Hari yang seharusnya menjadi hari penuh kebahagiaan untuk Bita, kini berubah menjadi hari paling menyedihkan sepanjang hidupnya.
Karena calon suami yang sudah berpacaran dengannya bertahun-tahun, tidak bisa di hubungi, yang ada ponselnya dinonaktifkan.
Dan saat anggota keluarganya mendatangi rumah calon suaminya, ternyata rumah itu kosong.
Yang akhirnya membuat anggota keluarga Bita begitu murka, setelah mendapati semua anggota keluarga calon suaminya melarikan diri.
Membuat Bita yang sudah berdadan bak ratu dari kerajaan dongeng, langsung menghancurkan dandanannya, dan hanya tangis yang bisa ia lakukan untuk saat ini.
"Bibi sudah bilang padamu, Rian bukan pria yang baik. Kamunya masih ngeyel!"
Disaat Bita sedang bersedih, bisa-bisanya sang bibi masih menceramahinya. Hal itu membuat Bita langsung mengambil gelas yang ada di atas meja tidak jauh darinya, lalu membantingnya hingga hancur berantakan diatas lantai.
"DIAM!!!!!" teriak Bita.
"Kamu yang diam! Dasar bodoh! Jika sudah seperti ini, apa yang akan para tetanggang bicarakan hah!" seru Bibi Sumi pada sang keponakan yang susah sekali untuk di nasihati.
"Sudah, sudah," nenek Rohimah yang selama ini tinggal bersama Bita sang cucu, setelah kedua orang tua Bita tidak ada kabar sama sekali setelah merantau ke luar kota, dan tidak pernah kembali.
Kemudian nenek Rohimah menarik tangan bibi Sumi. "Kaponakan kamu sedang bersedih, setidaknya kamu hibur, Sum." tutur nenek Rohimah.
Tanpa orang tahu, yang paling bersedih saat ini adalah nenek Rohimah, melihat sang cucu gagal menikah. Cucu yang selalu ia sayangi sepenuh hati, ketika putri dan juga suaminya pergi merantau, dan sampai saat ini tidak ada kabar lagi, dan nenek Rohimah berbesar hati menganggap jika putri dan juga menantunya itu sudah meninggal dunia.
Meskipun keputusan itu sangat menyakitkan bagi nenek Rohimah, tapi apa boleh buat, dari pada ia harus menanti sesuatu yang tidak pasti.
Bibi Sumi menatap pada sang ibu, setelah nenek Rohimah menarik tangannya. "Ini karena ibu selalu memanjakan Bita! Coba kalau Ibu tidak memanjakannya, tentu saja anak bodoh itu tidak akan membuat kita semua malu! Seperti sekarang ini." kesal Bibi Sumi.
"Mau dikata apa, ini sudah terjadi Sum,"
"Enak banget Ibu bicara seperti itu, bagaimana dengan omongan para tetangga nanti, hah!?"
Namun, nenek Rohimah tidak lagi menanggapi ucapan dari sang putri, karena Ia sudah yakin, akan banyak omongan yang pasti kurang enak dari para tetangga.
"Bisanya hanya diam, dari awal aku sudah bilang pada Ibu. Jangan restui hubungan Bita dan juga Rian, tapi Ibu sama, keras kepala seperti anak bodoh itu!" bibi Sumi terus menyerocos, dan kini menatap pada Bita.
Dimana Bita kini duduk di lantai, dengan punggung ia sadarkan di tembok. Tentu saja dengan tangis yang belum juga reda.
"Hei, bodoh! Kamu tidak sedang hamil kan?" pertanyaan dari bibi Sumi, membuat Bita segera menoleh ke arah sang bibi.
Namun, bukannya menjawab pertanyaan dari bibi Sumi, Bita yang masih terus menangis. Mengingat lagi jika ia sudah telat datang bulan selama dua minggu. Bahkan juga mengingat beberapa kali, ia dan juga calon suaminya itu melakukan hubungan suami istri.
"Jawab bodoh! Jangan bilang kamu sedang hamil. Kalau iya, bibi akan membunuh kamu!"
"Sum, kamu bicara apa? Tidak mungkin Bita seperti itu. Kamu tahu keponakan kamu itu anak baik," sahut nenek Rohimah.
"Eleh, jangankan anak baik Bu. Jaman sekarang anak yang menutup tubuhnya dengan rapat dan ahli ibadah saja hamil di luar nikah."
