“Kau keterlaluan Ma, teganya kau bermesraan dengan pria itu di depan mataku! Istri macam apa kau ini!”
“Hm, kau hanya bisa memandangi kesalahan saja Mas, sementara kau tak pernah menyentuh ku selama bertahun-tahun.”
“Bukankah kita telah sepakat, kalau di usia tua kita, aku tak lagi menjadi suami yang sempurna, dan kau sanggupi kesepakatan itu.”
“Tapi aku ini perempuan normal Mas, aku butuh seorang pria yang bisa membahagiakan aku.”
“Ooo, itu ternyata yang kau mau, lalu kenapa kau nggak berterus terang?”
“Gimana aku bisa berterus terang kalau aku telah terikat dengan kesepakatan kita, Mas.”
"Jadi, apa mau mu sekarang!"
"Aku minta cerai! lalu bagi semua harta dengan adil."
“Baik hari ini akan ku hilangkan semua kesepakatan kita dan aku siap untuk menceraikan mu, terserah kau mau menikah lagi dengan pria selingkuhan mu itu.”
“Nggak bisa gitu dong Mas! selain kau mengizinkan aku menikah dengan pria lain, kau juga harus memberikan harta warisan mu untuk hidup kami.”
“Hm, kau kira aku ini bodoh, hah! memberikan semua harta ku kepada perempuan gila seperti mu!”
“Heh Mas, kau kira aku ini nggak punya hak atas harta ini! kau salah Mas, bahkan di dalam harta ini, hartaku lebih dari lima puluh persen dari hartamu.”
“O ya, apakah kau nggak salah bicara? harta mu dari mana Ma, emangnya kau pernah bekerja semenjak kita menikah? nggak kan? kau hanya duduk senang di rumah, goyang-goyang kaki lalu terima uang setiap bulannya.”
“Tapi uang yang kau berikan kepadaku waktu itu, telah ku investasikan ke kantor tempat kau bekerja.”
“Salah mu sendiri, kenapa kau berbuat tanpa minta izin dulu pada ku!”
“Gimana aku minta izin, bukankah yang jadi pimpinan di perusahaan itu kau, Mas!”
“Hah, udah! udah! sekarang begini saja, kalau kau mau menikah dengan selingkuhan mu itu, silahkan saja, mulai hari ini aku nggak akan mau melihat wajahmu lagi di rumah ku ini!”
“Nggak bisa gitu dong Mas! sebelum kau membagi hartamu pada ku, maka aku nggak bakalan menikah dengan siapa pun.”
“Terserah mu! tapi jangan pernah kau bermimpi untuk mendapatkan seujung kuku pun harta dari ku.”
“Kau jahat Mas, kau ini benar-benar suami nggak berguna!” teriak Luna seraya melempar Sanjaya dengan pisau buah.
“Aw!” teriakan Sanjaya terdengar jelas, lalu kemudian dia terkapar jatuh di lantai.
“Oh, Mas!” teriak Luna seraya mencabut pisau buah yang menancap di punggung Sanjaya. “Tolong! tolong! teriak Luna meminta bantuan.
Karena suara jeritan Luna, beberapa orang kepercayaan Sanjaya datang menghampiri Luna. Mereka bertiga terkejut ketika melihat punggung Sanjaya berdarah.
“Ada apa Bu? ada apa dengan Bapak?”
“Jangan banyak tanya dulu, sekarang tolong bawa Bapak ke rumah sakit, secepatnya!” perintah Luna pada orang suruhannya.
“Baik Bu,” jawab ke tiga pria itu, seraya menggendong tubuh Sanjaya dan membawanya ke rumah sakit.
Setelah di larikan ke ruang UGD, Sanjaya mendapat perawatan maksimal di sana, luka sobek di bagian punggungnya telah mendapatkan jahitan.
Di saat Sanjaya berada di rumah sakit, Voni pun pulang dari sekolahnya, dia mendapatkan rumahnya dalam keadaan kosong tak berpenghuni.
“Papa! Mama! aku pulang nih. Papa! Mama! pada kemana semua orang, kok rumah kelihatan sepi,” gumam Voni pelan.
Merasa penasaran, lalu voni mencari keberadaan ke dua orang tuanya ke seluruh ruangan, setelah sekian lama mencari Voni tetap tak menemukan siapa pun di dalam rumah besar itu.
