menyukainya," kata Farhan sambil memberikan sepotong kue kepada Aisyah.
Aisyah tersenyum, mencoba kue tersebut. "Ini enak, Farhan. Terima kasih."
Mereka kemudian menghabiskan waktu sore itu dengan belajar dan berbincang. Farhan membantu Aisyah memahami beberapa konsep sulit dalam pelajaran mereka, sementara Aisyah membagikan cerita tentang keluarganya dan mengapa dia memilih untuk selalu berhijab.
"Saya menghargai keputusanmu, Aisyah," kata Farhan, menatap Aisyah dengan penuh rasa hormat. "Bukankah mudah untuk memilih jalan yang berbeda, terutama di lingkungan kita ini. Tapi kamu tetap bertahan dengan pilihanmu."
Aisyah tersenyum, merasa gembira bahwa Farhan bisa menghargai pilihannya. "Terima kasih, Farhan. Saya senang kamu mengerti."
Farhan tersenyum balik, "Saya yang seharusnya berterima kasih, Aisyah. Kamu telah memberi saya kesempatan untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda."
Mereka melanjutkan belajar dan berbincang sampai sore hari. Ketika matahari mulai terbenam, Farhan menatap Aisyah, "Saya harus pulang sekarang, Aisyah. Terima kasih sudah mengizinkan saya belajar di sini."
Aisyah mengangguk, "Tentu saja, Farhan. Kamu selalu bisa datang kesini untuk belajar."
Setelah itu, Farhan pergi meninggalkan rumah Aisyah. Aisyah duduk sendirian di ruang tamu, menatap pintu yang baru saja ditutup Farhan. Dalam hatinya, ada rasa hangat yang menyebar. Dia mulai memahami apa yang dirasakan ibunya ketika berbicara tentang cinta.
Dalam perjalanan pulangnya, Farhan merasa lega dan bersemangat. Hari ini merupakan hari yang berarti baginya. Dia merasa semakin dekat dengan Aisyah dan merasa bahwa dia telah melakukan yang terbaik.
Saat Farhan sampai di rumah, dia disambut oleh Rafi, sahabatnya yang juga merupakan teman sekamarnya. "Kamu terlihat bersemangat, Far. Ada apa?"
Farhan tersenyum, "Hari ini... hari ini berbeda, Rafi. Aku merasa semakin dekat dengan Aisyah."
Rafi menaikkan alisnya, "Oh? Jadi kamu benar-benar serius tentang perasaanmu kepada Aisyah?"
"Iya, Rafi. Aku benar-benar serius," balas Farhan dengan mantap.
"Begitu seriusnya sampai-sampai kamu rela berubah?" tanya Rafi, masih mencoba memahami.
"Iya, Rafi. Aku berubah karena Aisyah. Dan aku akan terus berubah untuk menjadi lebih baik," jawab Farhan dengan yakin.
Sedangkan di rumahnya, Aisyah berbicara dengan Nisa lewat telepon. "Aku merasa ada yang berbeda hari ini, Nisa. Farhan... dia tampak berbeda."
"Dalam arti yang baik, bukan?" tanya Nisa.
"Iya, tentu saja. Dia tampak lebih dewasa, lebih serius. Dan aku... aku merasa nyaman bersamanya," jawab Aisyah, suaranya penuh dengan rasa takjub.
"Syah, aku pikir kamu mulai jatuh cinta," Nisa berbisik, suaranya penuh dengan kegembiraan.
Aisyah terdiam sejenak, lalu tertawa pelan. "Mungkin kamu benar, Nisa. Mungkin aku memang jatuh cinta."
Malam itu, Aisyah terbaring di ranjangnya, memikirkan kata-kata Nisa dan perasaannya terhadap Farhan. Dia merasa hangat dan gembira, namun juga sedikit takut. Ini adalah perasaan baru baginya, perasaan yang membuatnya merasa hidup.
Di rumahnya, terlihat Farhan tengah merenung. Dia memikirkan Aisyah dan bagaimana dia bisa menyampaikan perasaannya. Dia tahu ini tidak akan mudah, tapi dia siap untuk mengambil risiko.
Hari berikutnya di kampus, Farhan memutuskan untuk berbicara dengan Aisyah. Dia menemukannya di perpustakaan, tengah serius membaca buku.
"Aisyah, bisa bicara sebentar?" tanya Farhan, menghampiri Aisyah.
Aisyah menoleh, terkejut melihat Farhan. "Oh, tentu saja, Farhan. Ada apa?"
"Aku... Aku memiliki sesuatu yang ingin aku katakan," ujar Farhan, merasa gugup.
Aisyah menatap Farhan, merasa penasaran. "Tentu saja, Farhan. Apa yang ingin kamu katakan?"
Farhan mengambil napas dalam-dalam, mempersiapkan diri. "Aku... Aku..."
