Harusnya Hartono bisa menolak saat Bramantyo memanggil para wanita cantik untuk menemani dirinya menikmati jamuan makan malam yang telah disiapkan oleh pria itu.
Atau mungkin seharusnya dia bersikap acuh seperti sebelum-sebelumnya, pada para wanita cantik itu.
Moment tersebut mungkin bukan pertama kali bagi Hartono mendapatkan jamuan istimewa dari rekan bisnisnya sebagai bentuk dari rasa terimakasih mereka. Tapi biasanya pria itu melewatinya dengan baik tanpa harus terlibat hubungan di luar pekerjaan para wanita itu.
Mereka hanya akan menemani dirinya makan dan minum, atau sesekali mengobrol. Lalu setelahnya semua selesai begitu saja tanpa meninggalkan bekas apapun dalam benak maupun fisiknya.
Tapi malam itu Hartono melakukan kesalahan fatal. Ia memiliki ketertarikan pada salah satu wanita yang ditugaskan untuk menemaninya minum. Wanita cantik bernama Mia, wanita muda berusia 26 tahun yang berhasil menarik atensinya.
**
“Bapak mau apa datang kemari?” Mia bertanya dengan mata yang menyorot cemas, menatap penuh kekhawatiran pada sosok pria dewasa yang berdiri di depan pintu rumahnya dalam keadaan basah kuyup.
Rumah Mia berada di dalam gang sempit yang mengharuskan mobil Hartono berhenti di dekat gang. Ia menerobos malam yang ditemani hujan deras demi bertemu dengan wanita itu.
“Aku perlu bicara denganmu.” ucap Hartono penuh harap.
Ia sudah susah payah mencari keberadaan Mia yang menghilang setelah malam itu. Dan ketika dirinya mendapatkan alamat sang wanita, Hartono tidak menunda waktu lagi untuk menemuinya dengan secuil harapan jika Mia mau berbicara dengannya.
Mia menggigit bibir bawahnya tanda kegamangan. Ia melirik dengan ragu pria awal 50 tahunan itu yang sialnya masih sangat memikat di kedua retina matanya.
“Kalau begitu, silakan masuk.”
Dan pada akhirnya Mia kalah karena rasa kasihan. Ia tidak tega membiarkan Hartono meninggalkan rumahnya dalam keadaan tubuh kedinginan seperti itu.
Mia mengajak pria itu masuk lebih dalam ke bagian rumahnya yang sederhana. Ia menyuruh Hartono untuk duduk di atas sofa bututnya, sementara dirinya pergi untuk mengambil handuk dan pakaian ganti.
Dirinya masih memiliki beberapa pakaian bekas almarhum ayahnya, dan ia berniat untuk memberikan itu pada Hartono agar pria itu tidak lagi memakai pakaian basah.
“Lebih baik anda mengganti pakaian, takutnya nanti masuk angin.” ucap Mia seraya menyodorkan kemeja dan celana panjang milik mendiang ayahnya pada Hartono.
Pria itu meski ragu namun tetap menerima semua kebaikan dari Mia. Ia lantas pergi ke kamar mandi untuk berganti pakaian.
Sementara itu Mia memutuskan untuk pergi ke dapur dan membuatkan teh hangat untuk Hartono.
“Padahal sudah satu bulan berlalu. Tapi aku masih mengingat bagaimana sentuhan pria itu di tubuhku.” gumam Mia.
Wanita itu tidak bisa mengenyahkan segala memori akan kejadian malam itu. Saat ia dengan kesadaran penuh menyerahkan kesuciannya pada Hartono, pria yang merupakan seorang suami dari wanita lain.
Mia merasakan jantungnya kembali berdebar kencang tatkala ia mengingat tiap detail kejadiannya. Darahnya berdesir hebat hingga menjalar pada jantung hatinya dan memompanya dengan cepat.
Ia masih terbayang bagaimana Hartono menyentuhnya dengan panas dan sensual dan berhasil membuat Mia terbang tinggi melebihi angannya.
