NovelToon NovelToon

Ibu Tiri Untuk Kami

sepeninggalnya ibu

Aina adalah seorang anak perempuan yang kehilangan sosok ibu di usianya yang baru menginjak 6 tahun. Ibunya menderita kanker rahim, setelah berjuang selama bertahun-tahun, beliau akhirnya meninggal dunia.

Aina memiliki seorang kakak perempuan bernama aini dan seorang kakak laki-laki bernama aidil, usia mereka hanya terpaut satu dan dua tahun saja, tentu menjadi hal yang begitu berat bagi ayah aina untuk membesarkan 3 orang anak tanpa adanya sosok seorang ibu, apalagi di usia anak-anaknya saat ini.

***

Hampir satu tahun berlalu sejak perginya ibu aina, tiba-tiba disuatu malam, tanpa persetujuan dan bahkan tanpa sepengetahuan aina dan kedua kakaknya, ayah aina datang bersama seorang wanita yang bernama Rahmi, yang ternyata telah ia nikahi dan kini telah resmi menjadi ibu sambung aina dan kedua kakaknya. Tak ada yang bisa aina lakukan saat itu, bahkan kedua kakaknya hanya bisa menerima walau hati mereka sebenarnya merasakan perasaan yang begitu tak nyaman. Raut wajah kecewa terlihat jelas pada diri ketiga anaknya, bergegas sang ayah mengajak anak-anaknya berbicara secara pribadi disebuah ruangan dimana Rahmi tidak bisa mendengarkan percakapan mereka.

"Anak-anakku, maafkan ayah yang terpaksa harus menikah lagi, ayah ingin ada seseorang yang bisa mengurusi kalian setiap harinya, ayah tidak tega meninggalkan kalian hanya bertiga dirumah ini, apalagi kau aina.. Sebentar lagi kau akan sekolah, kau membutuhkan seorang ibu untuk membantumu menyiapkan segala sesuatunya setiap hari" ayah berkata dengan nada menyesal, dengan suara yang berat dan mata berkaca-kaca. Sementara aina, aini dan aidil hanya tertunduk tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

"ayah berharap kalian bisa menerima ibu Rahmi sebagai ibu sambung kalian, ayah harap kalian bisa menjalin hubungan baik dengannya, sebagaimana hubungan baik antara kalian dan ibu" tutup ayah saat itu sambil bergegas keluar dari dalam ruangan meninggalkan ketiga anaknya yang masih tertunduk.

beberapa menit berlalu.. aina, aini dan aidil mulai berfikir, perlahan mereka mulai sadar.

"aina, aini, sekarang kita sudah punya ibu lagi, akan ada yang memasak lagi untuk kita, akan ada yang membacakan cerita lagi saat malam sebelum tidur" seru aidil dengan senyum yang lebar.

Entah benar-benar bahagia atau sekedar menghibur kedua adiknya, namun perkataannya berhasil membuat aina dan aini kembali tersenyum. Mereka seolah menemukan cahaya kembali, mereka memiliki harapan bahwa esok hari akan ada kebahagiaan yang menghampiri, sama seperti saat ibu mereka masih ada didunia ini.

***

Hari demi hari berlalu, tibalah waktunya untuk aina bersekolah. Namun sayang, disaat terpenting bagi aina, ayahnya harus dipindahtugaskan ke cabang lain, ayah aina bekerja disebuah pabrik pakaian, lokasi pabriknya tidak terlalu jauh dari rumah, namun kini ayah aina dipindahkan ke cabang yang lokasinya cukup jauh dari rumah aina, mengingat kondisi perekonomian keluarganya yang pas pasan tidak ada pilihan lain bagi ayah aina selain menerima keputusan tersebut. Namun karena lokasinya yang jauh, membuat ayah aina tidak bisa pulang setiap hari, ia terpaksa harus menginap di mess yang telah disediakan oleh perusahaan tempatnya bekerja dan pulang hanya pada saat libur saja sehingga urusan pengasuhan diserahkan sepenuhnya kepada Rahmi, istri barunya.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, sifat asli Rahmi mulai terlihat. Semakin hari semua prilakunya semakin menegaskan bahwa dia sama sekali tidak peduli pada aina dan kedua kakaknya.

"bu, aku harus membeli buku paket disekolah" ucap aina disuatu siang kepada Rahmi dengan suara yang amat pelan dan hati-hati. Saat itu aina baru saja pulang dari sekolah.

"beli saja sendiri, dasar anak tidak berguna, bisanya hanya menyusahkan saja" ucap Rahmi dengan nada sinis.

"kalau begitu tolong pinjamkan aku handphone, aku ingin menelfon ayah, aku akan minta pada ayah saja, buku ini harus aku beli untuk belajar bu"

Aina memohon kepada Rahmi agar diizinkan memakai handphone untuk meminta uang pada ayahnya karena selama ini Rahmi tidak pernah mengizinkan aina dan kakak-kakaknya untuk menggunakan handphone yang ada dirumahnya.

Setelah permohonan panjang akhirnya Rahmi mengizinkan aina untuk menghubungi ayahnya, tentu saja setelah ia melontarkan beberapa cacian untuk aina. Aina bergegas menghubungi ayahnya dan mengatakan semua keperluannya.