"Tapi tidak semua, Sum. Dan ibu yakin, yang tadi kamu katakan tentang Bita tidak benar,"
"Coba saja tanya cucu kesayangan Ibu itu. Dia sudah lama pacaran sama Rian, Bu. Pasti sudah melakukan—"
"DIAM!!!!!" teriak Bita memotong perkataan dari sang bibi. "Dan sekarang keluar dari dari kamarku!" perintah Bita di sela-sela tangisnya.
Sementara itu di luar rumah, bisik-bisik tetangga tidak bisa dielakan lagi dari para tetangga Bita, mendapati calon mempelai pria malah kabur entah ke mana, padahal satu jam lagi acara ijab kabul akan segera di laksanakan, tinggal menunggu penghulu datang.
"Ya ampun, kasihan sekali Bita," kata salah satu ibu-ibu yang merasa kasihan dengan apa yang dialami oleh Bita.
"Untuk apa kasihan, itu karma. Siapa suruh dulu menolak lamaran putraku. Untung putraku sudah menikah dan kini hidup bahagia," sahut ibu-ibu lainnya yang tidak prihatin dengan apa yang dialami oleh Bita.
"Iya benar, ini karma dari keluarga yang tidak benar. Ibu dan bapaknya saja tidak benar, tentu nasib anaknya juga tidak akan benar," sambung ibu-ibu lainnya.
Dan ibu-ibu tersebut menghentikan pergosipannya, saat ada ibu-ibu lainnya datang dengan membawa kertas nasi.
"Sini ngumpul," kata ibu-ibu yang baru saja datang, lalu memberikan satu persatu kertas nasi. "Pernikahan ini kan, batal. Dari pada kita berghibah dan menghabiskan tenaga dan amal baik kita, lebih baik sekarang kita membungkus makanan,"
"Benar juga, yuk!"
"Ayuk!" sahut ibu-ibu lainnya.
"Tunggu!" ucapan dari seorang wanita, menghentikan ibu-ibu tersebut yang akan menuju meja perasmanan untuk membungkus makanan.
Dan ibu-ibu tersebut langsung menoleh kearah sumber suara, dimana ada seorang wanita tua dengan pakaian elegan, dan juga pria tampan dan juga rupawan dengan tubuh proposional.
Dimana pria tersebut tidak asing lagi bagi ibu-ibu yang tidak pernah absen menonton acara televisi
Stevano atau biasa di panggil Vano, pria yang usianya hampir menginjak kepala empat, yang masih betah menyendiri. Bukan hanya itu saja, Vano adalah seorang model dan juga aktor papan atas.
Tentu saja ibu-ibu yang tadi terus berghibah, sangat mengenal Vano.
Membuat ibu-ibu tersebut langsung mehampirinya untuk meminta foto.
Dan demi citra baiknya di dunia selebritis, terpaksa untuk Vano mengikuti permintaan ibu-ibu tersebut, sambil menunjukkan senyum paksa.
"Menjijikkan sekali harus berdesak-desakan dengan orang kampung seperti ini," batin Vano, sambil tersenyum paksa.
"Maaf," ibu renta yang tadi menghentikan langkah ibu-ibu yang ingin menuju meja perasmanan, kini berdiri di depan Vano, yang tak lain dan tak bukan adalah putra yang sangat disayanginya. Untuk menghentikan ibu-ibu yang masih terus mengelilingi sang putra. "Apa yang terjadi disini?" tanya ibu Vivi, nama dari ibu Vano.
Memastikan apa yang tadi di dengarnya tidak salah, jika acara pernikahan Bita yang tak lain dan tidak bukan adalah perawatnya, batal.
"Itu Bu, pernikahan Bita batal. Karena calon suaminya kabur." jawab salah satu ibu-ibu tersebut.
Tentu saja membuat ibu Vivi sangat terkejut. "Dimana Bita?"
"Di dalam rumahnya, Bu. Mungkin mau bunuh diri," jawab ibu-ibu lainnya asal.
Membuat ibu Vivi segera menarik tangan Vano sang putra, untuk masuk ke rumah Bita, yang tidak asing bagi ibu Vivi, dimana ia beberapa kali pernah masuk ke dalam rumah tersebut.
Suara tangisan terdengar jelas di kedua telinga ibu Vivi ketika sudah masuk ke dalam rumah Bita.
Dan ibu Vivi segera menghampiri nenek Rohimah dan juga bibi Sumi yang baru saja keluar dari dalam sebuah kamar.
"Dimana Bita?" tanya ibu Vivi.