Namun, sebelum Farhan bisa mengatakan apa-apa, bel pulang berbunyi, mengganggu pembicaraan mereka.
"Oh, sudah waktunya pulang. Apa kita bisa bicara lagi besok, Farhan?" tanya Aisyah, bangkit dari tempat duduknya.
Farhan mengangguk, merasa sedikit lega. "Tentu saja, Aisyah. Kita bisa bicara lagi besok."
Malamnya, Farhan menghabiskan waktu berjam-jam mencoba memikirkan cara terbaik untuk menyampaikan perasaannya kepada Aisyah. Dia menulis dan mencoret berbagai kalimat di buku catatannya, mencari kata-kata yang tepat.
Disisi lain, Aisyah juga menghabiskan malamnya dengan berpikir tentang Farhan. Dia merasa penasaran tentang apa yang ingin dikatakan Farhan dan berharap bahwa itu adalah hal yang baik.
Keesokan harinya, Farhan menemui Aisyah lagi. Mereka berdua berdiri di taman kampus, di bawah pohon besar yang biasa mereka gunakan untuk belajar.
"Aisyah," Farhan memulai, mencoba mengendalikan gugupnya. "Aku... Aku merasa perlu memberi tahu kamu sesuatu."
Aisyah menatap Farhan dengan penuh perhatian, "Tentu saja, Farhan. Apa itu?"
Farhan mengambil napas dalam-dalam, "Aisyah, aku... aku menyukaimu. Lebih dari sekadar teman."
Aisyah terdiam, menatap Farhan dengan mata yang terkejut. Dia tidak tahu apa yang harus dijawab. Dia merasa bingung, terkejut, dan bahagia pada saat yang sama.
Farhan menunggu, hatinya berdebar-debar. Dia telah mengatakan apa yang paling dia takutkan, dan sekarang dia hanya bisa berharap bahwa Aisyah merasakan hal yang sama.
Mereka berdua berdiri di sana, dalam diam yang panjang. Mereka tahu bahwa apa yang baru saja terjadi adalah momen yang akan mengubah hubungan mereka selamanya. Mereka hanya perlu waktu untuk mencerna dan memahami apa yang baru saja terjadi.
Aisyah menelan ludah, mencoba menenangkan diri. "Farhan, aku... aku tidak tahu harus berkata apa," akhirnya dia berbicara, suaranya bergetar.
Farhan tersenyum pahit, "Tidak apa-apa, Aisyah. Aku hanya merasa perlu memberitahumu. Kamu tidak perlu merespons sekarang."
Aisyah menatap Farhan, merasa berterima kasih karena dia mengerti. "Terima kasih, Farhan. Aku butuh waktu untuk memikirkan ini."
Farhan mengangguk, "Tentu saja, Aisyah. Ambil waktumu."
Sebulan berlalu sejak pengakuan Farhan, dan Aisyah masih belum memberikan jawabannya. Dia merasa bingung dan takut, takut akan merusak hubungan mereka yang sudah ada. Dia berbicara dengan Nisa tentang ini, mencoba mencari nasihat dan bimbingan.
"Nisa, aku takut," ungkap Aisyah suatu hari, "Takut bahwa jika aku menerima perasaan Farhan, semuanya akan berubah."
Nisa mengangguk, "Aku mengerti, Syah. Tapi perubahan tidak selalu buruk. Mungkin ini adalah perubahan yang baik untukmu dan Farhan."
Aisyah menghela nafas, "Mungkin kamu benar, Nis. Tapi aku masih perlu waktu untuk memikirkan semua ini."
Sementara itu, Farhan merasa semakin gelisah. Dia tahu dia harus memberikan waktu kepada Aisyah, tapi dia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Dia berbicara dengan Rafi tentang ini, mencari dukungan dan saran.
"Farhan, kamu sudah melakukan yang terbaik," ujar Rafi, menepuk bahu Farhan, "Sekarang, yang bisa kamu lakukan adalah menunggu dan berdoa."
Farhan mengangguk, merasa sedikit lebih baik, "Kamu benar, Rafi. Aku harus sabar."
"Hanya saja," Farhan melanjutkan, matanya menatap ke luar jendela, "rasanya seperti menunggu di tepi jurang. Tidak tahu apa yang akan terjadi, apakah aku akan jatuh atau terbang."
Rafi menatap Farhan, melihat keseriusan di wajah sahabatnya itu. "Kamu sangat mencintainya, bukan?"
Farhan tersenyum pahit, "Ya, lebih dari yang pernah aku bayangkan."
Dalam diam, mereka berdua duduk, merenungkan apa yang baru saja dibicarakan. Mereka tahu bahwa situasi ini sulit, tetapi mereka juga tahu bahwa cinta tidak pernah mudah.
