NovelToon NovelToon

Love Sign

PROLOG

Dua tahun yang lalu.

Di tempat sepi dengan latar rumah sederhana, berpagar beton, penuh pepohonan rimbun dan berselimut putihnya salju yang semakin menambah kesuraman malam itu.

Di sisi jalan, seorang pria bermantel tebal terbaring lemah berlumuran darah, membangkitkan emosi dan kekhawatiran seorang gadis yang masih terus berteriak sedari tadi. Memohon pertolongan pada keheningan. Putihnya salju pun telah ternodai dengan genangan cairan kental merah, berbau amis.

Dengan rambut tergerai tanpa diikat, serta gurat wajah yang panik, dia terus saja menangis tanpa lelah. Tanpa sadar, ia telah memperlihatkan sisi lemah lembut sebagai seorang wanita.

***

Seminggu berlalu, sosok pucat dalam kamar rumah sakit duduk di depan jendela. Ia melamun dan memutar otak memikirkan sesuatu. Mencoba mengingat kejadian menegangkan yang terjadi malam itu.

Seorang gadis berwajah cerah, datang dengan senampan sarapan ala chef rumah sakit di tangannya. Ia pun menghampiri sosok lelaki pucat dengan perban bernoda cokelat berasal dari obat dan sedikit darah yang bercampur.

"Kak?" Ia mendekat penuh keramahan. Lelaki itu tersenyum ringan. Gadis bermata riang itu tersenyum manis.

"Apa yang sedang kau lakukan? Kenapa duduk di situ? Kau 'kan belum benar-benar pulih," ujar gadis itu cerewet. Orang itu hanya tersenyum melihatnya yang terus bertanya sedari tadi. "Kembali ke tempat tidurmu! Ayo," timpal si gadis membantunya berdiri.

"Apa kau tidak pergi kuliah, Jin Hee?"

"Siapa? Aku?" Gadis itu menyentuh dadanya dengan satu tangan. Lelaki bernama Sun Woo pun mengangguk menanggapi pertanyaannya.

"Astaga! Sepertinya kau benar-benar sudah lupa ingatan ya? Dua hari sebelum kau mengalami kecelakaan, bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan mengambil cuti kuliah karena kau dipecat dari perusahaan?"

"Benarkah?"

"Hmm. Lagi pula dalam beberapa minggu ke depan, musim dingin akan segera berlalu. Jadi, aku harap bisa menikmati liburanku sambil bekerja paruh waktu," ungkapnya bersemangat, seraya merapihkan ranjang dan membantu orang itu duduk di sana.

"Ah! Ya, itu benar! Tapi, bukankah itu sayang sekali? Kuliahmu tinggal setahun tapi kau harus berhenti, apa kau baik-baik saja? Jika aku sudah sembuh dan mendapat pekerjaan, kau tidak perlu bekerja lagi ya ...."

"Tidak perlu khawatirkan aku! Kenapa kau mendadak jadi banyak bicara seperti ini? Harusnya aku yang bertanya, apa kau merasa baik-baik saja setelah semua kejadian itu?"

"Kenapa?" tanyanya.

"Kau masih terlihat sangat pucat!"

"Aku tidak apa-apa!"

"Ccihh!" remehnya tak percaya. Bukan hanya wajah pucat, beberapa kali ia menemukan sang kakak dalam keadaan melamun. Tentu saja itu mengkhawatirkan.

"Kau pikir apa yang sedang kulakukan di sini, jika bukan untuk menghilangkan wajah pucat yang sangat menggangguku. Aku sedang tidak liburan di rumah sakit." Candaannya membuat gadis itu tertawa.

"Tapi, Kak, apa kau masih tidak ingin mengatakan kepadaku, siapa pelakunya? Aku ingin tahu."

"Sudahlah, aku tidak ingat apa-apa, lagipula itu tidak penting lagi sekarang."

"Tapi?"

