NovelToon NovelToon

Hello, Mantan!

Belum move on sama Mantan?

"Ngaku sama kita, kapan terakhir kali lo pacaran?" tanya Yumi tiba-tiba.

Fokus ketiga sahabatnya seketika teralih menjadi kepada Nadin. Drama Korea yang sedang mereka tonton di ruang tengah apartemennya sengaja di pause oleh Rosa, hanya untuk mendengar jawaban darinya. Nadin yang tidak siap diajukan pertanyaan seperti itu, menggeser tubuhnya ke pojok sofa. Menghindar dari tatapan penuh tuntutan dari sahabatnya.

"Cepat jawab," desak Rosa dengan nada galak yang dibuat-buat.

"Kenapa emangnya?" tanyanya balik.

Yumi mengangkat bahunya. "Kepo aja, soalnya lo gak pernah cerita soal kisah asmara lo."

Kedua temannya mengangguk kompak, menyetujui ucapan Yumi.

Mampus!

Sebenarnya, alasan Nadin gak mau cerita perihal kisah asmaranya. Bukan karena ia tidak percaya dengan teman-temannya atau tidak menganggap mereka sahabatnya. Tidak! Tidak! Hanya saja, ia menganggap pacaran pertama dan terakhir kalinya Nadin itu sebagai aib. Alasannya karena, ia pacaran dengan cowok yang gak banget! Dan itu tuh, hubungan mereka berakhir kacau dan mengenaskan! Aib banget pokoknya.

Jadi, dulu waktu duduk dibangku putih-biru. Nadin sempat naksir sama kakak kelas yang gantengnya maksimal banget. Dia idaman cewek-cewek di sekolah. Yang ternyata, cinta Nadin gak bertepuk sebelah tangan alias dia suka Nadin juga. Sampai akhirnya, di kelas delapan akhir semester dua kami pacaran. Dia nembak Nadin sepulang sekolah yang langsung Nadin terima waktu itu. Ya siapa juga yang mau nolak dia? Orang cowok idaman satu sekolah. Ya, Nadin merasa bangga karena akhirnya yang memenangkan hatinya itu dirinya. Nadin gitu loh!

Awal-awal pacaran, hubungan kami berlangsung sangat romantis. Romeo dan Juliet saja kalah sama kemesraan kami waktu itu. Sampai akhirnya di bulan ketiga, dia sering banget mengajukan pertanyaan yang punya peluang buat kami berantem. Ironisnya, alasan berantem kita tuh sepele banget, benar-benar gak masuk akal! Hanya perihal makan bubur diaduk atau tidak diaduk saja, bikin kita berantemnya bisa seharian. Kita tuh kayak lagi mempermasalahkan soal siapa yang selingkuh, tapi gak ada yang mau ngaku! Gitu deh pokoknya...

Biasanya nih, setelah kami berantem kami suka saling minta maaf, lalu baikan lagi. Dan kembali mesra-mesraan. Sampai akhirnya, waktu di bulan kelima atau keenam kita pacaran, yang dia tanyakan gak cuma satu topik lagi, tetapi banyak hal. Kayak yang lebih dulu itu ayam atau telur dulu, bumi itu bulat atau datar dan yang lebih parahnya lagi, dia nanya soal bokong kita itu sebenarnya ada dua atau satu? Itu tuh nyebelin banget! Masa iya setiap kali ngobrol, yang dibahas itu-itu aja?!

Udah gitu dia nanya kayak gitu gak cuma sekali, tapi berkali-kali! Hampir setiap hari!

Dan parahnya lagi.... kami kebanyakan gak pernah satu pendapat! Hal itu yang buat kamu berantem terus gak ada habisnya. Setiap hari, yang kami bahas cuma teori-teori soal makan bubur diaduk lah, ayam dulu atau telur dulu lah. Gak jelas banget, kan?! Awalnya sih, Nadin anggap hal itu buat seru-seruan aja biar gak habis topik pembicaraan. Tapi, lama-lama jadi annoying!

