Gendis hanya terdiam dan mengerucutkan bibir mendengarkan ceramah demi ceramah yang dilontarkan oleh ayahnya yaitu Pak Hastanto setelah kabur dari rumah.
Gadis itu sengaja kabur dari rumah hanya ingin mencari dan bicara dengan Bram untuk membatalkan perjodohan mereka. Gendis tidak ingin menikah di usia muda dengan lelaki yang tidak dia cintai.
“Kamu itu membuat cemas Mama, Nak?” ujar Bu Hastanto sambil merangkul dan mengusap lengan putrinya. Wanita anggun itu memang begitu memanjakan putri tunggalnya.
Alasan pasangan suami istri itu memanjakan Gendis karena kelahiran gadis manis berlesung pipit itu memang sangat ditunggu-tunggu oleh pasangan Hastanto dan Rahayu hingga belasan tahun setelah pernikahan mereka.
Gendis hanya terdiam mendengar suara lembut mamanya. Gadis manja itu memang kabur dari rumah karena Pak Hastanto memaksanya untuk menikah dengan Bramasta. Lelaki yang hanya dijumpainya beberapa kali saat dia masih SMP atau malah SD.
“Gendis hanya tidak ingin menikah muda,Pa!” ujar Gendis yang pada akhirnya memilih untuk membuka suara.
“Bayangkan saja, Pa, Mas Bram sekarang pasti sudah tua!” lanjut Gendis dengan memainkan jari jari tangannya.
“Kalian hanya terpaut sebelas tahun. Lagian Papa sudah sangat mengenal Bram sejak kecil. Dia lelaki yang sangat bertanggung jawab dengan keluarganya.” jawab Pak Hastanto menjelaskan kenapa mempercayakan Bram untuk menjaga Gendis setelah dirinya. Tidak hanya itu saja, cara Bram menghormati ibunya membuat Hastanto yakin jika lelaki pilihannya pasti bisa meratukan putri kesayangannya kelak.
Setelah mengalami struk pertama, Pak Hastanto mulai mencemaskan masa depan putrinya. Meskipun struk yang dialaminya terbilang struk ringan tapi tetap saja beliau mengkhawatirkan Gendis dan istrinya jika tiba-tiba dirinya menghadap Tuhan terlebih dahulu.
“Papa, Gendis ingin kuliah. Gendis juga ingin bekerja seperti perempuan-perempun zaman sekarang.” elak Gendis dengan tatapan penuh permohonan. Dia merasa Papanya masih bisa untuk membiayai kuliahnya.
“ Percayalah pada Papa, Bram pasti akan mengizinkamu kuliah setelah kalian menikah. Sebagai seorang dosen, Bram punya pemikiran yang terbuka, Ndis.” jelas Hastanto. Meskipun hanya sesekali bertemu Bram, setelah kepindahan dinasnya dari kota asalnya. Lelaki dengan uban yang hampir rata itu merasa sudah mengenal sosok Bram dengan baik.
Suasana kembali Hening. Bu Hastanto hanya bisa terdiam dengan terus merangkul putrinya. Sementara itu , Rendra dan istrinya juga membisu, memahami situasi antara bapak dan anak itu. Sebagai tempat pelarian Gendis dan sebagai adik dari Hastanto, Rendra mencoba mengerti keadaan keduanya.
“ Anggap saja ini permintaan terakhir Papa!” lirih Hastanto membuat semua orang menoleh ke arahnya. Hastanto memang tidak bisa meninggikan suara di depan putri kesayangannya itu, tapi penekanan dari kalimatnya seolah memaksa Gendis tanpa terkecuali.
“Mas Tanto, kenapa bicara seperti itu?” sela Rendra merasa aneh dengan kalimat yang dilontarkan masnya itu.
“ Mas, udah berumur, Ren. Lagi pula kemarin Mas juga didiagnosa jantung koroner dan belum lama juga terkena struk.” jelas Hastanto seketika membuat tangis istrinya terdengar. Wanita anggun dipanggil Ayu itu menangis sesenggukan di samping putrinya. Sedangkan Hastanto hanya ingin Gendis ada yang menjaga dan tetap hidup berkecukupan dengan lelaki yang bertanggung jawab.