"Dengarkan aku! Tidak perlu mengkhawatirkan kakakmu ini ... hmm? Kau mengerti?" ujarnya meyakinkan.

"Aissh ... tetapi, ini sudah seminggu sejak kecelakaan yang menimpamu dan polisi masih terus saja menanyaiku! Aku bosan dan juga penasaran," ucapnya penuh kekesalan.

"Biarkan saja! Mereka itu hanya menjalankan tugas!" jawabnya tersenyum sambil menunjuk sendok yang sedari tadi tertahan di tangan gadis itu karena asiknya mengobrol.

"Ya ...," patuhnya mengangguk sambil menyuapi sang kakak. "Uuh, aigoo, bayi besarku. Ini sarapanmu."

"Maafkan, Kakak," ucapnya setelah buru-buru menelan. "Ini enak!" lanjutnya.

"Kenapa kau tersenyum?" Gadis bernama Jin Hee pun bertanya, merasa curiga dikarenakan senyuman sang Kakak yang tampak aneh.

"Lama tidak melihatmu seperti ini." Sun Woo menggenggam jemari manis gadis manis itu. Jin Hee pun membalasnya dengan senyuman ramah dan lanjut menyuapi sang Kakak.

***

Sementara itu, di tempat lain.

Di bawah sinaran matahari pagi. Tepatnya di sebuah kompleks perkantoran mewah yang dipenuhi bangunan-bangunan pencakar langit.

Lokasi metropolitan yang terpahat oleh keindahan material kaca, memisahkan sifat dan sikap manusia menjadi dua bagian; baik dan buruk.

Tempat yang jauh dari pinggiran desa, tepatnya berada di atap debuah gedung yang cukup besar.

Ada dua sosok pria yang tengah berdiri di atap kantor. Keduanya terlihat sedang berbincang serius, sebuah percakapan antar pria yang sedang coba mereka selesaikan secara baik-baik.

Sejenak, percakapan itu terlihat berjalan cukup lancar. Walau dengan sedikit bersinggungan paham dan membuat pagi itu sesungguhnya lebih cocok untuk ditemani secangkir kopi dari pada ditemani perdebatan.

"Kumohon?" Park Min Joon, pria bertubuh tinggi itu terus saja meminta.

"Apa itu artinya, kau akan menjaga Jin Hee untukku? Apa kau yakin bisa melakukannya?" jawab pria tampan di depannya.

"Iya, itu tentu saja!"

"Ingat, hal ini! Aku melepaskannya, karena aku ingin melihat kebahagiaan di wajah Jin Hee." Lelaki berkemeja hijau itu menatap sembarang arah.

"Baiklah! Percaya padaku," jawab Park Min Joon.

"Jika dia tidak bisa bahagia bersamamu, akan aku pastikan untuk merebutnya kembali, kau mengerti?" ucap orang itu terdengar mengancam, lalu pergi meninggalkannya begitu saja.

Entah nasib seperti apa yang sedang terjadi antara mereka, persahabatan dan cinta telah mewarnai jejak kecil di hati.

Tanda cinta butuh dibuktikan, bukan hanya sekadar dinyatakan.

***

Bersambung

***

*Hai, semuanya. Assalamualaikum.

Kak Bi mau mengucapkan terima kasih kepada pembaca setia Love Sign ya. Terima kasih atas like, komentar, vote dan dukungnannya. Terima kasih sudah membantu Love Sign untuk tumbuh perlahan-lahan.

Di akhir bab, ada dua bab berisi Visualisasi Karakter. Sebagai pengingat, Visualisasi Karakter hanya membantu pembaca yang ingin visual para karakter dipertegas. Yang artinya, Visualisasi Karakter ini bukanlah cast atau tokoh yang menginspirasi saya dalam menulis.

Dengan itu, untuk ke depannya, semoga para pembaca menjadi pembaca yang lebih bijak dalam membedakan dunia rekaan tokoh dan dunia nyata dari visualisasi karakter.

