NovelToon NovelToon

Hope And Wish

H&W1. Balap di lampu merah

Aku menurunkan kaca jendela mobilku. "Ayo, Bang. Kalau kau bisa ngalahin aku sampai lampu merah depan, mobil ini buat kau, Bang." Aku berseru pada mobil yang berhenti di samping kananku, di salah satu lampu merah yang cukup sepi karena waktu menunjukkan tengah malam. 

Aku ragu mobilnya bisa mengalahkan mobil legend yang sudah full upgrade ini. Meski aku mempertaruhkan mobil warisan nenekku, tapi aku yakin mobil LCGC standar keluaran pabrik itu tidak akan mampu mengalahkan mobilku. 

Jendela mobilnya dari tadi terbuka, entah AC-nya rusak atau memang ia tengah merokok. Tapi, aku kenal pemilik mobil tersebut. Tadi, kami mengantri di pom bensin yang sama. 

"Gak perlu, Ra." Wajahnya lemas dan terlihat mengantuk sekali, ia seperti amat lelah dengan aktivitasnya. 

Ia cukup tampan, tinggi, gagah, bidang usahanya menarik, ia masih muda, tapi terlihat begitu repot setelah ditinggal istrinya untuk selama-lamanya. Maksudnya, dia tetap harus melanjutkan hidupnya, bukan? Tentang semua yang dimilikinya, aku yakin ia masih sangat pantas untuk mendapatkan kebahagiaannya dan mengatur semuanya.

"Ayolah, Bang." Aku memamerkan gigiku. 

Aku ingin melihatnya ramah padaku, aku ingin melihatnya tersenyum kembali. Dulu aku seperti tidak ramah, aku cenderung datar dan ketus pada semua orang saat masih menjalin hubungan dengan laki-laki toxic. 

Setelah aku dikembalikan pada ayahku, alias janda. Aku merasa plong sekali, duniaku seperti di genggamanku dan aku tidak memiliki beban sama sekali. Meski sebenarnya, tanggung jawab terbesarku ada di bangku belakang. 

Ia tengah menikmati ibu jarinya, bayi tujuh bulan itu ikut ke manapun ibunya pergi. Selain karena ia masih ASI, ayahnya pun menantangku bahwa dirinya tidak akan memberi nafkah untuk anaknya, jika aku memaksa hak asuh anaknya jatuh padaku. 

Padahal, kakeknya yang ingin cucunya denganku. Benar, ayahku yang mengusahakan agar hak asuh anakku jatuh ke padaku. Alhasil seperti ini, aku membawanya pergi untuk mengurus usaha yang ayahku berikan untukku. 

Aku Caera Nazua, perempuan berusia dua puluh tiga tahun yang mengulur pendidikannya hingga tidak wisuda-wisuda, demi laki-laki yang effortnya luar biasa untuk meminangku, tapi ia tidak memiliki usaha untuk mempertahankanku. Ia tidak pernah berselingkuh, ia tidak pernah menentang perintah orang tuaku untuk melanjutkan usaha orang tuaku, ia pun sangat sopan dan pandai bersikap terhadap semua keluarga besarku. 

Namun, ia selalu menuduhku berselingkuh. Ia selalu mengira ada laki-laki lain yang aku respon dan mengira aku selalu tertarik dengan pria yang lewat di depan mataku. Ia pun melarangku untuk dekat dengan kakak laki-lakiku, meski jelas ia adalah saudara kandungku dan waliku setelah ayahku. 

Lebih gilanya lagi, ia selalu mengancamku dengan kekerasan fisik. Bahkan ia melakukan ancamannya itu, sehingga aku balik membuatnya sakit berkali-kali lipat. Aku adalah korban KDRT, ia pun korban dari KDRT yang aku lakukan untuk membalas perlakuannya padaku. 

Ah, aku berharap semua istri gagah berani sepertiku. Biarpun masuk penjara selama tiga hari, aku bangga dengan diriku sendiri karena bisa melindungi diriku sendiri kala orang tuaku jauh dan tidak ada yang bisa aku andalkan untuk melindungiku, karena suamiku sendiri malah melukai fisikku. 