“ Sudah, sudah... kita bahas lagi besok pagi. Mba Ayu dan Mas Tanto pasti lelah setelah perjalan dari luar kota. Halisa menengahi ketegangan diantar mereka. Wanita yang memang cerdas itu pun beranjak menyiapkan kamar untuk menginap Gendis dan kedua orang tuanya.
Perjalanan dari luar kota tanpa seorang sopir membuat Hastanto yang berumur enam puluh tahunan itu pun mengiyakan apa yang diucapkan adik iparnya. Sementara itu, Gendis hanya menghela nafas dan menyandarkan tubuhnya di sofa.
“Sebaiknya Mas Tanto dan Mbak Ayu istirahat saja terlebih dahulu. Biar saya yang bicara dengan Gendis, Mas.” bujuk Rendra yang ingin menjelaskan kepada Gendis alasan dirinya menghubungi papanya setelah tahu penyebab gadis keras kepala itu datang ke rumahnya.
“Baiklah, besok saat sarapan kita akan bicara lagi, Nduk!” ujar Hastanto pada Gendis dan menyetujui perkataan adiknya.
Akhirnya lelaki berkaca mata itu beranjak dari duduknya dan melangkah ke ruang belakang dimana Halisa sudah menyiapkan kamar untuknya dan Rahayu.
Hastanto memang tidak asing dengan rumah joglo peninggalan kedua orang tuanya meski interiornya sudah banyak yang didesain ulang dengan ornamen-ornamen yang cukup modern.
“Kenapa Om Rendra bilang jika aku kabur ke sini?”
“Gendis hanya ingin bertemu langsung dengan Mas Bram dan menolak perjodohan ini.” sungut Gendis dengan wajah cemberut. Dia kecewa dengan apa yang dilakukan oleh Om Rendra yang mengadukan keberadaanya pada Hastanto.
Rendra hanya tersenyum menanggapi protes keponakannya itu. Dia juga tahu Gendis bukan gadis yang bodoh, hanya saja gadis berwajah manis di depannya itu terlalu manja untuk bisa mengerti keinginan orang tuanya.
“Om ingin kamu berfikir dewasa dalam menghadapi masalah. Bayangkan saja jika papamu mengalami serangan struk kedua karena mencemaskanmu yang menghilang? Kamu tahu, kan , struk kedua bisa berakibat fatal.” ujar Rendra membuat gadis yang semula menunduk itu terhenyak dan kemudian menatap sedih omnya. Gendis sama sekali tidak berfikir sampai di situ. Dia hanya ingin menyelesaikan masalah perjodohan itu tanpa sepengetahuan papanya.
“Iya, Gendis memang salah Om. Tapi Papa sudah tidak bisa dinego lagi, sedangkan Gendis tidak ingin menikah dengan Mas Bram.” ujar Gendis penuh dengan penyesalan. Umurnya yang masih sembilas tahun itu membuat gadis itu terbilang labil.
“Gendis tidak terlalu mengenal Mas Bram dan begitupun sebaliknya, Mas Bram juga tidak mengenal Gendis. Sedangkan menikah itu menentukan masa depan Gendis Om.” jelas Gendis. Dia hanya tidak ingin menghabiskan sisa umurnya dengan orang yang salah.
“Besok kita bicarakan baik-baik. Kamu bisa tinggal di sini lebih lama untuk menyelesaikan masalahmu dengan Bram terlebih dahulu. Biar Om, yang akan membujuk papamu untuk memberikan kesempatan dirimu dan Bram bicara terlebih dahulu.” jelas Rendra dengan begitu tenang.
“Sekarang sudah larut. Lebih baik kamu tidur saja!” lanjut Rendra membuat Gendis pun mengangguk. Gadis itu pun segera beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamar tamu.
Malam semakin larut, Gendis masih saja enggan untuk mengatupkan mata. Gadis itu terus saja merubah posisi tidurnya tapi tidak juga mendapatkan kenyaman. Pikiran tentang menghabiskan sisa umurnya dengan orang yang tidak dia kenal dengan baik membuat Gendis sangat cemas.
