“Dengan ini saya nyatakan kalian sebagai suami istri yang sah !”
Pernyataan pemuka agama itu langsung disambut dengan tepukan tangan para tamu yang hadir, membuat Jonathan Lesmana, pria berusia 26 tahun itu menarik nafas dalam-dalam untuk meredam emosinya.
Perempuan yang baru saja dinyatakan sah sebagai istrinya adalah Gabriela atau biasa dipanggil Gaby, muridnya yang baru saja genap berusia 17 tahun 2 minggu yang lalu.
Rasanya tidak percaya kalau akhirnya Jonathan harus terjebak dalam drama kawin paksa di jaman modern seperti ini dan yang memalukan karena status mereka adalah guru dan murid ! Benar-benar sangat menyebalkan !
Jonathan ingin menolak ritual ciuman mempelai usai dinyatakan sah tapi tatapan dari bangku para tamu yang hadir membuat ia terpaksa berdiri berhadapan dengan Gaby.
Jonathan memegang perutnya sambil mengernyit karena menahan rasa ingin muntah melihat Gaby sejak tadi malah senyum-senyum bahagia.
“Bapak kenapa ? Nervous dekat-dekat saya ?”
Bukannya khawatir, Gaby malah tertawa pelan meledek Jonathan yang wajahnya ditekuk.
“Kamu udah gila karena terlalu bahagia akhirnya bisa membuat saya menikahi kamu ? Jangan pikir ciuman saya ini karena sudah jatuh cinta. Ini semua cuma ritual dan pencitraaan demi nama baik keluarga,” bisik Jonathan supaya tidak ada yang curiga.
Mereka pikir Jonathan sedang mencium mesra pipi istrinya, padahal tatapan matanya penuh dengan kebencian di samping wajah Gaby sementara gadis itu malah tersenyum bahagia
“Iya saya sudah gila atau jangan-jangan tergila-gila sama Bapak,” sahut Gaby sambil terkekeh.
Lengkap sudah sandiwara mereka karena membuat keluarga dan para tamu menganggap keduanya benar-benar bahagia dengan pernikahan mereka.
“Saya sudah minta baik-baik pada Bapak untuk memenuhi permintaan Papi dan wasiat Mami, tapi dengan alasan sudah punya kekasih Bapak menolak saya mentah-mentah.”
“Bukan alasan tapi kenyataan !” tegas Jonathan dengan nada geram.
”Dan kenyataan juga kalau Bapak ditakdirkan untuk menikah dengan saya sejak 10 tahun lalu dan menjadi wali sampai usia saya 21 tahun.”
“Saya tidak yakin kamu akan melepaskan saya bahkan setelah usiamu mencapai 21 tahun. Bukannya kamu sudah tergila-gila sama saya ?” ejek Jonathan sambil tersenyum sinis.
Gaby menghela nafas, ucapan Jonathan makin lama akan semakin menyakitkan lagipula prosesi ciuman mempelai sudah terlalu lama dalam satu posisi.
Gaby pun menjauhkan wajahnya, menarik kerah jas Jonathan dan berjinjit untuk menempelkan bibirnya di bibir Jonathan.
Ciuman pertamaku, bisik Gaby dalam hatinya.
Mata Jonathan langsung membola dan cuitan langsung terdengar sambung menyambung karena melihat Gaby bersikap agresif daripada mempelai prianya.
“Kelamaan, saya juga sudah lapar,” ujar Gaby menatap ke arah hadirin sambil tersenyum manis.
Spontan yang mendengar langsung tertawa dan kedua orangtua mereka yang masing-masing hanya tinggal sendiri tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
“Kamu sudah gila ?” geram Jonathan di balik senyum terpaksanya.
“Kalau mau pencitraan jangan tanggung-tanggung ! Bapak terlalu lamban dalam bertindak dan saya bukan orang yang sabaran menghadapi cowok lelet seperti bapak,” sahut Gaby dengan suara berbisik.
“Dasar cewek munafik ! Kamu manfaatkan wajah kekanakan dan tubuh pendekmu itu untuk membuat orang menganggapmu gadis lugu dan polos.”
“Dan gadis yang tidak polos ini akan membuat Bapak tetap di sampingnya sesuai kesepakatan. Berdoa aja Bapak nggak sempat jatuh cinta sama saya hingga pernikahan ini berakhir,” bisik Gaby sambil tersenyum lebar.
