Laki-laki itu memandangnya datar, "Apakah ada alasan khusus?"
Tak sulit untuk memahami pertanyaannya, itu sebabnya dia langsung menjawab di detik pertama, "Alasan? Aku hanya ingin memperbaiki dunia yang berantakan ini."
"Begitu, ya?" Lelaki itu tersenyum sambil menutup mata, "Terang sekali. Aku sampai harus berpaling." Iris hitamnya kembali terungkap dan dia bertanya lagi, "Jadi ini keputusanmu?"
"Ya, aku akan melakukannya dengan caraku. Kau pasti juga memiliki caramu sendiri, bukan?"
Waktu terus bergulir namun keheningan masih betah singgah, mengekang dua insan yang saling berhadapan dalam sunyinya. Hanya terbetik bisikan angin; melodi yang melatari perputaran roda kenangan di dalam kepala. Bagaimanapun, pastinya, baik dirinya maupun lelaki itu, keduanya sama-sama meratapi rantai yang datang membelenggu takdir.
"Baiklah, kita akan mengambil jalan masing-masing." Sorot mata lelaki itu mengeras kala ia mendesis, "Aku akan melepaskanmu kali ini. Jika selanjutnya kita berjumpa, aku akan membunuhmu."
"Jika selanjutnya kita berjumpa, aku akan menyelamatkanmu," balasnya sebelum lenyap dalam gelap.
...🔥...
...\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=...
...VOLUME 1...
...Goddess Of The Hunt...
..."Dewi Perburuan"...
...\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=...
[ INTERMISSION ]
Pada abad ke-22, Aplistia, negeri yang didirikan di atas dataran Yunani oleh sebuah keluarga pebisnis kaya raya, sudah bukan lagi negara yang berbentuk kerajaan. Negara adidaya itu kini dikepalai oleh suatu dewan beranggotakan sejumlah bangsawan yang menjuluki diri mereka sendiri sebagai 'perwakilan rakyat'. Hal tersebut terjadi karena raja terakhir Aplistia memutuskan untuk membubarkan sistem monarki. Alasannya masih simpang siur sehingga memicu banyak rumor. Isu yang paling populer berkaitan dengan keselamatan Ratu, tapi tidak ada yang benar-benar bisa memastikan. Bagaimanampun, anggota keluarga kerajaan asli masih senantiasa menerima hormat serta cinta dari para penduduk. Bahkan mayoritas menganggap diri mereka masih dipimpin oleh seorang raja. Mengapa demikian? Menurut catatan sejarah, setelah keluarga konglomerat ini memutuskan untuk membentuk dinasti sendiri, pencari suaka korban konflik/perang yang tunggang-langgang dari berbagai negara, diterima dengan tangan terbuka di wilayah Aplistia. Mereka merasa sangat berhutang budi di tengah penolakan dan sentimen yang dilancarkan negara lain kepada mereka. Hingga saat itu, mereka melihat keluarga kerajaan sebagai jelmaan dewa penyelamat.
Oke, aku di sini bukan untuk berdongeng atau mempromosikan aliran sesat itu dengan menyebutkan seribu satu kebaikan semu "dewa" mereka. Bukan juga menghakimi keputusan Sang Raja yang terkesan lepas tangan sementara tikus-tikus berdasi berkembang biak di setiap sudut kawasannya. Revolusi adalah salah satu hal yang sulit untuk dihindari di dunia yang kutinggali sekarang, di puncak evolusi umat manusia pasca malapetaka yang melumpuhkan separuh dunia.
Bicara tentang duniaku, perspektifku pribadi membaginya menjadi dua bagian yang kemudian menentukan kemana moralku ini memihak.
Bagian kanan adalah bagian dunia di mana terdapat kupu-kupu yang tidak dapat mengepakkan sayapnya.
Sementara bagian kiri adalah sarangnya para kantung sampah yang memiliki segalanya.
Betapa ironis. Betapa tragis.
Pernahkah kalian memikirkan tentang keberadaan orang-orang yang mungkin saja telah lelah dengan dunia yang berantakan ini?
Atau mungkin, itu kalian sendiri?
Percayakah kalian dengan eksistensi manusia yang memiliki kemampuan melampau luar nalar?
Tidak mungkin ada? Tentu saja mungkin. Apa yang mustahil di masa sekarang? Ilmu pengetahuan ‘kan terus berkembang, sejalan dengan makhluk hidup yang tak pernah berhenti berevolusi. Kujamin kau akan terkejut bila mengetahui berapa banyak penemuan-penemuan baru di setiap kedipan matamu.
Baiklah, baik..., aku bisa memahami kalian yang menjawab “mustahil” dengan argumen bahwa zaman kita berbeda. Untuk itu, wahai para penghuni bumi generasi sebelumku, izinkan aku menunjukkan kepada kalian sebuah penemuan menarik dari zamanku.
.
Tertanda,
Rozeale Ankhatia.
.
P.s
Ah, satu hal lagi, hanya ingin memperjelas, aku tidak bereinkarnasi ataupun time travel. Aku benar-benar hidup di abad ke-22. Tulisan ini adalah pengantar untuk kalian, para manusia dari abad ke-21, yang sebentar lagi akan membaca kisah petualanganku.
...🔥...
[ I . BURN ]
Musim gugur tahun 2135 Masehi.
Di dalam sebuah ruangan mansion perpaduan antara industrial dan baroque yang ditopang oleh langgam Korintus, permukaan sebuah meja telah menjadi korban gebrakan tangan pria paruh baya yang sedang memaki lawan bicaranya di telepon.
"Aku tidak peduli! Bagaimanapun caranya, aku ingin para brengsek itu dihabisi secepatnya!"
Sambungan telepon ditutupnya dengan kasar, ia pun melesat ke brangkas baja di sudut ruangan. Telunjuknya yang buntal menindas tombol tertentu di pintu brangkas. Gerakan yang terburu-buru melahirkan nada sumbang di setiap tekanan. Pintu brangkas menganga dan ia bergegas menghamburkan isinya; tumpukan kertas berbentuk persegi panjang—uang yang melimpah ruah.
“Setidaknya aku masih mempunyai ini,” racaunya, tergesa-gesa menutup koper yang telah kembung oleh uang. “Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Biarkan yang di luar menjadi urusan mereka! Itu sudah menjadi tugas mereka. Benar, kan? Aku tidak salah,” ia tersengal. "Benar. Aku tidak salah."
Sementara di dunia luar, purnama sedang merajai langit bersama arak-arakan awan. Cahayanya menembus kabut dan membasuh empat sosok manusia yang menjulang di pinggir tebing bagai kawanan burung hering. Mansion bergaya multikultural itu terpantau oleh mereka dari atas sana, berdiri di kaki sebuah bukit, megah namun rentan terciprat darah.
"Zeze, berapa banyak?" Seorang laki-laki ber-hoodie putih bertanya. Rambut kelabunya yang halus menjadi sasaran empuk kejahilan angin awal musim gugur.
