SOFIA ANDERSON
"Kamu serius akan pindah ke universitas SG? universitas tempat orang-orang kaya itu berada ?" ucap seorang gadis manis pada sahabat baiknya saat jam kuliah telah usai, mereka nampak keluar dari kampusnya lalu menyusuri jalanan pinggir kota California sore itu.
Hujan yang baru saja reda membuat cuaca semakin terasa dingin juga nampak beberapa genangan air bercampur lumpur di sebagian jalanan yang berlubang.
"Hm, ayahku sudah mendapatkan beasiswanya dan semester depan aku harus pindah ke sana." sahut sang sahabat yang di ketahui bernama Sofia, gadis cantik dengan kedua lesung pipinya yang membuatnya semakin mempesona saat tersenyum.
"Tolong pikirkan sekali lagi Sofia, aku tahu ayahmu melakukannya demi kebaikanmu tapi tidak di SG juga. Universitas itu sangat mengerikan, banyak mahasiswa dari kalangan rendahan seperti kita tak bertahan lama di sana." mohon sang sahabat yang bernama Sarah itu.
"Benarkah ?" Sofia nampak tak percaya, karena sebelumnya ia tak pernah mencari tahu tentang universitas tersebut.
"Astaga Sofia, kemana saja kamu selama ini ?" Sarah terlihat gemas dengan sahabatnya itu yang bisa-bisanya melewatkan berita viral di kalangan remaja seusianya.
"Aku? tentu saja bekerja. Sejak ayahku sakit-sakitan aku harus menggantikannya mencari nafkah, jika tidak kami mau makan apa." sahut Sofia dengan jujur.
"Maafkan aku karena belum bisa membantumu." timpal Sarah yang sepertinya nasib keluarganya tak jauh berbeda dengan Sofia, hidup sederhana di pinggiran kota California.
"Jangan memikirkan ku, lihatlah aku memiliki otot yang kuat. Aku masih cukup mampu untuk bekerja sebagai loper koran setiap pagi dan di restoran saat malam hari." ujar Sofia dengan wajah yang selalu bersemangat, tak ada kesedihan di matanya meski keadaannya serba kekurangan.
Sudah satu tahun terakhir ini Sofia harus banting tulang saat sang ayah di vonis menderita paru-paru akut dan mau tak mau ia menggantikan peran ayahnya tersebut dalam membantu mencari nafkah.
"Jadi tolong pikirkan sekali lagi, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu Sofia." mohon Sarah lagi.
"Apa semenakutkan itu ?" timpal Sofia dan bersamaan itu nampak sebuah mobil sport mewah melintasi genangan air hujan tak jauh dari mereka berjalan kaki hingga mengenai pakaian Sofia.
"Kamu baik-baik saja? pakaianmu kotor Sofia." Sarah langsung membantu membersihkan pakaian sahabatnya itu.
"Hei kurang ajar, berhenti kau !!" teriak Sofia dengan kesal saat menyadari pakaiannya telah basah bercampur lumpur, pasti akan sulit membersihkannya.
"Astaga Sofia, mati kita. Kenapa kamu meneriakinya ?" Sarah nampak menelan ludahnya saat mobil sport yang melintas tadi tiba-tiba mundur dan mendekat ke arah mereka.
"Kenapa wajahmu seperti itu? bagus dong dia berhenti karena harus mempertanggung jawabkan perbuatannya." Sofia nampak heran dengan sikap sahabatnya itu yang tiba-tiba ketakutan saat melihat mobil tersebut berhenti tak jauh di depannya itu.
Setelah itu nampak seorang pria tampan keluar dari mobil tersebut dengan senyuman menyeringai dan di susul oleh pria satunya lagi yang terlihat begitu cuek.
Pemuda dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya itu nampak melipat kedua tangannya di depan dadanya lalu bersandar di bahu mobilnya.
Sementara pemuda satunya itu nampak melangkah mendekat dengan wajah mengejeknya.
"Hei gadis lumpur, kau memanggil kami ?" ucapnya dengan angkuh.
Sofia yang sedari kecil menjalani hidupnya dengan berat tentu saja tak gentar menghadapi pria kaya itu, kini gadis itu dengan berani melangkah maju dan di ikutin oleh Sarah yang bersembunyi di belakang punggungnya.