Keesokan harinya saat aina bersekolah, ayah aina menelepon dan mengirimkan sejumlah uang kepada Rahmi untuk membeli keperluan aina, Rahmi berbicara begitu manis kepada ayah aina dan berkata bahwa ia akan merawat anak-anaknya seperti ia merawat darah dagingnya sendiri, ia berkata bahwa ia sangat menyayangi aina dan kedua kakaknya, tentu mendengar perkataan-perkataan tersebut ayah aina sangat bahagia, tanpa rasa curiga dan rasa khawatir ayah aina semakin mempercayakan semuanya kepada Rahmi.

Sepulang sekolah, aina bertanya kepada ibu tirinya apakah ayahnya sudah mengirimkan uang yang dimintanya atau belum, tapi Rahmi dengan jahat berkata bahwa aina tidak berhak atas uang yang telah diberikan ayahnya. Rahmi tidak memberikan aina uang sepeserpun, bahkan ketika aina merengek dan menangis Rahmi tidak peduli sedikitpun.

***

Selama dalam pengasuhan ibu tiri, aina dan kedua kakaknya sangat menderita. Mereka tidak diberi makan yang cukup, tidak diberikan pakaian yang layak bahan tidak diperkenankan mandi menggunakan pasta gigi, sabun mandi bahkan shampo. Aina dan kakaknya hanya bisa menggunakan air saja untuk membersihkan badan dan menggosok gigi mereka menggunakan jari-jari saja. Dalam satu hari aina dan kakak-kakaknya hanya diberikan makan sebanyak 2 kali saja, yaitu pada pagi dan malam hari dengan lauk yang sangat seadanya bahkan tanpa lauk sama sekali, padahal uang yang dikirimkan ayah aina lebih dari cukup untuk membeli lauk untuk makan aina dan kakak-kakaknya.

Rahmi tidak pernah memperdulikan ketiga anak itu meskipun mereka kelaparan disiang hari, bagi Rahmi memberi makan 2x saja sudah sangat menghabiskan uangnya.

Disuatu siang saat hari libur kerja telah tiba, ayah mereka kembali, mereka bercengkrama diruang TV sedangkan rahmi tengah sibuk mempersiapkan makan siang didapur. Dalam kesempatan itu aina dan kakak-kakaknya berusaha untuk memberitahukan apa saja yang telah dilakukan Rahmi kepada mereka, namun sayangnya sang ayah sama sekali tidak mempercayai mereka, bahkan tidak menggubris perkataan mereka sedikitpun. sang ayah lebih mempercayai istrinya dibandingkan dengan anak-anaknya sendiri.

"cukup, jangan berulah, bersikap baiklah kepada ibu kalian!" tegasnya sambil berlalu pergi.

Tak ada lagi yang bisa dilakukan aina, aini dan aidil saat mengetahui bahwa ayahnya tak lagi peduli pada mereka, mereka hanya bisa menghela nafas dan berusaha menahan air mata yang sedari tadi mendesak ingin segera ditumpahkan.

Sore itu anak-anak sedang bermain diluar, ayah hanya berdua saja dengan rahmi, mereka berbincang-bincang seolah mereka adalah keluarga yang harmonis. Disela-sela perbincangan ringan itu rahmi tiba-tiba berkata bahwa anak-anaknya sangat membencinya tanpa alasan yang jelas, selama ayah mereka pergi anak-anak tidak pernah mendengarkan perkataannya, dan sangat tidak menghormatinya.

"aku mengerti situasi mereka yang mungkin belum dapat menerimaku sebagai ibu mereka, aku tau aku tidak bisa bersikap sebaik ibu kandung mereka, tapi aku sedih karena betapapun aku menyayangi mereka, mereka tidak pernah menghargaiku, mereka tidak pernah mau berbicara padaku, kau sendiri bisa melihatnya sayang, tidak ada satupun diantara mereka yang berbicara padaku hari ini" ucap rahmi seraya menunjukkan raut yang begitu pilu, tanpa suaminya ketahui hatinya tengah tersenyum licik dan penuh dengan kebencian pada anak-anak tak berdosa itu.

Tanpa mencari pembenaran terlebih dahulu ayah memanggil ketiga anaknya dan langsung memarahi mereka sampai mereka menangis tersedu-sedu, ayah bahkan mencaci dan memaki mereka.

"Ingat!! Tanpa ibu kalian, kalian tak bisa berbuat apa-apa, meski dia ibu tiri kalian harus menghargainya! Ingatlah bahwa aku tidak pernah sekalipun mengajari kalian untuk menjadi anak yang bodoh dan kurang ajar!!" bentak ayah pada mereka yang bahkan tidak tau apa kesalahan yang telah mereka perbuat sehingga ayahnya sangat murka.

Tangis mereka semakin menjadi mengingat ini adalah pertama kalinya ayah begitu marah pada mereka. Bahkan ayah berkata bahwa ibu tiri mereka adalah wanita terbaik yang pernah ia temui di dunia ini, pada akhirnya perkataan itu telah menggores hati ketiga anak itu, menorehkan luka yang tidak akan pernah mereka lupakan seumur hidup. Mereka beranggapan bahwa ibu mereka tak dihargai lagi dan telah dihapus dari ingatan ayahnya. Kasih sayang ayah telah hilang..