Sementara itu, Aisyah berada di kamarnya, menatap foto mereka berdua yang ada di meja belajarnya. Dia teringat momen-momen yang telah mereka lalui bersama, tawa dan tangis, suka dan duka. Dia teringat bagaimana Farhan selalu ada untuknya, bagaimana dia selalu mendukungnya.
"Apa aku juga mencintainya?" bisik Aisyah pada dirinya sendiri, hatinya berdebar-debar.
Pertanyaan itu menggantung di udara, mengisi ruangan dengan rasa penasaran dan ketidakpastian. Aisyah tahu bahwa dia harus membuat keputusan, tetapi dia juga tahu bahwa dia perlu waktu.
Hari berlalu, dan ketegangan antara Farhan dan Aisyah semakin terasa. Mereka berusaha bertingkah normal, tetapi mereka tahu bahwa ada sesuatu yang berbeda.
Pada suatu hari, Farhan memutuskan untuk berbicara dengan Aisyah lagi. Dia merasa bahwa dia tidak bisa menunggu lebih lama, bahwa dia perlu tahu jawabannya.
"Aisyah," kata Farhan, matanya menatap Aisyah dengan serius, "Apakah kamu sudah memikirkannya?"
Aisyah menatap Farhan, hatinya berdebar-debar. Dia tahu bahwa ini adalah saat yang dia tunggu-tunggu, bahwa ini adalah saat dia harus membuat keputusan. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk.
"Ya, Farhan," jawab Aisyah, "Aku sudah memikirkannya." Dia menatap Farhan, matanya penuh dengan keberanian dan tekad, "Dan aku ingin memberi tahu jawabanku."
Farhan menelan ludah, merasakan jantungnya berdetak kencang di dada. Dia menatap Aisyah dengan penuh perhatian, menunggu jawabannya.
Aisyah mengambil napas dalam, mencari kata-kata yang tepat untuk menyampaikan perasaannya. "Farhan," katanya akhirnya, "Aku... Aku menerima perasaanmu."
Farhan merasa seolah dunia berhenti berputar untuk sesaat. Dia menatap Aisyah, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Aisyah..." Dia menggenggam tangan Aisyah, matanya berbinar. "Aku... Aku tidak tahu harus berkata apa..."
Aisyah tersenyum, merasakan hatinya berdebar-debar. "Kamu tidak perlu berkata apa-apa, Farhan," katanya, menatap Farhan dengan penuh kasih. "Aku tahu perasaanmu, dan itu sudah cukup."
Farhan tersenyum balik, rasa syukur dan bahagia meluap dalam dirinya. Dia menggenggam tangan Aisyah lebih erat, merasakan kehangatan dan kelembutan yang selalu dia cari.
"Terima kasih, Aisyah," kata Farhan, matanya tidak bisa melepaskan tatapan pada Aisyah. "Terima kasih karena mau berada di sisiku, karena mau memahamiku."
Aisyah mengangguk, "Tidak ada yang perlu kamu syukuri, Farhan. Ini adalah keputusanku, dan aku merasa senang dengan keputusan ini."
Mereka berdua duduk dalam hening, menikmati kehadiran satu sama lain. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tapi setidaknya mereka yakin bahwa mereka berada di jalan yang benar.
Hari-hari berikutnya menjadi lebih cerah bagi Farhan dan Aisyah. Mereka menjalani hari-hari mereka dengan semangat baru, dengan cinta yang baru. Mereka mulai memahami arti dari menjadi pasangan, dari saling berbagi dan saling mendukung.
Namun, tak semua orang di kampus menerima hubungan mereka dengan baik. Beberapa teman mereka merasa kaget dan bahkan ada yang cemburu. Mereka harus berhadapan dengan gosip dan komentar negatif. Namun, mereka berdua memilih untuk mengabaikannya, untuk fokus pada cinta mereka.
"Apa pendapatmu tentang semua ini, Aisyah?" tanya Farhan suatu hari, setelah mendengar gosip tentang mereka.
Aisyah menghela nafas, "Aku tidak peduli, Farhan. Yang penting bagiku adalah apa yang kita rasakan, bukan apa yang orang lain pikirkan."
Farhan meraih tangan Aisyah, merasakan kehangatan dan kekuatan di dalamnya. "Aku senang mendengar itu, Aisyah. Kita tidak boleh membiarkan orang lain mengendalikan hidup kita."
Aisyah tersenyum pada Farhan, mengangguk setuju. "Tentu, Farhan. Kita harus menjalani hidup kita sendiri, tidak peduli apa yang orang lain katakan."
Dalam beberapa hari berikutnya, mereka menghadapi berbagai tantangan. Ada teman yang merasa kecewa, ada yang merasa cemburu, dan ada pula yang mencoba memecah belah mereka. Namun, mereka berdua tetap teguh dan kuat, tidak membiarkan hal-hal negatif itu mempengaruhi hubungan mereka.