Jonathan masih menggerutu di akhir prosesi tapi Gaby tidak peduli sampai akhirnya para undangan diberi kesempatan untuk memberikan selamat.
“Kalau memang ini pencitraan, tolong Bapak pasang tampang bahagia. Muka Bapak yang pas-pas an tambah jelek aja kalau cemberut begitu. Malas banget lihat foto kita dengan wajah jelek Bapak.”
“Kalau begitu nggak usah dilihat !” gerutu Jonathan yang akhirnya tersenyum juga, terpaksa dan kelihatan dibuat-buat.
Kalau tidak ingat ada Kepala Sekolah dan rekan guru dari sekolah SMA Dharma Bangsa, rasanya enggan tersenyum saat menerima ucapan selamat.
Pernikahan terpaksa dan serba dadakan ini tidak dilanjutkan dengan pesta, hanya makan sederhana di ruang sebelah. Tanpa pelaminan apalagi dekorasi mewah. Yang penting keduanya sudah sah.
Gaby langsung menghampiri Papi Hendri yang tengah berbincang dengan Om Sofian, orang kepercayaan di perusahaan. Begitu Gaby datang, Om Sofian pamit untuk mengambil makanan.
“Maafkan Papi,” lirih pria paruh baya itu sambil memegang kedua bahu putrinya.
Gaby bisa menangkap ada kesedihan di balik senyuman papi.
“Maafkan Papi yang membuat Gaby harus menikah semuda ini.”
“Jangan sedih begitu, Pi. Bagi Gaby, apa yang Papi lakukan ini adalah bukti cinta Papi untuk Gaby. Jangan khawatir, semua pasti baik-baik aja.”
Gaby tersenyum dan tatapan matanya menyiratkan kejujuran. Gaby memang sudah rela menerima takdirnya meskipun ia tidak tahu kemana Jonathan akan membawa pernikahan ini.
Setidaknya dengan pernikahan ini, Gaby akan mendapat keluarga baru, Mama Hani dan Jenny, adik Jonathan yang usianya 3 tahun lebih tua dari Gaby hingga meski statusnya adik ipar, Gaby tetap memanggilnya Kak Jenny.
Gaby melirik kedua orang yang sejak tadi berdiri agak jauh di belakang Papi. Ibu dan kakak tirinya sejak tadi menatap sinis ke arahnya. Gaby sudah terbiasa dan merasa lega akhirnya bisa lepas dari kekejaman mereka.
“Kalau suatu saat nanti Gaby kesulitan dalam pernikahan ini….”
Gaby menggeleng dan memegang lengan Papi.
“Papi lupa siapa Gaby ?” tanyanya sambil tertawa. “Semuanya pasti bisa Gaby hadapi jadi Papi tenang aja. Sekarang waktunya Papi fokus untuk kesembuhan penyakit Papi, Gaby sudah minta Om Dharma mencarikan jalan yang terbaik untuk Papi.”
Terharu dengan sikap putrinya, Papi Hendri langsung memeluk Gaby dengan perasaan yang campur aduk, antara sedih dan bersalah.
Seandainya Papi bisa memutar waktu kembali, hidupmu tidak akan sesulit ini, batin Papi Hendri.
-***
“Apa ini ?” tanya Gaby saat Jonathan menyodorkan satu map dan menyuruh Gaby menandatanginya.
“Kamu bisa baca tulis kan ?” ketus Jonathan. Gaby menghela nafas.
“Saya tahu Pak Nathan, tapi untuk apa menandatangani surat ini sekarang ?”
”Surat permohonan cerai itu adalah jaminan saya dan penegasan kalau pernikahan kita ini hanya di atas kertas, jadi jangan mengharapkan apa-apa !”
Gaby kembali menghela nafas. Ia baru saja masuk ke kamar tidur Jonathan. Keduanya masih memakai pakaian pengantin dan pria itu sudah langsung menyodorkan surat permohonan cerai.
“Apa Bapak nggak bisa nunggu besok, lusa atau minggu depan ?”
“Jadi kamu mengharapkan pernikahan kita untuk selamanya ? Jangan harap !”
Jonathan menyodorkan pena dan memberi isyarat supaya Gaby segera menandatanganinya. Gaby menatap pria itu dengan rasa kecewa. Ini benar-benar gila tapi tangan Gaby mengambil juga pena dari tangan Jonathan.