"Lima puluh, mungkin?" Perempuan yang akrab disapa Zeze itu menjawab, nadanya merenung. Ia menjulang paling depan dari ketiga kawannya. Seorang perempuan. Remaja yang berumur tak lebih dari enam belas tahun. Kulitnya adalah porselen, matanya sebiru safir, rambutnya adalah sungai platinum yang mengalir nyaris menyentuh pinggang dan memercikkan serbuk berlian atas sinar perak sang dewi malam.
"Heh, lima puluh?"
Cemooh itu datang dari arah kanan Zeze. Sejenis suara yang biasa ditemukan pada seorang anak kecil pengunyah permen karet.
"Idiot," gumam Zeze tanpa berpaling dari satu-satunya bangunan di wilayah itu.
Wajah orang yang mendengarnya langsung memerah. "A—apa kau bilang!? Itu jumlah yang sedikit, reaksiku wajar! Para sampah tidak berguna itu bahkan tidak akan bisa melakukan apa pun jika kutembaki mereka sekarang!"
Zeze melirik malas si cerewet lewat sudut matanya dan mendapati sosok perempuan modis berambut ikal yang dicat warna rosegold dan diikat satu. Hari sepertinya tidak akan lengkap baginya jika tidak mengusik pendengaran seseorang dengan suara melengking dan isi ucapannya yang tidak penting.
"Sepertinya seeker kita sedikit lebih lamban kali ini," celetuk Si Lelaki Berambut Abu.
Zeze dapat merasakan olokan dalam suaranya. Ia memutar mata karena tahu apa yang laki-laki itu inginkan. "Baiklah, Zafth, kau bisa menyeret maju bokongmu." Dan ia pun memberikannya.
"Oh, sekarang?" Seorang wanita tinggi di belakang Zafth bertanya. Suaranya feminin dan melengking, selalu membawa keceriaan di setiap kata. Rambutnya adalah ombak ungu-kemerahan yang berkibar disapu angin. Pakaian yang ia kenakan didominasi warna-warna gelap, memiliki bahan yang melekat di lekuk jam-pasirnya bagai kulit kedua. Tangan kirinya yang mencetak aliran urat hasil dari latihan fisik berat, menggenggam sebuah kapak raksasa yang ujung gagangnya disambungkan ke pergelangan tangannya melalui rantai.
"Ya, aku sudah selesai mengobservasi. Tidak ada masalah sejauh ini," Zeze menoleh melalui bahu untuk menghadapi wanita itu, "Dan kau, Chanara..."
"Ya?" Sahutnya sambil memiringkan kepala ke satu sisi.
"Di garda depan, seperti biasa, tapi jangan berada terlalu jauh dari Zafth. Jangan lagi."
"Roger!" Chanara merespons intruksi Zeze. Meski nadanya terdengar ceria, tak ada perubahan yang berarti dari wajahnya yang sepucat kertas. Hanya dalam hitungan detik, Zafth dan Chanara adalah bayangan yang tersapu angin dari tebing yang menjadi titik awal bagi mereka berempat sebelum merampas takdir puluhan manusia yang sudah siap dengan senjata dan seragam kebanggaan.
Satu sudut bibir Zeze terangkat, memamerkan senyum cantik bak malaikatnya kepada malam. Malaikat maut.
"Aku tidak perlu turun tebing juga, kan?" Ah, suara yang mirip bocah pengunyah permen karet itu lagi.
Zeze menoleh pada gadis itu. Tatonya kini terlihat lebih jelas—dia telah melepas jaket kulitnya—mengintip dari kerah kaus pink. Letaknya di leher sebelah kanan, dekat tulang selangka, bertuliskan ‘MIA’. Namanya.
“Kalau kau merasa hidupmu sudah terlalu membosankan untuk dijalani, silakan.” Zeze mengangkat bahu.
Mia, yang menerima jawaban kurang ajarnya, langsung terbakar emosi. "Jaga bicaramu! Usiaku jauh lebih tua darimu, setidaknya beri aku rasa hormat walau hanya sedikit!"
"Aku lebih tinggi darimu."
"Zeze!" Mia menggeram, intonasinya melejit satu oktaf. Emosinya membengkak saat melihat bocah usil itu terkekeh geli.
Menolak membiarkan emosi mengalihkannya dari tanggung jawab, Mia lantas mendesak sejumlah peluru ke dalam sebuah senapan laras panjang sepekat malam yang sejak tadi berbaring di tanah.
Berlutut dengan satu kaki di balik batu besar, Mia membawa senjata itu tepat ke depan wajahnya. Begitu cekatan, lazim, bersahaja, seolah tak ada bedanya dari bernapas. Bahkan Zeze—yang telah bersila di sisi kanan Mia—tak rela sedetik pun menutup bola matanya. Merupakan suatu kesia-siaan bila ia berpaling dari konsentrasi level tinggi yang dipancarkan oleh sosok mengagumkan di sampingnya itu.
Tak dapat dipungkiri, angin yang membingkai tubuh mereka menghentikan buaiannya, sementara waktu seakan membeku begitu Mia menahan napas. Meski itu bukan kali pertama Zeze menyaksikan Mia membidik mangsanya, ia masih saja kehilangan kata di setiap kesempatan. Pikirannya terjebak di manik matanya yang mengukir berjuta rasa hormat dan kekaguman, terlepas dari sikap isengnya terhadap gadis mungil itu.
Mia memulai, ia menarik pelatuknya dua kali, dan dua-duanya tepat menjumpai sasaran. Orang biasa pasti akan menganggap ia membidik di satu tempat yang sama, namun Zeze dapat mengatakan dengan pasti bahwa sepersekian detik sebelum Mia melepaskan tembakan kedua, ia sedikit menggeser posisi senapannya ke kiri.
Peluru-peluru itu melesat secepat cahaya, merobek kabut, dan mendarat tepat di tengah kepala target. Pecah seketika. Tanpa memberi jeda, Mia melanjutkan kebrutalannya. Peluru berikutnya merupakan jenis yang menghanguskan—memerlukan waktu setahun untuk menyempurnakannya—dan yang menjadi target pertamanya adalah seorang prajurit yang berencana menusuk Chanara dari belakang menggunakan belati.
Dengan kebengisan di ujung bibir, Mia menahan napas, sementara matanya menyipit dan telunjuknya menekan pelatuk, membawa peluru itu melesat ke kepala targetnya.
Dia tidak diragukan lagi adalah attacker (penyerang) jarak jauh terbaik yang pernah dimiliki Énkavma.
Sementara Zeze dan Mia hinggap di bibir tebing, memantau sekaligus mengeliminasi musuh dari jarak jauh, di waktu yang sama, Chanara dan Zafth melakukan pembasmian dari jarak dekat.
Dengan sebuah kapak yang beratnya nyaris setara sebuah truk, Chanara mengayunkan benda itu dengan satu tangannya yang tak lebih besar dari dahan pohon. Setiap ayunan melahirkan bunyi retakan tengkorak. Gerakannya adalah tarian yang bahkan sanggup membuat iri balerina mana pun.