"Apa kau tidak pernah di ajarin sopan santun dalam berkendara hah? atau jangan-jangan surat ijin mengemudimu itu hasil sogokan wahai tuan sok kaya raya ?" cibir Sofia seraya menunjuk ke arah pria itu.
"Kau !!" pria tersebut langsung geram.
"Apa? kau ingin memukulku hah? ternyata tidak hanya attitude mu saja yang bermasalah tapi jiwa kelelakianmu juga perlu di pertanyaan karena beraninya cuma dengan seorang wanita saja." cibir Sofia lagi saat pria itu hendak melayangkan tangannya.
Sementara pemuda satunya yang sedari tadi menonton perdebatan temannya dan gadis itu nampak mengangkat sudut bibirnya.
"Benar-benar menarik." gumamnya seraya menatap ke arah Sofia dari balik kacamata hitamnya tersebut.
"Dasar gadis miskin tak tahu di untung." pria yang sedang berdebat dengan Sofia itu langsung mendorong tubuh wanita itu lalu saat hendak memukulnya pemuda yang sedang bersandar di bahu mobilnya nampak berseru.
"Hentikan, George !!" ucapnya dan seketika kepalan tangan pria itu berhenti di udara.
Sepertinya pemuda berkacamata hitam itu ucapannya sangat berpengaruh hingga membuat temannya itu langsung mematuhinya.
Kemudian pemuda itu nampak mengambil dompet dari dalam saku celananya lantas mengeluarkan beberapa lembar uang.
"Inikan yang kamu inginkan ?" ucapnya seraya menatap ke arah Sofia lantas melemparkan lembaran uangnya ke hadapan wanita itu hingga terhambur di atas tanah.
Setelah itu pemuda tersebut segera membuka pintu mobilnya dan segera masuk ke dalam.
"Dasar gadis miskin." ejek pemuda satunya yang tadi hendak memukul Sofia, kemudian menyusul masuk ke dalam mobilnya dan segera meninggalkan tempat tersebut.
"Benar-benar orang kaya si4l4n." umpat Sofia seraya memunguti lembaran uang tersebut, tentu saja ia mengambil uang itu sebagai ongkos untuk mencuci pakaiannya yang lumayan kotor.
"Ini lebih dari cukup, Sofia." tukas Sarah saat melihat lembaran uang di tangan sahabatnya itu.
"Nanti sisanya ku kembalikan, kita memang miskin tapi kita bukan pemakan uang haram." timpal Sofia seraya menatap sahabatnya itu.
"Jadi apa kau masih berniat masuk universitas SG itu setelah apa yang telah terjadi ?" ucap Sarah kemudian.
"Maksud kamu ?" Sofia nampak tak mengerti.
"Kamu tahu siapa kedua pria itu ?" tanya Sarah lagi.
"Tidak tahu dan bukan urusanku." sahut Sofia dengan cuek lantas kembali melangkahkan kakinya menuju halte tak jauh di depannya tersebut.
"Mereka adalah mahasiswa SG." terang Sarah dan sontak membuat Sofia menghentikan langkahnya lantas menatap sahabatnya itu.
"Pemuda yang ingin memukulmu tadi itu namanya George Hudson putra manager hotel Smith dan satunya lagi yang sangat tampan itu namanya Ariel Smith, tuan muda di keluarga Smith pemilik saham terbesar pertama universitas Smith Group atau SG dan saat ini selain sebagai mahasiswa semester akhir, dia juga menjabat sebagai seorang direktur utama di salah satu perusahaan keluarga besarnya." terang Sarah dengan antusias karena pemuda dan pemudi yang ada di universitas SG sudah seperti idol bagi remaja kalangan rendahan seperti dirinya.
ARIEL SMITH
"Lalu apa hubungannya denganku ?" ucap Sofia dengan polos yang langsung membuat sahabatnya itu merasa kesal sekaligus gemas.
"Astaga Sofia, sepertinya otakmu perlu di upgrade ulang." ucapnya kemudian.
"Sarah, aku ke universitas itu untuk mencari ilmu bukan yang lainnya. Aku tak peduli mereka anak siapa, karena bagiku kebahagiaan ayahku yang utama. Jika memang ayahku menginginkan ku kuliah di sana demi masa depan kami aku tak masalah meski berat sekalipun." terang Sofia kemudian.
"Terserahlah yang penting aku sudah mengingatkan." Sarah masih nampak kesal dengan sikap keras kepala sahabatnya itu.