Suami seperti itu, tidak memiliki nilai fungsi menurutku. Aku bisa membeli laki-laki, meski perharinya ia pasang tarif untuk memperlakukanku dengan baik. Tapi lebih baik lagi, jika ada laki-laki yang memperlakukanku dengan baik dan mau menanggung dosaku dan biaya hidupku. 

Itu ide bagus, jika aku tengah merasa lelah untuk bekerja sekaligus mengurus anak. Tapi karena pengalaman mendapat laki-laki yang salah, aku sering berpikir bahwa memang lebih baik semuanya dilakukan sendiri. Kecuali, kebutuhan ranjang. 

Sialnya itu candunya laki-laki. Kenapa mereka mengenalkan rasa enak itu, jika memang mereka tidak bisa membuat kami betah dalam waktu yang lama? 

Mana aku dari keluarga baik-baik, keluaran pesantren, hafizah Qur-an lagi. Masa iya harus berzina? Masa iya minta dijodohkan ayah dengan laki-laki lain? Nanti kelihatan sekali bahwa aku yang gatal. 

"Na, na, na, na…. Ma, ma, ma, ma, ma…." Ocehan Galen membuatku melirik padanya. 

Aku dan bayi laki-laki itu baru keluar kamar hotel dan baru saja mengisi perut kami. Ia bayi yang baru kenal MPASI dan sudah terbiasa makan malam yang begitu malam, tidak ada pantangan menurutku, yang penting aku mengerti tekstur makanan yang baik untuknya saja. 

"Galen ngajak balapan tuh, Bang Bengkel," seruku kembali berbicara pada mobil sebelah. 

Ia melirik, lampu interior mobilnya menyala dan aku aku bisa melihatnya dengan jelas. 

"Kamu bawa anak bayi malam-malam begini?" Lirikannya berubah menjadi pandangan kaget. 

Aku mengangguk dan tersenyum tipis. "Satu, dua…." Aku melirik ke arah lampu jalanan yang berubah menjadi hijau. 

Aku langsung menginjak pedal gas, meninggalkan dirinya yang melongo bodoh dan mobilnya yang masih berdiam di tempat. Ia tidak sigap, ia tukang bengkel yang amatir di jalanan. 

Mungkin ayahnya tidak seperti ayahku yang mengajakku balap mobil di lintasan yang semestinya. Hobiku didukung ayahku dan dalam pengawasan ayahku. 

Sampai akhirnya aku menepi setelah lampu merah berikutnya, mobilnya ternyata sudah ada di belakang mobilku dan ia menepi juga. Lampu mobilnya masih menyala, tapi ia keluar dari mobil dan membiarkan pintu mobilnya terbuka. Aku masih berdiam diri di tempat kemudi, memperhatikannya dari spion mobilku dan melihatnya jelas bahwa ia menuju ke pintu mobilku. 

"Bayi kamu kenapa-napa gak? Ya salam, Ra." Ia terlihat amat panik saat mengetuk kaca jendela mobilku. 

Aku menurunkan jendela mobilku, kemudian aku melirik ke spion tengah mobilku. Aku melihat anakku yang anteng menikmati ibu jarinya sendiri dan memperhatikan pemandangan malam dari jendela samping joknya, ia tidak menangis dan ia tidak kelihatan ketakutan. 

"Bayi aku kenapa memang?" Aku menoleh dan bertepatan sekali dengan wajahnya yang melongok masuk dari jendela mobilku. 

Aku lekas memundurkan kepala dengan segera dan memejamkan mata, jarak kami terlalu dekat dan ia orang asing untukku. Ia adalah percikan awal terjadinya KDRT dalam rumah tanggaku, karena ayahnya anakku menuduhku memiliki hubungan pada seseorang yang memiliki usaha bengkel ini. 

Padahal, ia hanya orang lain yang kebetulan berhubungan dengan saudara angkatku. Aku kenal dirinya pun, karena mobilku yang ini pernah servis di tempat usahanya. Ditambah lagi, ia menjadi saksi dalam persidangan gugatan ceraiku.

Tuan Handaru Albundio, kurang lebih seperti itu namanya. Tapi aku lebih sering memanggilnya 'bang Bengkel', karena aku mengenalnya di bengkel usahanya. 