Soalnya dia gak pernah setuju dengan pilihan Nadin. Dia sering banget ngejudge dan maksa Nadin biar sepaham dengannya, Nadin lama-lama jadi gondok sendiri. Padahal, kalau dia gak terlalu mempermasalahkan perihal itu dan menanggapinya dengan biasa aja, mungkin.... hubungan kami akan terjalin lebih lama atau seenggaknya kami putus secara baik-baik.

Kenapa Nadin jadi mengingat kenangan buruknya lagi? Iyuh!

"Maybe, kelas tiga SMP," jawab Nadin pada akhirnya.

"Yang bener aja loh!" seloroh Rosa gak percaya pada jawabannya.

"Beneran! Cuma ya gitu, gue males pacaran lagi setelah putus sama dia."

"Wait! Jangan bilang lo belum move sama mantan lo? Atau jangan-jangan lo gak menemukan sosok mantan dari cowok lain? Makanya lo pilih menjomblo," ucap Yumi mencoba menebak alasannya gak mau pacaran lagi.

Nadin bergidik ngeri. Sedangkan yang lain, malah tertawa kenceng banget. Puas banget mereka menertawakan Nadin.

Demi Tuhan! Nadin sama sekali gak kayak gitu. Ia gak mau pacaran bukan karena belum move on, tapi itu karena Nadin trauma. Iya, Trauma! Nadin Takut kalau ia dapat cowok yang kelakuannya sama kayak mantan atau ebih parah dari dia. Amit-amit jabang bayi!

"Enak saja!"

"Terus apa dong?"

"Ya emang gak ada yang cocok aja sama gue."

"Yakin?" tanya Yumi lagi dengan nada sangsi.

"Iyalah," jawab Nadin cepat. "Standar gue tinggi keles. Seenggaknya gantengnya melebihi mantan lah, biar gak malu-malu amat."

"Tuh, kan!" seru Rosa.

Nadin melotot karena terkejut. "Apa!"

"Lo aja masih membandingkan cowok lain dengan mantan, itu artinya lo belum move on sama dia Nadin," ucap Rosa berspekulasi lagi.

"Sok tahu lo," sahutnya kesal.

Rosa menatapnya jengah. "Denial banget lo hidupnya. Bilang aja belum move on."

"Najis!" Ya kali!

"Gue yakin nih, kalau lo ketemu mantan lagi. Pasti auto balikan," tambah Yumi.

Rosa kembali menyahut, "itu juga kalau mantannya dia single."

Ketiganya tertawa kencang. Apalagi saat melihat ekspresi Nadin yang terlihat sangat jijik sekali.

"Amit-amit jabang bayi! Amit-amit tujuh turunan! Amit-amit. Ya Allah, gak mau!" Batin Nadin seraya mengelus-elus perutnya beberapa kali, serta mengetuk-ngetuk kepalanya dan lantai beberapa kali.

Nadin melakukan hal itu, karena katanya biar hal-hal yang di dengarnya barusan itu gak terjadi dalam hidupnya. Semoga aja...

Meskipun itu cuma takhayul. Tapi sumpah demi apa pun, Nadin gak mau balikan sama mantan. Ia mendingan jomblo seumur hidup daripada harus kembali menderita. Iyuh!

"Gue doain ya, lo pada miskin tujuh turunan," balasnya menyumpahi mereka.

Rosa dan Yumi menyahut bersamaan, "enak aja!"

"Gue dari tadi diem ya, Nad. Gak usah ikut-ikutan menyumpahi gitu," tandas Mila yang sejak tadi memang hanya jadi penonton.

Nadin mencebik. "Lo juga ikutan ketawa ya tadi. Jadi berlaku buat lo juga."

"Sialan lo!"

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Selepas ketiga temannya pulang yang berakhir Nadin usir, karena terus-terusan meledeknya. Nadin memutuskan untuk pergi ke minimarket, membeli ice cream stroberi favoritnya dan beberapa keperluan mandinya yang sudah habis.