“Hm, pada kemana mereka semua ya? kenapa rumah di biarkan kosong?”
Karena lelah, lalu voni pun duduk diam di sudut tangga rumahnya, saat itu Voni baru teringat dengan telfon rumahnya. Kemudian Voni pun bergegas menghampiri telfon rumah dan menekan nomor telfon Mamanya.
“Hallo, Assalamu’alaikum, Ma.”
“Wa’alaikum salam nak, sekarang kamu ada di mana sayang?”
“Aku ada dirumah Ma, Mama dan Papa pergi kemana? Kok rumah kosong?”
“Rumah kita kosong? Bi Anum kemana?”
“Nggak tahu Ma.”
“Baiklah, kalau begitu kamu kunci semua pintu dan tetap diam di dalam kamar mu.”
“Emangnya ada apa sih Ma?”
“Kamu nggak usah nanya nak, cepat kau kerjakan perintah Mama, nanti sebentar lagi Om Bayu akan datang menjemput mu.”
“Baik Ma,” jawab Voni, seraya berlari menuju kamarnya.
Beberapa jam kemudian, Bayu pun datang untuk menjemput Voni, saat itu Voni sedang bersembunyi di dalam kamarnya.
“Voni! Voni! ayo kita ke rumah sakit Yuk!”
“Om Bayu.”
“Iya sayang, ayo kita ke rumah sakit.”
“Kita ngapain ke rumah sakit Om?”
“Papa kamu saat ini sedang berada dirumah sakit sayang.”
“Papa di rumah sakit? emangnya Papa sakit apa Om?”
“Papa terluka di bagian punggungnya, dia harus melakukan operasi kecil untuk itu.”
Karena Bayu telah menjelaskannya, Voni pun tak banyak bertanya, dia hanya mengikuti Bayu dari belakang.
“Cepat sayang, sini Om pegang tangannya.”
“Iya Om,” jawab Voni singkat.
Di dalam ruang perawatan, Voni melihat Mamanya sedang duduk diam di samping Papanya yang terbaring lemah.
“Oh, anak Mama sayang, kamu takut ya, saat udah nyampai ke rumah.”
“Iya Ma. Emangnya Papa terluka karena apa sih Ma?”
“Papamu itu terjatuh dan punggungnya kena goresan kawat.”
Mendengar penjelasan Mamanya, Voni hanya diam saja, karena Voni memang seorang anak yang tak banyak komentar, dia lebih memilih diam ketimbang bicara, sehingga sangat sulit sekali menebak jiwanya.
Setelah dua hari di rawat di rumah sakit, Abdi Sanjaya di izinkan kembali pulang ke rumahnya. Hingga tengah malam dia terus saja bekerja karena begitu banyak tugas kantor yang mesti di selesaikan.
“Papa, ini aku buatkan minuman hangat untuk Papa.”
“Oh sayang, kamu belum tidur nak?”
“Belum Pa."
"Kenapa?”
“Aku nggak bisa tidur, Pa.”
“Nggak bisa tidur, emangnya kamu lagi mikirin apa?”
“Mikirin Mama.”
“Ada apa dengan Mamamu?”
“Aku melihat Mama berduaan, dengan pria itu di sekolah.”
“Mama mu berduaan dengan pria itu di sekolah? ngapain mereka kesana?”
“Menjemput ku.”
“Lalu pria itu bilang apa sama Voni?”
“Nggak tahu, tapi aku nggak suka dengan pria itu Pa?”
“Kenapa nggak suka?”
“Dia mau pegang tangan ku, jika di belakang Mama.”
“Huuh, dasar hidung belang, beraninya dia menyentuh putri kecil ku.”
“Mama kok mau ya, berduaan dengan Pria itu, padahal dia jelek dan brewokan lagi.”
“Nanti kalau pria itu ikut menjemput kamu ke sekolah, kamu jangan mau, bilang saja kalau kamu udah janjian dengan Om Bayu.”
“Baik Pa, tapi Papa janji ya, kalau Om Bayu bakalan jemput aku ke sekolah?”
“Iya sayang, nanti Papa yang menyuruh Om Bayu menjemput kamu pulang sekolah, asalkan kamu janji, kalau kamu nggak bakalan pulang bersama Mama lagi.”