Bayiku tertawa renyah melihat kepala laki-laki ini muncul, mungkin menurut anak usia tujuh bulan itu adalah hal lucu. Tidak lucu untuk jantung jandaku yang genap setahun hidup tanpa laki-laki dengan jarak sedekat ini. Mana parfumnya nyaman di hidung dan langsung terekam di otakku lagi, aromanya lembut dan segar. 

"Jangan ngebut-ngebut, Ra. Kasihan anak kamu, kamu mikir gak coba?!" sewotnya persis di depan wajahku. 

Aku merapatkan mataku kembali, kemudian membuka mataku sedikit untuk memastikan posisinya kembali. Ia tidak sadar, jika ia masih tepat berada di depan wajahku sedekat ini. 

"Kenapa kamu? Kamu sakit? Kok pucat berkeringat gitu?" Hembusan napasnya harum rokok tiga puluh ribuan. 

Aku teringat kenangan dalam sedekat ini dengan mantan suamiku, kemudian ia memujiku dan membuatku pasrah di bawahnya. 

"Aku lemah iman, janganlah sedekat itu." Suaraku berubah lemas dan sedikit serak. 

Hormonku terpancing seketika. 

...****************...

H&W2. Tamu malam-malam

Aku mendengar suara kekehannya, kemudian aku merasakan bahwa wajahnya sudah menjauh dari wajahku. Aku mengintip sedikit, sebelum akhirnya membuka mataku lebar-lebar. 

Syukurlah, kepalanya sudah keluar dari dalam mobilku. 

"Bentar, matiin mobil dulu." Ia menoleh ke belakang dan berjalan pergi. 

Anakku tertawa kecil, kemudian menendang kakinya seolah ia senang. Ia kira, ia diajak ciluk ba. 

Ini hari ketiga aku di Jakarta, aku mengambil mobil di rumah sepupuku lain kakek. Kemudian, aku mengambil kamar hotel dan mengajak anakku jalan-jalan. Segala berkunjung ke kebun binatang, padahal aku yang senang melihat binatang secara langsung dan bisa memberi makannya. 

Anak tujuh bulan, tentu tidak banyak mengerti. Kecuali, ia diajak ciluk ba. 

"Dari mana, mau ke mana? Jangan perjalanan ke Cirebon malam-malam." Bang Bengkel kembali berada di sisi luar jendela mobilku. 

"Baru keluar dari kamar hotel tadi, terus makan. Pengen ke arah Ancol, ambil kamar hotel di sana, terus besoknya ke Dufan sama Galen." Aku menoleh ke belakang dan mencoba mencolek kaki anakku yang berlapis celana panjang yang menutupi telapak kakinya. 

Aku tahu mobil dengan AC rendah pun dingin di malam hari. 

"Dufan? Bayi ke Dufan, mau ngapain? Mau kamu ajak main halilintar? Apa tornado?" Ia nampak kaget dengan matanya yang mekar sempurna. 

Kenapa dengan dirinya yang selalu kagetan jika ada sangkut pautnya dengan bayi? Apa karena waktu dirinya bayi, ia tidak digebrak? Jadi, apapun ia menjadi kaget. 

"Lihat ramai-ramai aja sih, kan ada badutnya di sana." Yang penting aku pernah masuk dan anakku tahu yang namanya Dufan. 

Biar nanti anakku sudah TK, ia bisa bercerita jika ia pernah berkunjung ke Dufan. Tapi ya, semoga saja Galen ingat. 

"Di lampu merah pun ada badutnya." Ia berkata perlahan dan amat jelas. 

"Dia bayi, Ra. Minimal dua tahun, dia bisa kenal tempat wisata. Aduh, mana daya tahan tubuhnya belum kuat. Hei, kamu lihat lah bayi kamu masih melek mata segede jengkol. Lebih baik ambil hotel, kelonin, ASIin, atau kasih dot, kasih sufornya." Ia menunjuk Galen dengan telunjuknya. 

Aku memperhatikan reaksi Galen dari spion tengah, ia malah mengeluarkan ibu jarinya dari mulutnya dan ia memamerkan gusinya yang belum keluar satu gigi pun itu. Ia melihat kakeknya marah-marah saja malah tertawa, apalagi lihat ibunya mendapat sewot seseorang. 