Pagi-pagi sekali Sofia sudah berdiri di depan sebuah gedung tinggi dan mewah yang tak lain adalah universitas SG dimana akan menjadi tempatnya yang baru untuk menuntut ilmu.
Universitas yang memiliki beberapa tower tersebut terlihat sangat mewah dengan segala fasilitas dan pendukungnya.
"Hai minggirlah kamu menghalangi mobil yang akan lewat !!" teriak seorang security saat baru membuka pintu gerbang universitas tersebut.
"Maafkan aku." Sofia sedikit membungkuk lantas segera melangkah masuk namun security itu langsung menghadangnya.
"Kamu mau kemana ?" tanyanya seraya memperhatikan Sofia dari ujung kaki hingga rambut, Sofia yang hanya mengenakan celana jeans lusuh serta kaos dan juga tas punggung lawasnya memang terlihat berbeda jauh dengan para mahasiswa di universitas tersebut yang rata-rata anak dari pengusaha kaya raya.
"Perkenalkan, aku Sofia calon mahasiswa baru di sini." Sofia langsung menunjukkan sebuah kartu pengenal sebagai akses masuk yang sebelumnya di berikan oleh ayahnya tersebut.
"Kamu dari jalur beasiswa ?" tanya security tersebut setelah memeriksa tanda pengenal milik gadis itu.
"Benar, tuan." Sofia langsung mengangguk cepat.
"Baiklah semoga beruntung." ujar sang security lantas segera menyuruh Sofia untuk masuk.
"Semoga beruntung? seperti akan ikut kompetisi saja." gumam Sofia seraya melangkahkan kakinya masuk ke dalam pelataran gedung universitas tersebut.
Sofia nampak mengedarkan pandangannya dan gadis itu benar-benar kagum dengan gedung tersebut yang terlihat sangat mewah seperti sebuah istana di negeri dongeng.
Kemudian pandangannya beralih ke pintu gerbang di mana nampak lalu lalang mobil mewah mengantar mahasiswa di sana dan itu membuat Sofia seketika berkecil hati.
Untuk sampai ke sini saja ia harus naik kereta dua kali dengan suasana yang berdesakan dan setelah itu ia juga harus berjalan kaki selama 15 menit agar sampai di gedung tersebut.
Benar-benar melelahkan namun bagi Sofia kebahagiaan sang ayah adalah yang utama, jika ayahnya menginginkannya untuk menempuh pendidikan di sana maka ia akan mematuhinya toh itu semua demi kebaikannya juga.
"Hai ?" sapa seseorang hingga membuat Sofia langsung berjingkat kaget.
"Hai juga." sahut Sofia seraya menatap seorang pemuda dengan kacamata tebal membingkai kedua matanya tersebut.
"Kamu murid baru ?" tanya pemuda tersebut.
"Hm, aku Sofia mahasiswa baru di sini tapi aku baru akan masuk di semester depan." Sofia langsung mengulurkan tangannya.
"Dani." pemuda itu langsung membalas jabat tangan gadis itu.
"Senang bertemu denganmu, Dani." timpal Sofia dengan tersenyum ramah.
"Apa kamu sudah memiliki seragam, Sofia ?" tanya pemuda itu lagi.
"Se-seragam ?" Sofia nampak tak mengerti bukankah kuliah tak menggunakan seragam.
"Ya tentu saja seragam, jadi kamu tidak tahu ?" Dani terlihat heran menatap gadis berpenampilan sederhana itu.
"Bukankah seragam biasanya hanya di pakai oleh anak SMA ?" tanya Sofia kemudian.
"Tapi di kampus ini juga mewajibkan muridnya untuk memakai seragam, Sofia. Ku rasa kamu belum terlalu banyak mengenal universitas ini." terang Dani seraya menatap tak percaya gadis itu padahal kampusnya tersebut telah menjadi idola bagi kalangan remaja manapun yang ingin menempuh pendidikan di sana.
Meskipun sebenarnya tak seindah berita yang beredar si luaran sana karena setiap sekolah pasti memiliki sisi negatif maupun positifnya.
"Aku tidak tahu, maksudku aku kurang mencari tahu tentang itu jadi apa kamu tahu di mana aku akan mendapatkan seragamnya ?" timpal Sofia kemudian.
"Tentu saja nanti aku akan menunjukkannya padamu di mana membelinya." sahut Dani dan sontak membuat Sofia sedikit terkejut, membeli seragam? bukankah semuanya gratis bagi mahasiswa yang mendapatkan beasiswa?