Akhir-akhir ini, banyak kasus di mana para pembaca Indonesia terlalu masuk ke dalam dunia rekaan dan menganggap bahwa cast atau visualisasi karakter yang dipakai Author adalah nyata. Banyak yang tidak bisa membedakan dan terlalu larut dalam cerita ber-cast Idol Korea, Aktor Korea maupun Aktor Thailand, untuk itu aku mau mengingatkan agar lebih bisa menahan diri ya ....

Tokoh dalam cerita ini hanyalah fiksi, visualisasi karakter yang ada hanyalah pemanis bagi orang-orang yang kesulitan membayangkan tokoh dalam cerita dan juga hasil reqeust-an beberapa pembaca.

Hmm, gitu aja sih yang mau saya katakan. Selamat membaca dan menikmati cerita.

Jangan lupa untuk tinggalkan Like, Komentar, Voting poin biar bisa masuk ranking, Voting Koin biar bisa nambah penghasilan Author, biar bisa lebih semangat berkarya. Daaan, share cerita Love Sign ke teman-teman Kpopers dan K-drama Lovers-mu ya.

Oh iya, selamat datang untuk pembaca yang baru bergabung usai mendapati Love Sign di Daftar Cewek Impian.

Terima kasih*.

Chapter 1: The Memory

Seoul, 04 Maret 2013, pukul 22.30 KST.

Pria itu tak henti-hentinya memandangi kertas berwarna, penuh goresan tinta yang menciptakan dimensi berbeda. Tatapannya bergenang, mengenang sosok dalam kebahagiaan.

Bukan foto dengan senyum cantik maupun V sign yang ditampilkan gadis itu, hanya sebuah candid yang dicurinya diam-diam. Semua demi mengabadikan tatapan indah gadis si pemilik hidung kecil, yang sudah terlanjur terpatri di hatinya.

Bagaimana bila seseorang yang kau anggap cinta pertama meninggalkanmu tanpa jejak? Tepatnya menghilang! Menghilang begitu saja.

Rasa tersebut bisa kau tanyakan kepadanya. Pria bodoh yang terus hidup dalam ingatan dan kenangan tentang gadis yang tak pernah bisa dimilikinya lagi.

"Aku merindukanmu!" Setiap malam mantera mematikan itu meliliti batin hingga mencekiknya.

Ingatan lelaki ini sering sekali berlabuh pada sebuah momen lawas. Hmm, hanya beberapa momen lucu yang membuat ingatannya menjadi sangat kejam. Salah satu kenangan kesukaan pria bertubuh atletis ini adalah tiga Januari, dua tahun yang lalu.

***

Pria itu masih mengingat betul bagaimana pagi yang terasa damai mengantarkannya menuju mimpi dan cita-cita.

Di apartemen kecilnya, mata lelah yang digunakan untuk mengintip mentari itu masih sama dengan mata yang sekarang sering digunakan untuk menutupi kesedihan.

Ya, itu sebuah hari saat raut senang tergaris di wajah tampannya, menandakan ada sesuatu yang diidamkan. Wajah bahagia pria 28 tahun-an itu terlihat begitu bahagia. Ya, pria itu dilahirkan dengan rasa percaya diri.

Sebuah lagu terdengar asik menemani, pun mulai mengatur rambutnya, jas formal berwarna abu-abu tua tampak serasi di tubuhnya.

Deringan ponsel menghentikan aktivitas itu. Suara kasar seorang gadis meminta untuk segera datang. Lucunya, dengan sigap ia berkata jalanan macet, padahal dia sendiri baru saja menekan tombol lift menuju lantai dasar.

Ingatannya beralih saat tiba di tempat tujuan. Seorang gadis imut keluar dari rumah. Hanya mengenakan glitter skirt berwarna hitam, serta sneakers berwarna kekuningan, dengan rambut yang dikuncir ke kanan, membuat penampilannya sangat kontras. Berbeda jauh dengan pria yang tengah menungguinya ini.