Pasti itu hiburan untuknya. 

"Galen emang ngantuk? Kita kan bangun tidur." Aku menoleh ke belakang dan mengulurkan kepalan tangan kiriku ke arahnya. 

Aku sering mengajaknya tos boom, ia kadang merespon dan kadang tidak. Namun, kali ini ia merespon kepalan tanganku dan ia tertawa geli ala bayi ompong. 

Ia gembira di mana saja, ia ceria di mana saja. Yang paling penting, ia tidak rewel dan selalu sehat di mana saja.

Sakitnya Galen karena imunisasi DPT satu, dua dan tiga. Ah, aku stress sendiri setiap ada imunisasi. Diimunisasi sakit, tidak diimunisasi bisa bakal lebih sakit. Aku sayang dirinya, meski pada anak seperti pada teman atau keponakan. 

Aku berpikir untuk tidak menjadi orang tua yang kolot, aku tidak mau Galen takut padaku untuk bercerita atau mengadu. Aku ingin sampai besar aku tetap bisa menjadi orang tua yang seperti teman, agar ia besar nanti bisa terbuka dalam bercerita dan sikapnya tidak banyak pura-pura di depanku selalu orang tuanya. 

Karena ada saja anak yang pura-pura baik dan alim di rumah. 

"Apa mau rehat di rumah ayah? Di kamar depan biasa? Yang waktu kamu hamil itu," tawar tuan Albundio yang memiliki entah berapa banyak cabang bengkel tersebut. 

"Ah, boleh. Sekalian nengokin anak Abang sama almarhumah. Aku belum sempat nengokin sama sekali soalnya, maaf ya?" Bahkan ketika wafatnya istrinya itu, aku tidak datang melayat karena selain jaraknya jauh, aku pun memiliki Galen yang baru saja mendapat imunisasi DPT. 

"Aku paham, kamu pun punya anak kecil. Ya udah, ikuti mobilku." Ia menjauh dari jendela mobilku, kemudian berjalan menuju mobilnya. 

Baiknya aku memberi apa ya? Aku mengingat beberapa perlengkapan bayi yang ada di bagasi. Aku memiliki stroller bayi portable, yang bisa digunakan sampai usai dua tahun. Aku membelinya ketika pulang dari kebun binatang dan belum sempat digunakan karena memang Galen lebih betah menjadi bayi kangguru. 

Pikirku, aku akan menggunakan stroller itu ketika aku bekerja di Cirebon. Agar Galen anteng dan terawasi, tapi sebaiknya diberikan dulu pada anaknya bang Bengkel, Galen bisa membeli lagi nanti di Cirebon. 

Mobil merah jenis LCGC itu sudah merayap pelan di depanku, dengan segera aku mengikutinya karena aku lupa jalan menuju kediaman ayahnya. Sepertinya, ia masih tinggal di sana. 

Aku pernah berkunjung sekali, saat aku memintanya menjadi saksi di persidanganku. Meski waktu itu bang Bengkel dalam kondisi lumpuh sementara karena kecelakaan, tapi ia cukup baik karena mau memenuhi permintaan tolongku. Ya mungkin, karena ia memiliki tujuan lain. 

Yang terpenting, harapanku untuk bisa bercerai sedikit ditolong oleh kesaksiannya dan keinginannya untuk tujuan lainnya dengan saudara angkatku pun terpenuhi. 

Harapan dan keinginan.

Pukul satu malam, tentu amat tidak pantas untuk bertamu. Tapi, aku kan diajak numpang istirahat. Bukan ingin bertamu. 

"Mana kuncinya? Biar aku parkirkan. Gih bawa anak kamu, ketuk aja pintunya, Farah pun biasanya meleknya malam." Bang Bengkel menghampiri mobilku. 

Aku mengangguk, aku keluar dari mobil dan berjalan memutar untuk mengangkat Galen. Galen sudah berisik, ia paling takut ditinggal sendirian. Mungkin ia berpikir, aku keluar dari mobil dan ingin meninggalkannya. 