Bramasta. Gendis masih ingat dengan samar- samar. Sosok itu tidaklah tampan, apalagi sikapnya yang pendiam dan begitu cuek membuat sosok Bram remaja sangat tidak menarik di mata cewek. Sekali lagi Gendis menarik nafas panjang, gadis seumurannya tentu saja masih memperhitungkan penampilan fisik lawan jenis.
##$
Sementara itu di sebuah apartemen Bram juga tak kalah gelisah. Perjodohan dengan Gendis membuat lelaki tampan dan berhidung mancung itu tidak bisa berkonsentrasi dengan buku yang sedang dia baca. Bram pun menutup buku yang sedari dia pegang dan beranjak dari duduknya.
“Bagaimana bisa aku menikah dengan gadis nakal seperti itu.” gumam Bram seraya berjalan menuju dapur untuk membuat secangkir kopi agar dirinya bisa berfikir tenang.
“Apa yang terjadi dengan hidup dan anak-anakku nanti jika aku menikahi gadis seperti Gendis.” Bram bermonolog dengan dirinya sendiri. Kenakalan Gendis dan kejahilan gadis itulah yang selalu terbayang dalam ingatan Bram.
Masih terbayang kenakalan Gendis saat keluarganya bertamu di rumah keluarga Hastanto. Bahkan, dia harus pulang tanpa alas kaki karena gendis itu melempar sandal bergambar spiderman itu ke sebuah got yang berada di depan rumahnya.
Bram masih mengaduk kopi yang baru saja dia ramu. Kebaikan-kebaikan Bapak Hastanto pada keluarganya memang membuat dirinya sungkan untuk menolak perjodohan itu. Apalagi ketika ibunya juga mendesak untuk menerima perjodohan itu dengan alasan, jika Gendis adalah gadis yang baik, rasanya dia semakin sulit untuk mengecewakan ibunya yang sudah berjuang membesarkan dirinya seorang diri.
Pagi masih menguarkan rasa dingin hingga menusuk ke tulang, Rahayu berulang kali merapatkan sweeternya sebelum Rahayu dan Hastanto berpamitan.
Setelah mereka mendapat kesepakatan dengan Gendis pada saat sarapan tadi, akhirnya Hastanto memberi kesempatan pada putrinya untuk bertemu dengan Bram. Hastanto yakin Gendis akan menyetujui pernikahan yang sudah dia rencakan jika putrinya bertemu langsung dengan Bram.
Bagi Hastanto, wajah tampan dengan sikap yang tenang serta kharismatik yang terpancar kuat dari sosok Bramasta akan membuat gadis manapun tidak bisa menolak pesona seorang Bramasta Dewangga.
“Jangan nakal ya, Nduk. Cepat pulang! Sebentar lagi kamu akan menikah dan punya tanggung jawab yang besar. Kamu harus bisa jaga diri.” pesan Rahayu kemudian memeluk Gendis. Entah kenapa dia merasa berat meninggalkan putrinya.
“Iya, Ma. “ jawab Gendis dengan lirih kemudian melirik papanya yang kini tersenyum lembut ke arahnya.
Mengingat ucapan Om Rendra tadi malam, tentang kemungkinan terpuruk terjadinya serangan struk kedua membuat Gendis benar –benar takut. Dia tidak ingin terjadi hal buruk pada papanya, meskipun dia harus berpura-pura mengikuti rencana papanya hingga kemudian mengakhiri dengan cara yang tenang.
“Papa dan mama pulang dulu. Cepat pulang! Papa dan Mama menunggu di rumah.” pamit Hastanto sambil mengusap lembut kepala putrinya. Meskipun gadis kesayangannya itu sangat keras kepala tapi Hastanto memang tidak pernah bisa marah pada Gendis.
Mobil yang dikendarai Hastanto dan Rahayu semakin terlihat menjauh. Gadis yang kini sudah berhenti melambaikan tangan untuk kedua orang tuanya hanya mematung menatap kepergian papa dan mamanya, sementara Rendra dan Halisa memilih untuk masuk ke dalam .