“Boleh saya tanya satu hal ?” Jonathan mengangguk.
“Apa surat cerai ini sama dengan surat ijin untuk Pak Nathan boleh tetap menjalin hubungan dengan kekasih bapak atau mungkin wanita lain ?”
“Pernikahan kita hanya di atas kertas jadi tidak usah kepo mengurusi hidup masing-masing. Surat itu ditandatangani kamu dan saya. Kalau menurut kamu surat itu sama dengan ijin untuk menjalin hubungan dengan orang lain silakan saja, hal itu berlaku bukan untuk saya saja tapi kamu juga.”
“Mama bilang bapak sudah putus dengan Mbak Maya.”
“Sudah saya bilang nggak usah kepo !” bentak Jonathan membuat Gaby agak terkejut.
“Cepat tandatangani dan jangan berharap saya akan berubah pikiran. Pernikahan kita hanya pencitraan bukan percintaan.”
Gaby menghela nafas dan menandatangani lembaran surat permohonan itu di bagian namanya. Hati Gaby tercubit, kakinya sudah gatal ingin menendang Jonathan jauh-jauh sambil berteriak kalau bukan hanya Jonathan yang terpaksa menjalani semua ini.
“Perlu cap jempol kaki dan tangan ?” sindir Gaby sambil tersenyum sinis.
Jonathan hanya diam dan menarik dengan kasar lembaran yang sudah ditandatangani Gaby.
“Surat ini saya yang pegang karena dalam kasus kita sayalah pihak yang paling dirugikan. Jangan coba-coba menekan saya karena surat nikah kita. Akan datang waktunya saya memproses surat ini, mungkin tidak perlu menunggu sampai kamu 21 tahun.”
“Suka-suka Bapak aja !” cibir Gaby dengan senyuman sinis.
Hati Gaby benar-benar sakit karena di hari yang sama ia harus menandatangani surat nikah dan permohonan cerai sekaligus.
Jonathan mencibir diam-diam saat mendengar mama dan adiknya memuji masakan Gaby pagi ini.
Pasti hanya untuk menyenangkan hati anak kecil doang, batin Jonathan.
Tadi pagi ia sempat mengutuki dirinya sendiri yang lupa kalau sudah memiliki istri. Kegiatan lari paginya di setiap akhir pekan atau libur nasional tertunda 10 menit karena saat keluar kamar, Jonathan melipir ke dapur untuk memastikan siapa yang sudah menebar wangi masakan di jam 5.30 pagi !
Untung saja dia tidak langsung menyapa seperti biasa karena Jonathan tidak yakin kalau mama yang sedang masak sepagi ini di hari libur.
“Gimana Nathan, cocok dengan masakan istrimu ?” tanya mama membuyarkan lamunnanya.
Perut Jonathan mendadak mual lagi mendengar mama mengucapkan kata istrimu, tapi tangannya bergerak juga memasukkan nasi goreng yang sudah ada di sendoknya.
Ketiga wanita yang duduk di meja makan fokus menatap Jonathan, menunggu reaksi saat nasi goreng menyentuh lidahnya untuk kedua kalinya. Tanpa sadar Jonathan malah mengangguk dan mengucapkan kata yang pantang dilontarkannya.
”Enak.”
Ketiganya menarik nafas lega dan tiga detik kemudian mata Jonathan membola karena baru sadar otak dan lidahnya tidak sejalan. Ia sudah bersiap-siap mencela dan mencari gara-gara untuk menjatuhkan Gaby tapi malah pujian keluar dari mulutnya.
S**hit ! maki Jonathan dalam hatinya.
“Ini telor mata sapi setengah matang kesukaan Mas Nathan. Gaby juga taunya dari Mama.”
Mata Jonathan kembali membola menatap Gaby yang duduk di sebelahnya. Sepotong telor mata sapi sudah pindah ke atas piringnya.
”Mas Nathan ?” Jonathan mengulang ucapan Gaby dengan dahi berkerut. Di seberang Gaby, Jenny sudah cekikikan melihat ekspresi kakaknya.
”Mama yang suruh. Gaby kan sudah jadi istrimu yang sah jadi selain di sekolah, Mama melarangnya memanggil kamu bapak. Dia kan nggak selamanya jadi muridmu.”