Setelah aku keluar dan sedang berjalan memutar untuk bisa membuka pintu tempat Galen duduk, bang Bengkel masuk dan menduduki tempat kemudi. Terdengar ia seperti mengajak Galen bercakap-cakap dan ketika aku membuka pintu mobil ini, rengekan Galen mereda dan berganti dengan tawa. 

Galen biasa bergurau dengan siapapun yang mengajaknya di lingkungan rumah keluarga besarku, ia mudah bersosialisasi dengan orang baru juga. 

"Baaaa…. Ngobrol sama siapa, Galen? Mamah tak diajak ngobrol kah, hm?" Aku membuka safety seatnya dan perlahan mengangkat tubuhnya. 

Ia langsung girang, kakinya langsung menendang-nendang. Aku tidak tahu apa yang ayahnya lakukan sejak kami pisah saat aku masih mengandung Galen, tapi Galen jadi seperti kodok. Apa karena sudah tummy time sejak nol bulan? Tapi aku berpikir agar merangsang kemampuan Galen untuk menjaga keseimbangan tubuh, melakukan koordinasi pada paha dan mengontrol gerakan kepala. Bukan agar ia bisa lompat seperti kodok. 

Ya, ia sudah bisa melompat dalam posisi tiarap. Padahal, ia belum bisa merangkak ataupun ngesot. Ia bisa duduk tegak di usianya yang sudah menginjak tujuh bulan pas, ia juga bisa merespon dan mengambil barang dengan tangannya sendiri. Ya tentu, jika mampu dijangkau oleh tangannya. 

Aku meraih tas bayi, yang berada di sebelah child car seat Galen. Kemudian baru menutup pintu mobil. Aku melangkah masuk ke halaman rumah yang masih sama saat seperti aku menginjakkan kakiku di sini, rumah yang bersih dan terlihat tertata rapi. 

Perlahan, mobilku naik ke halaman rumah. Kemudian, bang Bengkel keluar dan membuka pintu garasi. Aku naik ke teras dan mengetuk pintu rumah beberapa kali. 

"Ya, Han…. Bentar." Itu adalah suara om Hamdan yang begitu ramah dan menyenangkan. 

Aku pernah diberi ikan channa dan ikan guppy olehnya ketika aku ngidam dan hamil trimester kedua, aku senang dan bahagia karena pemberiannya. Meski akhirnya, ikan guppy tersebut untuk konsumsi ikan channa. 

Ceklek….

Laki-laki yang beda delapan tahun lebih muda dengan ayah itu membukakan pintu untukku dan lihatlah ekspresinya, aku memasang senyum lebar menyambut pandangan kagetnya. 

Namun, tiba-tiba ia memelukku dengan membawa bayi di dekapannya itu. Ia menangis, seperti bertemu dengan seseorang yang membuatnya haru.

Kenapa responnya seperti ini melihatku? 

...****************...

H&W3. Interaksi Galen

"Kenapa, Om? Aku jahat ya? Maaf, Om. Bayi aku tak bisa ditinggal." Aku berpikir om Hamdan sedih karena aku tidak bisa hadir dalam pemakaman menantunya. 

Ia dulu bercerita padaku, bahwa ia sangat cocok dengan menantunya itu. Kak Harum sosok wanita yang tulus menurutnya, ia amat senang karena ada yang menerima anaknya meski anaknya dalam keadaan yang begitu menyedihkan. 

Aku hanya mengenal sepintas, aku pun tidak tahu pasti faktor yang membuatnya meninggal selain karena takdir. Karena sebelumnya, almarhumah terlihat sehat dan bugar. 

"Jantung Om hampir lepas, lihat kamu Om kira Harum. Mana Farah gak tidur-tidur, Om bingung ini anak kenapa. Udah gitu, dia nolak susu formulanya." Om Hamdan melepaskan pelukannya dan mengusap air matanya. 

Tidak yang menangis lebay juga, hanya berlinang air mata. Namun, begitu kentara jika matanya merah. 

"Oh, ini bayinya? Farah ya namanya?" Aku mencolek pipi bayi yang digendong seperti bayi pada umumnya. 

Berapa ya usianya? 

"Iya, Nak. Sini masuk, udah malam. Kasian Dedeknya." Om Hamdan mencolek pipi anakku. 