“Baik Pa, aku janji, nggak akan pulang bersama Mama dan pria itu.”
Bersambung...
*Selamat membaca*
Seperti janji yang di ucapkan Voni pada Papanya, siang itu saat dia hendak pulang dari sekolah, dia mencoba berdiri di dalam ruangan kelas.
Sementara itu Luna sudah datang ke sekolah bersama Tio, pria selingkuhannya, setelah sekian lama menunggu di depan sekolah, Luna menjadi heran, karena saat itu Luna tak ada melihat Voni, sedangkan sekolah hampir saja tutup.
Dengan bergegas Luna menghampiri satpam sekolah yang saat itu sedang bertugas, Luna ingin bertanya tentang Voni anaknya.
“Maaf, apakah anak-anak sekolah ini udah pada pulang ya, Pak?”
“Udah Bu, satu jam yang lalu.”
“Satu jam yang lalu, apakah masih ada yang tinggal di dalam?”
“Nggak Bu, semuanya udah pulang dan di jemput oleh orang tuanya masing-masing.”
“Tapi kenapa putri saya belum kembali ya?”
“Ah masa? Ibu orang tuanya Voni kan?”
“Iya.”
“Tapi Voni udah di jemput sama Pak Bayu Bu.”
“Bayu menjemput Voni?”
“Iya Bu,” jawab satpam itu singkat.
“Kurang ajar, ini pasti atas perintah Sanjaya yang jahat itu.”
“Ada apa sayang, kok kamu sewot gitu?”
“Itu tuh, Sanjaya.”
“Kenapa dengan suamimu yang loyo itu?”
“Dia menyuruh orang untuk menjemput Voni.”
“Bagus dong, berarti kita berdua bisa bebas dan pergi bermain kemana-mana.”
“Iya juga ya, kenapa saya mesti marah, kan itu lebih baik, bisa mempermudah kita berduaan setiap hari.”
“Kalau begitu, ayo buruan naik!”
“Ayo.”
Karena Luna tak berhasil membawa Voni kembali pulang dari sekolahnya, dia pun memanfaatkan kesempatan itu untuk pergi bersama Tio, mereka berdua menuju sebuah hotel bintang tiga yang ada di kota itu.
“Ayo sayang, buruan, aku udah nggak tahan nih!” ajak Tio seraya menarik tangan Luna.
“Yang sabar sayang, ini aku juga udah keburu kok.”
Luna benar-benar keterlaluan, dia begitu tega telah mengkhianati Sanjaya suaminya sendiri, Luna merasa kesepian, karena Sanjaya tak lagi mampu menghangatkan tubuhnya yang masih muda belia itu.
Di saat bersamaan, Voni telah diantar oleh Bayu ke rumahnya, dia tampak sangat senang sekali.
“Udah ya sayang, kalau begitu Om pergi dulu.”
“Tapi Om, rumahnya kok sepi ya?"
“Di dalam kan ada Bi Anum, Voni sama Bi Anum dulu ya?”
“Baik Om.”
Voni tak mau banyak bicara, dia juga nggak mau membantah ucapan orang yang dia hormati, termasuk Bayu, orang kepercayaan Papanya.
Dengan langkah pelan, Voni masuk kedalam rumahnya, di depan tangga, Anum telah menunggunya dengan serbet yang selalu di taruh di bahu sebelah kiri.
“Lho, kok non Voni pulang sendirian, Mama Non mana?”
“Aku pulang sama Om Bayu, Bi.”
“Pulang sama Om Bayu? padahal Mama Non, udah keluar dari tadi lho.”
“Biar aja Bi, paling Mama pergi.”
“Pergi kemana Non.”
“Aku nggak tahu, ya udah Bi, aku keatas dulu.”
“Baik Non.”
Lalu Voni pun masuk kedalam kamarnya, mesti Voni bagian dari keluarga yang hampir hancur, namun dia tetap fokus pada pendidikannya. Voni termasuk salah satu anak jenius yang jarang di temukan di sekolah mana pun, karena daya ingatan Voni sangat luar biasa.
Siang itu di saat Voni sedang belajar di dalam kamarnya, Sanjaya pun datang menghampiri putrinya yang sedang asik membaca buku.
“Kamu lagi ngapain sayang?”
“Oh Papa, ngapain Papa ke sini?”