“Kalau Gaby panggil bapak terus bisa-bisa Kak Nathan disangka sugar daddy tapi kere,” ledek Jenny sambil tertawa.
Mama ikut tersenyum melihat Jonathan melirik adiknya dengan wajah ditekuk.
“Awas jangan kelepasan kalau di sekolah !” tegas Jonathan sambil mengangkat telunjuk kanannya. Gaby mengangguk sambil tersenyum.
Pencitraan, gerutu Jonathan dalam hati.
Kalau bukan dipaksa mama, Jonathan ingin kabur dan memilih jajan bubur ayam di taman yang ada dekat pintu masuk komplek. Perutnya lapar dan nasi goreng buatan Gaby memang enak tapi hati masih gengsi untuk mengakuinya apalagi menunjukkan kalau Jonathan menyukai masakan istrinya.
Usai sarapan, Jonathan langsung ke belakang, siap-siap mencuci pakaian yang sudah jadi tugas rutinnya seminggu sekali. Tapi ia kembali dikejutkan saat melihat jemuran dipenuhi pakaian yang sudah dicuci, wangi pula. Pakaian dalam miliknya juga sudah digantung dengan jemuran khusus digabung dengan milik wanita-wanita yang ada di rumah itu.
“Gaby yang cuci pakaian,” ujar Jenny sambil bersandar di pintu belakang.
“Sambil nunggu Kak Nathan mandi, aku dan Gaby menjemur pakaian yang sudah dia cuci tadi pagi.”
”Yakin bersih ?” sindir Jonathan.
”Cium aja masih bau ketek kakak nggak,” ledek Jenny sambil tertawa. Jonathan melotot sambil menggerutu.
Tidak perlu dicium langsung, wangi pelembut pakaian sudah terasa di hidungnya.
“Mama aja nggak nyangka kalau Gaby ternyata biasa kerja. Menyiapkan sarapan pagi untuk seluruh keluarganya adalah tugas Gaby setiap hari. Mulanya karena kewajiban dari ibu tirinya tapi lama-lama Om Hendri hanya mau sarapan yang disiapkan Gaby bukan istri atau anaknya yang lain.”
“Kamu yakin cerita dia bukan hoax hanya untuk menarik simpati ?” ejek Jonathan sambil tersenyum sinis.
“Bukan Gaby yang cerita tapi om Hendri yang cerita sama mama. Om Hendri bilang ia pasti akan sering kangen masakan Gaby.”
Jonathan hanya mencebik sambil melewati Jenny.
”Kamu balik naik kereta atau bus ? Harus sampai stasiun jam berapa ?” tanya Jonathan.
Jenny memang khusus pulang ke Jakarta sejak Kamis malam demi pernikahan kakak satu-satunya. Sayangnya Jonathan dan Gaby tidak menikah di liburan semester hingga Jenny harus kembali ke Semarang di hari Minggu ini.
“Gaby membelikan tiket pesawat sebagai ucapan terima kasih karena aku sudah khusus datang sampai bolos segala.”
“Dia memang paling pintar cari simpati orang !” gerutu Jonathan dengan wajah kesal.
Jonathan bergegas naik ke atas meninggalkan Jenny yang berdiri di ujung tangga menatapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Sampai di kamar ternyata Gaby baru selesai memindahkan isi kopernya ke dalam lemari.
“Jangan berlagak sok kaya pada keluarga saya !” tegas Jonathan dengan nada galak dan berdiri di dekat Gaby sambil bertolak pinggang.
“Maksud Mas… eh… Pak Nathan ?” Gaby mengerutkan dahi.
“Ngapain kamu beliin Jenny tiket pesawat ?”
“Tiket bus tinggal yang malam begitu juga dengan kereta api. Ada yang siang tapi harganya lebih mahal daripada pesawat jadi saya hanya berpikir ekonomis, lagipula dengan naik pesawat Kak Jenny bisa menghemat waktu dan tenaga juga.”
Jonathan mengerutkan dahi, cara bicara Gaby sangat berbeda dengan di kelas saat berdebat dengannya. Jonathan tersenyum smirk, ia berpikir kalau ancaman surat cerai itu ampuh juga untuk menjinakkan Gaby.
”Kak Jenny bilang kalau besok nggak ada ujian, tidak masalah ia bolos sehari lagi dan bisa ambil kereta malam.”