Langkah Nadin terhenti, saat ia melihat seseorang tengah berdiam diri, di depan unit apartemennya tanpa melakukan apa pun. Dari perawakannya Nadin tebak dia laki-laki. Meskipun dia memakai Hoodie yang menutupi kepalanya dan celana training panjang sampai semata kaki. Tapi Nadin tetap yakin, dia laki-laki!

Nadin berjalan mengendap-endap, sekaligus siaga. Bersiap mengayunkan tas belanjaannya untuk memberinya pukulan.

"AAA! Maling! Maling!" teriak Nadin seraya memukul-mukul punggung orang itu dengan keras. Dia menghindar sambil meminta tolong, agar Nadin berhenti. Tapi, Nadin gak mau berhenti! Untuk apa?

Penguntit kayak dia gak akan kapok kalau gak dikasih pelajaran.

Laki-laki itu memelintir tangannya kebelakang, mengunci tubuhnya di depan pintu apartemennya agar Nadin berhenti memukulnya. Tapi demi Tuhan, ini sakit banget!

"Sstt! Jangan teri– AW!!"

Nadin menendang tulang keringnya kencang agar ia terbebas dari kungkungan tubuh laki-laki itu.

"Kurang aja lo jadi cowok! Sama cewek kok kasar sih! Terus loh, ngapain berdiri di depan unit gue? Mau maling ya Lo? atau jangan-jangan lo mau berbuat mesum?!" tuduhnya tanpa ampun.

"Mbak saya, itu— ELO!!"

"ELO!!"

Bantuan Mantan

Nadin menepuk-nepuk pipinya berkali-kali, sambil meyakinkan diri kalau dia gak lagi mimpi atau salah lihat. Demi apa pun Nadin gak bisa percaya sepenuhnya. Cowok yang tadi dia curigai maling, ternyata mantannya sendiri! Kok dia bisa dia ada di sini?

Mata Nadin menyipit, menatapnya penuh curiga. Memindai tubuh mantannya dari atas hingga ke bawah. Otaknya berspekulasi yang tidak-tidak. Lalu, Nadin menggeleng cepat.

"Lo?! Ngapain di sini?" tanyanya seraya mengambil langkah mundur tiga kali. Dia gak siap bertemu ataupun berdekatan dengan dia.

"Masih saja galak lo," gumam Andra.

"Gue tanya sekali lagi Kalandra yang terhormat, ngapain lo berdiri di depan unit gue?!" tanyanya lagi, kali ini suaranya meninggi dan penuh tekanan kata sambil berkacak pinggang.

Dia terkekeh geli. "Gue baru pindah ke apartemen samping lo, Nadin," beritahunya, makin menambah keterkejutan Nadin.

"Gak mungkin," batinnya.

"Terus, lo ngapain berdiri di depan unit gue? Mau maling Lo!" tuduhnya.

Dia menggaruk tengkuknya. "Gue mau ngasih ini," ucapnya seraya mengambil paper bag yang diletakkan di dekat pintu apartemennya, lalu menyerahkannya pada Nadin.

Nadin enggan menerimanya.

"Gue gak ada niatan mau maling apalagi berbuat mesum seperti tuduhan lo itu. Gue cuma mau ngasih salah buah buat lo. Tetangga lain udah gue kasih, cuma lo yang belum."

Nadin memalingkan wajahnya ke arah lain. Pipinya memerah saking malu karena sudah menuduh dia yang tidak-tidak. Apalagi, tadi Nadin memukulnya bak seorang penjahat.

Bodoh!

"Sorry. Lagian penampilan lo mendukung sih."

"Kalau minta maaf yang bener, gak usah pake alasan segala," dumelnya. Sedangkan Nadin mengerucutkan bibirnya kesal. "Ini cepetan ambil, tangan gue pegel nih," titahnya seraya memaksa tangan Nadin agar mau menerimanya.

"Gak gue kasih sianida makanannya Nadin, jadi lo gak akan mati pas makan salad buahnya."

"Siapa juga yang mikir begitu," ketusnya.

"Muka lo tuh gak bisa bohong."