“Semoga Mas Bram sepakat denganku.” gumam Gendis berharap Bram mau menolak rencana pernikahan mereka. Hanya Bramlah, orang yang bisa mengakhiri semua ini dengan tenang tanpa mengoyak emosi papanya.
Jika gadis berwajah cantik dan manis itu harus jujur, sebenarnya Gendis sudah menyukai cowok lain. Dia adalah Abian, kakak kelas Gendis yang meneruskan kuliah di kota ini juga. Sejak berkenalan dengan Abian, Gendis sudah sangat tertarik dengan lelaki berwajah Indo itu. Ah Abian, cowok yang dulu selalu memberikan tumpangan, sudah membuat gadis berambut panjang itu mati-matian menyimpan rasa selama ini.
Bagi Gendis, pantang baginya menyatakan perasaan terlebih dahulu meski sudah jelas cowok itu sangat perhatian padanya. Gendis yang tidak ingin menyerah itu hanya memilih untuk terus mengejar Abian dengan cara meminta papanya mengizinkan dirinya kuliah di universitas yang sama dengan Abian.
“Ndis, siang nanti Ambar akan pulang. Kamu bisa minta tolong pada adikmu itu untuk mengantarmu ke tempat Bram.” ujar Tante Halisa menghampiri Gendis yang kini duduk di sofa teras belakang rumah kuno yang kini sudah direnovasi itu. Wanita cantik itu duduk di sebelah Gendis dengan membawa sepiring camilan yang tadi pagi sudah dia siapkan.
“Berarti, Dek Ambar tidak kuliah hari ini, Tan?” tanya Gendis dengan tersenyum manis yang menunjukkan lesung pipitnya.
Meskipun Ambar umurnya satu tahun lebih tua darinya tapi sebagai anak kedua dari omnya Gendis tetap saja dia memanggilnya dengan sebutan ‘Dek’.
Ambar memang kuliah di kotanya sendiri, tapi karena jarak tempuh dan dia aktif ikut dalam kegiatan kemahasiswaan, membuat ambar memilih untuk kos saja.
“ Iya, hari ini Ambar sengaja tidak ikut kuliah dan besok libur. Makanya, ketika Tante kasih tahu kamu datang, dia langsung ingin pulang.” ujar Halisa dengan begitu tenang dan anggun.
“Sebaiknya kamu istirahat saja, Ndis. Nanti, pasti Ambar juga mengajakmu jalan-jalan menikmati suasana di kota ini.” lanjut Halisa. Dia memang meminta Ambar untuk mengajak jalan jalan sepupunya itu di berbagai tempat yang menjadi icon kotanya.
“Baiklah, Tan. Gendis akan istirihat sebentar, biar bisa puas menikmati kota ini.” jawab Gendis dengan beranjak dari duduknya.
Gadis bertubuh mungil itu pun berjalan menuju kamar yang dari semalam dia tempati. Kakinya melangkah diiiringi senyum tipis di wajahnya, dia sudah membayangkan setelah bertemu dengan Bram dan semua masalahnya selesai, dia bisa menikmati kota ini dengan tenang. Dan berharap juga bisa bertemu dengan Abian.
###
Bram melangkah setengah berlari dengan wajah panik menuju parkiran mobilnya. Lelaki dengan perawakan gagah itu , langsung meninggalkan kelas yang masih berlangsung setelah mendapatkan kabar dari ibunya jika mobil Hastanto mengalami kecelakaan parah. Bagaimanapun juga hubungan keluarga mereka sangat dekat, bahkan saat keluarganya terpuruk hanya Hastantolah yang percaya dan mau membantu keluarganya, hingga dirinya masih bisa untuk melanjutkan sekolah.
Bagi Bram, Hastanto masih tetap sosok yang dia segani dan punya tempat sendiri dalam perjalanan hidupnya. Meskipun, permintaan Hastanto menjodohkan putrinya dengan dirinya sedikit mengusik pribadinya.