Namanya juga Galen, ia langsung mengambil jemari yang mencoleknya dan memasukkannya ke mulutnya. Mungkin ia pikir itu adalah Pocky. 

Makanya cepatlah punya gigi, Galen. Agar bisa makan Pocky dengan banyak varian rasa. 

"Udah masanya masuk-masukin benda ke mulut, ati-ati jaganya nih, Ra." 

Aku melangkah masuk ke dalam rumah om Hamdan, letak barangnya masih sama seperti saat aku datang setahun yang lalu. Hanya saja, sekarang ada tanaman hias dalam pot yang berada di ruang tamu. 

Galen berisik saja, ia minta diturunkan. Di sana pun, ia terbiasa dibiarkan ke sana ke mari. Bahkan ia senang mengejar robot sapu ke sana ke mari dengan gaya lompat kataknya itu. Ia terbiasa berkeliaran, karena memang rumah yang aku tempati cukup aman untuknya. 

"Memang udah jalan, Ra?" tanya om Hamdan, kalau aku menurunkan Galen. 

"Belum, Om. Bisa tiarap sambil lompat." Aku terkekeh geli, kemudian mengamankan letak meja ruang tamu. 

Galen lebih anteng dilepas, asalkan tidak ada kabel atau stop kontak yang letaknya di bawah. Jika ia lelah dalam posisi seperti itu, ia bisa duduk sendiri. Kemudian, ia akan berpindah tempat dengan cara tiarap dan melompat lagi. 

"Di sini aja, Ra. Kasihan, barangkali dadanya sakit." Om Hamdan mengajak ke ruang sebelah. 

Oh, ternyata sekarang ruang keluarganya diletakkan kasur busa yang besar. Bukan lagi sofa dan meja seperti dulu, jika televisi memang masih ada. 

"Sini, Bang." Aku melambaikan tanganku pada Galen yang berada di lantai. 

"Adudududuh…." Om Hamdan tertawa lepas melihat pergerakan Galen. 

"Farah, lihat si Abang tuh." Om Hamdan berjalan pelan dan membawa Farah untuk melihat ke arah Galen. 

Farah masih seperti bayi yang lemas. 

Karena tummy time, bayiku usia sebulan sudah mengangkat kepalanya ketika tengkurap. Saat usia dua bulan, ia bisa tengkurap sendiri dan berbalik sendiri meski usahanya begitu keras. 

Aku memperhatikan tinggi kasur. "Nitip Galen sebentar, Om. Aku mau ke kamar mandi, dia bisa kok naik turun kasur setinggi ini sendiri." Kasur yang mungkin tingginya hanya sejengkal. 

"Hah? Serius? Oke-oke." Om Hamdan manggut-manggut. 

Aku sudah tahu letak kamar mandinya dan aku langsung menuju ke belakang. Aku pernah tinggal sehari di sini, aku tamu yang tidak tahu malu dulunya. 

Aku selesai buang air dan mencuci tangan, aku lekas keluar kamar mandi ya sangat bersih untuk rumah yang dihuni laki-laki. 

"Hahhhh!" Napasku langsung memburu, aku kaget melihat punggung lebar ada di depan mataku saat membuka pintu. 

Aku kira, itu hantu tanpa kepala. 

Ia menoleh, memberi ekspresi datar dan memberiku jalan. Rupanya, ia tengah melakukan kegiatan kecil di depan dapur basah yang letaknya memang berada di depan pintu kamar mandi. 

Bang Bengkel tidak mengatakan sepatah katapun, atau hanya sekedar berbasa-basi jika tadi aku memang dalam keadaan kaget. Ia diam saja, tidak menegurku atau menyapaku hanya untuk formalitas keramahan. 

"Nyennyen…. Na…."

Aku mendengar suara rewel Galen. Apa ia mengantuk? Tapi kan kami janji untuk begadang. Ini malam Minggu, malam yang panjang tentunya. 

Aku segera meninggalkan area belakang rumah ini, kemudian datang untuk menemui Galen di ruang keluarga. Ia tengah merangkak naik ke pangkuan om Hamdan, itu adalah isyarat ia minta gendong. 

"Gendong sama Mamah sini, Bang?" Aku sering menyebut Galen dengan sebutan 'bang', karena ia anak sulungku. 