Namun, tidak di jawab oleh nenek Rohimah, yang ada ia kini menumpahkan air mata yang sedari tadi ditahannya, untuk meratapi nasib sang cucu.
"Jangan menangis," kata Ibu Vivi sambil menepuk bahu nenek Rohimah. "Pernikahan Bita akan tetap terlaksana,"
Mendengar perkataan dari ibu Vivi, membuat nenek Rohimah langsung menatap pada atasan sang cucu tersebut.
"Itu tidak mungkin, calon suaminya melarikan diri," sahut nenek Rohimah.
"Putraku yang akan menjadi mempelai prianya,"
"Apa?!" teriak Vano mendengar apa yang sang ibu katakan.
Bersambung.........
Helooooo aku kembali!
Jangan lupa vote, komen dan juga hadiahnya ya, kalau tidak, aku mesuh! Wkwkwkwk
Dengan perdebatan yang cukup alot antara Vano dan juga sang ibu yang memintanya untuk menikahi Bita yang di tinggal kabur oleh calon suaminya di hari pernikahannya.
Membuat Vano kalah berdebat, dan mematuhi perintah sang ibu untuk menikah dengan Bita.
Toh bagi Vano tidak ada pengaruhnya, ia menikahi Bita demi keinginan sang ibu. Yang terpenting bagi Vano, sang ibu bahagia.
Lagian, meskipun sudah menikah, ia masih bisa menikmati dunianya yang bebas.
Begitu pun dengan Bita yang terpaksa menikah dengan Vano, atas desakan dari bibi Sumi.
Karena benar apa yang dikatakan oleh sang bibi, jika Bita menikah dengan Vano. Ia akan menyelamatkan keluarga besarnya dari hinaan para tetangganya.
Tentu saja seperti pernikahan pada umumnya, pernikahan Bita dan juga Vano juga terasa begitu sakral, tanpa ada satu pun orang yang boleh mengambil foto pernikahan keduanya.
Itu lah syarat yang Vano ajukan pada sang ibu, yang memintanya untuk tidak ada satu pun orang yang boleh mengambil gambar pernikahan dadakan tersebut.
Karena Vano tidak ingin pernikahannya dengan Bita diketahui oleh publik. Dan hanya orang-orang lingkungan Bita yang sudah terlanjur tahu.
Orang-orang tersebut pun sudah di sumpal uang oleh asisten dan juga manager Vano, yang datang tepat waktu ke lokasi. Untuk tidak menyebarkan pernikahan Bita dan juga Vano.
Setelah mengucap janji suci sehidup semati dengan Bita, Vano segera menuju mobilnya diikuti oleh sang asisten dan juga managernya.
Meninggalkan sang ibu yang masih berada di dalam rumah Bita, entah apa yang sedang dilakukannya Vano tidak tahu.
"Sialan kau, Van. Tidur dengan siapa, nikah sama siapa!" seru Sinta manager dari Vano, sekaligus salah satu wanita yang sering menghabiskan malam dengannya.
Membuat Vano langsung menoleh pada Sinta yang duduk tepat disampingnya. "Tidak usah banyak bicara, aku tidak pernah meminta kamu untuk tidur denganku. Kamu sendiri yang menawarkannya. Dan kamu tahu, aku pria normal, tentu saja tidak akan menolak."
"Iya aku tahu!" sahut Sinta yang juga menyukai hubungan bebas seperti Vano. "Oh ya Van, berarti wanita itu akan tinggal di rumah kamu?"
"Jangan tanya padaku, tanya saja ibu. Dan sekarang kamu minggir aku mengantuk, semalaman belum tidur!" perintah Vano pada Sinta dan mendorong bahunya untuk keluar dari dalam mobil.
Sinta menautkan keningnya mendengar apa yang Vano katakan. "Belum tidur? Kamu selesai syuting jam sepuluh loh, Van."
"Biasa ngamar dulu dengan artis pendatang baru yang itu tuh!" sahut Tan pria bertulang lunak yang sudah hampir sepuluh tahun menjadi asisten pribadi Vano, dimana ia sedang duduk di bangku pengemudi.
Sinta menoleh pada Vano. "Pantas saja semalam aku ajak tidur tidak mau, ternyata tidur dengan dia. Nanti malam tidur denganku ya Van?"
"Ah berisik! Keluar! Tidak tahu apa aku mengantuk!" seru Vano.
"Menyebalkan kau, Van." kata Sinta dan kini menoleh pada Tan. "Tan, ingatin bos kamu, nanti malam suruh ke apartemen aku ya?"