"Ngomong-ngomong apa kamu masuk ke sini melalui jalur khusus? maaf maksudku penampilanmu tak seperti mereka." tanya Dani seraya menunjuk beberapa anak gadis berpenampilan mewah yang sepertinya baru datang itu, meski semuanya menggunakan seragam tapi apa yang menempel di badan mereka nampak bermerk dengan harga fantastis.
"Ayahku berhasil mendapatkan beasiswa untukku." terang Sofia dengan jujur, bukankah dia memang harus jujur? lagipula jika ia mendapatkan beasiswa itu berarti otaknya lumayan bisa di adu dengan yang lainnya.
"Oke, baiklah Sofia. Senang bertemu denganmu dan semoga kamu beruntung di sini, jika ingin mendapatkan seragam kamu bisa pergi ke gedung sebelah itu kamu akan mendapatkan semua yang kamu perlukan di sana." ujar Dani seraya menunjuk ke arah gedung yang bersebelahan dengan gedung kampus tersebut, setelah itu pemuda itu berlalu pergi karena bel masuk telah berbunyi.
Sementara Sofia nampak mengedarkan pandangannya ke setiap sudut bangunan tersebut, rasanya ia masih tak percaya bisa bersekolah di sini.
"Semoga aku beruntung." gumamnya, setelah itu Sofia segera berlalu ke sana.
"Li-lima juta ?" ucapnya setelah mengetahui harga seragam di kampusnya tersebut.
"Iya benar, kamu akan mendapatkan sepasang seragam." terang seorang wanita dewasa nan cantik itu pada Sofia.
"Tapi bukankah murid yang mendapatkan beasiswa khusus di sini mendapatkan semua fasilitas dengan gratis ?" timpal Sofia karena itu yang ia dengar dari sang ayah.
"Semua gratis kecuali seragam Sofia dan kamu harus segera mendapatkannya sebelum awal semester di mulai." terang wanita itu lagi.
"Ta-tapi...."
"Kamu masih punya waktu tapi jika tidak di luaran sana masih banyak siswa yang berprestasi ingin kuliah di sini jadi segera buat keputusanmu." tegas wanita itu.
"Baiklah, kalau begitu saya pamit undur diri dulu." Sofia segera beranjak dari duduknya.
Sementara wanita itu nampak tersenyum miring. "Sudah miskin ya miskin saja untuk apa bermimpi sekolah di sini." gerutunya seraya menatap kepergian Sofia.
"Lima juta, sepertinya aku harus mencari pekerjaan lain lagi. Tidak mungkin aku menggunakan semua gajiku untuk membayar seragam itu lalu bagaimana dengan kebutuhan kami sehari-hari ?"
Sepanjang jalan Sofia nampak berkutat dengan pikirannya sendiri dan tiba-tiba.....
Brukkk
"Maaf, aku tak sengaja." ucapnya saat tak sengaja menabrak seseorang hingga membuat tas yang orang itu pegang terjatuh di atas lantai, kemudian Sofia segera mengambilnya lalu menyerahkannya.
"Kau !!" ucap mereka bersamaan setelah saling menatap.
"Ck, gadis lumpur. Apa yang kau lakukan di sini? apa kau sedang melamar menjadi tukang sapu ?" ucap George dengan wajah mengejek.
Sofia nampak melebarkan matanya, bukankah itu pria yang telah mengotori pakaiannya beberapa waktu lalu?
Kemudian Sofia segera mengedarkan pandangannya mencari sosok pria lainnya yang waktu itu telah memberikannya uang sebagai ganti rugi untuk mencuci pakaiannya yang kotor karena ia harus mengembalikan sisa uang tersebut pada pria itu.
"Berikan ini pada temanmu itu, lain kali berhati-hatilah dalam mengemudi. Mungkin kemarin hanya pakaian ku yang menjadi korbannya, bisa jadi lain kali nyawa seseorang yang melayang." ucapnya seraya menyerahkan dua lembar uang dan pecahan koin pada pria itu, lantas segera pergi dari sana.
"Ck, sombong sekali dia. Ariel harus tahu ini." geram George, karena itu adalah penghinaan bagi sang tuan muda sang penguasa universitas ini.
Pagi itu nampak seorang pemuda menghadiri sebuah meeting dengan wajah mengantuk, jika bukan karena paksaan sang ayah ia lebih memilih tidur pulas di rumahnya.