Nadin berdecak. "Nyebelin!"

"Udah masuk sana, gak dingin apa pake baju kurang bahan begitu."

Kekesalan Nadin makin bertambah, rasanya ia ingin mencabik-cabik wajahnya Andra sampai muka gantengnya itu berubah jadi buruk rupa. Tetapi, Nadin akhirnya cuma bisa menghentakkan kakinya kesal sambil memakinya dalam hati. Padahal ya, malam ini Nadin cuma pakai kaus oversize hitam yang dipadukan dengan celana bahan pendek warna hitam juga. Memang sih celananya super pendek sehingga tertutupi kaus, jadi keliatan kayak gak pakai celana. Tetapi tetap saja, kurang bahan apanya coba?! Dianya saja yang gak ngerti fashion. Huh!

"Semoga kita gak ketemu lagi ya, bye!"

Belum lama Nadin menyimpan kantung belanjaan dan paper bagnya di atas meja makan. Seekor kecoa terbang bebas dan mendarat di pipinya. Pupil matanya melebar seketika, ia otomatis berteriak kencang.

"AAAAA!! IBU!!" teriaknya sambil mengusir kecoanya menjauh dari pipinya. dia berlari keluar dari rumahnya dan membuka pintunya lebar-lebar. Saat melihat Andra Nadin menangis dengan histeris layaknya anak kecil yang mengadu pada orangtuanya.

"Loh, mengapa?" tanya Andra yang ternyata masih ada di sana.

"Ada kecoa," jawab Nadin disela-sela tangisannya.

Andra mengerjapkan matanya beberapa kali. Lalu, dia tertawa tanpa bisa menahannya. Merasa diejek, tangis Nadin makin histeris.

Demi apa pun, Nadin menangis bukan berarti cengeng atau lebay, hanya saja ia takut sekali dengan kecoa. Melihat tubuhnya dari layar ponsel saja sudah buat Nadin ketakutan setengah mati. Apalagi tadi, mendarat di pipinya dan itu sangat menakutkan sekaligus menjijikkan. Rasanya ia mau cuci wajahnya dengan tujuh lapis tanah dan kembang tujuh rupa.

"Loh, loh, kok makin kejer nangisnya," ucapnya panik.

"Siapa suruh ngetawain. Udah tahu gue takut banget sama kecoak," isaknya.

Andra memeluk Nadin mencoba menenangkannya yang makin menangis dengan histeris, dia menepuk-nepuk punggungnya pelan. "Udah, udah, biar gue usir kecoaknya nanti."

"Sekarang," rengeknya.

"Iya, iya, sekarang."

"Lo duluan yang masuk," titah Nadin cepat yang langsung disetujui oleh Andra. Mereka berdua masuk dengan Nadin yang bersembunyi di belakang punggungnya, memegang ujung hoodienya erat. "Itu, itu, kecoaknya disitu deket kantung belanjaan sama paper bag dari lo," tunjuknya saat melihat dua kecoak yang sedang santai diam di atas meja makannya.

Nadin bergidik ngeri. Perasaan tadi dia hanya melihat satu kecoa saja dan sekarang kenapa malah bertambah jadi dua?!

"Cepet bunuh kecoaknya," titahnya tidak sabaran.

"Bentar, gue ambil sapu dulu."

Alih-alih mengambil sapu, dia justru kembali keluar dari apartemennya. Nadin menyusulnya menatapnya dengan galak.

"Mau ke mana? Katanya mau ambil sapu. Itu sapu ada di pojok." Nadin menunjuk ke arah sapu yang berada di pojok dapur.

"Mau ambil pembasmi kecoa dulu. Kalau pake sapu takut terbang, tunggu sebentar ya."

"Beneran?"

"Iya. Lo awasi aja kecoaknya biar gak kabur."

"Ih gak mau!"

"Terus lo mau ikut gitu? Nanti kecoaknya terbang ke mana-mana gimana coba?"