"Sinta, Sinta. Pengertian sedikit bisa kan? Bos baru menikah, tentu saja nanti malam dia main sama istrinya. Bagaimana sih kamu,"
"Siapa tahu tidak puas, nanti aku yang akan memuaskannya."
"Berisik!" kesal Vano.
Membuat Tan dan juga Sinta tidak bicara lagi, tahu jika Vano mengantuk ia akan mudah marah.
Baru saja Sinta menutup pintu mobilnya, kini pintu mobil tersebut di buka lagi, padahal Vano baru saja ingin memejamkan matanya.
"Sinta!" kesal Vano yang mengira jika Sinta lah yang membuka pintu mobil.
"Ini ibu, bukan manager kamu," ujar ibu Vivi yang mengenal manager sang putra.
Mendengar suara sang ibu, Vano segera menoleh padanya, lalu mengukir senyum. Pantang untuk Vano marah pada sang ibu, bagaimana pun keadaannya.
Dan senyum itu hilang ketika melihat sang ibu menarik tangan Bita dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobil terlebih dahulu.
Setelah memastikan Bita masuk dan duduk di samping Vano.
Ibu Vivi segera menutup pintu mobil, dan memilih duduk di bangku disamping bangku pengemudi dimana Tan berada. "Tan, kita pulang!" perintah ibu Vivi.
"Bu sebentar, untuk apa Bita ikut pulang dengan kita?"
"Ya ampun! Bita istri kamu, tentu saja dia akan pulang dengan kita. Bagaimana sih, kamu ini?"
"Atur saja sesuka hati ibu," kata Vano pasrah, terserah pada penguasa elemen apa yang akan di lakukannya.
"Nah, gitu dong, baru anak ibu," ucap ibu Vivi.
*
*
*
Setelah hampir satu jam setengah Tan mengendarai mobilnya, kini ia menghentikan mobilnya tepat di halaman parkir rumah ibu Vivi.
Ibu Vivi tersenyum, ketika melihat ke belakang, dimana Bita dan juga Vano berada.
Dimana keduanya masih tertidur, dan yang membuat ibu Vivi terus mengukir senyum adalah. Melihat Vano tidur dengan posisi kepala di pangkuan Bita.
"Bita, kita sudah sampai," ujar ibu Vivi untuk membangunkan Bita yang sekarang bukan hanya menjadi perawatnya, tapi juga menantunya.
Perlahan Bita membuka kedua bola matanya, setelah mendengar ibu Vivi memanggil namanya.
"Kita sudah sampai, Bita. Yuk turun!" ajak ibu Vivi.
Namun, ajakannya tersebut tidak dihiraukan oleh Bita, yang sedang merasakan pegal di kedua pahanya, membuatnya langsung menatap pada kedua pahanya.
Dan alangkah terkejutnya Bita, ketika melihat kepala Vano berada diatas kedua pahanya, padahal sebelum ia tertidur setelah lelah menangis, dengan jelas melihat kepala Vano yang sekarang sudah menjadi suami sahnya tidak berada di atas kedua pahanya.
Membuat Bita dengan segera menyingkirkan kepala Vano, dan membuatnya langsung jatuh dari tempatnya.
"Sialan!" seru Vano, karena ia harus mengakhiri tidur nyenyaknya, ketika baru saja mencium karpet mobil.
Kemudian Vano menatap pada Bita dengan kesal. "Apa yang kamu lakukan, bodoh!"
"Lagian siapa suruh Pak Vano tidur di pangkuan aku, hah?!"
"Terserah padaku mau tidur dimana. Ingat, kamu sekarang istriku! Jangankan hanya tidur di pangkuan kamu, meniduri kamu juga tidak ada masalah. Mau aku tiduri sekarang? Kalau mau, yuk!" ajak Vano, kemudian menarik tangan Bita untuk turun dari dalam mobil.
"Tidak sudi!" sahut Bita, sambil melepas tangan Vano.
"Eleh bilang tidak sudi, awas saja nanti. Aku jejelin singkong baru tahu rasa," kata Vano dan turun lebih dulu dari dalam mobil.
"Sorry, aku tidak suka singkong ya Pak."
"Oh ya? Kita buktikan nanti! Aku bikin gumoh baru tahu rasa!"
"Apaan sih! Tidak jelas!" sahut Bita menimpali ucapan dari Vano.
Membuat ibu Vivi yang mendengar pembicaraan keduanya hanya mengukir senyum, merasa jika keduanya adu mulut suasana menjadi hidup.