Hari-hariku bersama ibu tiri

Aku aina, aku seorang anak perempuan yang kini berusia 8 tahun, sudah 2 tahun sejak kepergian mendiang ibu, dan sudah 1 tahun sejak aku tinggal bersama ibu tiriku. Di usiaku saat ini aku dipaksa hidup keras layaknya orang dewasa, masa kecilku hilang, namun dengan tubuh mungil ini aku tak bisa berbuat banyak selain tetap patuh dan bergantung pada ibu tiriku yang begitu kejam. Tak ada tempat untukku pergi, tak ada lagi tempatku mengadu, bahkan ketika ayahku masih berada disampingku.

Kedua kakakku terlalu banyak memberontak, mereka tak sepatuh aku sehingga penderitaan yang mereka rasakanpun jauh lebih banyak daripada aku, mereka bahkan tidak lagi diizinkan untuk bersekolah. Akupun sebenarnya sangat ingin memberontak dan pergi seperti mereka, tapi aku lebih takut dengan dunia luar yang belum pernah aku ketahui sebelumnya.

***

"AINAAA"

Disuatu siang yang begitu terik ibu Rahmi memanggilku dengan lantangnya, aku yang sedang bermain lompat tali dengan teman-temanku bergegas menghampiri, aku sangat takut dan berfikir apakah aku telah berbuat salah, apakah aku telah membuatnya marah?

"aina, pergi beli beras sana! Sudah dipanggil berkali-kali pura-pura tidak mendengar!" ucap ibu Rahmi dengan nada jengkel.

"beli ditempat langgananku, ini uangnya" ucap ibu rahmi lagi sambil memberikan gulungan uang yang diikat karet padaku.

Ibu Rahmi memintaku membeli 5 kilo beras ditempat langganannya, lokasinya sangat jauh dari rumah dan aku harus pergi berjalan kaki, tidak diberi uang lebih bahkan ongkos untuk sekedar naik angkutan umum. Perlu 1 jam berjalan kaki menuju tempat itu, melewati jalanan kecil, pesawahan, jalan raya bahkan melewati rel kereta api, tapi hal itu sudah biasa bagiku.

Aku pamit kepada kawan-kawanku, mereka hanya menggerutu karena aku selalu pergi ditengah-tengah permainan, aku tidak pernah bisa bermain layaknya anak-anak seperti mereka, banyak tugas rumah yang harus aku selesaikan sepulang sekolah, aku harus mencuci piring, mencuci baju, menyapu dan mengepel seluruh rumah. Lalu ketika selesai dengan tumpukan pekerjaan rumah, aku masih harus menerima perintah-perintah lainnya dari ibu tiriku.

Aku berjalan sendiri, kaki-kaki kecilku dipaksa kuat ditengah teriknya matahari, jari-jari kecilkupun dipaksa kuat menopang berat beras yang tengah kubawa. Bulir-bulir keringat mengucur didahiku, punggungku mulai basah dan mataku rasanya berkunang-kunang. Tapi aku harus segera pulang kalau tidak ingin ibu tiriku semakin marah karena jalanku yang lambat ini.

Kemudian ditengah perjalanan pulang saat melewati pesawahan aku melihat keong-keong kecil dikubangan lumpur, aku juga melihat beberapa tanaman kecil yang dulu sering dimasak oleh ibuku semasa beliau masih hidup. Aku berjingkrak kegirangan, aku bergegas menyimpan beras yang kubawa dipinggir sawah, melepas sandal lapuk yang kukenakan, lalu berjalan ketengah sawah yang penuh lumpur untuk mengambil keong dan tanaman itu dan memasukkannya ke kantong plastik yang kubawa, berharap kedua kakakku akan pulang hari ini dan memasaknya untuk makan siangku.

Setelah semuanya kudapatkan, aku segera bergegas mencuci kaki disungai kecil yang mengaliri sawah, namun saat hendak mengambil kembali beras yang kusimpan, aku terpekik dan gemetar, aku benar-benar panik dan ketakutan, kantong plastik yang menampung beras itu telah sobek dan semua beras berhamburan kedalam sawah, jantungku berdegup sangat keras, keringat semakin bercucuran dan badanku seketika menjadi dingin, semua beras yang kubawa masuk kedalam lumpur, tak ada yang tersisa, tak ada orang yang bisa kumintai tolong, aku hanya bisa menangis kencang ditengah pesawahan seorang diri, membayangkan hukuman apa yang akan diberikan oleh ibu tiriku dihari itu.

Menjelang malam aku baru sampai kerumah, aku tidak berani pulang setelah kejadian itu, aku merenung begitu lama, namun lagi-lagi aku sadar bahwa tidak ada lagi tempat untukku didunia ini. Aku memaksakan diri untuk pulang. Dengan mata sayu dan sembab aku menjelaskan pada ibu tiriku semua kejadian yang kualami sambil terbata-bata melawan rasa takutku, sambil memberikan sekantong keong dan tanaman hijau yang tadi sempat kupetik, berharap dengan sedikit buah tangan ini ibu tiriku akan memaafkanku.