“Mau kemana ?” tanya Jonathan saat Gaby melewatinya.
”Mau simpan koper ini di gudang.”
“Nggak usah ngadu sama mama kalau kita nggak tidur seranjang !”
Gaby menghentikan langkah dan berbalik berhadapan dengan Jonathan.
“Saya bukan perempuan tukang ngadu apalagi sama mertua. Saya hanya mau ijin membeli sofa untuk saya tidur di kamar ini. Tidak mungkin selama 4 tahun saya tidur di lantai menggunakan gulungan karpet dan bed cover. Kalau saya mati mendadak, bapak nggak bakalan pusing, akan jadi masalah kalau saya pakai acara koma dulu, berbulan-bulan sakit karena masuk angin.”
“Lebay ! Mana ada orang masuk angin sampai koma. Saya tidak mengijinkan kamu menambah sofa . Sekarang saja kamar saya mendadak terasa sempit apalagi kamu tambahkan sofa segala.”
“Kalau begitu ijinkan saya beli kasur lipat karena lantai kamar ini dingin banget saat subuh. Saya sendiri tidak terlalu kuat tidur pakai AC.”
“Kamu memang paling pintar cari simpati orang dengan cerita-cerita melow,” sinis Jonathan.
“Butuh waktu bertahun-tahun untuk mendengarkan drama kehidupan saya,” sahut Gaby sambil tersenyum sinis juga. Ia berjalan ke arah pintu, malas berbalas sinis dengan Jonathan.
“Mama pasti nanya untuk apa beli kasur gulung apalagi untuk ditaruh di kamar.”
“Saya akan membeli dan membawanya kemari tanpa sepengetahuan Mama. Mulai saat ini tidak ada yang membersihkan kamar Pak Nathan selain saya dengan alasan status saya, jadi tidak usah khawatir mama akan tahu.”
“Kamu benar-benar lihai menarik simpati orang dengan sikap sok polos, sok rajin dan sok pintar. Saya akan memastikan kalau Mama dan Jenny akan melihat kepribadianmu yang sebenarnya dalam waktu dekat.”
“Silakan aja ! Bukankah itu yang bapak inginkan ? Semakin cepat orang bisa melihat keburukan saya berarti jalan untuk menceraikan saya semakin mudah. Sesuai kesepakatan, kita punya kebebasan dengan hidup masing-masing. Silakan bapak berusaha menjatuhkan saya dan jangan melarang saya membuat bapak bertahan dengan pernikahan ini sampai saya cukup umur. Kalau tidak terpaksa, saya juga tidak mau melakukan ini pada Pak Nathan. Tapi tenang saja, saya yakin papi sudah menyiapkam imbalan untuk kesediaan bapak menikahi saya.”
“Kamu kira saya menerima pernikahan ini karena harta ? Kamu lupa dengan sandiwaramu yang membuat semua orang percaya kalau saya berniat memperkosamu ?”
Gaby hanya tersenyum tipis sambil mengangkat mengangkat kedua bahunya.
Ia membuka pintu kamar, membawa kopernya keluar karena tidak ingin memperpanjang perdebatannya dengan Jonathan.
“Gaby, kamu nggak boleh duduk di situ !”
Pak Arif, guru fisika menyuruhnya pindah padahal posisi yang ditempati Gaby adalah tempat favoritnya di dalam bus.
Hari ini seluruh kelas 11 akan berangkat ke Muntilan hingga 4 hari ke depan. Mereka akan tinggal di rumah-rumah penduduk di kawasan pedesaan dimana masing-masing rumah akan menerima 2-3 siswa.
Mereka akan belajar tentang kehidupan, kebiasaan dan membantu pekerjaan sehari-hari para keluarga yang menampungnya.
“Tapi saya biasa duduk di sini, Pak.”
”Gaby, kali ini perjalanannya cukup jauh, badan kamu terlalu kecil dan tidak ada sabuk pengaman yang bisa memastikan kamu tidak akan tergelincir ke bawah.”
“Makanya tinggin tuh badan,” ledek Joni sambil tertawa.
“Perlu makan galah kayak elo ?” ketus Gaby.
Danu yang ada di samping Joni ikut tertawa. Sudah biasa mendengar Joni adu mulut dengan Gaby, gadis yang ditaksirnya.