Sang pria begitu terkejut kala melihat penampilan itu dan mengelilingi gadis tadi dengan tatapan aneh, sekaligus menyesal.

"Kenapa? Apa ada yang salah?" Ia memerhatikan pria di depannya kini. "Oh! Kenapa kau memakai setelan jas? Apa kau tidak kedinginan?" ucapnya sembari menyentuh sweeter putih yang menyelimuti tubuh mungilnya.

"Bukankah hari ini kita akan makan malam berdua?"

"Hey ... makan malam? Pagi-pagi begini kau sudah berencana untuk makan malam! Apa kau tidak waras?"

"Aku pikir kau sudah mempersiapkan sesuatu untukku, jadi--"

"Kak Min Joon, apa kau sudah gila ...? Ckckck! Hari ini kita akan bertemu dengan kakakku di rumah sakit! Apa kau tidak ingat? Huh," seru gadis itu mengingatkan.

"Kakakmu? Apa? Astaga! Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya? Maaf!"

***

Usai perdebatan tak berarti keduanya pun pergi. Sempat singgah sebentar di pom bensin dan mampir di minimarket terdekat. Mereka pun tiba di rumah sakit, bukan menyetir yang membuat pria yang dipanggil Min Joon itu kelelahan, melainkan membujuk gadis yang duduk di jok sebelah agar tak cemberut terus-menerus.

Mereka pun berjalan agak berjauhan menuju sebuah ruangan tepat di bahu jalan. Dalam kamar, tampak sosok lelaki berbaju hitam, badannya cukup tinggi, kulitnya tak seputih Min Joon. Meskipun sedang merapihkan barang-barangnya, ia tetap tampil berkarisma. Mata cokelatnya mengagumkan.

Mereka saling menyapa, tak begitu akrab memang. Meskipun Min Joon bersikap santai, tak bisa dipungkiri lelaki di hadapannya terlalu dingin untuk dipanggil kakak ipar.

"Aaaah! Sun Wo, apa kau tahu hari apa ini?" tanya Min Joon mencoba mencairkan suasana.

"Ya! Ini hari minggu! Kenapa?" jawabnya santai.

Belum selesai ramah tamah itu. "Permisi ...! Ini hari senin, Kakakku sayang!" sela Jin Hee.

"Aah benarkah?" Sun Woo hanya memberi tatapan yang membuat Min Joon tak nyaman berada di sisinya.

Jin Hee pun memutuskan meninggalkan mereka berdua, kata gadis berambut panjang itu, ia harus mengurus adminstrasi rumah sakit. Adik yang baik, tentu saja calon istri yang baik.

***

Teman adalah orang terbaik yang menjadi pilihan manusia dalam berinteraksi. Sedangkan sahabat adalah teman terbaik yang menjadi pilihan dalam berkarakter. Itu menjadikan teman dan sahabat adalah dua hal yang berbeda.

Teman baik yang dulu begitu dekat itu, kini menjadi kurang begitu akur, karena Lim Sun Woo kurang merestui hubungan Min Joon dan adiknya.

***

Bagaimana bisa Min Joon melupakan tanggal berarti dalam hidupnya itu? Setelah menghindari Jin Hee, pada akhirnya Sun Woo menjebak Min Joon dan membawanya ke sebuah tempat yang tak pernah didatangi sebelumnya.

Gudang tua dengan banyak pintu yang telah usang dan dinding tua yang tidak kokoh, terlihat jelas pula di jendelanya terdapat bekas air yang mengering. Min Joon masih mampu mengingat aura tempat itu dengan sangat jelas.

Mata sipit tanpa double eyelid terus menatap Min Joon hari itu, momen itu takkan menghilang dari ruang penyimpanan di kepalanya. Mungkin juga di kepala Sun Woo, jika lelaki bertubuh gagah itu masih hidup.