"Van, tunggu!" ibu Vivi menghentikan langkah kaki sang putra yang berjalan terlebih dahulu.
"Iya Bu, ada apa?" tanya Vano yang sudah menoleh kearah sang ibu.
"Ajak Bita ke kamar kamu, dia sekarang istrimu,"
"Baiklah, biar aku kasih makan singkong," sahut Vano sambil menyunggingkan senyum sinis dari sebelah sudut bibirnya, dan mendekati dimana Bita berada. Kemudian menarik tangannya. "ikut denganku!"
"Tidak mau!"
Bersambung...........
Tentu saja Bita memberontak ketika Vano terus menarik tangannya menuju kamar.
Dan setelah berhasil melepas tangannya, Bita segera bersembunyi di belakang tubuh ibu Vivi.
Dimana ibu Vivi terus tersenyum melihat Bita dan juga Vano sang putra.
"Bu, aku tidak mau tidur sekamar dengan pak Vano." tolak Bita, enggan mengikuti perintah ibu Vivi yang menyuruhnya untuk tidur satu kamar dengan sang putra. Toh, keduanya sudah resmi menjadi suami istri.
"Loh kenapa? Vano suami kamu, Bita. Sudah seharusnya kamu tidur satu kamar dengannya, dosa loh kalau pasangan suami istri tidak tidur satu kamar," kata Ibu Vivi agar Bita mau tidur satu kamar dengan Vano.
Karena jujur, ibu Vivi ingin sekali memiliki cucu dari sang putra, dan inilah saatnya, setelah Vano dan Bita menikah. Maka dari itu ibu Vivi ingin Bita tidur di kamar yang sama dengan Vano agar keinginan memiliki cucu segera terwujud.
"Maka dari itu, tidurlah di kamar Vano. Tidak ingin kamu dapat dosa kan?" tanya ibu Vivi.
"Tidak sih Bu, tapi aku tidak ingin tidur satu kamar dengan tukang teh ce—" Bita tidak jadi meneruskan ucapannya, ketika melihat Vano melotot kearahnya, mengisyaratkan untuk tidak meneruskan ucapannya, karena Vano tahu apa yang akan Bita katakan, pasti dia akan mengatakan tukang teh celup, julukan Bita untuk Vano yang sering celap celup ke lubang yang berbeda.
"Kamu pikir, aku juga mau tidur satu kamar dengan perempuan bodoh seperti kamu? Sorry, tidak sudi!" sahut Vano.
"Pak, jaga bicara Pak Vano ya. Aku tidak bodoh!" Tentu saja Bita tidak terima dengan ucapan Vano yang terus mengatakan jika dirinya bodoh.
"Lah, itu kenyataannya kan? Sampai calon suami kamu itu, pergi meninggalkan kamu di hari pernikahannya. Kalau kamu tidak bodoh, mana mungkin dia akan meninggalkan kamu!"
"Dan Pak Vano lebih bodoh, jika tahu aku bodoh, untuk apa menikahiku?"
Vano tidak menjawab pertanyaan dari Bita, yang benar adanya.
Membuatnya langsung meneruskan langkah kakinya yang sempat tertunda untuk segera ke kamar, ingin meneruskan tidurnya yang tadi sempat tertunda. Dan percuma bicara dengan perawat sang ibu, yang pasti tidak akan ada habisnya dan membuatnya emosi.
***
Meskipun ibu Vivi menasihati Bita dengan berbagi macam hal, tapi tetap saja, Bita memilih tidur di kamar yang selama ini menjadi tempatnya beristirahat ketika berada di rumah ibu Vivi.
Namun, semalaman Bita tidak bisa memejamkan matanya, ketika mengingat calon suaminya yang pergi entah ke mana saat hari pernikahannya.
Namun, sekarang Bita tidak sama sekali menitikan air mata. Dan yang ada hanyalah rasa kesal yang tersisa untuk mantan calon suaminya itu. "Aku doakan burungmu tidak akan pernah berdiri." ucap Bita mendoakan mantan calon suaminya.
Tapi setelahnya Bita menautkan keningnya, ketika ia mengingat sudah telat datang bulan. "Jangan-jangan aku hamil? Ah, tidak mungkin!" seru Bita yang langsung turun dari tempat tidur, lalu mengambil tas miliknya untuk mengambil test pack yang sempat ia beli beberapa hari lalu setelah ia menyadari sudah telat datang bulan.