“Aku bisa kembali gila jika terus-terusan mengingatnya.” Mia menggerutu kesal pada isi kepalanya saat ini. Karena tidak ingin kembali terbuai dalam angannnya yang dipenuhi oleh Hartono. Mia memutuskan untuk mengakhiri kegiatannya dalam meracik teh dan kembali ke ruang tamu.
Di sana Hartono sudah duduk dengan tenang setelah berganti pakaian. Meski pria itu mengenakan pakaian murah, tapi tidak juga membuatnya terlihat seperti orang biasa. Karisma yang dimiliki Hartono benar-benar kuat dan juga mahal.
“Apa aku merepotkanmu?” tanya Hartono merasa tidak karuan dengan sikap Mia yang terlihat repot karenanya.
Wanita itu menggeleng cepat seraya mengurai senyum manisnya, “Tidak sama sekali.” balas Mia setelah meletakkan teh panas di depan Hartono.
Keduanya mulai diam dan larut dalam pemikiran masing-masing. Di luar masih hujan deras, hingga suara yang melatar belakangi suasana saat ini adalah suara hujan yang jatuh mengenai genteng rumah Mia.
“Aku terkejut saat tahu kau berhenti bekerja dan menghilang begitu saja.” Hartono mulai berkata dan memecah keheningan yang membelenggu keduanya.
“Sehingga aku berpikir jika yang kau lakukan itu semata-mata untuk menghindariku.” lanjut pria itu.
Mia terdiam sementara kedua tangannya saling meremas satu sama lain guna menyalurkan kegugupan yang dirasakannya. Sebenarnya ucapan Hartono barusan adalah kenyataan. Dirinya berhenti kerja karena memang ingin menghindar dari pria itu.
“Aku takut terjerumus semakin dalam pada hubungan seperti itu.” ungkap Mia berusaha jujur.
Hartono mengangguk paham, “Aku mengerti.”
“Tapi rasanya aku justru menjadi gila karena tidak bisa bertemu denganmu lagi.” Mia sontak saja menoleh pada Hartono, kaget mendengar penuturan pria itu.
“Jujur, aku tidak bisa mengenyahkan segala bayangan tentang dirimu sejak malam itu.” ungkapnya lagi.
Mia menatap pria itu semakin cemas. Kenapa Hartono bisa merasakan hal yang serupa dengan dirinya. Dan ia sadar jika hal tersebut merupakan awal yang tidak baik bagi keduanya.
“Bagaimana denganmu?” Hartono bertanya dengan penuh harap, ia sangat berharap jika Mia merasakan hal yang sama dengannya.
Namun meski Mia tidak merasakan apa yang ia rasakan saat ini, Hartono akan menerimanya dengan lapang dada. Yang terpenting dirinya mengungkapkan segala resah di hatinya tentang Mia pada wanita itu.
Mia menghela nafas pelan, ia menatap dalam pada Hartono. Dirinya kembali terjerat dalam kedua obsidian hitam milik Hartono. Membuatnya bagai terhisap ke dalam lubang hitam lewat kedua mata pria itu.
“Inginnya saya tidak merasakan hal yang sama.” Mia berucap dengan pelan namun pasti.
“Tapi ternyata justru sebaliknya.”
..
Mia sepenuhnya sadar jika menjalin hubungan dengan pria yang telah beristri adalah sebuah kesalahan besar. Tapi dirinya tidak bisa melawan gejolak perasaannya yang membuncah terhadap Hartono.
Pria itu benar-benar sosok orang yang ia nantikan sejak lama. yang dapat memberinya cinta, perhatian serta kasih sayang. Dan Mia benar-benar terbuai oleh semua perlakuan Hartono padanya.
Maka dari itu saat Hartono mengutarakan perihal apa yang dirasakan oleh pria itu, Mia juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri jika ia pun merasakan hal yang sama.
Sehingga keduanya memutuskan untuk mengulang keindahan yang sama seperti malam itu. Dengan berbagi sentuhan dan kehangatan yang akan membawa mereka pada kenikmatan yang siap keduanya teguk.
“Ah— Ah!”