"dasar anak bodoh! Anak tidak berguna! Kau hidup benar-benar hanya menyusahkan saja! kenapa kau tidak pergi saja bersama ibumu itu! kerjamu hanya menghabiskan uangku! Pergi kau dari hadapanku! Jangan harap ada makan malam untukmu!" teriak ibu Rahmi padaku dengan tatapan benci dan amarah yang meledak-ledak.

Tidak ada sedikitpun belas kasihan darinya untukku, aku dicaci maki dan dibiarkan tidur tanpa mendapatkan sedikitpun makanan. Aku tidur dalam keadaan sangat lapar dan lelah, ibu tiriku menghukumku dengan rasa lapar.

***

Keesokan harinya kedua kakakku pulang, mereka selalu pergi dan pulang sesuka hati, mereka tinggal dimanapun mereka ingin, namun mereka sering kelaparan dan kehausan sehingga sesekali terpaksa harus pulang. Rasanya ingin sekali berbagi keluh kesah dan rasa sedih yang seringkali kualami, namun rasanya percuma, hanya akan menambah beban dihati dan fikiran mereka, biarlah yang mereka tau aku diperlakukan cukup baik dengan kepatuhanku. Ibu tiriku sudah sangat membenci mereka, sehingga ketika mereka datang tak ada tempat untuk mereka bersantai melepas lelah, tak ada tempat untuk kami bercengkrama berbagi kisah, bahkan semua makanan yang ada dirumah disimpan didalam kamarnya dan dikunci sedemikian rupa agar kedua kakakku tak bisa makan dan merasakan lapar yang tidak tertahankan.

Kemudian saat malam hari, walaupun dengan kondisi kemarahan ibu tiriku yang tidak kunjung mereda, aku memaksakan diri untuk memohon padanya agar aku bisa ikut hadir dalam acara pesta yang diadakan oleh sahabatku esok hari, aku memohon agar ibu tiriku mau membelikan sebuah kado yang akan aku berikan kepada sahabatku dipestanya nanti.

"bu, aku mohon, tolong izinkan aku pergi ke pesta kawanku, tolong beri aku uang untuk membeli kado, aku sangat ingin datang dan mengucapkan selamat padanya" aku memohon dan berlutut, aku menangis berharap ibu tiriku bersedia memberiku beberapa rupiah saja.

Beberapa kali ibu tiriku menolak dan memakiku dengan kata-kata yang begitu kejam, ia tidak pernah memukulku, ia tidak pernah menyakitiku secara fisik, namun mental kamilah yang menjadi sasarannya.

Malam sudah semakin larut, namun aku tidak menyerah untuk terus merayu ibu tiriku agar ia bersedia membelikan satu saja kado untukku. mungkin karena merasa muak dengan rengekanku akhirnya dia berkata YA, dia berkata akan membelikannya untukku esok hari sebelum pestanya dimulai. Aku sangat bahagia karena ibu tiriku akhirnya memiliki belas kasih padaku.

***

Keesokan harinya tibalah pesta ulang tahun sahabatku, seperti yang telah dijanjikan, ibu tiriku memberikan sebuah kado yang telah terbungkus rapi untuk kuberikan kepada sahabatku sebagai hadiah.

Hari itu aku dan teman-temanku bersenang-senang, kami berpesta ditaman rumah sahabatku, hiasan balon berwarna warni terlihat begitu indah, hiasan bunga dan hiasan-hiasan lain khas pesta ulang tahun terlihat menakajubkan dimataku, aku seperti ada di negri dongeng, dongeng yang sering diceritakan ibuku saat beliau masih ada didunia ini. berbagai macam makanan tersaji dimeja kecil yang berwarna warni, banyak kue lucu yang rasanya sangat lezat, aku makan sampai perutku benar-benar kenyang.

Kami bernyanyi, menari dan menerima hadiah uang dan makanan, aku sangat bersyukur sekali dan berfikir untuk mengucapkan terima kasih kepada ibu tiriku ketika pulang nanti, akan kucium kakinya dan akan kukerjakan semua pekerjaan rumah sebagai tanda terimakasihku.

Menjelang sore hanya tersisa aku dan beberapa teman dekat saja dilokasi ulang tahun itu, termasuk sahabatku yang sedang berulang tahun tentunya, dia meminta kami untuk membantunya membuka semua kado yang ia dapatkan, disampingnya duduk kedua orangtuanya dengan wajah bangga dan bahagia. Mereka begitu ramah, mereka membiarkan kami membuka kado satu per satu hingga tibalah waktunya membuka kado pemberianku.

Semua mata seolah tak percaya, aku terkejut dan malu ketika isi kado yang kuberikan hanyalah sebuah rautan pensil kecil dengan harga yang masih tertempel jelas lima ratus rupiah, aku malu, aku mengutuk ibu tiriku dalam hati, ketika ibu-ibu lain menyiapkan kado terbaik, ibu tiriku malah menyiapkan kado yang benar-benar membuatku malu, aku menangis sejadi-jadinya, aku berteriak dan tersungkur ditanah.