Kemudian ia keluar dari dalam kamar, menuju kamar mandi untuk mengecek apakah ia hamil atau tidak setelah telat datang bulan. Mengingat lagi, beberapa kali ia dan juga mantan calon suaminya pernah melakukan hubungan suami .
Alangkah terkejutnya Bita, setelah melihat dua garis merah di test pack, yang beberapa saat lalu ia celupkan ke air seninya. Dan artinya ia memang sedang hamil.
"Sialan!" kesal Bita dan menendang ember yang terdapat di kamar mandi tersebut. Untung saja ini masih jam empat pagi, jadi tidak ada yang mendengar apa yang dilakukannya, karena seluruh penghuni rumah belum ada satu pun yang bangun.
Bita terus mengumpat sampai tiba di dalam kamarnya. "Murahan!" kata Bita pada dirinya sendiri. "Apa yang harus aku lakukan? Bunuh diri? Ah tidak, aku sudah berdosa besar masa aku harus menambah dosa. Tidak, itu bukan jalan yang baik," tanya Bita, dan ia juga yang menjawabnya.
Bita pun terus berpikir, apakah ia harus mencari keberadaan Rian yang sudah menanam benih di rahimnya. Tapi, harus mencari ke mana, Bita tidak tahu kucing garong itu sekarang berada.
Setelah berpikir kesana kemari, tiba-tiba muncul ide di otak Bita. Jika ia harus tidur dengan Vano, agar tidak ada yang curiga jika bayi yang di kandungnya adalah bayi mantan calon suaminya.
Setelah mempunyai ide gila tersebut, Bita segera keluar dari dalam kamarnya.
Dan tujuannya saat ini adalah ke kamar Vano yang sudah resmi menyandang status sebagai suami sahnya.
Bita maju mundur ketika sudah berdiri di depan pintu kamar Vano yang ada di lantai dua rumah tersebut.
Nyali besar yang tadi ingin tidur dengan Vano, kini tiba-tiba menciut.
"Apa yang kamu lakukan disini?"
Bita langsung menatap kearah sumber suara yang sangat ia kenal, dimana Vano sudah berdiri tidak jauh darinya. "Pa– pak Vano?" tanya Bita terbata.
"Apa yang kamu lakukan di depan kamarku, hah?" tanya Vano yang ternyata baru pulang, setelah semalam ia ada syuting dadakan yang tidak bisa di tunda.
"Ingin tidur dengan pak Vano," jawab Bita dan langsung membekap mulutnya, karena sudah keceplosan mengatakan niat awalnya. "Eh maksud aku ingin—" Bita tidak jadi meneruskan ucapannya.
Karena tangannya tiba-tiba di tarik oleh Vano masuk ke dalam kamar.
"Pak! Lepaskan aku!" teriak Bita, padahal niat awalnya ingin tidur dengan Vano, tapi ternyata nyalinya tidak cukup besar.
"Kamu bilang ingin tidur denganku, kebetulan aku sedang kedinginan. Jadi mari kita olah raga pagi," kata Vano sambil menyinggungkan senyum sinis dari sebelah sudut bibirnya. Dan terus menarik tangan Bita.
Kemudian Vano melepas tangan Bita, lalu mendorong tubuhnya hingga jatuh di atas kasur.
"Aww Pak, sakit!" pekik Bita karena dorongan Vano yang begitu kuat.
"Nanti enak, jika sudah makan singkong," balas Vano.
"Aku tidak suka singkong Pak!"
"Kita lihat saja nanti, kamu menyukainya atau tidak," kata Vano lalu menindih tubuh Bita, sambil mengukir senyum sinis. Ingin segera menikmati tubuh Bita yang sudah lama menggoda matanya.
"Awww, Pa Vano! perut aku sakit!" pekik Bita, dan coba mendorong tubuh Vano yang masih terus menindih tubuhnya.
"Oh ya. Jangan pura-pura, kamu sendiri yang ingin tidur denganku kan? Dan sekarang aku akan mengabulkannya,"
"Pak, tolong. Perut aku benar-benar sakit," keluh Bita lagi.
Alhasil membuat Vano segera beranjak dari atas tubuh Bita, ketika melihat keringat dingin mulai muncul di keningnya.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Vano karena Bita sekarang memegangi perutnya, sambil meringis kesakitan.
"Perut aku sakit Pak,"
"Kamu datang bulan?" tanya Vano melihat banyak darah diatas seprei putih yang membungkus kasurnya.
Bersambung............
Guys, aku mohon pada kalian jangan nabung bab ya, kalau nabung bab aku nangis kejar 😭😅
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!