Mia menempelkan permukaan mulutnya pada bantal yang ada di dekat wajahnya guna meredam suaranya. Ia masih belum terbiasa dengan suara-suara yang terdengar nakal di telinga, saat tubuhnya tengah diacak-acak oleh Hartono.
Pria itu berada di belakangnya, memeluk dirinya dengan erat sementara milik pria itu yang keras menumbuk bagian bawah tubuhnya dengan kuat dan cepat.
Mia tidak habis pikir dengan Hartono. Padahal usianya sudah menginjak kepala lima, tapi staminanya di atas ranjang masih terbilang sangat besar. Belum lagi milik pria itu yang besar dan keras, menambah nilai tambahan dari dirinya.
Mia tidak ragu menyebut Hartono sebagai pria paruh baya yang perkasa.
“Bagaimana rasanya?” Hartono berbisik tepat di dekat telinga Mia. Suaranya yang terdengar serak dan berat membuat Mia semakin menggila.
Mia ingin sekali menjawab pertanyaan tersebut, tapi ia tidak bisa. Jangankan berucap, untuk sekedar menarik nafas saja ia sudah kesulitan. Walaupun mulutnya terbuka, mungkin yang akan keluar hanyalah racauan dan ******* semata.
Ia benar-benar dibuat bungkam. Tubuhnya sangat menikmati setiap sentuhan Hartono. Membuatnya mabuk kepayang hingga pikirannya saat ini benar-benar kosong. Bahkan ketika pria itu menumpahkan semennya di dalam rahimnya pun, Mia sudah tidak peduli.
Selain gagal sebagai seorang suami, Hartono juga gagal sebagai seorang Ayah. Ia berperan sebagai kepala rumah tangga, namun sepertinya sebutan itu tidak pantas ia terima.
Ia hanya bisa memerintah tanpa mampu memberi contoh. Dirinya juga tidak hangat untuk membuat anak maupun istrinya begitu nyaman berada di dekatnya.
Hartono terlalu kaku. terkadang kepribadian seperti itu membuat orang merasa segan meski untuk sekedar mengobrol.
Seperti Istrinya yang lebih memilih hanyut dalam dunianya sendiri, maupun putranya yang terlalu sibuk mempersiapkan diri untuk menjadi seorang pewaris. Terkadang hal itu membuat dirinya merasa kesepian.
Dan seharusnya Hartono mulai berbenah diri dengan mencoba memperbaiki keharmonisan rumah tangganya. Bukan malah memperburuk keadaan dengan berselingkuh.
Mau bagaimana lagi? Ia benar-benar dibuat jatuh hati dengan Mia, wanita muda tipe kelinci manis yang minta dilindungi dan disayang sepenuh hati.
**
“Kau bisa bilang jika tidak suka dengan interior untuk beberapa ruang di apartemen ini, maka aku akan merubahnya.”
Mia dibuat terpukau oleh penampakan isi apartemen barunya. Semua susunan perabot, warna dinding dan komponen lainnya begitu pas menurutnya.
Awalnya Mia berpikir jika tempat tinggal yang dimaksud Hartono adalah berupa rumah yang berada di sebuah perumahan biasa. Namun siapa sangka tempat tinggal yang dimaksud adalah apartemen mewah di kawasan elit.
Mia menggulirkan matanya guna menatap Hartono, pandangan yang terlihat penuh keraguan itu membuat sang pria kebingungan.
“Apa ini tidak apa-apa?” tanya Mia sangat pelan. “Tempat ini terlalu bagus untukku.” ujarnya lalu menunduk.
Meski hubungan keduanya telah terjalin selama lebih dari dua bulan, namun Mia tetap tidak bisa leluasa bertingkah di depan Hartono. Seperti ada dinding tebal yang membatasi dirinya dengan pria itu.
Hartono hanya bisa menghela nafas mendengar penuturan Mia barusan. Menurutnya apa yang ia berikan pada wanita itu tidaklah berlebihan.
“Kau adalah wanitaku saat ini. Kau berhak mendapatkan semua fasilitas terbaik dariku.” balas Hartono.
Pria itu kemudian mengajak Mia untuk kembali melihat-lihat seluruh isi apartemen hingga keduanya kini berhenti di kamar.