“Nggak boleh, Papa menemui putri Papa sendiri.”
“Boleh sih. O iya, Pa! boleh nggak aku ikut latihan bela diri?”
“Latihan bela diri? untuk apa sayang, ikut latihan bela diri segala?”
“Nggak ada Pa, cuma untuk jaga-jaga aja.”
“Benar, hanya untuk jaga-jaga?”
“Iya Pa.”
“Baik, besok Papa akan masukan kamu ke perguruan silat.”
“Tapi Papa harus janji, agar nggak ngasih tahu Mama soal ini.”
“Kenapa?”
“Karena aku nggak mau aja Mama tahu.”
“Ya udah, kalau begitu Papa janji, sayang.”
“Makasih, Pa.”
“Sama-sama.”
Setelah Papanya pergi, lalu Voni ikut keluar, untuk mencari tahu apakah Mamanya udah kembali apa belum, Bi Anum yang sedang asik bekerja di dapur, langsung di hampiri oleh Voni.
“Eh, ada Non Voni.”
“Mama udah pulang Bi?”
“Belum Non.”
“Udah magrib begini, belum pulang juga?”
“Tapi kayaknya belum.”
“Ooo, begitu.”
“Non mau makan?”
“Iya Bi.”
“Baiklah, biar Bibi siapin di meja makan.”
“Nggak perlu Bi, biar aku makan disini aja.”
“Tapi ini dapur lho Non. Kotor, nggak baik Non Voni makan di sini.”
“Kata siapa Bi, semua tempat itu akan menjadi kotor, kalau hati kita itu sedang kotor.”
“O, begitu ya Non.”
Tanpa memilih tempat duduk, Voni langsung makan dengan lahapnya, dia makan dengan tenang tanpa bicara sepatah kata pun. Selesai makan Voni langsung masuk kedalam kamarnya untuk belajar.
Tak berapa lama kemudian diluar rumah terdengar suara deru mobil yang tak asing lagi di dengar oleh Voni. Dia pun langsung menoleh ke bawah, tak salah lagi, dari dalam mobil keluar Mamanya yang di temani oleh seorang pria selingkuhan Mamanya sendiri.
“Mama, Mama. Kapan ya, Mama mau mengubah sikap Mama yang seperti itu, apakah Mama nggak malu pada orang yang berada di sekitarnya.”
Tak berapa lama kemudian, Voni mendengar ada benda-benda berjatuhan di ruang bawah, serta suara ribut antara Papa dan Mamanya, Voni pun mulai menutup kedua telinga nya dengan tangan.
“Ya Allah, kapan semua ini akan berakhir,” rintih Voni sembari meneteskan air mata.
Sedangkan di ruang utama, tampak Luna bertengkar dengan Sanjaya, mereka berdua tak ada yang mau mengalah.
“Dasar istri nggak berguna, masih hidup aja saya, kau telah berani bepergian seharian bersama pria itu, pergi kemana saja kau seharian ini! jawab!” teriak Sanjaya seraya menarik rambut Luna dengan kasar.
“Lepaskan aku, dasar suami nggak berguna kau ini, kau kira aku betah dirumah seharian menantikan pria tak berdaya seperti mu, aku muak Mas, aku muak!”
“Kalau kau merasa muak, cepat keluar dari rumah ini, nggak usah kau tunjuk kan wajah mu di depan semua orang yang ada di rumah ku ini.”
“Enak aja! heh, ingat Mas, sebelum kau membagi harta kita, aku nggak bakalan mau pergi dari rumah ini.”
“Luna, Luna, aku nggak bakalan membagi harta ku sedikit pun pada mu, dasar perempuan nggak tahu malu.”
“Kau ini emang keterlaluan ya Mas, kau akan makan semua harta sebanyak ini sendirian?”
“Itu urusan ku, kau sendirikan yang menginginkan aku berbuat seperti itu!”
“Ingat Mas, kalau kau nggak membagi hartamu pada ku, maka, aku bakal tuntut kau ke pengadilan.”
“Terserah! sekarang kau keluar dari rumah ini, dasar perempuan nggak berguna.”
“Nggak bisa, aku nggak bakalan keluar dari rumah ini, sebelum hak aku kau keluarkan.”
Bersambung...