Begitu banyak prajurit yang mengerubungi keduanya, menunggu giliran untuk disambut kematian instan. Namun setidaknya mereka pergi tenang dengan membawa kebanggaan karena aksi heroik mereka akan selalu dikenang oleh setiap jiwa yang hidup dan diberkahi oleh langit. Itulah yang dipercaya mereka dan semua orang selama ini. Mati untuk sampah.
Bila dibandingkan dengan Zafth, Chanara adalah gula yang lebih manis, menarik lebih banyak semut ke arahnya. Gender bukanlah penyebab utama, melainkan bakat spesial yang dibawanya. Kemampuan Chanara adalah memakan hawa keberadaan sekutunya, mengambil semua untuk dirinya seorang sehingga perhatian musuh tercurah hanya kepadanya. Bahkan seorang musuh yang sejak awal telah menargetkan Zafth, langsung mengubah keputusannya begitu berkontak mata dengan Chanara.
Sementara itu, Zafth bertugas sebagai pembersih. Di saat para semut bodoh berbondong-bondong menyerbu gula yang hanya menyajikan kepahitan, ia membasmi mereka dari titik buta. Di masing-masing tangannya tersemat seutas tali berwarna merah mengkilap. Tidak, lebih tepatnya darah yang membentuk tali. Darah itu memancar langsung dari pergelangan tangan Zafth yang telah sengaja ia lukai. Sel-sel darahnya membeku dan memadat, persis keadaan darah manusia ketika terkontaminasi bisa ular. Sekali cambuk mampu memisahkan kepala dari badannya. Karena kecepatannya, orang-orang malang itu bahkan tidak sempat menghirup aroma kematian yang berembus dari balik punggung mereka.
Tanpa keduanya sadari, seorang musuh ternyata tengah berperan sebagai korban jiwa dan memiliki niat jahat untuk menyerang Chanara dari belakang. Pria itu bangun dari dustanya dan mencabut sebuah belati di ikat pinggang. Tanpa menunda-nunda lagi, dia melesat maju.
Sayangnya sebelum ujung tajam itu berhasil tenggelam di daging leher Chanara, sebutir timah panas telah lebih dulu bersarang di dalam kepalanya. Tangannya bahkan masih mengambang di udara, tidak sedikit pun diberi kesempatan untuk sekedar menyapa.
Pria itu roboh dengan tangan menggenggam belati. Tubuhnya mengeluarkan bunyi waktu menyapa kerasnya tanah, tapi tidak dengan kepalanya yang berserakan sebagai abu.
"Kerja bagus," Chanara berbisik kepada angin selagi menebas tubuh seorang musuh yang menghadang di depan jalan. Tubuh itu terpotong dua. Belahan torso terbang dan menubruk kawanannya, menghidupkan jeritan yang mengusir kelelawar. Cipratan darah memantulkan semburat kemerahan di lensa kontak ungu Chanara.
Kombinasi serangan Zafth-Chanara tak dipungkiri meringankan pekerjaan Mia dan Zeze, dan berkat Chanara, tidak akan ada satu pun hidung yang mengendus dan mata yang melihat keberadaan mereka di atas tebing.
Tanah landai yang menjadi arena pertempuran telah menjelma menjadi kolam air merah. Bau anyirnya ditebarkan bersama teror dan kabut oleh angin. Sulit dipercaya pertarungan yang berat sebelah itu hanya berlangsung tak lebih dari lima menit.
"Akhirnya," Bahu Chanara merosot selagi ia mendesah.
"Kau bahkan tidak mengeluarkan keringat," Zafth menatapnya heran.
"Saatnya ke hidangan utama! Ayo, Zafth! Lebih cepat lebih baik," bersenandung ria, Chanara melenggang bak model menuju gerbang besar mansion di hadapannya.
"Kuharap Obi yang ada di sini," Zafth bergumam lesu selagi mengekori wanita aneh itu dari belakang.
Di waktu yang sama, Zeze bangun dari duduknya dan menepuk-nepuk pakaiannya yang telah ternoda tanah.
Mia mendongak pada gadis berambut keperakan itu, "Kita kembali sekarang?"
Zeze tidak menjawab dan sudah akan berlalu pergi ke arah pepohonan ketika tiba-tiba sebuah gaya dorong menghantam dirinya dan Mia hingga memisahkan mereka.
Memiliki radar kewaspadaan yang selalu aktif sedikit menguntungkan Zeze. Serangan kejutan tadi hanya berakhir menghantam lengan kirinya yang menghadang di depan dada sehingga tubuhnya hanya terdorong beberapa meter. Kemalangan ada di Mia yang terpental di luar kendali. Mia berhenti usai punggungnya menabrak pohon, hidung dan mulutnya memuntahkan sedikit darah. Senapannya terlempar jauh darinya dan berhenti dengan cara yang sama dengan pemiliknya.
Kening Zeze berkerut marah menyaksikan kejadian itu. Dirinya dan Mia berjarak tidak terlalu jauh, tapi tidak bisa dikategorikan dekat pula. Jika ia menolong Mia saat itu juga, keputusan tersebut hanya akan memperlemah penjagaannya karena ia tak memiliki petunjuk kapan serangan berikutnya akan kembali dilancarkan.
Waktu seakan membeku saat nalarnya berspekulasi.
Aku hanya melihatnya sekilas. Bayangan itu menendangku dan Mia lalu menghilang di kegelapan. Dua kemungkinan, bersembunyi di balik pohon, atau pergi ke atasnya.
Ujung bibirnya naik saat ia memasang sebuah topeng Venetian seputih porselen di wajahnya. Namun matanya yang berbahaya tidak tersentuh senyuman itu. Aura berupa asap tebal berwarna darah membingkai sekujur badannya. Hawa yang dipancarkan adalah inkarnasi teror, seolah rahang neraka telah menganga.
Perlahan-lahan asap itu mengalir turun ke kakinya dan menggelar lautan yang melahap tanah. Senyum itu menghilang. Dengan gerakan seringkas kedipan mata, ia melompat ke puncak pohon terdekat di mana ia memijakkan kakinya untuk sementara waktu.
Tanpa terhalang apa pun, ia merekam dengan jelas pepohonan berdaun cokelat yang terhampar di bawah kakinya, serta sang dewi malam yang dengan gagah duduk di singgasana. Taburan bintang absen dari cakrawala, awan mendung bersekongkol dengan kabut untuk menyembunyikan benda langit itu di balik sendu dan lara. Tak ketinggalan pemandangan kurang menyenangkan tujuh meter di seberang: yang menjulang di puncak pohon yew adalah sosok asing berjubah hitam. Tangan kirinya, meskipun tampak normal dengan warna kulit sawo matang, Zeze mengenalinya sebagai tangan prostetik.
"Énkavma, ya?" Sosok itu memulai dengan seringai di bibir, sebelum meludah dan menyumpah, "Dasar kutu busuk! Beraninya kalian mengusik ketenteraman kota ini!"