"Baiklah meeting kita akhiri sampai di sini dan terima kasih semua atas kerja samanya." ucap seorang pria paruh baya namun masih terlihat tampan dengan tubuh yang terjaga kekekarannya.
Pria itu adalah William Smith pemilik Smith Group yang memiliki beberapa anak usaha termasuk universitas SG.
Setelah itu semua peserta meeting segera meninggalkan ruangan tersebut satu persatu.
"Mau kemana kamu ?" ucap pria itu saat seorang pemuda juga ikutan beranjak dari duduknya.
"Kembali ke ruanganku Pa, bukankah meeting sudah selesai ?" sahut sang pemuda dengan wajah cueknya, jika bukan karena paksaan sang ayah ia takkan hadir dalam meeting mengingat semalam hampir menjelang dini hari baru pulang.
"Kamu tidak ke kampus ?" tanya sang ayah lagi.
"Nanti jika tidak sibuk." sahut pemuda itu, lagi-lagi dengan nada cuek. Lantas berlalu pergi namun baru beberapa langkah ayahnya tersebut kembali berteriak.
"Berhenti, jika masih ingin menggunakan nama Smith di belakang namamu." tegas sang ayah dan mau tak mau membuat pemuda yang bernama Ariel itu menghentikan langkahnya.
"Pergilah ke kampus dan Papa tidak mau tahu semester depan kamu harus lulus dan melanjutkan magistermu !!" perintah sang ayah dengan tegas mengingat putranya itu harusnya sudah lulus dari satu tahun yang lalu.
"Aku sudah mampu memimpin salah satu anak perusahaan milik papa jadi ku rasa ijazah tidak begitu penting, Pa." tukas Ariel kemudian namun....
Brakk...
Tiba-tiba terdengar suara gebrakan meja dengan kasar hingga membuat beberapa karyawan yang belum sepenuhnya pergi dari ruangan tersebut langsung berjingkat kaget dan mereka segera berlalu dari sana karena biasanya perdebatan ayah dan anak itu tidak akan berlangsung sebentar.
"Tidak penting kamu bilang? kamu pikir Papa menjadikan perusahaan hingga seperti saat ini tidak menggunakan ilmu hah ?" tegas William dengan menatap tajam putranya tersebut, baginya pendidikan adalah nomor satu.
Meski putranya itu sangat berbakat dalam berbisnis seperti dirinya namun dalam hal pelajaran di kampus putranya sangatlah pemalas.
"Terserah Papalah, bukankah hidupku milik papa." timpal Ariel lantas segera berlalu pergi dari sana, toh jika ia melawan pun tak ada gunanya karena ayahnya itu akan tetap mengatur hidupnya.
"Kau !!" William benar-benar nampak geram karena putranya itu selalu saja melawan perkataannya.
"Berhenti !!" teriaknya kemudian.
"Bukankah Papa menyuruhku ke kampus ?" timpal Ariel seraya menatap ayahnya itu sejenak.
Sejak remaja Ariel memang sudah di persiapkan oleh sang ayah sebagai pewarisnya dan sejak saat itu ia merasa kebebasannya di renggut paksa, di saat teman-temannya yang lain bisa leluasa bermain namun tidak dengan dirinya. Karena ia harus belajar bisnis di perusahaan ayahnya itu hingga waktu untuk bermain pun hampir tidak ada.
Ariel merasa di paksa untuk cepat menjadi dewasa dari teman-teman seusianya hingga menjadikannya memiliki sifat yang keras kepala sebagai bentuk perlawanan atas ketidakadilan terhadap dirinya.
"Hai bro, tumben ke kampus." ucap George saat melihat sahabatnya itu baru datang.
"Aku sangat mengantuk jangan ganggu aku dulu." ucap Ariel seraya melemparkan tasnya ke atas meja lantas pria itu segera merebahkan dirinya di sofa.
Saat ini mereka sedang berada di salah satu ruangan yang ada di universitas SG yang biasa mereka gunakan sebagai markas untuk berkumpul.
Ariel yang notabennya putra pemilik universitas tersebut tentu saja dengan mudah mendapatkan ruangan di sana.
Biasanya mereka akan bermain maupun bersantai di sana sebelum atau sesudah jam kuliah dan hanya beberapa orang saja yang memiliki akses untuk masuk.