“Ini kamarku?” tanya Mia sambil terkagum-kagum. Kamarnya saat ini 5 kali lipat lebih bagus dibandingkan kamarnya yang dulu.
Hartono tidak menjawab, pria itu malah melingkarkan kedua lengannya memeluk Mia dari belakang. Ia mengendus area leher sang wanita untuk membaui penciumannya dengan aroma milik wanita itu.
“Bagaimana? Kau suka?” tanya pria itu.
Mia tanpa sadar menganggukkan kepalanya dengan cepat, “Ini benar-benar cocok denganku.” jawabnya lembut.
Mia tersenyum malu-malu, “Terima kasih banyak.” bisiknya.
..
Hartono mulai merasa aneh dengan dirinya sendiri. Ia adalah orang yang pandai membawa diri. Pintar menahan emosi dan cukup baik dalam pengendalian diri.
Tapi semenjak bertemu dengan Mia, ia mulai kehilangan semua itu. Dirinya jadi tidak bisa mengendalikan perasaan serta hasratnya saat berdekatan dengan wanita itu. Membuatnya selalu ingin menyatukan diri dengan Mia hingga keduanya benar-benar puas.
Ia sangat yakin dirinya bukan seorang maniak. Tapi ternyata berhubungan badan dengan Mia membuatnya merasakan apa itu kecanduan. Dirinya tidak bisa menahan diri, dan sepenuhnya membiarkan hasrat naluriah miliknya mengambil peran dan mengendalikan tiap anggota tubuhnya.
“Mia— kau begitu cantik.” Mia merasa tersanjung mendengar pujian itu. Meski pria itu memuji dirinya saat sedang melakukan persetubuhan, tapi hal itu tidak mengurangi sedikit pun getaran romantis yang dirasakannya.
“Eungh——”
Mia tidak bisa menjawab, mulutnya hanya bisa mengeluarkan suara-suara yang malah membangkitkan gejolak api dalam gairah milik sang pria.
Hartono kembali memagut, meremas, dan menumbuk bagian bawah tubuh Mia lebih liar dibanding sebelumnya. Ia menyentuh tiap detail tubuh molek wanita itu.
Sementara itu, Mia yang menjadi pihak penerima hanya bisa pasrah sekaligus menikmati tiap sentuhan pria itu. Tubuhnya benar-benar terlena akan kenikmatan persetubuhan ini, hingga rasanya hampir membuat kepalanya meledak.
Apalagi ketika Hartono semakin mempercepat pergerakannya membuat dirinya tidak bisa berhenti untuk meracau dan mendesah. Sama halnya dengan pria itu yang beberapa kali memanggil namanya dengan nada memuja hingga keduanya sampai di puncak kenikmatan secara bersamaan.
**
Kedua mata Hartono seketika terbuka tatkala telinganya menangkap suara nyaring yang berasal dari ponselnya. Ia kembali memejamkan matanya guna mengusir rasa pusing di kepala gara-gara terbangun secara paksa.
Dan setelah memastikan jika dirinya benar-benar sadar. Penciumannya langsung disuguhi aroma shampo yang menguar dari rambut wanita yang saat ini tertidur di atas dadanya.
Meski dering ponsel miliknya cukup nyaring, tapi rupanya tidak serta-merta membuat tidur Mia terusik. Dan hal itu membuat Hartono lega karena takutnya suara ponselnya mengganggu tidur sang terkasih.
Dengan gerakan yang dibuat sehalus mungkin, dirinya meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidur. Mencoba membaca siapa gerangan yang meneleponnya dan ternyata orang itu adalah Sharon, Istrinya sendiri.
Karena tidak ingin membuat Istrinya bertanya-tanya yang akan membuat wanita itu curiga. Hartono lantas menelepon balik wanita itu.
“Maaf, aku tidak sengaja mengabaikan panggilan telepon darimu.” ia mulai beralasan sebelum Sharon meminta penjelasan kenapa dirinya telat menjawab panggilan telepon dari wanita itu.