Melihat tatapan mata Pak Arif yang tidak bisa dibantah akhirnya Gaby mengalah.
“Kamu mau ngapain ?” tanya Pak Arif saat melihat Joni beranjak dari kursinya.
”Mau duduk di situ, jagain Gaby,” sahutnya sambil menunjuk kursi yang tadi ditempati Gaby.
“Gue nggak butuh babysitter !” tolak Gaby sambil mendorong Joni supaya kembali duduk.
“Biar Pak Nathan yang duduk di situ.”
“What ?”
Mata Gaby langsung membola lalu ia menggerutu kesal. Sudah pasti rencana ini adalah konspirasi karena Pak Arif adalah salah satu guru yang tahu soal status Jonathan dan Gaby.
Pak Arif sendiri terlihat acuh, tidak peduli dengan kekesalan Gaby. Dan benar saja, begitu Jonathan masuk ke dalam bus, tidak ada pilihan lain selain duduk di sebelah Gaby.
Jonathan sendiri terlihat tidak peduli, tidak menyapa Gaby apalagi menunjukkan wajah bahagia kalau bisa duduk di samping istrinya, malah ia tengah berpikir kalau Gaby-lah yang sengaja menyiapkan tempat untuknya.
Gaby menghela nafas tapi sudah tidak bisa pindah karena bangku lainnya sudah terisi penuh dan di sisi kanan Pak Arif juga digunakan untuk meletakkan berbagai perlengkapan.
(MIMI) Asyiknya bisa sebelahan sama si guru ganteng sekalian suami. Jangan lupa pura-pura tidurnya jatuh ke kiri, jangan ke kanan. 😘😘😘
(GABY) Mau tukeran tempat ? Gratis !
(MIMI) No, thanks 😄😄😄
Gaby menghela nafas karena yakin masalah ini akan jadi bahan hinaan baru untuk Jonathan yang menganggap dirinya sebagai cewek gampangan.
*****
“Pacarnya Pak Nathan datang kemari. Katanya sih nggak sengaja lagi ada kerjaan di dekat sini.”
Mimi dan Gaby yang sedang asyik memetik cabai saling menatap. Beberapa anak mencari alasan untuk melihat wanita yang disebut “pacarnya Pak Nathan”
“Elo tau darimana kalau yang datang itu pacarnya Pak Nathan ?” tanya Mimi pada Chika yang tadi datang membawa informasi terkini itu.
“Ibu Farah. Bibirnya langsung nyinyir soalnya kalah cakep sama pacarnya Pak Nathan. Demi menutupi minder, langsung deh cari-cari kejelekan orang,” sahut Chika sambil tertawa.
Tidak lama hanya tersisa sekitar 8 orang termasuk Mimi dan Gaby yang masih setia memetik cabai.
“Elo mau lihat juga ?” tanya Mimi.
“Nggak usah, paling juga Mbak Maya yang datang.”
“Elo nggak cemburu ?”
“Helow Mimi, gue menerima pernikahan sama Pak Nathan karena kondisi papi bukan cinta jadi jangan harap ada kata cemburu.”
“Siapa tahu aja,” ujar Mimi sambil cekikikan.
Mereka pun kembali asyik memetik cabai sambil ngobrol dan sesekali berbincang dengan yang lainnya.
“Woi pemetik cabe, kalian semua disuruh berhenti dulu, ada undangan makan-makan di balai desa.”
”Beneran Nu ? Kok tumben banget ?” tanya Mimi dengan wajah tidak percaya.
“Beneran sih, ngapain gue khusus kemari buat isengin elo pada.”
“Rejeki anak soleh, Mi,” celetuk Irma yang ada di kebun cabe itu juga.
Akhirnya usai meletakkan bakul-bakul cabe di gubuk bambu yang ada di dekat situ, semua anak yang ada di kebun pergi ke balai desa.
“Gab,” Mimi langsung menyenggol lengan sahabatnya.
Gaby yang sedang ngobrol dengan Danu menoleh dan mengikuti isyarat mata Mimi. Ternyata sponsor acara pagi ini bukan kepala desa tapi “kekasih Pak Nathan” yang khusus datang membawa aneka kue kekinian.