Ia meronta, menepis tanganku. Ia kekeh ingin diangkat oleh om Hamdan saja, mungkin ia rindu kakeknya. 

"Ini susunya Farah, Yah." Bang Bengkel muncul dengan membawakan dot susu. 

"Angkat Farah, Han. Si Abang minta digendong ini." Om Hamdan meraih dot susu tersebut, kemudian bang Bengkel bersiap mengambil alih bayi perempuan itu. 

Ayah yang bertanggung jawab. Ibunya wafat, anaknya diambil alih oleh ayahnya. Tak jarang, anaknya malah diasuh dan dibesarkan oleh nenek dan kakek dari pihak ibunya. 

Galen mulai bertingkat lagi. Ia parkir posisi dan malah menepuk-nepuk salah satu punggung kaki bang Bengkel yang naik ke kasur, Galen mulai bertambah berisik dan ia mengangkat kedua tangannya agar dirinya saja yang digendong. 

"Hmm, Dedek Farah sama Kakek dulu. Abangnya minta gendong sebentar, De." Bang Bengkel urung mengangkat bayi Farah. 

Ia malah mengangkat tubuh Galen dan memeluknya. 

Bang Bengkel lebih tinggi dari kakak laki-lakiku dan ayahku. Aku yang berada di belakangnya, merasa seperti bersembunyi di belakangnya. 

Galen tertawa renyah, saat kepalanya menghadap ke belakang. Karena ia bisa melihatku yang memperhatikan tingkah rewelnya itu. 

Galen seperti ketagihan digendong laki-laki, mungkin karena di sana terbiasa digendong oleh kakeknya. Ditambah lagi, ia jelas kurang kasih sayang dari seorang ayah. Dari kakeknya, tentu ia tidak kekurangan kasih sayang. Tapi kan, kakeknya juga masih punya anak kecil. Kasih sayang dan waktunya jelas terbatas dan terbagi. 

"Ini bukan ayah, Nak. Girang ya kamu?" Bang Bengkel mencium pipi Galen, ia mengajak Galen berinteraksi. 

"Aaaaaaaaa…." Galen membuka mulutnya dan melahap wajah bang Bengkel. 

Ia tidak suka dicium, everybody. Ia nampak kesal, karena pipinya tertusuk oleh bulu kumis. 

Namun, aku ikut tertawa karena mendengar tawa bang Bengkel begitu lepas dan renyah. Aku sedikit menggeser posisiku untuk melihat reaksi om Hamdan. 

Beberapa saat, ia membeku melihat respon anaknya seperti itu. Kemudian, ia menoleh ke arahku dan tersenyum sumringah. Ia menunjuk anaknya, seolah ingin mengangkat agar aku melihat reaksi anak dudanya itu. 

"Om gigit balik. Iiiiiiiiii, aemmmmmmm…." Bang Bengkel menunjukkan semua giginya dan membuka mulutnya. 

Galen lebih lepas tergelak, Galen adalah bayi yang bahagia sejak dijemur di rumah. Aku lahiran normal di bidan, dengan bobot bayi tersebut tiga koma lima kilogram. Tapi, kulit dan mata Galen menguning setelah tiga hari di rumah. 

Karena cuaca mendung, ia tidak pernah dijemur. Alhasil, ia akhirnya dirujuk ke rumah sakit. Kemudian setelah seminggu di rumah sakit, ia pulang ke rumah dan merasakan dijemur secara langsung di bawah sinar matahari pagi. Di situ ia sering terlihat tersenyum, apalagi jika dipakaikan kacamata hitam karena aksi isengku. 

Aku tahu saat itu ia tidak bisa diguraui, ia belum mengerti apapun, ia belum bisa merespon dan mungkin juga ia belum bisa melihat. Tapi, ia sudah sering tersenyum. Hingga bertahap sesuai bulan tumbuhnya, ia menjadi bayi yang bahagia dan doyan tertawa. 

Aku bersyukur untuk itu. 

"Udah pas tuh, janda bawa anak, duda bawa anak," celetuk om Hamdan saat aku asyik mengamati interaksi saling menggigit tersebut. 

Sontak, hal itu membuat kami saling melempar pandangan.

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!