Mobil Pajero sport itu melaju dengan kecepatan tinggi membelah keramaian jalan di tengah hari menjelang sore. Ibunya (Bu Harun) meminta dirinya untuk langsung saja ke rumah Hastanto. Lelaki yang sudah memikirkan kemungkinan terburuk dari kabar yang telah dia dapat, sudah tidak peduli dengan janji yang sudah diaturnya dengan Gendis sore ini. Setelah kelasnya berakhir, mereka akan bertemu.
Satu setengah jam perjalanan, akhirya Bram mulai mengurangi laju kecepatan mobilnya saat melewati jalan menuju rumah Hastanto. Dari jarak pandang beberapa meter, sudah nampak gerombolan orang dengan pakaian serba hitam keluar dari halaman rumah yang di depannya terdapat bendera putih.
“Mari silahkan masuk, Bram. Bu Harun sudah ada di dalam bersama Halisa dan Gendis.” Sambut Rendra saat menyambut kedatangan Bram di depan pintu.
“Iya, Om. Ibu yang mengabari saya untuk langsung ke sini.” jawab Bram dengan tatapan yang jatuh pada ibunya yang tengah duduk bersama Tante Halisa dan gadis yang hanya menatap kosong ke depan.
Bram yakin itu pasti yang bernama Gendis. Iya gadis yang seharusnya bertemu dengannya nanti itu terlihat begitu terpukul. Tidak ada tawa cekikikan dan juluran lidah yang memancing emosi sesorang seperti yang pernah dia lihat. Tapi, gadis itu kini terlihat tak berdaya dengan wajah pucat dan mata bengkak.
Suasana rumah memang terasa tenang bahkan sepi layaknya rumah duka. Semua pelayat sudah pulang dan hanya tinggal satu, dua orang teman dari Hastanto dan Rahayu yang datang. Hanya beberapa tetangga yang masih memilih tinggal untuk membantu menyiapkan acara tahlil nanti malam.
“Dia sudah lebih baik dari pada tadi. Gendis sempat beberapa kali pingsan sebelum papa dan mamanya dimakamkan.” jelas Rendra ketika melihat tatapan Bram yang tak beralih dari Gendis.
“Saya bisa mengerti, Om. “ jawab Bram yang memang tidak banyak bicara. Tapi, dia bisa mengerti perasaan Gendis yang langsung kehilangan dua orang yang sangat berarti sekaligus.
“Bisakah kamu menginap di sini untuk tiga atau sampai tujuh harinya Mas Tanto dan Mbak Ayu, Bram?” Kalimat Rendra tidak hanya sebuah pertanyaan tapi juga sebuah permintaan yang membuat Bram tidak bisa menolaknya. Lelaki berahang tegas itu hanya bisa menjawab dengan anggukan. Dia yakin ibunya pun akan memintanya seperti itu.
Sejenak suasana menjadi hening. Kepergiaan Hastanto dan Rahayu menyisakan duka yang dalam untuk orang-orang terdekatnya. Mereka tidak menyangka jika Hastanto dan Rahayu meninggalkan mereka secepat ini.
“Ndis... Gendis. Bangun , Nduk!” Panggilan nyaring Halisa membuat dua lelaki yang masih duduk di sofa depan itu segera menoleh. Dengan paniknya Rendra dan Bram segera beranjak menghampiri Halisa yang terus saja menepuk pelan pipi gadis yang bersandar lemah di tembok dengan mata terpejam. Gendis kembali pingsan.
“Langsung bawa ke kamar saja!” titah Rendra tak kalah panik saat melihat Bram sudah ada di dekat Gendis dan ibunya dan akan mengangkat tubuh Gendis.
Dengan menggendong Gendis yang terkulai lemah, Bram pun mengikuti Rendra yang sudah membukakan pintu. Sementara itu, Halisa dan Bu Harun pun menyusul diikuti Ambar dan Fitri(sepupu Gendis).
Setelah acara mengirim doa bersama, Gendis memilih untuk masuk ke dalam kamar. Wajahnya masih nampak sendu dengan tatapan mata hampa. Jiwa yang terlihat kosong hingga orang yang melihat dirinya yang sekarang menjadi semakin iba dengan keadaannya.
“Tok... tok...tok... “
“ Ibu boleh masuk, Nduk?” tanya Bu Harun sambil membuka pintu kamar berwarna coklat plitur itu.