Kata-katanya begitu lucu sehingga Zeze tak tahan untuk tidak tertawa. “Sepertinya kalimat itu lebih cocok diberikan kepada ‘majikan’-mu. Apa menurutmu kantung sampah itu tidak kegendutan? Kudengar hobinya melahap hak-hak orang lain.”
"Jangan besar mulut kau, sialan! Munafik! Kau bukanlah orang yang pantas untuk bicara tentang keadilan setelah apa yang sudah kau perbuat!"
"Kami hanya melakukan tugas kami sebagai tukang sampah. Dan apakah kau tahu? Daripada mendaur ulang, kami lebih suka membakarnya."
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Zeze bergerak dan dalam satu tarikan napas telah tertoreh di belakang Si Pria Berjubah Hitam. Ditendangnya tengkuk pria itu di udara. Tubuh kekar yang ramping dan terlatih terdorong paksa ke depan.
Pria itu memperkuat pijakannya supaya tidak jatuh, lalu memutar badan sekaligus mencabut katana dari sarungnya. Dahinya mengernyit begitu ia menyadari pedangnya hanya menebas udara kosong. Ia membalik badannya ke posisi semula hanya untuk dikejutkan oleh sesuatu yang terpatri di belakang musuhnya.
Sepasang sayap.
Tunggu... bukan, bukan sayap, itu adalah api yang membentuk sayap!
Sayap api itu berkobar liar di belakang figur semampai. Ujungnya berawal dari punggungnya dan berakhir di udara bebas. Merah seperti rubi dan menyala seperti hasrat, seterang pendar bulan yang membingkai siluetnya.
Dia benar-benar terlihat seperti malaikat, Pria itu mendenguskan tawa ironis, jika situasi tidak serumit ini, aku pasti akan mengajaknya berkencan.
Bisikan angin di sekitar mereka memanas. Pada momen itu alarm bahaya berdering di kepala si Pria Berjubah. Mata cokelatnya memicing saat batinnya menerka, Kekuatan itu... dia adalah... “Artemis?”
Tanpa menorehkan jawaban, Zeze tersenyum dingin di balik topengnya.
"Sepertinya benar," Pria itu terkekeh sinis, membuka tudungnya. Kontur wajahnya adalah definisi dari muda dan segar dan bergairah. Zeze rasa seumur dengan Zafth, awal dua puluhan. "Aku adalah Joe, kepala penjaga di kediaman Earl Listevo, Walikota Madora."
“Maaf, aku tidak tertarik mengingat nama calon mayat.”
Zeze langsung lenyap dari pandangan Joe setelah mengeluarkan pernyataan. Sebuah deklarasi berdarah. Sepasang sayap itu membawanya melesat di udara, menutup ke depan dan membawa tubuhnya yang meringkuk dalam pelukan, lalu terbuka kembali tak lebih lama dari tarikan bernapas bersama ratusan nyala api.
Joe, yang adalah individu terlatih, sanggup menghindari hujan api itu tanpa luka. Api yang berhasil dilewatinya menyasar ke pepohonan. Namun yang mengejutkan sekaligus mengherankan Joe, kebakaran itu tidak pernah terjadi.
Bagaimanapun, Joe gagal menyadari bahwa tadi itu bukanlah serangan yang sebenarnya. Semua itu hanyalah pengalih perhatian.
Selagi Joe sibuk menghindari apinya, Zeze terbang ke atas kepala Joe dan memadamkan sayapnya. Sol sepatunya menemukan pundak Joe dan bertengger nyaman di sana, sementara tangan-tangan lentiknya bergerak memutar kepala sang prajurit ke semua arah mata angin. Bunyi derak tulang dan urat yang patah dapat dengan nyata ditangkap telinganya.
Joe pun roboh, tersangkut di dahan pohon. Mata kecokelatan yang kosong dan padam terungkap pada langit. Dengan leher berputar 180 derajat, arah muka dan badan depannya tidak sinkron. Di saat yang sama, Zeze pergi menjauh darinya.
Hujan api yang masih aktif lantas menghantam tubuh Joe betubi-tubi, membakarnya bagai santapan ulat, sebelum padam tanpa jejak begitu mendeteksi pepohonan. Pertarungan tersebut bahkan tidak lebih dari satu menit. Kecepatan Artemis memang bukan sekedar isapan jempol.
Zeze terjun dari pohon dan mendarat dengan anggun di atas tanah. Di saat bersamaan, sebuah getaran datang dari ponselnya. Diambilnya benda itu dari kantung celana ripped jeans. Sebuah panggilan suara dari kontak bernama 'Kaleahni' menunggu untuk dijawab. Ia pun menerima desakkan sebelum sempat melontarkan sapaan.
"Ze, jika kalian sudah menyelesaikan urusan di sana, cepat datang ke tempatku. Aku sedang kesulitan. Orang itu, Antoni Barier, benar-benar ada di sini!" Panggilan terputus tanpa memberi kesempatan bagi Zeze untuk menjawab.
Zeze menurunkan ponsel dari telinganya, menatap Mia dari kejauhan dengan perasaan bimbang. "Maaf, Mia," ia mendesah tak berdaya, "Sepertinya Kak Leah lebih membutuhkanku dibandingkan dirimu." Setelah mengikat rambut, Zeze pun berlalu, tanpa menyadari bahwa keputusan itu adalah awal dari segalanya.
pict credit to WLOP
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Halo, Para Pembaca, di sini Author 👋
Aku cuma mau bilang kalau aku mau ngenalin kalian suatu cerita yang beda. Jadi kasih aku kesempatan untuk membuat kalian merasakan suatu sensasi yang gak pernah kalian rasakan sebelumnya di cerita-cerita lain.
Biasanya protagonis itu memiliki sifat baik, kalem, dan sifat-sifat mainstream lainnya, kan? Nah, bagaimana kalau sekarang protagonis itu berperan menjadi villain-nya?
Gimana? Berani kan keluar dari zona nyaman? Berani donk hehe ~
Coba aja dulu bab 1-4. Kalau mengecewakan, kalian boleh drop.
Ngomong-ngomong, ini bukan cerita yang bla bla bla terus langsung the end. Kalian akan dibawa masuk ke dalam ceritanya. Ini cerita SERIUS yang akan mengajak otak kalian berolahraga. Jadi yang baca cuma buat main-main, aku gak nyaranin untuk baca cerita ini.
Resapi perlahan-lahan, karena di setiap chapternya selalu aku kasih kejutan. (Jangan lupa kalau ini juga ada misterinya, ya, jadi kalian bisa main tebak-tebakan kayak detektif.)
Di depan pintu aula sebuah mansion putih berpilar raksasa yang atapnya lenyap dalam kabut, seorang gadis sedang menyerahkan selembar bukti undangan kepada dua penerima tamu. Gaun satin tanpa kerah yang mengaliri tubuh jam-pasirnya senada dengan hitam di rambutnya yang panjang dan ikal.
Usai memindai barcode di undangan dan mencocokan identitasnya, sang penerima tamu membungkuk dengan hormat kepada tamunya. Melihat tanda itu, dua penjaga pintu segera membukakan pintu untuknya secara bersamaan. Begitu melangkahi aula, telinganya yang digantungi permata bintang langsung disapa serbuan suara.