“Kau di mana? Aku sedang berada di kantormu dan kau tidak ada.” balasan dari Sharon membuat Hartono terkejut.
Saking terlena akan kebersamaannya dengan Mia, sampai-sampai membuatnya lupa akan waktu.
“Fabian bilang kau pergi sejak pagi.” tukas Sharon lagi.
Hartono memaksa otaknya agar mau mencari alasan logis untuk ia berikan pada Sharon. Dan tidak membutuhkan waktu lama dirinya menemukan jawaban yang tepat.
“Aku baru saja selesai bertemu dengan Bramantyo. Kami membahas masalah Resort yang ada di Lombok.” tuturnya dengan tenang.
Helaan nafas terdengar dari sambungan teleponnya, ia menunggu dengan sabar pada apa yang akan diucapkan Sharon berikutnya.
“Aku ingin makan siang denganmu.” Sharon membalas kebohongan Hartono dengan pernyataan yang membuat pria itu tertegun. Pasalnya, sudah lama sekali wanita itu tidak mengajaknya makan siang bersama.
Tanpa sadar sudut bibirnya tertarik hingga membentuk seulas senyum nan tipis.
“Kau mau menungguku hingga beberapa menit? Aku akan segera kesana.” ucap Hartono yang kemudian dijawab ungkapan kesediaan Sharon untuk menunggunya.
Setelah selesai menelepon, Hartono baru menyadari jika Mia sudah membuka kedua matanya. Wanita itu bahkan mendongak ke arahnya sambil menatap dirinya.
“Istriku yang menelepon.” ucap Hartono lalu mengecup dahi Mia.
Wanita itu mengangguk singkat, berusaha meredam rasa tidak nyaman di hatinya gara-gara pria itu menyebut kata 'istri'.
“Aku harus pergi. Kau tidak apa-apa kan sendirian di sini?” tanya pria itu dengan sorot mata yang teduh.
Rasa-rasanya Mia mulai tidak tahu diri karena sedikit tidak rela jika pria itu akan meninggalkan dirinya saat ini. Namun ia hanya bisa memendam dalam hati, karena faktanya pria itu bukan miliknya seorang.
“Aku tidak apa-apa.” Mia menjawab dengan seulas senyum yang nampak dipaksakan.
Hartono tersenyum lega mendengarnya, ia kemudian mulai melepaskan tubuh Mia yang semula berada dalam rengkuhannya. Pria itu kembali menatap Mia dengan dalam, kemudian dielusnya sisi kepala wanita itu dengan lembut.
“Mulai sekarang, tinggalah di sini.”
“Karena tempat ini akan menjadi rumah singgah untukku.”
Menjadi wanita simpanan pria kaya ternyata cukup menyenangkan. Mia bisa mendapatkan apapun yang dinginkan tanpa harus bekerja keras seperti dulu.
Mia hanya perlu berdiam diri di apartemen saat Hartono ingin bertemu. Dan dirinya hanya perlu bersikap manis juga patuh agar pria itu senang dan semakin menyayanginya.
Sangat jauh berbeda dengan kehidupannya yang dulu. Untuk bertahan hidup saja dirinya harus melakukan banyak pekerjaan. Bahkan upah yang didapatkannya pun tidak seberapa.
Tapi lihat dirinya sekarang? Uang dan barang-barang mewah seolah jadi makanan sehari-hari baginya, karena Hartono benar-benar memanjakan wanita simpanannya.
Selain mendapatkan kemewahan, Mia juga mendapatkan cinta dan kasih sayang dari pria itu meski semuanya terbalut oleh nafsu.
Seperti saat ini, Mia pergi untuk melakukan perawatan wajah dan tubuhnya. Ia harus bisa mempertahankan penampilannya agar tetap memikat, karena itu adalah aset untuknya.
Setelah melakukan serangkaian perawatan, Mia pun pergi ke pusat perbelanjaan untuk melihat-lihat. Ia sebenarnya bukan tipe wanita yang gila belanja, namun bukan berarti dirinya tidak tergoda untuk berbelanja.