Wanita dengan kerudung instan itu tersenyum dan melangkah masuk, ketika gadis yang semula duduk dan tertunduk di tepi ranjang itu menoleh dan mengangguk. Iya, wanita yang sudah merasa dekat dengan Gendis memilih mendudukkan bobotnya di samping gadis mungil yang tersenyum hambar itu.
“ Ibu tahu bagaimana sedihnya kamu, Nduk.”
“ Ditinggal satu orang yang paling dekat dengan kita saja, seperti kehilangan separo jiwa, apa lagi kehilangan kedua orang tua secara bersamaan...” ujar Bu Harun kemudian beliau menjeda kalimatnya untuk menunggu reaksi Gendis. Bu Harun sangat berhati-hati dan mengerti jika kondisi seperti ini, perasaan Gendis pasti akan lebih sensitif.
Bu Harun menghela kembali nafas dengan begitu dalam seolah mengurai kembali kenangan-kenangan menyedihkan, saat beberapa kali kehilangan orang yang beliau sayangi.
Tangan keriput itu meraih jari-jari dingin gadis di sebelahnya dan menggenggam hangat. Seolah dia ingin meyakinkan jika Gendis mampu melaluinya.
“Ibu pernah kehilangan kedua orang tua Ibu, meskipun tidak bersamaan. Kehilangan suami yang sudah menjadi bagian dari jiwa Ibu, tapi ada yang lebih menyakitkan dari semua itu, Nduk, yaitu kehilangan putra sulung Ibu, masnya Bram.” tutur Bu Harun membuat Gendis menoleh, menatap mata cekung wanita paruh baya di sebelahnya.
Ini pertama kalinya Gendis memberikan reaksi pada orang lain, setelah beberapa hari ini dirinya seperti mayat hidup. Dia seolah mulai tersadar dari keadaan.
“Iya, kehilangan seorang putra yang kita lahirkan rasanya begitu menyedihkan, Nduk.” Mata coklat itu mulai berkaca-kaca seolah menggambarkan kesedihan yang masih teramat sangat hingga saat ini.
Gendis memeluk wanita sepuh yang menjadi calon mertuanya itu. Sejenak, suasana kamar berukur kecil dari pada kamar yang lainnya itu terasa hening, hingga berlahan kemudian terdengar suara kecil itu tergugu mengisi kesunyian. Gendis menangis dalam pelukan Bu Harun.
“Sabar ya, Nduk. Papa sama Mama pasti sedih jika kamu seperti ini. Mama dan Papa ingin dirimu bahagia, hingga sebelum kepergiannya, mereka sudah memikirkan masa depanmu dengan sangat jauh.” ujar Bu Harun sambil mengusap punggung gadis yang kini tergugu dalam pelukannya. Wanita itu terus saja berusaha untuk menguatkan Gendis meskipun pada akhirnya entah akan jadi menantunya atau tidak. Tapi, beliau sudah menyayangi Gendis.
“Gendis tidak pernah membahagiakan Papa dan Mama.” lirih Gendis penuh dengan penyesalan, bahkan, suaranya hampir tidak terdengar. Ada penyesalah terdalam di hati gadis itu.
Bu Harun merenggangkan pelukannya, memberi jarak pada Gendis yang masih sesengguhan. Wanita itu mengusap air mata yang sudah melembabkan seluruh wajah cantik yang beberapa hari ini tidak terawat.
“Papa dan Mama pasti tidak bisa tenang jika kamu seperti ini terus, Nduk.” Gendis mencari kejujuran dari kedua sorot mata sepuh sosok di depannya.
“Gendis tidak bisa bertemu Papa dan Mama lagi. Gendis sendirian, Bu.” Gendis kembali menangis, air matanya mengalir begitu saja. Perasaanya bahkan sulit untuk diungkapkan.
“Sabar ya , Nduk. Belajar ikhlas. Semua tidak ada yang bisa dimiliki manusia, Nduk. Semua milik Allah, manusia dan dunia punya batasan.” Bu Harun berusaha memberi pengertian.