Tempat itu sudah kehilangan fungsi utamanya sebagai forum diskusi dan konferensi para bangsawan. Semenjak mundurnya keluarga kerajaan dari pemerintahan, tempat itu menjelma menjadi ajang perlombaan. Arogansi mereka menjadi tidak terkontrol akibat anggapan bahwa sudah tak ada lagi figur yang mendominasi struktur sosial mereka. Setiap orang yang hadir berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik dengan aset yang melekat di tubuh, serta supremasi yang tertanam pada nama keluarga mereka.
Si gadis bergaun hitam tidak punya waktu untuk bergaul dengan mereka, setidaknya untuk malam ini. Ia memikul tugas dan tanggung jawab di pundaknya. Statusnya sebagai seorang putri dari keluarga bangsawan Aplistia yang diberkahi sebuah wilayah, memberinya kesempatan besar dalam menyukseskan misi bersama teman-temannya yang sedang ambil bagian di tempat lain.
"Mencatat rute berjaga para penyidik dan mengirimkannya pada kami, membimbing ketiga target kita ke tempat minim pengawasan, dan yang terpenting, kau harus memastikan betul bahwa para penyidik itu terpisah dari pimpinan mereka, Antoni Barier, kepala keluarga Marquess Barier yang rumornya akan hadir malam ini. Orang-orang itu bersembunyi seperti bunglon, telitilah," adalah tugas yang diintruksikan Zeze kepadanya.
Waktunya terbatas, tapi gadis itu sadar dirinya tidak boleh bertindak gegabah. Ia harus bersabar dan tetap mempertahankan sandiwaranya, karena tak dapat dipungkiri bahwa sejumlah tamu di ruangan itu—kebanyakan para lelaki—mengenalinya dan menyapanya dengan nama.
"Lady Juni, apa kabar?"
Satu sapaan.
"Selamat malam, Lady Mavros. Anda semakin cantik."
Dan satu lagi, hingga akhirnya menumpuk sampai tak terhitung jari. Tak jarang Juni juga memergoki tatapan lapar yang terkesan mengobjektifikasi dirinya. Memindai kulitnya yang emas kecokelatan, bibirnya yang ranum, mata besar dengan lipatan ganda, jari-jarinya yang panjang dan lentik, tubuhnya yang bengkak di bagian yang tepat, serta pinggangnya yang sempit.
Para tamu wanita memandangnya dengan sinis, namun ketika membuat kontak mata dengannya, topeng ramah langsung terpasang di wajah mereka. Juni tidak senaif itu untuk dapat dengan gampang tergocek oleh kepalsuan. Bibir mereka mungkin melukiskan senyuman, namun yang sebenarnya tertoreh adalah cibiran. Selayaknya cermin, tersenyum hanya jika dihadapkan dengan senyuman, tak punya pendirian, hanya mengikuti pantulan. Dan sekarang, Juni harus menguatkan mental supaya dirinya dapat bertahan memainkan perannya menjadi bagian dari mereka.
Juni membalas sapaan yang telah bertumpuk itu dengan senyuman kering, lantas bergegas kabur ke lantai dua agar dapat mengamati ruangan di bawah secara utuh. Tatapannya tertumbuk pada jendela tinggi yang berjejer di salah satu dinding. Bagian luar jendela itu disandari oleh tiga buah punggung yang dilapisi bahan jubah berwarna gelap.
Cahaya di mata Juni kontan meredup, menjadikannya bagian dari malam. Ia membalik badan, menyandarkan punggungnya yang terbuka pada palang pembatas, lalu menghubungi seseorang lewat perangkat nirkabel yang tersemat di antingnya.
Di saat yang sama, tepat satu jam sebelum mimpi buruk itu terjadi, masing-masing pemilik dari tiga buah punggung berjubah itu—dua orang pemuda di awal 20-an dan seorang perempuan berambut cokelat yang tampaknya masih berada di usia remaja—tengah saling bercakap-cakap.
Ketiganya mengenakan busana serupa yang merupakan seragam khusus sebuah instansi, terdiri atas kemeja dan celana berbahan tebal dan cukup kasar di bagian luar namun elastis, serta jaket berupa jubah panjang semata kaki. Seluruhnya berwarna hitam pekat. Jubah mereka dibiarkan tidak dikancing untuk memamerkan lencana berpangkat yang mengisi dada hingga lengan atas kemeja.
"Kabut malam ini cukup tebal." Yang perempuan berkomentar, menengadahkan kepala dengan senyum tipis menggurat bibir, menghimpun dingin yang menggigit kulit. Di era dimana dunia sangat mendambakan langit yang bersih, ia mungkin adalah bagian dari sedikit penggemar atmosfer menghanyutkan yang ditawarkan oleh kabut. Ia melirik ke kanan, kepada dua pemuda yang ikut mendampinginya, "Ngomong-ngomong, sudah satu bulan berlalu semenjak kalian dimasukkan ke divisi ini. Bagaimana perasaanmu, Luke?" Ia menoleh kepada Si Rambut Pirang Pasir, kemudian sedikit mencondongkan kepala agar dapat melihat Si Rambut Hitam di ujung sana, "Ulbert?"
"Aku merasa jauh lebih baik dari versi diriku yang dulu," balas Luke dengan pandangan menerawang. "Waktu berlalu begitu cepat."
"Apa alasan kalian memilih pekerjaan ini?" Perempuan itu bertanya lagi dengan kasual.
Luke menjawab, "Apa lagi selain karena uang yang banyak dan jaminan hidupnya?" Suaranya terdengar sangat mantap sekaligus polos bak anak kecil. Di sebelah kanannya, Ulbert menyikapi dengan senyum dan anggukan kepala.
"Sudah kuduga karena itu." Si Perempuan mendesah dengan mata terpejam. "Apa rencana kalian setelah masa pelatihan kalian berakhir?"
"Kami sudah sepakat akan mentraktir Glen makan malam," ucap Ulbert. "Bagaimana pun, kami tidak akan bisa sampai sejauh ini tanpa bantuannya. Dia adalah mentor yang hebat, membimbing kami yang masih amatir ini dengan tekun dan penuh tanggung jawab. Sulit dipercaya usianya 7 tahun lebih muda dariku. Ngomong-ngomong, apa yang akan kau lakukan dengan upah pertamamu, Luke?"
"Kurasa aku akan menabungnya terlebih dahulu. Untuk kepentingan keluargaku, tentu saja. Aku akan membelikan mereka unit apartemen yang lebih luas. Benar-benar memuakkan untuk berbagi kamar mandi dengan kakak-kakak perempuanku.”
“Kalian hanya mempunyai satu kamar mandi di rumah kalian?” Perempuan itu tampak syok, lalu prihatin.
“Kami para warga lembah dan ngarai tidak seberuntung kalian, para penduduk bukit dan tebing.” Luke mendesah, lalu mengepalkan tangannya yang terlipat di belakang pinggang dengan mata menyala oleh tekad, "Kau bagaimana, Kak?"