"Apa nanti malam kamu ikut taruhan lagi, bro ?" tanya George penasaran, mengingat sahabatnya itu suka sekali mengikuti balap liar.
"Lihat nanti malam saja." sahut Ariel dengan mata masih terpejam.
Tak berapa lama nampak seorang pemuda lagi masuk ke dalam ruangan tersebut.
"Hai bro." sapa pemuda itu pada kedua sahabatnya.
"Ngomong-ngomong apa aku sedang bermimpi ?" imbuh pemuda itu lagi yang di ketahui bernama Daniel seraya menatap ke arah Ariel, karena sudah lama sekali sahabatnya itu tidak datang ke kampus
Akhir-akhir ini Ariel memang jarang sekali berkumpul bersama mereka mengingat jabatan direktur yang baru saja di embannya.
"Papa menyuruhku untuk cepat menyelesaikan kuliah bukankah itu sangat menyebalkan." ucap Ariel yang kini nampak bangun lantas bersandar di sandaran sofa.
"Bukankah itu bagus ?" timpal Daniel seraya menghempaskan bobot tubuhnya di atas sofa.
"Tentu saja tapi itu tetap tak pernah berhasil." sahut Ariel mengingat ia harusnya sudah lulus setahun yang lalu.
"Bagaimana bisa berhasil jika kamu datang kesini hanya untuk bermain dan mengganggu yang lain saja." cibir Daniel kemudian.
Sepertinya dari ke ketiga pemuda itu hanya Daniel yang paling rajin dan tak seperti Ariel dan George yang kuliah hanya sebagai ajang permainan.
"Kau benar-benar seperti papaku." gerutu Ariel dengan kesal.
"Oh ya Ar, apa kamu masih ingat dengan seorang gadis yang pakaiannya terkena cipratan lumpur waktu itu ?" tiba-tiba George mengalihkan pembicaraan.
"Hm." Ariel hanya menanggapinya dengan berdehem kecil, saat mengingat gadis yang sok galak agar demi bisa memalaknya. Dimana-mana semua gadis sama saja, matre pikirnya.
"Kamu tahu, apa yang dia berikan padaku ?" ucap George lagi dan sepertinya Ariel tak begitu tertarik karena pria itu justru fokus bermain game di ponselnya, namun tidak dengan Daniel pemuda itu nampak penasaran.
"Dia menitipkan ini untukmu." George langsung mengeluarkan dua lembar uang dan beberapa koin lantas memberikannya pada Ariel.
Ariel yang tak mengerti pun langsung menatap sahabatnya itu. "Katanya itu sisa uang untuk biaya mencuci pakaiannya." terang George yang langsung membuat Ariel nampak sinis.
"Oh my God, apa gadis itu sedang cari perkara ?" Daniel langsung menimpali.
"Oh ya aku penasaran kenapa gadis itu bisa masuk ke area kampus kita? ku rasa dia bukan mahasiswa baru karena penampilannya sangat kampungan sekali atau jangan-jangan dia pelayan baru di sini ?" ujar George kemudian.
"Jadi kamu bertemu dengan gadis itu di kampus kita ini ?" Daniel yang penasaran kembali menimpali.
Namun Ariel sepertinya tak begitu peduli dengan topik pembicaraan mereka, hidupnya saja sudah memusingkan jadi ia tak ingin menanggapi hal yang tidak terlalu penting baginya.
"Tentu saja, penampilannya benar-benar kampungan. Sepertinya dia memang pelayan baru di sini." sahut George menegaskan.
"Apa dia gadis berambut pirang, memakai celana jeans, kaos putih dan tas punggung ?" tebak Daniel kemudian.
"Ya itu dia, apa kau juga bertemu dengannya tadi pagi ?" George langsung membenarkan ucapan Daniel dan itu sedikit mengalihkan perhatian Ariel dari ponselnya lantas pria itu menatap ke arah sahabat tersebut.
"Hm, dia mahasiswa baru jalur khusus." sahut Daniel dan sontak membuat George maupun Ariel nampak terkejut.
"Sepertinya kita akan mempunyai mainan baru, Ar." George langsung menepuk punggung Ariel dengan suka cita.
Seperti biasa mereka yang sudah senior di kampus tersebut selalu mengerjai mahasiswa baru terutama mahasiswa jalur beasiswa yang menurut mereka tidak layak masuk ke universitasnya yang seharusnya hanya boleh di huni oleh para anak konglomerat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!