“ Harta, tahta, nyawa dan dunia ini ada batasannya. Jadi kodratnya manusia kita harus belajar ikhlas ya. Kamu harus kuat menjalani hidup ini untuk beribadah, agar Papa dan Mama juga mendapatkan pahalanya.” Bu Harun mengusap lembut pipi Gendis yang terasa dingin.
Gendis terdiam, kemudian menatap lekat wajah keriput di depannya dan kemudian mengangguk.
Dia bisa mengerti semuanya. Jika saja dalam hidupnya dia merasa tidak pernah membahagiakan kedua orang tuanya. Maka biarlah saat ini dia melakukan sesuatu yang akan meringankan beban orang tuanya di akhirat.
“Sebaiknya kamu tidur sekarang, biar Ibu yang nanti menemanimu di sini.” pinta Bu Harun seraya menuntun Gendis untuk berbaring. Beliau memang ingin menemani Gendis agar gadis itu tidak merasa sendirian.
Sepasang mata yang sedari tadi memperhatikan keduanya pun berlalu sebelum Gendis atau bahkan ibunya memergoki jika dirinya sudah mendengarkan obrolan mereka.
Langkah lelaki gagah itu tertuju ke teras belakang untuk mencari Rendra. Banyak hal yang ingin dia sampaikan pada Rendra. Khusunya, Bram sudah memutuskan jika besok dirinya akan pulang karena harus mengisi seminar yang sudah dijadwalkan.
Angin malam yang bertiup dengan lembut membuat malam ini terasa lebih nyaman. Entah kenapa dia sedang merasa dilema yang tak berkesudahan untuk memutuskan kelanjutan hubungannya dengan keluarga Hastanto.
Bram menghampiri Rendra yang tengah duduk di sebuah bangku panjang dengan secangkir kopi yang masih mengepul setelah ditinggalkan Halisa. Lelaki yang kini menjadi tumpuan dalam memutuskan masa depan kepokannya itu pun harus berfikir matang untuk kebaikan Gendis juga.
“Ehem..ehem...” deheman Bram membuat Rendra menoleh pada sosok yang sudah berdiri tegap di sebelahnya.
“Eh , Bram, silahkan duduk!” ucap Rendra dengan membenarkan posisi duduknya, bahkan tangannya sempat mempersilahkan lelaki tampan itu untuk duduk di sebelahnya.
“Besok saya harus pulang, Om. Jika hanya kelas kuliah saja, saya bisa memberi tugas. Tapi besok saya harus menjadi pembicara pada sebuah seminar yang diadakan di salah satu fakustas kampus.” jelas Bram tanpa basa basi. Lelaki pendiam yang terkesan cuek itu memang susah untuk berbasa basi.
“Tapi, Ibu masih tetap di sini. Dan setelah acara selesai saya juga akan kembali ke sini untuk membahas rencana Pak Hastanto sebelumnya.” lanjut Bram ketika melihat Rendra yang tengah menatapnya penuh dengan selidik.
“Apa kamu punya pacar, Bram?” Rendra pun terlihat tegang saat menebak jika Bram akan memutuskan rencana jalinan hubungan dengan Gendis karena Hastanto sudah tidak ada lagi.
“ Saya sebenarnya sudah menyukai seorang gadis, Om. Itu sejak dulu saat kami masih SMA.” jelas Bram tanpa menutupi semuanya. Dia tidak ingin menyembunyikan apapun juga dari lelaki yang sekarang menjadi wali dari Gendis.
“Tapi kita akan membahas masalah ini nanti saja. Gendis sepertinya masih terpukul dengan kepergian Om Hanstanto dan Tante Rahayu.” lanjut Bram, dia juga harus berfikir matang, karena dia bisa melihat harapan ibunya begitu besar agar Gendis menjadi menantunya.
Mungkin karena ibunya sudah jatuh cinta pada Gendis dan keluarganya, hingga beliau menentang jika Bram dekat dengan Seruni. Bagi Bram, tidak ada alasan lain untuk tidak menyukai Seruni yang santun, cantik, dan pintar. Paket komplit, orang menyebut Seruni dengan sebutan paket komplit.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!