Beberapa menit berlalu, tangisku mulai berhenti, aku mengangkat kepalaku dengan ragu, kukira teman-temanku marah dan meninggalkanku, tapi saat kusapukan pandanganku, kulihat kawanku dan kedua orangtuanya menangis tersedu-sedu, ternyata mereka sedang memberiku waktu melampiaskan amarah dan rasa sakitku. Sang ayah menghampiriku dan membantuku untuk berdiri, disusul sang ibu dan kawan-kawanku datang untuk memelukku.

"sayang, ibu tau bagaimana jahatnya ibu sambungmu, ibu tau bagaimana menderitanya kau di usiamu yang begitu muda ini" lirihnya sambil menangis berlutut mengelus pipi dan rambutku.

"sebenarnya ibu selalu menawarkan bantuan pada ibu tirimu, ibu selalu ingin membelikanmu sesuatu untuk kau gunakan, tapi ibumu selalu marah dan menolak semua pemberianku" isaknya.

"aina, pintu rumah kami selalu terbuka untukmu, datanglah pada kami setiap kali kau merasa kesepian, datanglah pada kami setiap kali kau menderita, datanglah pada kami saat kau merasa lapar, ajak kakak-kakakmu, tapi ingat jangan sampai ayah dan ibu tirimu mengetahuinya, datanglah tanpa diketahui oleh mereka" lanjut beliau seraya memelukku dengan sangat erat.

sejak saat itu mereka menjadi sandaran hidupku, aku akan datang ketika aku merasa lapar, dan aku akan datang ketika aku ingin membersihkan diriku dengan baik layaknya teman-temanku. Dan terkadang meski malu aku memaksakan diri meminta makanan lebih untuk kusimpan dan kumakan bersama kakak-kakakku ketika mereka datang. Sayang nasib kakak-kakakku tak seberuntung aku, mereka masih dengan pemberontakan mereka dan aku tidak pernah tau dimana saja mereka tinggal, kadang mereka datang dan kadang mereka menghilang begitu lama sampai makanan-makanan yang kusimpan untuk mereka menjadi basi.

Tuhan, aku bersyukur, meski dengan segala kepedihan yang kualami, aku masih memiliki hati yang hangat untuk kusinggahi.

***

2 minggu berlalu sejak pesta ulang tahun sahabatku, tiba-tiba kerabat jauhku datang, ayahku sedang ada dirumah, untuk pertama kalinya kami bercengkrama layaknya sebuah keluarga, tepatnya berpura-pura bercengkrama.

Aku tidak pernah bertemu dan tidak mengenali siapa suami istri yang datang itu, yang kulihat mereka adalah orang-orang yang sangat ramah dengan pakaian yang begitu indah, mereka datang mengendarai sebuah mobil mewah yang sangat berkilau.

Setelah bercengkrama beberapa lama mereka akhirnya mengenalkan diri padaku secara langsung, mereka berkata bahwa mereka adalah kakak dari mendiang ibuku, mereka tinggal ditempat yang cukup jauh dari rumah kami, mereka begitu ramah, mereka mengusap kepalaku dan memberiku banyak hadiah, aku sangat senang dan merasa bahwa ibuku ada disampingku.

setelah bertamu cukup lama mereka menyampaikan maksud dan tujuan mereka datang kerumah ini, mereka berkata bahwa mereka ingin mengadopsiku, mereka tidak kunjung memiliki anak dan sudah sejak lama berencana untuk mengadopsiku karena khawatir istri baru ayah kewalahan mengurus tiga anak sekaligus. Mendengar itu aku benar-benar ingin menangis haru, aku merasa yakin akan segera memiliki sebuah keluarga yang benar-benar sayang padaku, aku yakin ayah dan ibu tiriku akan mengizikan mengingat selama ini mereka seolah tak menginginkan aku. Tapi sayangnya permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh ayahku, ayahku menolak dengan sangat marah dan berkata bahwa ibu tiriku cukup baik dalam membesarkan anak-anaknya.

Sejak saat itu aku tidak pernah lagi melihat mereka datang menjengukku. Kufikir mereka pasti sakit hati dengan perkataan ayahku, pupuslah sudah satu-satunya harapanku hidup bahagia didunia ini.

Belakangan kuketahui bahwa mereka adalah keluarga yang baik, namun hubungan mereka dengan ayah tak begitu baik, mereka pernah bertengkar hebat hingga saling berhenti memberi kabar. Terlebih lagi setelah ibuku meninggal. Kemudian kuketahui juga bahwa setelah hari itu mereka beberapa kali datang mengunjungiku namun ayah dan ibu tiriku tidak pernah mempertemukan mereka dengan aku, aku bahkan tidak pernah tau kapan dan seberapa sering mereka berusaha untuk menemuiku. Sungguh dunia tak pernah berpihak pada hidupku..

Aini

Aku aini, usiaku 7 tahun saat ibu meninggalkanku untuk selamanya. Sepeninggalnya ibu, aku hidup dengan ayah, adik perempuanku aina dan kakak laki-lakiku aidil, tak berselang lama ayahku menikah lagi dengan seorang wanita bernama rahmi, ia pun resmi menjadi ibu tiri kami, ibu tiri yang sangat jahat. Kukira ibu tiri yang jahat hanya ada dalam cerita saja, tak kusangka kali ini akulah yang menjadi anak malang seperti yang diceritakan dalam dongeng-dongeng itu.

