[Malang 199**6**]
Gadis itu melangkah santai di keramaian jalanan kompleks yayasan, membaur dengan pengguna jalan yang lain, hendak pergi ke sekolah. Hari ini adalah hari pertama tahun ajaran baru dimulai, hari ini juga merupakan hari pertamanya resmi menjadi siswa SMK HARAPAN MULIA, MALANG.
Bus-bus yayasan berdatangan, mengantar anak-anak berkebutuhan khusus yang tinggal di asrama luar untuk bersekolah di dalam kompleks. Hal seperti ini sudah pemandangan biasa, tetapi adegan para siswa SMK putra berebutan turun dari salah satu bus, itu baru pemandangan langka. Karena seharusnya siswa putra tidak bersekolah di kompleks yayasan, mereka memiliki gedung sekolah sendiri di daerah Sawojajar.
"Yudith!"
Gadis itu terlonjak hingga melompat ke tepi jalan dan hampir terperosok ke got. "Astaga, Vero." Dia kaget sampai dadanya berdebar-debar, tetapi yang terlontar dari mulutnya bukan seruan, melainkan hanya gumaman.
Gadis berkerudung putih mengenakan baju panjang mirip jubah yang barusan mengagetkan Yudith, tergelak-gelak sambil memegang perut. Namanya Vero, statusnya adalah aspiran, yaitu calon biarawati. Sementara Yudith hanya siswi biasa.
"Yudith, Vero, sini!" Seorang perempuan dewasa berbadan tambun, berkerudung putih, memanggil mereka.
"Iya, Suster Davince, kami datang!" Suster Vero menyahuti lantang dengan suara bernada, seperti menyanyi, tetapi terdengar konyol.
Yudith tidak berkutik ditarik paksa oleh Suster Vero, mau tidak mau melangkah cepat untuk mengimbangi langkah sahabatnya. Suster Vero memang tipe orang yang ceria dan ramai, juga sangat percaya diri. Berbanding terbalik dengan Yudith yang tidak banyak bicara dan lebih suka menyendiri berteman buku.
"Kalian ke depan, bantu petugas piket pintu mengantar anak putra ke aula."
Perintah sudah dikumandangkan bahkan selagi mereka masih di jarak yang cukup jauh, akhirnya Suster Vero pun langsung menarik Yudith melewati kepala sekolah begitu saja.
Alih-alih lewat pintu gerbang, Suster Vero mengajak Yudith mengambil jalan pintas menerobos kantor. Suster kepala sekolah sampai geleng-geleng melihat kelakuan mereka, lebih tepatnya kelakuan Suster Vero.
"Mohon perhatian semuanya!"
Suster Vero sudah berkoar, bahkan sebelum kakinya melangkah keluar dari pintu kantor. Yudith langsung menyentak tangannya.
"Pelan," bisik gadis berambut pendek sedagu itu.
Langkah Suster Vero seketika melambat, lalu berujar jenaka, "Ups, benar juga. Harusnya jaga wibawa, ya. Lupa kalau lagi pake seragam biarawati" Setelah itu terkikik konyol, sedangkan Yudith hanya tak acuh.
"Selamat pagi, Suster Vero! Selamat pagi Yudith!"
Beberapa siswa memberi salam. Alih-alih membalas, Suster Vero dan Yudith malah membeku. Heran, bagaimana mereka bisa tahu nama, padahal kan belum kenalan.
Seorang siswa maju lalu mengulurkan tangan pada Yudith. "Kenalan ...."
Gadis itu hanya menatap remaja putra yang tengah tersenyum padanya. Rambut lurus yang bagian depan menutup dahi, membuat remaja putra itu terlihat berbeda karena yang lain rata-rata berambut ikal atau keriting, bahkan ada beberapa yang plontos.
Dari wajah, pandangan Yudith turun ke baju seragam dan langsung mendapati name tag, Andreas Purnama. Nama yang dibordirkan pada baju dengan benang hitam di bagian dada sebelah kanan itu memang cukup tebal. Bisa dibaca dari jarak mereka sekarang ini.
"Andreas Purnama," ujar Yudith tanpa menyambut uluran tangan Andreas. Suara datar dan tatapannya terpaku acuh tak acuh.
Tawa para siswa lain tiba-tiba pecah. Bahkan banyak celetukan-celetukan menggoda Andreas. Mengatainya playboy modus basi!"
Terlalu berisik dan menarik banyak perhatian, Suster Vero segera menghentikan mereka, "Aduh, kalian ini berisik sekali, sudah cukup. Ayo, ke aula."
Suster Vero segera mengatur para siswa yang jumlahnya kira-kira dua puluh orang, lalu memandu mereka menuju aula.
"Kamu kenapa enggak jalan?" Yudith bertanya sambil mengernyitkan dahi.
Nada bicaranya seperti tidak bersahabat, padahal sebenarnya tidak begitu. Dia jarang bicara dan sekali ngomong wajar saja nadanya kaku, dingin, tak acuh---masih banyak deskripsi lain dan semuanya berpotensi memancing persepsi buruk. Dia juga tidak luwes dalam bergaul.
"Lah, harusnya kamu yang mengajak aku jalan, dong. Kan, tugasmu sebagai penunjuk jalan." Kedua alis Andreas yang hampir tertutup poni itu naik turun jahil dan bibirnya tersenyum tipis.
Tidak tertarik melihat Andreas yang kini mulai cengar-cengir, Yudith bergegas melangkah tanpa mengajaknya. Toh, akhirnya Andreas mengekor juga.
Bagi seluruh siswa baru, diharapkan segera berkumpul di aula untuk pembagian kelompok tugas kunjungan! Sekali lagi, bagi seluruh siswa baru ....
Pengumuman dari pengeras suara memaksa para siswa-siswi yang tadinya berjalan santai seketika melebarkan langkah.