Bukan hanya murid yang tinggal di desa Menayu diundang ke balai desa tapi para guru dan beberapa pamong desa ikut hadir. Gaby langsung membuang muka saat matanya tidak sengaja bertemu dengan Jonathan yang tengah menatapnya sambil tersenyum mengejek.
Ini baru namanya pencitraan, Pak Nathan, batin Gaby.
Melihat sikap Maya yang sedikit berlebihan mencari simpati murid-murid rasanya Gaby enggan antri mengambil makanan, apalagi ada Jonathan berdiri di samping wanita itu dengan muka songongnya.
“Gab !”
Gaby menoleh dan mendapati Joni mengangkat piring sambil menunjuk kue-kue yang ada di atasnya.
“Udah gue ambilin.” lanjut Joni dengan gerakan bibir tanpa suara.
Gaby terlihat ragu tapi tanpa terduga Mimi malah mendorongnya untuk keluar barisan dan menghampiri Joni. Sejak tadi Mimi juga melihat kegelisahan Gaby karena harus berhadapan dengan suami dan “mantan kekasihnya” itu. Mimi langsung jijik melihat sikap Maya yang over acting dan tidak malu disebut kekasih Pak Nathan di depan guru-guru, pamong desa dan teman-temannya.
“Udah sana !”
Mimi mengibaskan tangannya saat Gaby menoleh ke arahnya.
“Jadi Gaby doang nih yang diambilin ?” ledek Mimi yang sengaja berbicara cukup keras hingga menarik perhatian semua yang ada di situ.
Teman-teman mereka yang sudah tahu soal Joni yang naksir Mimi langsung riuh, bercie-cie dan mulai terdengar celetukan di sana sini.
“Elo juga boleh, Mimi sayang, soalnya gue yakin baby Gaby nggak bakalan habis juga.”
Joni yang suka membanyol itu malah menanggapi ledekan Mimi dengan kalimat yang semakin mengundang kehebohan.
”Langsung 2 istri, Jon ?” ledek Yadi yang duduk dekat mereka.
”1 istri, 1 selir atuh,” sahut Joni sambil menaikturunkan alisnya menatap Gaby.
Candaan Joni tambah membuat suasana semakin ramai sementara Gaby memutar bola matanya sambil geleng-geleng.
Hampir saja Gaby melipir tapi begitu teringat dengan situasi yang sedang dihadapinya soal Jonathan dan Maya, dengan gaya cueknya, Gaby malah mendekati Joni sambil tersenyum.
“Doni mana Doni….Hati elo kebakaran nggak ?” celetuk Mega kawan sekelas mereka.
Doni, pria berkacamata yang cukup tampan itu juga sudah lama naksir Gaby tapi belum berani mengungkapkan perasaannya langsung seperti Joni.
“Tenang, gue bukan tipe penyabot, jadi biar Gaby aja yang menentukan mau yang mana.”
Wajah Gaby langsung merona saat Joni berdiri dan menggandeng lengannya, mengajak duduk di dekat Doni.
“Elo apaan sih, Jon ?”
“Biar elo bisa merasakan di antara gue dan Doni, mana yang bikin jantung elo berdebar-debar.”
“Huuuu…”
Gaby sudah mau menolak dan duduk di dekat Raina dan Bimbim tapi Danu dan Mimi keburu mendekati mereka dan mendorong Gaby yang sempat bergeming.
”Kita berdua jadi penengahnya, Gab, elo tenang aja. Siapapun pilihan elo, nggak bakal ada perang saudara di kelas XI SOS-2,” ujar Danu dengan wajah sok wibawa sebagai ketua kelas.
Murid-murid yang lain langsung tepuk tangan sambil berceletuk sana-sini
“Jangan lupa PJ nya undang kelas lain,” celetuk Handi dari kelas XI IPA-1.
”Kalau soal itu, tenang aja, yang pasti lebih mewah dari makanan hari ini,” sahut Mimi sengaja dengan suara keras untuk menyindir Maya yang sejak tadi memperhatikan tingkah para murid itu.
“Asseekk !”
“Ditunggu undangannya, Gab.”
Mimi melirik Jonathan yang sudah duduk lagi bersama para guru dan lagi-lagi Maya “nempel” duduk di sampingnya persis kayak ulat bulu, hama pelakor.
Wajah Jonathan terlihat biasa saja, berbincang dengan Pak Gusti dan Pak Arif sambil menikmati kue yang dibawa Maya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!