Pada suatu sore, setelah selesai belajar bersama, Farhan memandang Aisyah dengan serius. "Aisyah, aku tahu kita telah memutuskan untuk tidak membiarkan apa yang orang lain pikirkan mempengaruhi kita. Tapi aku merasa perlu menanyakan ini padamu. Apakah kamu baik-baik saja? Apakah semua ini membebani kamu?"
Aisyah menatap Farhan, merasa terharu dengan perhatiannya. "Aku baik-baik saja, Farhan," jawabnya, memberikan senyuman yang meyakinkan. "Memang kadang aku merasa sedih mendengar apa yang mereka katakan, tapi aku tahu itu bukan hal yang paling penting. Yang paling penting adalah bagaimana kita merasakan satu sama lain, dan aku merasa bahagia bersamamu."
Farhan menghela nafas lega, merasa bersyukur mendengar jawaban Aisyah. "Terima kasih, Aisyah. Aku merasa sama. Selama kita bersama, aku yakin kita bisa melewati apapun."
Melihat senyum lega di wajah Farhan, Aisyah merasakan kehangatan yang menyelimuti hatinya. "Kita kuat, Farhan," kata Aisyah, menatap mata Farhan yang penuh kepercayaan, "Kita bisa melalui ini bersama-sama."
Dalam diam, mereka berdua memandangi matahari terbenam yang merona jingga. Itu adalah hari yang penuh tantangan, tetapi juga hari yang penuh cinta dan pengertian.
Beberapa hari berlalu dan hubungan mereka semakin kuat. Mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, belajar bersama, berbagi cerita, dan saling mendukung satu sama lain. Meskipun mereka harus menghadapi berbagai rintangan, mereka tetap berdiri teguh, menunjukkan kepada dunia bahwa cinta mereka lebih kuat dari apapun.
Suatu hari, saat mereka sedang duduk di taman kampus, Aisyah menoleh ke Farhan. "Farhan, apa kita harus memberi tahu orang tua kita?"
Farhan terkejut sejenak, kemudian mengangguk pelan. "Ya, aku rasa kita harus. Mereka berhak tahu, dan aku yakin mereka akan mendukung kita."
Aisyah merasa sedikit gugup, tetapi dia tahu Farhan benar. "Baiklah, kita akan melakukannya bersama, ya?"
Farhan tersenyum, meremas tangan Aisyah dengan lembut. "Tentu, Aisyah. Kita akan melakukannya bersama. Seperti yang kita lakukan dengan semua hal lainnya."
"Terima kasih, Farhan," ujar Aisyah dengan suara lembut. Ada rasa takut dan gugup di dalam dirinya, tetapi ada juga rasa percaya diri dan keberanian yang berasal dari dukungan Farhan.
Pada hari yang telah mereka tentukan, Farhan dan Aisyah memutuskan untuk memberitahu orang tua mereka. Mereka memulai dengan orang tua Aisyah, merasa lebih mudah untuk berbicara dengan mereka terlebih dahulu. Mereka duduk di ruang tamu rumah Aisyah, merasa canggung dan tegang, tetapi siap untuk menghadapi apa yang akan terjadi.
Aisyah memulai pembicaraan, "Ibu, Bapak, kami ingin berbicara tentang sesuatu yang penting."
Orang tua Aisyah saling pandang, lalu memandang Aisyah dan Farhan. "Tentu, Aisyah," kata Ibu Aisyah, "Apa yang ingin kalian bicarakan?"
Aisyah menarik napas dalam-dalam, meraih tangan Farhan untuk mencari dukungan. "Ibu, Bapak, kami... kami berdua sudah menjalin hubungan. Kami saling mencintai dan kami ingin menjalani hubungan ini dengan serius."
Orang tua Aisyah terdiam, menatap Farhan dan Aisyah dengan ekspresi yang tidak bisa mereka baca. Namun, setelah beberapa saat yang tegang, Bapak Aisyah memecahkan keheningan. "Apakah ini keputusanmu, Aisyah?" tanyanya, suaranya lembut tetapi serius.
Aisyah mengangguk, "Ya, Bapak. Ini keputusanku."
"Dan kamu, Farhan?" tanya Ibu Aisyah, memandang Farhan dengan tajam.
Farhan merasakan detak jantungnya berpacu, tetapi dia menjawab dengan percaya diri, "Ya, Bu. Saya mencintai Aisyah dan saya ingin menjaga dan mendukungnya."
Mereka berdua menunggu respons dari orang tua Aisyah, berharap bahwa mereka akan mendapatkan pengertian dan dukungan. Meski penuh tekanan, mereka tahu bahwa langkah ini sangat penting bagi masa depan hubungan mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!