"Aku akan berkeliling dunia sampai puas!" Ulbert menyempaikannya dengan senyum mengembang. "Membayangkan mengunjungi tempat-tempat yang hanya dapat kulihat lewat peta di pelajaran geografi semasa sekolah, membuat darahku mendidih."
Si perempuan tersenyum hangat, "Mimpi yang indah. Andaikan aku punya satu."
"Yeah, apa yang tidak bisa didapatkan oleh seorang putri bangsawan?" Luke menaikkan sebelah alis kepada perempuan itu.
Pipi perempuan itu menggembung, "Apa itu sindiran?"
"Tidak, tidak. Ayolah, aku hanya bercanda," Luke tertawa.
Mereka lanjut berbincang, berbagi pikiran lewat canda dan tawa. Hingga tiba saatnya keakraban itu diinterupsi oleh bunyi tembakan dan teriakan orang-orang di dalam bangunan tempat mereka menyandar.
Usai berdiskusi lewat tatapan mata, mereka pun sepakat untuk memprioritaskan orang-orang di dalam bangunan. Namun, bunyi benda jatuh yang terdengar secara mendadak mengunci langkah mereka di tempat.
Refleks, mereka menoleh ke sumber bunyi. Ternyata di hadapan mereka sesuatu yang mengerikan telah menanti.
Dengan topeng berbentuk aneh melekat di wajah, sesosok perempuan datang menghampiri mereka bertiga. Rambutnya adalah ekor perak yang berayun di balik punggungnya. Selangkah demi selangkah yang terasa selamanya. Tubuhnya tak lebih besar dari seorang gadis di masa remajanya, berlindung dari gigitan angin di balik kaus hitam dan jaket denim biru. Di kedua tangannya, dalam cengkeraman jari-jari putih selentik ranting, tersemat pedang tanpa lekukan.
"Bersiap," Ulbert berbisik kepada kedua rekannya. Tanpa menurunkan penjagaan, masing-masing dari mereka mencabut pedang yang menggantung di samping pinggang.
"Siapa kau?" Selidik Ulbert. Nadanya rendah, dingin, berkabut. Suara dan sikapnya berubah sangat defensif.
"Manusia, tentunya," Suara perempuan misterius itu teredam oleh topeng, tapi tetap tak mengurangi kemerduannya.
"Apakah kau dalang di balik kekacauan ini?"
"Bukankah itu sudah jelas?"
"Meski begitu kau menyebut dirimu manusia?"
"Apakah kau juga sudah pantas disebut 'manusia'?"
"Apa alasanmu membuat kekacauan?" Kini Luke yang bertanya. Suaranya tidak setenang Ulbert.
"Sejak detik pertama aku memutuskan untuk mengambil jalan ini, aku percaya bahwa mengambil satu nyawa di lain pihak akan dapat menyelamatkan nyawa yang lain. Karena itulah aku tidak memiliki keraguan." Jawaban yang begitu percaya diri. Selagi mengatakannya, perempuan bertopeng itu memainkan pedang di tangan kirinya dengan enteng, "Jika kalian menanyakan tujuannya, tentu saja, semua untuk kedamaian."
"Omong kosong!" Luke berteriak lantang. Setiap inci sel dalam tubuhnya menolak kata demi kata yang terlontar dari mulut manis itu.
Tanpa menunda-nunda, mereka bertiga maju menyerang secara bersamaan. Luke melayangkan serangan dari arah depan dan langsung ditangkis oleh pedang di tangan kirinya. Pertemuan dua lempeng logam menciptakan bunyi yang memekakkan telinga.
Masih di detik yang sama, Ulbert menyerang dari arah belakang, dan betapa terkejutnya Ulbert saat melihat dia menahan serangannya tanpa sedikit pun membalik badan. Tangan kanannya terlipat ke belakang dan menahan pedangnya! Sulit dipercaya serangan berbarengan dan tanpa jeda itu dapat dihentikannya dengan mudah.
Di detik berikutnya, dia menekan mundur pedang mereka sekaligus menendang Luke dan Ulbert bergantian. Tak berhenti sampai di situ, dia melempar salah satu pedangnya ke arah si Perempuan Berambut Cokelat sebelum perempuan itu sempat menyokong kedua rekannya. Kaki kanannya menjadi incaran dan tepat sasaran, logam tajam itu menembus daging betisnya dan sukses meruntuhkan pijakannya, memberinya jerit pedih penderitaan dan kerasnya permukaan tanah.
Luke dan Ulbert tidak menyadari hal itu lantaran terlalu fokus pada musuh mereka. Tidak ada sedikit pun niat di benak mereka untuk memberi waktu kepada sang musuh, sehingga semuanya dilakukan secara bersamaan.
Kiri dan kanan, depan dan belakang. Serangan demi serangan mereka lancarkan dari dua sisi berbeda. Dentingan pedang berangsur-angsur memecah kesunyian malam. Detik demi detik berlalu, tapi semua serangan ditangkis dengan mudah. Kurang lebih tiga menit mereka melakukan tarian mematikan itu.
Tetapi, pada akhirnya, permainan kekanakan itu memang harus segera diakhiri. Di saat Luke melancarkan serangan dari arah depan, dia menghindar ke samping, sehingga yang berdiri di hadapan Luke bukanlah lagi orang yang sama, bukan lagi musuhnya.
Pedang Luke dengan mulusnya menembus dada Ulbert.
Sama seperti saat Luke mendengar narasi omong kosong tentang 'kedamaian' itu, setiap sel di dalam tubuhnya berontak, sama sekali tak sudi mempercayai realitas. Ulbert ambruk dengan pedang Luke yang masih tertancap tepat di dadanya, mengoyak jantung yang selama 22 tahun bekerja keras memberi pemuda itu kehidupan.
“Kak Ulbert!” Sia-sia. Bahkan jika ia berteriak tepat di lubang telinganya, tindakan itu tetap tak akan bisa membuat matanya kembali terbuka. “Sialan kau!” Luke meraung. Ia marah, murka. Namun, ia tidak tahu siapa yang berhak diterpa oleh gelombang emosi itu. Ia hanya ingin seluruh dunia yang tidak adil ini menghilang.
"Mengapa kau berteriak padaku? Bukankah kau sendiri yang membunuhnya?" Dia bertanya dengan ketenangan di luar nalar, seakan-akan seonggok hati tak pernah tertanam di dalam rongga dadanya.
Urat menyembul di kulit leher dan pelipis Luke. Tubuhnya bergetar murka. Ia maju, menyerang sambil berteriak. Akal sehatnya telah tertindih oleh tumpukan emosi. Yang ada di pikirannya hanyalah cara untuk melampiaskan amarah yang sudah tak terbendung kepada sosok bertopeng sialan itu.
Baginya, serangan Luke kali ini tidak lebih dari sekedar cubitan tiba-tiba seorang bocah yang tantrum. Bahkan lebih buruk dari saat-saat kolaborasinya dengan Ulbert.