Selain Sun Woo, ada sosok pria berkemeja garis-garis merah-hitam yang berjalan menghampiri Min Joon, dengan bayangan matahari yang sedikit memudar dari kaca jendela di musim dingin, membuat pria itu terlihat keren.

Min Joon yang saat itu kebingungan hanya bisa diam melihat temannya bersama dengan calon kakak ipar. Meskipun Min Joon dan mereka adalah teman, tetapi tetap saja hal ini terasa begitu aneh.

"Kau sudah datang? Park Min Joon?" ujar lelaki berkulit putih sambil mengulurkan jemarinya.

Min Joon menanggapi seolah tak terjadi apapun. Sun Woo menepis ramah tamah mereka, dia sudah tahu betul apa yang sebenarnya terjadi di antara Min Joon dan pria itu.

Usai percakapan panjang, Min Joon mengerti. Rupanya ini tentang perdebatan yang Min Joon dan pria itu lakukan beberapa hari lalu. Percakapan di mana lelaki itu juga memiliki perasaan yang sama dan mencintai Jin Hee.

"Kau tahu, aku sudah lelah menentang hubungan kalian, aku juga sudah sangat lelah harus berpura-pura menerima dirimu sepenuh hati, di hadapannya. Tinggalkan Jin Hee!" Sun Woo menyerangnya.

"Lim Sun Woo?"

"Hentikan semua ini. Tinggalkan Jin Hee! Kumohon!" abai Sun Woo memaksa.

"Tapi, kenapa? Apa kau tidak bisa menerimaku sebagai orang yang akan menjaganya?"

"Maaf! Jika harus memilih, aku lebih memilih Dong Soo sebagai calon adik iparku dibandingkan kau. Pecundang!" ungkapnya membuat Min Joon terkejut.

Min Joon terpukul, bagaimana bisa Sun Woo melukai perasaannya dengan cara kekanakan seperti ini? Namun, itu benar.

'Bagaimana bisa ia memberikan adik semata wayangnya kepadaku? Sedangkan di sini ada pria mapan bernama Lee Dong Soo yang jelas-jelas tampak lebih baik dan menjanjinkan daripada aku,' batin Min Joon meremuk.

Plaaak!!!

Sesuatu jatuh ke lantai memecah kebekuan selama beberapa detik. Balok panjang dengan ukuran tidak terlalu tebal tergeletak pasrah di sebelah Min Joon, seakan memanggilnya. Dengan mata berapi Sun Woo menginginkan perkelahian. Min Joon merasa tak seharusnya berada dalam situasi yang kacau seperti ini.

"Ambil!" teriak Sun Woo menantang Min Joon.

***

Bersambung

Chapter 2: Perfect Planning as Perfect Memory

Seoul, 05 Maret 2013, pukul 07.00 KST.

Ruangannya mendadak dingin, Min Joon terbangun oleh pagi yang menyapa terlalu cepat. Bunyi alarmnya mulai mengganggu. Bak monster hidup, ia menuju toilet dengan wajah bengkak.

Masih terlalu sedih, ingatan semalam mengantarkannya ke gerbang dunia lain. Dunia mimpi dan lelap dalam tidur. Entah kenangan apa lagi yang bisa datang, kenangan manis atau pahit? Semua adalah keindahan yang terselubung dalam kepedihan.

***

Min Joon mampir ke kafe langganan mereka, bukan untuk sekadar bernostalgia. Namun, untuk mencari jejak Jin Hee yang mulai memudar.

Jin Hee adalah seseorang, ah bukan, lebih tepatnya sesuatu yang mampu membuatnya bertindak seperti orang gila. Sesuatu yang merebut kehidupan Min Joon di masa kini. Masa lalu yang masih sulit dilupakannya.

***

Senin, 03 Januari 2011.

"Apa kau mengajakku datang jauh-jauh ke sini hanya untuk melihat omong kosong ini? Aku datang ke rumah sakit karena ingin menjenguk dan mengantarkan kau pulang." Park Min Joon mencoba bernegosiasi.