Ia melipir ke restoran Jepang untuk mengisi perutnya sebelum melanjutkan perjalanan dalam memuaskan hasrat belanjanya. Namun siapa sangka di restoran itu dirinya bertemu dengan Hartono.
Rupanya pria itu sedang makan bersama dengan seorang lelaki yang tidak dikenalnya. Namun Mia menduga jika lelaki tampan itu adalah putra Hartono sendiri, karena nampaknya lelaki itu seumuran dengannya.
Mia berusaha acuh dan pura-pura tidak mengenal Hartono. Begitu pula dengan pria itu yang bersikap biasa seolah-olah tidak merasa terganggu dengan kehadirannya.
Ia lantas memesan makanan saat seorang pramusaji menghampiri mejanya.
[Makan yang banyak]
Sebuah pesan teks masuk ke ponsel Mia, dan ternyata itu adalah pesan dari Hartono. Mia mengulum senyumnya, ia tidak menyangka jika pria itu masih bisa mencuri kesempatan untuk mengirimnya pesan singkat.
Dengan lincah Mia mengetik balasan untuk Hartono tanpa memudarkan senyum manisnya, [Akan aku lakukan].
Setelah itu perhatiannya teralihkan dengan kedatangan makanan yang ia pesan. Mia mulai mengabaikan ponselnya yang kembali berbunyi, dan fokus untuk menyantap makanannya.
Ia tahu kalau Hartono akan mengerti kenapa dirinya mengabaikan pesan dari. Pria itu.
..
“Tadi itu putramu?” Mia bertanya saat dirinya barusaja memasuki mobil Hartono.
Tadi setelah dirinya selesai makan, ia mendapat pesan kalau Hartono akan menunggu di basement. Pria itu berniat mengantar Mia pulang.
“Bagaimana kau tahu?” pria itu balik bertanya. Dan kemudian Mia tersenyum tipis sebelum menjawab pertanyaan dari Hartono.
“Hanya menebak saja.”
“Schatz, aku merindukanmu.” ucap Mia tanpa rasa canggung. kini perasaan seperti itu tidak lagi ada. Mia benar-benar merasa bebas bertingkah apapun di depan Hartono.
Pria itu menatap tajam selingkuhannya dengan kedua obsidian hitamnya yang pekat. Tanpa berkata apa-apa Hartono menarik tengkuk Mia dan memagut bibir wanita itu.
Hartono ********** dengan lembut namun penuh penekanan. Apa yang dilakukannya saat ini adalah bentuk jawaban dari pertanyaan Mia barusan, menandakan jika dirinya juga merindukan wanita itu. Mia meremas bagian depan kemeja Hartono dan membuat pria itu tersadar jika mereka masih berada di area basement.
“Maaf, lagi-lagi aku tidak bisa menahan diri.” tutur Hartono membuat Mia tersipu malu.
“Tidak apa-apa, aku memakluminya.” balas Mia.
Setelah itu Hartono mulai melajukan mobilnya menuju apartemen Mia.
**
Mia berdiri di depan meja counter seraya berpikir keras. Ia tengah memikirkan tentang masakan apa yang harus dirinya buat.
Tadinya ia tidak berniat untuk memasak, namun karena Hartono akan menginap malam ini, Mia jadi ingin memasak makan malam untuk pria itu.
“Aku mencarimu,” tiba-tiba saja Hartono datang menghampiri Mia dan pria itu memeluk wanitanya dari belakang.
“Kenapa?” tanya pria itu yang menyadari kebingungan dalam diri Mia.
“Aku ingin membuatkan makanan untukmu, tapi bingung harus membuat apa.” ungkap Mia.
Hartono tersenyum tipis, ia merasa tersentuh dengan niat Mia. Maklum saja, itu karena dirinya tidak pernah mendapatkan sesuatu yang seperti itu dari istrinya. Bukan bermaksud membandingkan, hanya saja kenyataannya memang seperti itu.
“Aku akan makan apa saja asal itu buatan tanganmu.” ujar Hartono lalu mengecup pipi Mia dan menciptakan semburat merah muda di pipi wanita itu.
Karena pria itu sudah berkata demikian, Mia lantas memutuskan untuk membuat masakan rumahan yang dulu biasa ia buat untuk ayah dan ibunya.