Dalam sekejap mata, dua mayat manusia telah terbujur kaku di atas dinginnya tanah, membatasi sosok bertopeng dengan perempuan berambut cokelat sebahu, yang hanya bisa membulatkan mata dalam ketidakberdayaan.
Rasanya baru satu jam mereka saling bertukar mimpi, kini keduanya sudah tiada lagi di muka bumi, dan mimpi-mimpi itu... telah hangus.
Segampang itu dia mengambil nyawa seseorang....
"Bolehkah aku bertanya sesuatu?" Perempuan itu menyeka air matanya dengan punggung tangan. Matanya menyiram monster di hadapannya dengan lautan kebencian. "Mengapa kita harus bertarung bila kita mempunyai tujuan yang sama?"
Waktu kian menipis namun hanya ada keheningan yang dengan erat memeluk jiwa, dan pelukan itu terurai begitu dia memutuskan untuk membuka suaranya.
"Jika hal seperti itu saja kau tidak tahu, sebaiknya kembalikan saja senjatamu itu." Mata biru di lubang topeng itu memejam, "Orang yang berhak memegang senjata adalah dia yang telah paham betul apa yang harus diperbuat, serta memiliki kesadaran penuh atas semua tindakannya."
Perempuan itu mengerutkan alis. Ia tidak mengerti. Tapi, apakah wajar bila ia bisa merasakan secercah empati terhadap seseorang yang jelas-jelas adalah musuh?
"Aku tidak bisa berlama-lama. Maaf, jika tidak dalam situasi seperti ini, kita mungkin dapat saling mengenal dalam cara yang lebih baik."
Usai mengatakannya, sepasang kaki ramping berbalut denim mendekati perempuan yang bersimbah darah dengan perlahan. Tidak perlu terburu-buru, sebab jiwa perempuan itu sudah pasti akan lenyap di tangannya. Ia berhenti satu langkah darinya dan mengangkat pedang di tangan kirinya ke udara.
Perempuan itu tahu betul seburuk apa realita yang akan menjemputnya, dan ia menerima takdirnya dengan lapang dada. Kelopak matanya turun perlahan membungkus kedua bola matanya. Ia telah menyerah untuk bangkit, karena upaya itu sudah tidak lagi diperlukan. Tanpa menggunakan kemampuan spesialnya sekalipun, jawabannya sudah pasti satu: mati.
Namun, kejanggalan itu ia temukan; sudah sepuluh detik waktu berlalu, pedang itu belum juga menghunjam tubuhnya. Padahal ia berharap monster itu melakukannya dengan cepat. Ia sudah tak ingin disiksa terlalu lama oleh rasa sakit di kakinya. Akan tetapi, mengapa waktu seakan ikut mempermainkannya?
Dia pun memberanikan diri membuka mata. Sesuatu menghalangi pandangannya dari cahaya; punggung seorang lelaki berambut sepekat malam yang di kedua tangannya tergenggam katana hitam berornamen hijau menyala.
Butuh waktu cukup lama bagi sepasang mata cokelat milik perempuan yang tengah bersimpuh itu untuk bisa melepaskan diri dari sosok serba hitam yang menjulang di depannya. Mengabaikan rasa sakit di kaki, ia menyeret tubuhnya agak ke kanan untuk mengecek kembali keadaan sang Malaikat Maut Bertopeng, dan hasilnya sungguh mengejutkan.
Topeng yang dikenakannya sudah tak lagi utuh, patah sebagian dan menampakkan bagian bawah wajahnya yang elok tanpa cacat. Dia pun tak lagi menggenggam pedang, karena bilahnya telah tenggelam dengan sempurna di salah satu batang pohon pinus.
"Kau baik-baik saja, Hera?" Sosok serba hitam itu bertanya tanpa menoleh ke perempuan di belakangnya.
Mata cokelat Hera kembali pada punggung tegap itu. "Glen?"
"Maaf aku terlambat."
Bagaimanapun telinga Hera tak bisa dibohongi. Glen memang berbicara dengan nada relatif datar, seperti biasanya, namun Hera dapat merasakan irama napasnya yang memberat, seolah ada beban yang tengah menghadang di rongga dada. Sekalipun Hera tidak pernah tahu bahwa beban itu adalah larutan emosi yang rentan meledak.
“Lama tidak bertemu. Kau banyak berubah.” Pada akhirnya Zeze tak dapat menahan untuk tidak menyapa. Dengan sekuat tenaga, ia menahan getaran pada suaranya.
Glen memandangnya datar dengan mata yang tak lebih gelap dari malam, “Apakah ada alasan khusus?”
Makna dari pertanyaan itu dapat Zeze tafsirkan dengan mudah, karena itulah tak ada jeda dalam jawabannya.
"Alasan? Aku hanya ingin memperbaiki dunia yang berantakan ini."
Angin malam bertiup, membelai dedaunan dan helaian rambut mereka. Kerikil yang terlupakan ikut berjalan bersama angin, tersapu olehnya. Cahaya sang dewi malam meredup dalam kabut yang semakin tebal.
"Begitu, ya?" Glen tersenyum damai dengan mata tertutup, "Terang sekali. Aku sampai harus berpaling." Ia membuka matanya, lalu bertanya dengan suara selirih angin, "Jadi, itukah keputusanmu?"
"Ya, aku akan melakukannya dengan caraku. Kau pasti juga memiliki caramu sendiri, bukan?"
Waktu terus bergulir namun keheningan masih betah singgah, mengekang dua insan yang saling berhadapan dalam sunyinya. Hanya terbetik bisikan angin; melodi yang melatari perputaran roda kenangan di dalam kepala. Bagaimanapun, pastinya, baik Glen maupun Zeze, keduanya sama-sama meratapi takdir yang membelenggu mereka.
"Baiklah, kita akan mengambil jalan masing-masing." Sorot mata Glen menajam saat ia mendesis, "Aku akan melepaskanmu kali ini. Jika selanjutnya kita berjumpa, aku akan membunuhmu."
"Jika selanjutnya kita berjumpa, aku akan menyelamatkanmu." Zeze tersenyum seringkas kedipan mata sebelum menghilang dalam kegelapan, meninggalkan Glen dalam tanda tanya.
Menyelamatkan? Dari apa?
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Topeng itu sudah tak lagi diperlukan, ia menyimpannya di dalam selembar kantong berwarna kelabu selagi berjalan menyusuri terowongan gelap dengan pandangan mengarah lepas ke bawah, kepada rerumputan liar yang diinjaknya berulang kali, atau bahkan mungkin ia tidak menyadari di belahan bumi mana ia berada. Wajahnya mendung, tatapannya kosong, sekosong relungnya. Ia tidak bisa merasakan apa pun. Definisi sebenarnya dari mati rasa.
Seberkas cahaya menyilaukan berhasil mengikat pandangannya ke depan. Telapak tangannya bergegas melindungi wajah, mata birunya menyipit.