Adik perempuanku aina adalah anak yang patuh, meski sering dicaci maki ia tetap sabar, namun aku dan kakakku aidil berbeda, kami tidak bisa sesabar aina dalam menerima hinaan hinaan itu.

Setelah beberapa bulan tinggal bersama rahmi, aku dan kakakku memutuskan untuk pergi dari rumah dan tinggal dimana saja ditempat yang kami temukan. Tempat yang bisa melindungi kami dari panasnya sinar matahari dan dinginnya hujan. Kami tidak tahan dengan omelan-omelan rahmi yang menyakiti hati dan memekakkan telinga, terlebih lagi saat mengetahui bahwa ayah kami lebih memihak istri barunya itu dibanding kami anak-anaknya. Aku merasa tidak ada gunanya lagi kami hidup di rumah itu, meski terlindung dari terik matahari dan hujan, hati kami teriris begitu dalam. Tak ada sosok ibu yang kami temukan dalam rumah kami, tak ada surga didalamnya.

Aku merasa ayahku benar-benar melupakan mendiang ibu, hatinya sudah terkunci oleh nenek jahat itu, aku sungguh membenci keduanya.

***

Berbulan-bulan lamanya aku dan kakakku hidup terlunta-lunta dijalanan, kami pergi hanya membawa beberapa helai pakaian yang disimpan dalam sebuah tas lusuh bekas kami bersekolah dulu, ya kami berhenti bersekolah karena nenek tua itu, kami pergi mengenakan pakaian pendek seadanya, dengan alas kaki yang lusuh dimakan oleh waktu.

Rambutku semakin memanjang dan kusam, rambut yang dulu sering dibelai ibu, dirawat hingga halus dan bersinar, namun kini bagaikan segumpal gulali yang terberai. Dulu ibu sangat senang mendandaniku dan adikku, kami bagaikan putri disebuah kerajaan, itulah sebabnya walau kusam aku tak akan pernah mau memotongnya, meski ayah beberapa kali ingin merapikannya, tapi aku menolak karen hanya inilah satu-satunya kenangan yang ibu tinggalkan bersamaku.

Selama ini aku dan kakakku makan dari belas kasih orang, kadang kami pergi mengamen dan bahkan memungut sampah untuk kami jual, namun ada kalanya kami tidak mendapatkan uang sepeserpun sehingga terpaksa kami harus berpuasa.

Disuatu siang yang terik aku dan kakakku merenung disebuah gubuk tua dekat pesawahan, angin berhembus begitu kencang membelai wajah kami, kami termenung memikirkan begitu jahatnya dunia kepada kami, kami yang masih anak-anak ini. Lalu aku dan kakakku saling bercerita. Aku menceritakan saat aku bertengkar dengan rahmi hanya karena aku meminta makan siang padanya.

Saat itu pulang sekolah, karena banyaknya kegiatan disekolah, saat pulang aku merasa sangat lapar, sesampainya di rumah aku meminta makan kepada ibu tiriku namun dia menolak dengan sangat kejam.

"Kau pikir rumah ini panti asuhan! harusnya kau bersyukur masih kuberi makan dan tidak mati kelaparan! ingat jatah makanmu hanya pagi dan malam hari, jangan meminta lebih dari itu! aku tidak mau mengeluarkan lebih banyak uang untukmu! Begitu nenek tua itu sambil melotot padaku" ceritaku pada kakak sambil menirukan ekspresi rahmi.

Kakakku hanya tertawa kecil, namun dengan ekspresi sedih yang tidak dapat digambarkan, aku tahu dia pilu dan merasa bersalah sebagai satu-satunya anak laki-laki, kemudian dia bertanya.

"lalu kau jawab apa?"

"aku balik marah dan memaki wanita tua itu, aku bilang kau nenek lampir yang sangat jahat dan tidak memiliki hati, kudoakan kau cepat mati hahaha" ucapku sambil mengingat kembali kejadian menyakitkan itu.

"andai Ibu masih ada, kita pasti sedang sibuk disekolah saat ini, lalu saat kita akan berangkat sekolah ibu akan menyajikan hidangan lezat untuk kita, saat pulang sekolah akan ada yang membantu kita berganti pakaian, akan ada orang yang memeluk dan membelai kita, akan ada yang menyajikan makanan enak dan hangat di saat kita kelelahan" gumamku sambil terisak.

Aku tidak dapat lagi membendung air mataku, begitu pula dengan kakakku, aku melihatnya menangis tersedu-sedu, itu adalah pertama kalinya aku melihat kakakku menangis tersedu-sedu setelah sekian lama. Mungkin ucapanku telah membuat luka lamanya kembali terasa sakit.

"apa kakak tahu kalau nenek tua itu juga telah menghina ibu?" aku bertanya sambil mengusap air mataku. Kakakku mengangguk sambil mengusap juga air matanya.

"saat itu dia sangat marah sampai-sampai ia berani memaki mendiang ibu" lanjutku.

"dia bilang, lihat! yang yang mati justru ibumu, bukan aku, ibumulah yang tidak berguna sehingga dia cepat mati! kata nenek lampir itu galak" lanjutku sambil emosi.