Nadin menimbang-nimbang. Ia gak mau di sini sendirian, tetapi kalau dia ikut Andra pergi bagaimana kalau kecoaknya bertambah jadi tiga? Atau dia bersembunyi ditempat yang gak bisa Nadin lihat. Bisa-bisa Nadin tidak bisa tidur!

"Yasudah," ucap Nadin pada akhirnya. "Jangan lama-lama!"

"Iya."

Andra memang cowok paling bisa diandalkan. Sejak dulu saat mereka masih berpacaran, dia seringkali melindungi Nadin dengan sepenuh hati. Sifat Andra memang nyebelin, tetapi sikapnya yang gentle membuat Nadin klepek-klepek. Seperti sekarang, dia bagaikan seorang superhero yang menyelematkan Nadin dari dua kecoak yang menjijikkan itu. Membunuhnya dengan sangat kejam menggunakan pembasmi kecoak, sampai mati tak berdaya.

Nadin merasa bersyukur karena hari ini dia bertemu dengannya. Kalau gak, bisa-bisa malam ini Nadin akan mengungsi di tempat Mila atau pulang ke rumahnya.

"Udah aman, kecoaknya udah mati."

"Yakin?"

"Iya. Kalau memang masih takut kecoaknya muncul lagi, lo semprot pake ini saja." Andra memberikan pembasmi kecoa padanya.

"Makasih," ucapnya tulus.

"Gak gratis loh ini."

Nadin menatapnya tak percaya. "Serius?"

Dia mengangguk. "Lo pikir gue sukarela bantuin lo begitu."

Tuh, kan! Baru saja tadi Nadin puji-puji karena baik hati. Eh, ujung-ujungnya malah minta upah.

"Bentar, gue ambil dahulu uangnya."

"No, no. Gue gak mau dibayar pake uang," tolaknya menghentikan niat Nadin yang hendak mengambil uang di kamarnya.

"Terus apa dong? Jangan bilang..." Nadin menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menatap Andra dengan horor.

"Otak lo kotor banget sih, Nad," decaknya.

Nadin menghela napas panjang. "Ya terus apa dong?!"

"Bayar pake nomor HP lo saja."

dia ingin menolaknya mentah-mentah. tetapi, karena malam ini Andra sudah berbaik hati, jadi dia mau tidak mau memberi nomornya.

"Yasudah sini HP lo," pintanya dengan tidak ikhlas.

Andra memberikan ponselnya, lalu Nadin menuliskan nomornya yang sudah dia hafal di luar kepala.

"Ini nomor lo beneran, kan?"

"Telepon aja kalau gak percaya."

"Oke. Thank you. Bye mantan, semoga tidur lo nyenyak ya," pamitnya seraya bersiul-siul dengan riang.

Nadin mendesis. "Cih! senang banget lo kayaknya dapet nomor gue. Belum move on ya lo, sama gue?!" monolognya setelah Andra pergi keluar dari apartemennya.

Gangguan Mantan!

Nadin gak pernah menyesali apa pun yang udah pernah dia lakukan. Bahkan ketika berpacaran dengan Andra beberapa tahun lalu pun, Nadin tidak pernah menyesalinya. Tapi hari ini, Nadin menyesal. Amat sangat menyesal karena telah memberikan nomor HP-nya pada si Mantan nyebelinnya itu—alias Andra. Bagaimana Nadin gak menyesali coba, selama satu Minggu ini. Andra selalu saja mengganggunya. Entah dengan melakukan panggilan spam dan setiap kali Nadin angkat Andra selalu bilang, "gak ada apa-apa kok. Cuma mau nelpon aja."

Kan nyebelin ya!

Atau dengan pesan chat yang isinya cuma manggil Nadin doang.

Apaan coba?!

Keganggu? Jelas!

Nomornya kenapa gak diblokir aja? Udah pernah. Tapi dia malah terus mengirim SMS dan itu ganggu banget.

Kenapa gak ditegur? Itu masalahnya! Andra sengaja banget menghindar alias selama satu Minggu ini, dia gak pernah kelihatan batang hidungnya. Bahkan, waktu Nadin bertamu ke apartemennya pun, dia gak nyahut, pintunya gak dibuka-buka.