*Selamat membaca*
Sanjaya yang sudah panik, dia pun langsung pergi meninggalkan Luna sendirian, Luna tak ingin pergi sebelum suaminya mau berbagi harta padanya, lalu dia pun mengejar Sanjaya dari belakang.
“Cepat Mas, tolong kau berikan harta bagian ku, biar aku keluar dari rumah ini secepatnya!” teriak Luna seraya menarik tangan Sanjaya dari belakang.
“Apaan ini, lepaskan tangan ku dari tangan mu yang kotor itu,” ujar Sanjaya sembari menarik paksa tangannya dari genggaman tangan Luna.
“Cepat Mas, beri aku uang untuk menikah lagi.”
“Dasar perempuan gila kau ya, berani-beraninya kau minta uang pada ku untuk menikah dengan pria lain, emang udah stress kali ya?”
“Mas, aku hanya meminta hak ku saja kok.”
“Nggak akan ada hak mu di dalam harta ku, mulai hari ini kau jangan sentuh aku dengan tangan kotor mu itu lagi!”
“Kau benar-benar keterlaluan Mas, huhuhu…!”
Luna pun menangis histeris di ruang tamu, Voni yang melihat Mamanya menangis, hatinya benar-benar sakit, tapi akan lebih sakit lagi, kalau Mamanya sampai menikah dengan pria lain dan meninggalkan Papanya yang sudah tua.
“Mama kenapa nangis?” tanya Voni yang duduk di hadapan Luna.
“Voni? kamu udah dari tadi duduk di situ nak?”
“Iya.”
“Voni sayang, Mama boleh nggak minta tolong sama kamu.”
“Nggak.”
“Voni, dengarkan Mama dulu nak, Mama kan belum bicara apa-apa sama kamu.”
“Mama nggak perlu bicara apa-apa pada ku, karena aku udah tahu, Mama minta tolong apa.”
“Apa maksud mu nak?”
“Mama minta tolong, agar aku mau membujuk Papa, kan?”
Mendengar ucapan putrinya itu, Luna tampak terperangah diam, dia sungguh tak menyangka, kalau putrinya bisa membaca pikiran Mamanya sendiri.
“Oh, tunggu, tunggu! kau bisa membaca pikiran Mama nak?”
“Aku nggak membaca pikiran Mama, tapi aku tahu, pasti Mama punya tujuan seperti itu.”
“Baiklah, jadi kau mau bantuin Mama kan?”
“Nggak,” jawab Voni seraya berlari menuju kamarnya.
“Voni! Voni! dengarkan Mama nak!” teriak Luna dengan suara lantang.
Karena semua orang tak ada yang mau mengerti tentang dirinya, Luna pun menangis histeris sendirian.
“Kenapa nggak ada yang ngertiin aku di rumah ini, kenapa mereka semua sepertinya menghindar dari ku, oh huhuhu…!”
Pagi hari, Luna telah pergi duluan keluar rumah, entah apa yang ada di pikirannya saat itu, tapi yang pasti Luna pergi ke toko bahan kimia yang menjual racun serangga.
Lama Luna duduk di depan penjual racun serangga tersebut, tak berapa lama Tio pun datang menghampirinya.
“Kamu lagi ngapain disini sayang?”
tanya Tio ingin tahu.
“Aku lagi kesal Bang.”
“Kesal? kesal kenapa?”
“Tadi malam aku berantem dengan si tua bangka itu.”
“Pasti dia marahin kamu kan?”
“Iya, dia nggak mau membagi hartanya dengan ku.”
“Wah, kalau si loyo itu nggak mau membagi hartanya dengan mu, berarti, kita nggak jadi nikah dong sayang.”
“Kamu jangan gitu sayang, aku pasti usahakan kok, agar aku mendapat bagian dari harta Sanjaya itu.”
“Tapi, lama-lama aku jadi bosan juga menunggu mu, gimana kalau aku menikah aja dengan perempuan lain,” ujar Tio menakut-nakuti Luna.
“Kamu jangan nikah dengan perempuan lainlah, kan aku lagi usaha?"
“O iya sayang, aku punya ide.”
“Ide apa itu Bang?” tanya Luna ingin tahu.
“Lihat di belakang mu.”
Mendengar perintah dari Tio, Luna pun menoleh ke belakang, saat itu Luna hanya melihat kalau di belakangnya hanya berdiri sebuah toko Kimia, yang menjual berbagai macam racun.