"Saat itu aku langsung memukul punggungnya yang hendak berbalik pergi, aku marah dan balik memakinya sampai dia mendorongku sampai jatuh" aku menggerutu.

Kakakku hanya tertawa namun raut wajahnya begitu sedih, terlihat amarah yang berusaha dia pendam di wajahnya, sebenarnya dia sudah tahu peristiwa itu, beberapa kali aku menceritakannya saat kami sedang merenung seperti saat ini. Kami hanya bisa bercerita sebagai hiburan untuk menahan rasa lapar yang sedang kami rasakan.

Masih kuingat betul bagaimana raut wajah rahmi saat memakiku dikala itu, raut wajahnya penuh kebencian, dia seperti ingin melenyapkanku, aku memang tidak berguna seperti adikku aina, aku lebih banyak membangkang karena menurutku rahmi tidak pernah memperlakukan kami selayaknya anak, dia hanya memerintah kami tanpa perasaan.

***

Suatu hari aku pernah mencuri uang rahmi yang dia simpan dilemarinya, saat itu ia sedang mandi dan lupa mengunci lemarinya karena biasanya semua lemari yang ada dirumah selalu terkunci rapi dan kuncinya selalu dia simpan sendiri. Aku terpaksa mencuri karena aku harus membeli pensil untukku bersekolah, bahkan kakakku sudah tidak memiliki lagi alat tulis, kami malu terus menerus meminjam kepada teman kami, karena mereka tidak tahu kondisi kami, mereka seringkali marah saat alat tulis mereka kami pinjam. Kami tidak pernah banyak bercerita tentang masalah kami pada siapapun, mungkin jika mereka tau, mereka akan bersikap lebih baik pada kami.

Awalnya aku ingin meminta ayah yang membelikan pensil, tapi kupikir percuma karena pada akhirnya ayah hanya akan menitipkan uangnya pada rahmi dan uang itu tidak akan pernah sampai kepada kami, betapapun kami berusaha menjelaskan ayah tidak akan pernah mendengarkan.

Saat tahu uangnya hilang jelas rahmi langsung memanggil kami bertiga untuk masuk ke dalam rumah, tentu saja aku tidak mengaku, adik dan kakakku saat itu tidak tahu bahwa akulah yang mengambil uangnya, mereka hanya tertunduk kebingungan. Rahmi sangat marah dan mengancam akan mengadukan kami kepada ayah, rahmi mengancam tidak akan memberi kami makan. Aku sebenarnya merasa kasihan kepada adik dan kakakku tapi aku juga sangat takut untuk mengaku. Tidak menunggu waktu lama saat itu juga Rahmi langsung menelpon ayahku dan memintanya untuk segera pulang.

Saat ayah datang rahmi menceritakan semuanya, tidak kusangka ceritanya dia lebihkan sehingga menjadi berita yang amat buruk untuk ayah kami, rahmi bercerita bahwa kami sering mencuri uangnya untuk dibelikan hal-hal yang tidak diperlukan, saat kami melakukan pembelaan lagi-lagi ayah tidak pernah percaya. Ayah memarahi kami dan membela rahmi, ayah berkata untuk apa kami bersekolah jika hanya untuk menjadi seorang pencuri, akhirnya aku tidak tahan lagi dan berkata bahwa kami lebih baik berhenti bersekolah.

Aku mengatakannya sebenarnya hanya untuk menantang ayahku, aku ingin tahu apa reaksinya, apakah dia akan mencari tahu lebih banyak lagi tentang kami? apa saja kendala kami saat bersekolah? Tapi nyatanya ayah mengiyakan. Dia berkata

"Berhentilah sekolah jika itu yang kalian inginkan, kita lihat akan jadi apa kalian nanti, jangan salahkan ayah jika suatu hari nanti kalian tak bisa berbuat banyak untuk hidup kalian sendiri"

mendengar itu, aku dan kakakku yang memang sudah sejak lama merasa muak akhirnya memilih untuk putus sekolah dan pergi tanpa mebawa aina, kami pergi kemanapun dan kapanpun kami mau, kami tidak ingin terlalu lama terjebak dengan nenek lampir itu, hidup kami luntang-lantung tak jelas arah dan tujuan, namun tak banyak yang bisa kami lakukan selain menerima dan menjalani semuanya.

Awalnya kami ingin mengajak serta adik kami, namun dia menolak. Dia terlalu takut hidup di luar dan kami pun berpikir ulang memang akan sulit untuk adik kami hidup di antah berantah. Mentalnya tak sekuat kami karena memang dia masih sangat kecil, walaupun sebenarnya kami pun masih anak-anak.

***

Selama hidup di jalanan, sesekali kami tak dapat uang dan tak bisa makan. Saat kami sudah tidak bisa lagi menahan rasa lapar, tidak ada pilihan lagi bagi kami selain pulang ke rumah menemui nenek lampir itu, meski pada akhirnya kami tetap tidak mendapatkan apapun darinya. Hanya aina yang terkadang duduk diteras rumah menantikan kami pulang, hanya aina yang datang menghampiri kami dan memberi kami makan, ia sering menyimpan beberapa makanan untuk kami sehingga perut kami bisa terisi, nasibnya mungkin lebih baik dari kami karena ia sangat patuh, tidak seperti kami yang membangkang.