Hartono duduk di kursi bar sambil memperhatikan Mia memasak. Ia sebenarnya ingin membantu, tapi wanita itu melarang dengan tegas.
Pria itu merasa takjub dengan Mia yang begitu lincah mengerjakan ini dan itu. Seolah-olah hal itu memang sudah biasa bagi wanita itu. Atau tebakannya memang benar? Jika mengingat bagaimana kehidupan wanita itu sebelumnya.
Dan tanpa terasa masakan Mia akhirnya selesai tersaji di atas meja counter.
Mia memandangi hasil masakannya dengan ragu. Ia memasak makanan sederhana seperti sayur asam dan juga tempe, tahu goreng. Takutnya jika Hartono tidak terbiasa memakan makanan seperti itu.
“Kenapa wajahmu seperti itu?” tanya pria itu sambil tangannya piring dan menyendokkan nasi di atasnya.
“Aku ragu kamu akan menyukainya.” ujar Mia sedikit menyesal.
Hartono tidak menjawab, pria itu memilih untuk menyantap masakan yang sudah susah payah wanita itu buat. Dan ia tersenyum tipis saat lidahnya merasakan betapa enaknya masakan Mia.
“Ini enak, kau pandai memasak rupanya.” Hartono memuji secara langsung dan hal itu membuat Mia dapat tersenyum lega.
Ia kemudian ikut bergabung dengan pria itu dan mulai menyantap makan malam bersama. Makan malam ini memiliki makna tersendiri bagi Hartono. Masakan yang dibuat dengan sepenuh hati ini benar-benar menawan hatinya yang hampa akan kehangatan tangan seorang istri.
..
Mia duduk sambil menyandarkan punggungnya ke belakang, tepatnya pada dada bidang milik Hartono. Wanita itu membiarkan sang pria merengkuhnya, mencoba menyalurkan rasa hangat dan juga nyaman yang ia damba.
Ia tidak berbohong, berada dalam rengkuhan Hartono membuatnya sangat nyaman dan terbuai.
Mia memegangi telapak tangan Hartono yang berada di perutnya, ia mengusap jari-jemari pria itu dengan lembut. Dan dirinya baru sadar kalau Hartono tidak memakai cincin pernikahannya.
“Di mana cincin pernikahanmu?” tanya Mia penasaran.
“Aku menyimpannya.” jawab pria itu singkat.
Mia mengulum senyum, ia berpikir jika Hartono melakukan itu karena ingin menjaga perasaannya. Ada kebanggaan tersendiri bagi Mia jika seandainya apa yang dipikirkannya barusan memang benar.
“Aku tidak berani memakainya saat sedang bersamamu.” ujar pria itu lagi.
“Kenapa?” tanya Mia.
“Karena kau merasa sangat berdosa pada istriku.” jawab Hartono dalam hati.
Hartono tidak langsung menjawab, pria itu malah membenamkan wajahnya pada perpotongan leher Mia. Ia menghirup aroma wanita itu, lalu mengecup kulitnya dengan lembut.
Mia merasakan tubuhnya mulai memberi reaksi, ia bergerak gelisah dengan nafas yang mulai tidak beraturan. Hal itu justru membuat Hartono semakin gencar menciumi permukaan leher dan tengkuk milik Mia. dan terkadang pria itu juga menggigit kecil beberapa bagian di sana hingga menimbulkan ruam kemerahan pada kulit Mia.
“Aku suka aroma tubuhmu.” bisik Hartono kembali membuat Mia tersipu malu.
“Harum dan memabukkan.” lanjutnya.
Mia mengulum senyumnya lalu meraih tangan sang pria yang tadi melingkar di perutnya. Kemudian dirinya mengecup telapak tangan Hartono.
“Mana yang lebih kamu sukai?”
“Tubuhku atau aromanya?”
Pertanyaan Mia menciptakan seulas senyum tipis yang terpatri di wajah Hartono. Pria itu kembali mendekatkan bibirnya di dekat telinga Mia, lalu berbisik, “Aku suka semuanya.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!