"Tidak ada tawar-menawar Min Joon!" lanjutnya memgambil dan menyodorkan balok manis itu lagi

"Kau yakin?" Min Joon sedikit gemetar. Sebenarnya gemetar ini bukanlah bentuk ketakutan, melainkan bentuk lain dari sebuah pertanyaan, 'Haruskah kulakukan ini pada sahabatku?'

"Kau pilih aku atau dia?" lanjut Sun Woo menunjuk Dong Soo yang sedari tadi terlihat tidak begitu mengerti dengan apa yang mereka debatkan.

Ia menginginkan sebuah pertarungan.

Perdebatan yang tak terelakkan pun semakin memanas, Min Joon benar-benar tersudut.

"Tunggu sebentar, tidak seharusnya seperti ini! Aku tidak bisa! Maafkan aku Sun Woo!" ujar Dong Soo tiba-tiba, mundur beberapa langkah.

"KENAPA?" tanya Min Joon dan Sun Woo kompak.

"Jin Hee akan sangat sedih jika mengetahui semua rencananya sudah berantakan."

***

Rencana? Min Joon mulai membangun ruang besar yang berisi pertanyaan membingungkan dalam benaknya.

Tanpa ragu-ragu Dong Soo menuju sebuah pintu yang sedikit terbuka. Seolah ingin meyakinkan Min Joon tentang segala pertanyaan dalam benaknya.

Di balik pintu, ada sebuah proyektor kecil yang menyala, cahayanya terpantul ke dinding dan melewati tubuh Min Joon. Min Joon memerhatikan dengan saksama.

Semua visualisasi yang muncul dari cahaya itu, membuktikan apa yang terjadi sebenarnya. Hanya sebuah video meeting kecil untuk kejutan spesial yang dirancang Jin Hee, kejutan ulang tahun Min Joon yang ke 28. Sebuah rencana kejutan yang pada akhirnya terbongkar.

Namun, dalam video lainnya, Min Joon melihat seorang lelaki berambut putih tengah menebar uang ke ranjang rumah sakit tempat Sun Woo berbaring. Dari ucapan kasarnya, Pak Tua itu berharap Jin Hee segera meninggalkan Min Joon.

Sekarang Min Joon tahu apa yang membuat Sun Woo melupakan rencana awal tentang kejutan ulang tahun dan malah merencanakan rencana rahasia di belakang Jin Hee. Itu karena si pak Tua.

Ternyata, Lee Dong Soo memang masih sahabatnya. Min Joon terdiam.

Dengan kesal, Sun Woo membanting balok kayu di tangannya. Dia tidak menyukai sikap Dong Soo yang seakan menunjukkan kelemahan di depan Min Joon.

"Jangan dengarkan dia, kumohon! Aku akan menikahi Jin Hee, Aku temanmu! Kau harus percaya padaku!" ucap Min Joon merasa tertekan setelah melihat video itu.

"Aku sangat membenci ayahmu, jadi kumohon tinggalkan Jin Hee-ku!"

"Sun Woo, ini salah! Maafkan aku! Dong Soo tolong aku," pintanya menghampiri Dong Soo.

"Kenapa minta maaf? Kenapa minta tolong padaku?" Dong Soo menyela.

"Maaf karena sudah menghilangkan kesempatanmu untuk hidup bersama Jin Hee. Tapi, aku berjanji ...."

"Aku tidak butuh belas kasihmu! Lagi pula Jin Hee bukanlah sepatu yang bisa kucuri dari kakimu, kaupasti akan sulit berjalan dan akan sulit mencari sepatu lainnya. Karena itulah Jin Hee bukan sesuatu yang bisa kulepas dengan mudahnya dari hatimu," terang Dong Soo melow.

"Kau harus bersyukur Min Joon, karena aku tidak mau melukai Jin Hee dengan semua hal ini. Jadi kau selamat, tapi tidak untuk lain kali!" Sun Woo terlihat tak bisa menerima semua ini.