***

Dimalam yang dingin ini aku demam, tepat disaat aku dan kakakku tinggal di bawah kolong jembatan. Awalnya aku kira hanya demam sedikit saja sehingga aku menolak untuk dibawa pulang ke rumah oleh kakakku, namun selang beberapa jam kemudian demamku semakin tinggi, kakakku semakin khawatir dan memutuskan untuk membawaku pulang kerumah, dengan susah payah kakakku menggendongku dipunggungnya, kami pulang menuju rumah, kakakku mengetuk pintu rumah dan berharap ayah ada didalam. Nyatanya ibu tiriku yang membukakan pintu, saat tahu aku sakit dia hanya tersenyum sinis seolah berkata bahwa kami tak berdaya tanpa kehadirannya.

Mungkin karena takut terjadi sesuatu dan takut disalahkan oleh ayahku akhirnya rahmi membiarkan kami masuk, namun tanpa diobati sedikitpun. Kami hanya disuruh tidur, tidak boleh berisik dan jangan meminta apapun. Kakakku berlutut dan memohon agar aku diberikan makan dan obat yang layak, aku hanya bisa terbaring lemah menyaksikan pemandangan yang memilukan itu. Kakakku berjanji pada rahmi akan segera pergi setelah aku sembuh, namun benar saja ibu tiri tak berhati itu sama sekali tidak menggubris dan hanya berlalu pergi.

Selama dirumah hanya kakak dan adikku yang bergantian mengurusiku yang sedang sakit, suatu waktu adikku pergi ke rumah temannya, dia bilang dia akan minta tolong kepada orang tua temannya untuk membelikanku obat, aku hanya bisa mengangguk berharap pertolongan akan datang dan aku segera sembuh. Tak berselang lama adikku datang membawa obat dan berbagai macam makanan yang sangat enak. Akhirnya aku bisa minum obat dan makan dengan layak batinku. Beberapa hari kemudian aku sembuh, setelah sembuh aku mengutuk dalam hati bahwa apapun yang terjadi aku tak akan pernah ingin kembali kerumah ini. Selama kami tinggal ibu tiri hanya memberi makan adik kami, kami makan sepiring bertiga, aku dan kakak tak pernah dianggap ada.

Kemudian pagi itu disaat aku dan kakakku hendak pergi ayahku datang, kami berbincang diteras, dia bertanya ada urusan apa kami datang? Karena memang setiap kali ayah pulang kami tidak pernah ada dirumah. Adikku dengan polosnya menceritakan semua kejadian yang kami alami, dan ayahku sambil tercekat berkata,

"dengarkanlah ayah, jadilah anak yang baik dan tinggalah di rumah ini karena di luar sana tak akan ada yang mau mengurusi hidup kalian, ayah mohon berhentilah keras kepala dan hiduplah dirumah ini dengan baik" ucapnya dengan suara yang sangat berat.

"apakah kalian tega meninggalkan ayah? apakah kalian tidak percaya bahwa ayah sedang melakukan yang terbaik untuk kalian? ayah sungguh sangat menyayangi kalian, tapi kenapa kalian tidak memahami itu? Tolong tinggallah di rumah ini dan hiduplah dengan baik, ayah mohon" lanjutnya dengan suara yang semakin pelan.

Mendengar itu aku dan kakakku tidak sampai hati untuk pergi, kami memang benci dia, tapi dia tetaplah ayah kandung kami. Namun kami juga tidak bisa berlama-lama berada di rumah ini.

"ayah, aku dan kakak sudah memiliki tempat yang nyaman untuk kami tinggali, kami juga memiliki banyak teman, kami akan pulang sesekali, tolong izinkan kami pergi" ucapku kepada ayah.

Ayah tak menjawab beberapa saat, beliau seperti berfikir dan menimbang-nimbang.

"ayah mengerti, pasti berat hidup tanpa ibu disamping kalian, pergilah jika itu yang kalian inginkan, pergilah jika menurut kalian ibu rahmi tidak bisa mengurus kalian dengan baik, tapi pulanglah dan tengoklah adikmu sesekali, kasihan dia kalian tinggalkan" balas ayah sambil menahan tangisnya.

Ayah akhirnya mengerti dan mengizinkan kami pergi. Kami semua berpelukan sambil menangis, tetap ada rasa sayang yang amat besar dihati kami untuk ayah, meski kami merasa benci, meski ayah bersikukuh bahwa istrinya adalah istri yang baik, meski ayah bersikukuh bahwa apa yang beliau lakukan adalah yang terbaik untuk kami padahal kami begitu menderita.

Setelah percakapan pendek itu khirnya aku dan kakakku pergi, seperti biasa kami pergi tak tentu arah, kami hanya mengikuti nasib kami, kami berjuang keras untuk hidup, hanya kami sendiri, terkadang teman-teman yang merasa iba memberi kami makan, terkadang tetangga dan beberapa orang tua membawa kami ke rumah mereka, memberi kami pakaian dan makanan yang layak. Meski begitu kami tidak bisa terus-menerus bergantung pada mereka, sesekali kami pergi begitu jauh dan sesekali kami pulang, inilah satu-satunya cara agar kami tidak hidup terlalu tersiksa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!