“Emangnya kenapa dengan toko itu Bang?”
“Gimana kalau Sanjaya itu, kita racun saja, biar cepat mati.”
“Hah, benar! bagus juga ide mu Bang. Tapi siapa yang akan meracuninya?”
“Ya kamu lah, kau kau istrinya Sanjaya.”
“Kalau seandainya Sanjaya sampai meninggal, gimana?”
“Bagus dong, kita berdua bisa menguras seluruh hartanya sampai habis.”
“Ide mu, jitu juga ya?”
“Tentu dong, Tio gitu…!”
Awalnya Luna tak berniat seperti itu, tapi karena ide gilanya Tio, akhirnya Luna sepakat akan meracuni suaminya yang sudah dianggapnya tak bergairah lagi.
Pagi itu, ketika semua sedang enak tidur, Luna pergi ke dapur, dia berencana untuk meneteskan racun serangga itu ke makanan yang sudah di masak oleh Anum.
Benar saja, saat Anum lagi pergi ke kamar mandi, Luna meneteskan racun serangga itu kedalam masakan Anum. Saat itu Luna tak lagi berfikir panjang, kalau racun itu bisa di konsumsi oleh putrinya sendiri.
Ketika Sanjaya dan Voni udah siap duduk di meja makan, Anum langsung menuangkan sayur yang dia masak kedalam piring Voni. Luna sangat kaget sekali, karena racun yang dia campurkan ke masakan Anum, akan di makan oleh putrinya, pagi itu.
Mesti makanan itu akan di konsumsi oleh Voni, namun Luna tak dapat berbuat apa-apa, sebab kalau seandainya dia buka mulut dan melarang Voni makan, pasti Sanjaya jadi curiga, jadi Luna terpaksa tutup mulut saat itu.
“Maafkan Mama nak, Mama terpaksa melakukan semua ini, karena Papa mu itu," ucap Luna bermonolog.
Voni yang duduk dengan tenang mencoba untuk menyantap makanan yang ada di hadapannya, sementara Luna yang menyaksikan nyawa anaknya akan berakhir di tangannya diapun mencoba untuk menutup mata.
Saat itu, Voni teringat sesuatu. “O iya Bi, aku ke kamar dulu, ada yang lagi ketinggalan,” ujar Voni berlari menuju kamarnya.
Setibanya dia di dalam kamar, Voni baru teringat dengan Papanya yang saat itu juga hendak makan bersamanya di meja makan. Dengan cepat, Voni langsung berlari turun ke bawah untuk mencegah Papanya agar tidak memakan makanan itu.
“Papa, makanannya janyan di makan!” seru Voni berlari kencang menuruni tangga rumahnya.
Voni sudah terlambat, makanan itu telah di makan oleh Sanjaya hingga beberapa suap. Di depan mata kepalangan sendiri, tampak Sanjaya terjatuh dari kursi makan dengan mulut berbusa.
Di saat Sanjaya memegangi dadanya, Luna tampak tersenyum manis atas kemenangannya saat itu, sementara Voni yang gagal menyelamatkan nyawa Papanya dia merasa begitu berdosa sekali.
Voni memangis histeris di depan jasad Papanya, sementara itu, Sanjaya yang masih sadar dia masih sempat menyampaikan sepatah kata pada voni dengan berbisik.
“Sayang, setelah Papa meninggal, kau nantinya yang akan menjadi penerus Papa ya nak.”
“Iya Pa,” jawab Voni dengan deraian air matanya.
“Seluruh harta rumah dan asset perusahaan telah Papa wariskan ke padamu, nanti kalau kau sudah remaja, maka kaulah yang akan memegang tampuk perusahaan itu.”
“Iya Pa.”
“Udah, kau nggak perlu menangis sayang, Mama mu sengaja membunuh Papa dengan cara begini, agar dia bisa mendapatkan seluruh harta Papa, tapi jangan mimpi kau penghianat!”
“Udah, kalau mau mati, mati aja! nggak usah nyumpahin orang segala.”
“Mama benar-benar keterlaluan ya? Mama begitu tega meracuni Papa demi harta?”
“Heh Voni! kau itu masih kecil, kau nggak tahu apa-apa tentang harta sebanyak ini.”
Bersambung...
*Selamat membaca*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!