Kenapa gak lewat chat aja? Udah pernah, tapi Andra mengabaikannya.

Nadin yang anti banget ponselnya di mode silent, mau gak mau ia silent HP-nya karena si Andra yang nyebelin itu.

Nadin mendesah pelan, ia menaruh kepalanya di atas meja kantin dengan wajah masam.

"Kenapa lo?" tanya Yumi disela kunyahannya.

"Diteror gue," jawabnya asal.

Yumi tersedak seketika mendengar jawabannya. Mila yang baru saja datang, langsung peka memberi Yumi air minum.

"Diteror siapa?" tanya Yumi lagi, setelah benar-benar baikan.

"Mantan."

Kedua temannya itu dengan kompak mengerutkan dahinya bingung sekaligus penasaran.

"Nanti deh gue cerita, kalau ada Rosa biar sekalian," dalih Nadin.

"Tuh orangnya baru aja dateng," tunjuk Mila pada Rosa yang sedang melangkah ke arah tempat mereka duduk.

Nadin mendengus pelan sambil duduk tegak kembali. "Nanti deh di tempat lo atau gue, yang lebih privasi gitu."

Mila dan Yumi kompak bersuara, "sekarang Nadin."

"Nanti!" seru Nadin meninggi.

Rosa yang baru saja datang terkejut. "Kenapa nih, tiba-tiba teriak?"

Yumi mengangkat bahu. "Temen lo diteror mantan tuh."

"Hah? Mantan yang mana?"

"Emangnya mantan dia ada berapa sih? Ada satu, kan?" tanya Yumi setengah meledeknya.

Sialan!

"Oh mantan yang dia belum move on itu?" tanya Rosa seolah menegaskan yang langsung kedua temannya setujui.

What the hell!

"Enak aja! Gue udah move on ya," sanggahnya tak terima.

Rosa menatapnya penuh ejek. Seolah apa pun yang Nadin ucapkan itu gak akan mereka percaya. Yang Nadin lakukan saat ini hanya mendengus pelan.

"Yasudah cepetan cerita! Kalau gak mau cerita berarti lo belum move on sama doi," ancam Rosa, yang pada akhirnya membuat Nadin menyerah.

Ia mulai menceritakan semua kejadian tadi malam. Selepas mereka pulang. Tanpa ada yang dikurangi atau dilebih-lebihkan. Gak lupa, Nadin mengecilkan suaranya. Takut kalau ada orang yang menguping. Ketiga temannya gak ada yang protes, terlihat dari tubuh mereka yang lebih condong ke arahnya sambil menajamkan indera pendengarnya, agar suara Nadin terdengar.

"Fix, mantan lo masih suka sama lo," simpul Yumi setelah Nadin selesai cerita.

Nadin melotot. "Enak aja! Yakali!"

"Bukan lo, tapi mantan lo Nadin," ucap Yumi menegaskan dan Nadin hanya ber-oh-ria

"Sumpah, gak elite banget anjir. Masa iya minta nomor lo gara-gara abis ngusir kecoak," komentar Rosa.

"Ya emang kenapa sih? Gak boleh?!" tanyanya dengan marah.

"Lah kok marah. Gak suka mantan lo kami ejek?"

Nadin mencebik. "Gak!" elaknya.

"Coba lo telepon mantan lo Na–"

"Mau ngapain?!" potong Nadin cepat.

"Mau kita gangguin balik lah! Biar kita kasih paham atau gak minta nomor mantan lo deh."

Nadin menggeleng cepat. "Gak ah. Gue tau ide busuk lo."

Nadin gak kasih izin mereka untuk meminta nomornya Andra bukan karena ia gak mau berbagi. Hanya saja, mereka tuh sering banget ngechat orang-orang yang udah buat Nadin risih sampe gak mau ketemu Nadin lagi. Kalau Andra melakukan hal yang sama, gimana coba? Kan Nadin jadi gak bisa liat muka gantengnya lagi. Loh kok?!