Di setiap langkah yang ia ambil, cahaya tersebut memperluas kuasanya, sebelum benar-benar tumpas begitu kegelapan berhasil ia campakkan. Langkahnya patah di ujung terowongan selagi matanya menyorot sebuah pemandangan yang menjadi akar dari cahaya menyilaukan tadi.
Tujuh orang sedang menduduki dua batang pohon roboh yang saling berhadapan. Semuanya memiliki wajah yang sangat familer baginya. Obi, Juni, Zafth, Chanara, Leah, dan Aurel. Tak lupa pula Mia yang masih tak sadarkan diri, duduk bersandar pada kaki pohon pinus. Di hadapan mereka menyala kobaran api yang melalap tumpukan dahan kayu.
Zeze mempercepat langkahnya. "Oh, semua sudah berkumpul." Sepertinya reuni tadi membuang banyak waktunya.
"Ayo kembali. Aku sudah lapar," Obi berdiri diikuti keenam temannya. Lelaki ber-hoodie hitam itu menumpas nyala api dengan satu siraman telak dari botol air mineral.
"Seingatku satu jam lalu kau sudah makan?" Juni menautkan alis kepada Obi.
"Satu jam adalah waktu yang cepat untuk kembali merasa lapar," balas Obi, menyeringai.
"Aku masih penasaran bagaimana kau tetap mempertahankan berat badan ideal dengan nafsu makan sebanyak itu," kata Juni.
"Benar!" Chanara menyeru, "Obi makan paling sedikit lima kali sehari."
"Dia perlu memberi makan cacing-cacing di perutnya," celetuk Zafth; Chanara tertawa.
Mereka berjalan berdampingan, membelah hutan yang menari bersama angin. Tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi karena mereka sudah cukup jauh dari pemukiman.
"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Antoni Barier?" Zeze menatap Leah di ujung matanya.
Leah sedikit mundur agar bisa melihat Zeze. "Dia benar-benar gila. Aku tidak dapat melumpuhkannya. Lihat ini!" Wanita berkemeja hitam itu menarik lengan bajunya ke atas untuk menunjukkan koleksi memarnya.
"... Karena itu aku meminta bantuan Aurel membukakan portal untuk kabur. Tapi tenang saja, kalian menahan mereka semua dengan sangat baik. Aku tidak sanggup membayangkan... bertarung satu lawan satu dengan Antoni sudah cukup menjadi pengalaman yang paling mengerikan dalam hidupku, bagaimana kalau para bawahannya ikut bergabung?" desis Leah, bergidik ngeri.
"Well, itu akan menjadi pengalaman terakhir dalam hidupmu," celetuk Zafth enteng. Di punggungnya terbaring Mia.
"Sayang sekali, padahal aku sangat ingin melihat pertarungan kalian," keluh Zeze.
"Yang terpenting kita sudah membereskan target kita," timpal Juni, menghela napas berat. Sepertinya ada suatu hal yang membuat gadis bergaun hitam itu kecewa.
"Kau benar." Zeze mengangguk dan tidak meminta lebih.
"Apa rencana kalian setelah ini?" Aurel yang berjalan di tengah bertanya. Pakaiannya terlihat lebih bersih dan rapi dari yang lain. Tak ditemukan titik darah ataupun debu di seratnya.
"Liburan, apa lagi?" Leah menguap panjang sambil meregangkan otot-otot tangannya ke atas.
Obi melihat langit yang disuramkan kabut, "Aku akan pergi bertualang bersama Zeze sampai misi baru muncul." Jawaban lelaki berambut hitam itu terdengar tidak yakin. "Aku selalu ingin pergi ke Italia. Kudengar kopi-kopi di sana berada di level yang berbeda. Tapi, apa kau berencana kembali ke Istana Timur tahun ini?" Tanyanya ke Zeze.
"Istana?" Juni mengernyit pada mereka. Dia menatap Zeze, "Mengapa kau harus kembali ke istana?"
"Liburan," gumam Zeze, "Sekali setiap musim."
Juni melotot. "Aku ingat sekali kau selalu menolak setiap kuajak liburan di sini, dan sekarang kau memberitahuku kau mengunjungi Aplistia tanpa sepengetahuanku selama ini?"
"Setiap orang butuh waktu liburan untuk dirinya sendiri, kau paham?" kata Zeze, memutar mata.
"Terlebih jika gratis, benar kan, Tuan Putri Rozeale?" goda Leah sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Zeze, yang benar-benar mengabaikannya.
"Aku menerima pesan, dari Kai," tutur Aurel yang sedang menatap ponselnya. "Ace memanggil. Semua wajib berkumpul. Kelompok yang lain juga telah menyelesaikan misi mereka dan sekarang sedang dalam perjalanan menuju markas."
Berita itu menerima reaksi yang berbeda. Zafth mendengus dan Leah langsung melotot padanya sambil berkata, “Dia akan membunuhmu kali ini kalau kau tidak datang lagi.”
Chanara menyeringai dan bersenandung ria, "Makan besar malam ini!"
"Uangku selamat kali ini," Zeze terkekeh.
Obi merangkul Zeze yang berjalan di sisi kanannya, menyeringai, "Kali ini kau lolos, Ze."
Tempat yang mereka sebut sebagai 'markas' itu dipadati oleh sekiranya 25 orang. Mereka berkumpul di sebuah ruangan panjang dengan langit-langit tinggi berhias lampu redup berwarna dingin, kadang ungu kadang biru. Sofa-sofa aneka warna diasingkan ke dinding putih, sementara mereka semua berdiri. Jajaran hidangan dan alkohol berbagai merek menghiasi meja panjang di tengah ruangan. Alunan tempo lamban, santai, dan memabukkan dari musik ber-genre RnB mengiringi suara obrolan dan canda tawa.
Baru saja mereka mengayunkan kaki ke dalam ruangan usai perjalanan panjang di dalam pesawat, sambutan akrab langsung datang memeluk telinga.
"Kalian lama sekali!"
"Karena semuanya sudah berkumpul, ayo kita makan!"
"Bersulang untuk kemenangan!"
Berdiri sendiri di ambang pintu, Zeze menyapukan pandangan, menyelami wajah kawan-kawannya—keluarganya—satu per satu, dan di detik-detik ia melakukan itu, adegan demi adegan berwujud kenangan berkelebat melintasi matanya yang berkaca-kaca.
Mereka telah mencicipi rasa manis dan pahitnya kehidupan. Mereka tahu akan datang saat di mana mereka akan kehilangan satu sama lain. Namun meski begitu, mereka memilih berpura-pura tak menyadari apa pun dan tetap tertawa layaknya tak ada hari esok.
Kebersamaan yang hangat tapi membara, bagaikan api dalam diri mereka.
Dengan sorot mata menghangat, Zeze tersenyum. Bukan sejenis senyum dingin penuh intimidasi yang biasa ia tunjukkan kepada orang asing. Kali ini hangat bagaikan sebuah rangkulan.
Baginya, mereka adalah cahaya.
Cahaya yang sangat terang.
Meskipun begitu, bagaimana mungkin matanya dapat berpaling dari mereka?
.
.
.
...[ GLEN ]...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!