"Apapun itu tolong maafkan aku, terima kasih karena mencoba percaya kepadaku! Dong Soo tolong antarkan Sun Woo pulang ke rumahnya," ungkap Min Joon melemah kepada keduanya, tanpa bertanya apa-apa ia lekas pergi meninggalkan keduanya yang terdiam dalam keheningan.

***

Min Joon menghentikan mobil di depan vila bergaya Eropa, tampak pria tua sedang menikmati sorenya. Kelemahan yang terlihat tidak bisa diabaikan begitu saja. Setelah menyadari akan keberadaan Min Joon pria tua itu berdiri dan memeluknya.

"Kau pasti sudah mendengarnya?"

"Kenapa kau melakukannya? Membuat Sun Woo dipecat dari pekerjaannya apa tidak membuatmu puas?" ucap Min Joon melepaskan pelukan dan menatap sinis pria itu.

"Maaf! Maafkan aku. Aku tahu tidak seharusnya bersikap seperti itu! Ayahmu ini benar-benar minta maaf, karena bersikap kekanakan!" jawabnya dengan tatapan sedih.

"Kau harus menyesalinya!"

"Menyesal? Tapi, aku tetap tidak bisa menerimanya sebagai menantu. Karena dia tidak sederajat denganmu!" ucap ayahnya mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

"Itu alasan yang sangat kekanakan!" Min Joon mengolok.

"Baiklah jika memang itu semua menjadi masalah antara kau dan aku, maka mulai sekarang kau bukan anakku lagi," ungkapnya terlihat kecewa.

"Sudah berapa kali kau berkata seperti itu? Aku sudah sangat bosan mendengarnya."

"Pergi temui wanita itu dan katakan padanya kau tidak bisa memberinya hartamu, karena kau bukan putraku lagi."

"Astaga, Jin Hee bukan orang yang seperti itu!"

"Tapi, bagiku dia terlihat sama saja! Sebaik apa pun dirinya yang menjadi tujuannya adalah uang."

Tak ingin berkelahi dengan pria yang sudah menghidupinya, tanpa basa-basi Min Joon meninggalkan vila itu. Dengan gusar melaju menuju seoul bahkan jas rapi yang dari tadi pagi dikenakannya sudah dilepaskan begitu saja.

***

Pukul 20:00 KST.

Malam semakin gelap. Min Joon tiba di rumah Jin Hee, tetapi ia tak mendapat siapa pun di sana.

"Apa mereka tetap mengadakan surprise party? Kenapa sepi?" gumamnya menatap jendela.

Deringan lagu roman terdengar dari saku Jas-nya, Min Joon lekas mengangkat panggilan telepon itu.

"Meskipun kau sudah tahu rencana ini, bisakah kau berpura-pura tak tahu apa-apa, demi dirinya!" sergah suara yang tak asing terdengar berbisik.

"Aaah, baiklah! Aku ada di depan rumahmu sekarang."

"Masuklah!" Min Joon lekas berjalan menuju rumah sang pujaan hati berpikir kejutan seperti apa yang ada di dalam, biasakah atau luar biasa?

"SURPRISE!" teriak orang-orang, sesaat setelah dirinya membuka pintu rumah. Min Joon dikejutkan dengan acara yang sebenarnya sudah diketahuinya.

"Aku sangat berterima kasih!" jawabnya pura-pura terkejut kepada teman yang tak tahu kejadian sebenarnya. Pandangan Min Joon menjadi tak tetap, ia mengelilingi sudut rumah dengan tatapan tajam nan meruncing.

"Dia sudah menunggumu di danau belakang pabrik itu!" ucap Sun Woo seolah tahu apa yang sedang dicari Min Joon. Ia pun menunjuk sebuah gambar di samping jendela. Min Joon mengangguk paham usai melihatnya.

***

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!