Gak! Nadin bukan karena masih suka sama dia. Hanya saja terlalu sayang kalau dia ilfil sama temen-temennya. Nanti image Nadin dimatanya bisa jelek. Gak, gak boleh!

Rosa ketawa sebagai tanggapannya. "Takut mantan lo gak ngajak balikan ya?"

Tuh kan! Dari tadi mereka bahas-bahas soal balikan sama mantan.

"Gue masukin got tau rasa!"

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Lo kalau gak niat kerja gak usah kerja di sini!"

Damn!

Sang pemilik cafe—Cakra—tempat Nadin part time, tiba-tiba aja memarahinya karena kesalahan yang tak Nadin lakukan.

Sepuluh menit yang lalu, Nadin baru saja datang. Baru saja menginjakkan kaki dilantai cafe ini, seorang anak kecil tangannya terjepit pintu, karena orangtuanya ceroboh. Dan orang tua anak kecil itu, menyalahkan pegawai cafe karena udah lalai.

What the hell!!

Jelas-jelas yang harus disalahkan orangtuanya. Sudah tau anaknya nakal, malah dibiarkan berkeliaran di cafe dan dibiarkan anaknya main pintu cafe. Dan Cakra! Atasannya yang nyebelin ini, malah memarahinya gak jelas. Padahal kan, baik Nadin ataupun pegawai lainnya gak ada melakukan kesalahan apapun. Cakranya aja yang gak bisa membedakan mana yang salah atau gak. Takut banget kehilangan customer!

Inipun mentang-mentang Nadin belum memulai pekerjaan, dia bisa seenaknya marahin Nadin gitu?!

"Niat kerja kok, Pak."

Mau sedongkol apa pun Nadin sama Cakra, ia selalu ingat kalau selama dua bulan ini ATM-nya lagi di blokade ortunya. Jadi, ia terpaksa manggut-manggut aja kalau gak mau dipecat.

"Kerja yang bener! Gak usah leha-leha!" sentaknya sekali lagi.

Dan Nadin, cuma menjawab, "iya, Pak." Dengan kepala yang tertunduk.

Gini nih, kalau udah punya jabatan yang tingginya gak seberapa itu bisa menindasnya seenaknya.

"Yaudah, kerja sana! Ngapain di sini terus?"

Allahu!

Ini orang maunya apa sih?

Jelas-jelas Nadin dari tadi mau mulai pekerjaannya, tapi dia malah menahannya dengan segala omelan yang dia punya. Dan sekarang, malah memarahinya karena masih ada ditempat.

"Sabar Nadin, sabar. Orang gak sabar pantatnya lebar." Batinnya seraya mengelus dadanya pelan.

"Ck! Kalau bukan atasan gue, udah gue acak-acak muka lo," dumelnya seraya memulai pekerjaannya dan berganti shift dengan temannya

"Ya, selamat datang di cafe kopi kita. Mau pesan ap–" Nadin menghentikan kalimatnya saat melihat Andra sudah berdiri di pembatas meja, antara dirinya dan Andra.

"Iced Americano dua sama stroberi cakenya satu," pesan Andra tanpa perlu repot-repot membaca menu.

"Ada tambahan lagi?" tanya Nadin seraya memproses pesanannya.

"Kenapa chat terakhir gue gak dibales, Nad?"

"Jadi, total semuanya sembilan puluh lima ribu, bayarnya mau tunai atau nontunai?" Nadin pura-pura tak mendengar dan melakukan pekerjaannya secara profesional tanpa repot-repot menjawab pertanyaannya yang terakhir.

Andra mengeluarkan selembar uang seratus ribu dan sepuluh ribu, dia hendak berbicara kembali sebelum seorang perempuan mengalihkannya.

"Dra, udah pesen?"

"Kayak biasanya, kan?"

Perempuan itu mengangguk sambil tersenyum cerah. "Oh iya, hari ini gue nginep di apart lo boleh, ya?"

Damn!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!