Yudith dan Andreas, melangkah seperti sedang berkejaran melewati jalan beraspal yang bagian kirinya terdapat meja dan kursi berbahan batu pualam ditata menyerupai tempat makan di restoran, sedangkan di sebelah kanan adalah bangunan sekolah PLB berbentuk huruf U dengan lapangan upacara di bagian tengahnya.
Suasana kompleks pagi ini luar biasa ramai. Dan yang paling menarik perhatian adalah kelakuan para siswi SMK. Namanya juga anak asrama yang mana antara putra dan putri tinggal dan bersekolah di tempat terpisah, kesempatan berkumpul hari ini layaknya ajang tebar pesona bagi mereka.
Banyak siswi yang biasanya berjalan serampangan, kini mendadak melangkah bak kucing baru beranak. Ada juga yang berkali-kali merapikan rambut atau roknya.
Yudith muncul bersama Andreas, hampir semua mata para siswi tertuju padanya, menatap sinis. Bisa dimaklumi kalau mereka iri.
Mereka sudah berusaha menarik perhatian, tetapi hasilnya nihil. Para siswa itu hanya tebar senyum sambil terus melangkah ke aula. Sedangkan Yudith, gadis yang menurut mereka biasa saja, malah berjalan bersisian dengan siswa yang tidak bisa dibilang jelek.
Andreas Purnama yang melangkah beriringan dengan Yudith itu ganteng manis, tubuhnya tidak terlalu tinggi tetapi tegap, hidung mancung yang bagian ujungnya sedikit mirip paruh burung betet menimbulkan kesan unik pada wajahnya---sekilas mirip orang India.
Akan tetapi, kedua ujung mata yang runcing seperti sedikit tertarik malah menimbulkan kesan sipit seperti orang Tionghoa. Bibirnya tidak tertarik sedikit pun, tetapi entah bagaimana bisa terlihat seperti selalu tersenyum. Perpaduan yang tampak unik.
"Astaga! Si sok rajin tukang ngempe itu ternyata juga kegatelan. Cuih, dasar lon." (*****)
"Kelihatannya saja alim. Dasar munafik."
Sangat tidak mungkin tidak mendengar ujaran kedua siswi itu. Andreas bahkan sempat mengerling ke arah Yudith untuk melihat reaksinya. Mengejutkan, ternyata gadis itu cuek saja.
Garis wajah Yudith itu tegas terkesan runcing dan dari cara bicaranya, Andreas menduga gadis itu galak atau paling tidak judes. Pikirnya, setelah mendengar ujaran tidak patut itu Yudith akan marah atau malah mengamuk, tetapi ternyata tidak.
Gadis aneh. Diajak bicara baik-baik jawabannya sengak. Eh, giliran dihina malah diam saja. Tanpa sadar Andreas menggeleng samar, miris.
Kedatangan Yudith dan Andreas menyita perhatian hampir seluruh siswa-siswi yang sudah duduk di kursi aula. Banyak kasak-kusuk tidak menyenangkan tentang Yudith terdengar oleh Andreas.
Ngempe. Kata itu sangat sering disebut. Andreas yang tahu kalau arti kata itu adalah suka mengadu, suka cari muka pada orang yang berkuasa, merasa penasaran. Apa benar gadis yang kelihatannya berkepribadian kuat ini tukang ngempe?
"Yudith! Sini lo!"
Seorang siswi berperawakan tinggi, berkacamata, melambaikan tangan. Yudith bergegas menghampiri, lupa pada Andreas yang masih mengekor.
Gadis itu berjalan menyelip di antara kursi-kursi yang sudah berpenghuni diiringi tatapan sinis para siswi. Dia benar-benar cuek, seperti tidak menganggap mereka ada. Ketika hendak duduk dan melihat Andreas, matanya langsung melebar.
"Kamu kenapa di sini?"
"Mau duduk." Sembari bicara, Andreas menyamankan diri di kursi sebelah kursi yang akan diduduki Yudith.
"Hai, gue Ririsma."
Yudith mau tidak mau harus duduk karena Ririsma, teman yang tadi memanggilnya, mengulurkan tangan pada Andreas melewati dirinya.
"Andreas."
Karena suasana sangat gaduh, Ririsma yang hendak mengobrol dengan Andreas terpaksa mencondongkan tubuh melewati Yudith.
"Eh, lo berani banget duduk di antara cewek. Enggak takut kena marah, lo?"
"Huh?"
Andreas serta-merta menegakkan badan, sedikit memanjangkan leher untuk melihat sekitar. Astaga! Pantas saja dia merasa semua mata tertuju padanya, ternyata itu bukan perasaan saja. Karena terus mengikuti Yudith, Andreas tidak sadar sudah memilih tempat yang salah.
"Woeeee! An, sini kau! Enak kali kau duduk sama para nona!"
Seorang siswa berambut cepak ala militer, berkulit cokelat gelap, melambaikan tangan. Teriakannya disambut gelak tawa seisi aula.
Andreas malu luar biasa. Dia menoleh ke Yudith. "Aku pindah ke sana, ya," ujarnya, tetapi tidak mendapat respons baik. Yudith hanya menatap datar. Akhirnya Andreas beralih pada Ririsma. "Ririsma, makasih sudah mengingatkan."
"Sip." Ririsma mengacungkan jempol. "Udah pergi sana, mumpung belum ada guru yang lihat."
Andreas membalas dengan isyarat lingkaran telunjuk dan jempol sembari beranjak. Meskipun tidak mendapat respons bagus, dia tetap mengembangkan senyum untuk Yudith saat mata mereka beradu pandang.
[Bersambung]
Setengah jam sebelum pelajaran pertama dimulai sudah berada di dalam kelas adalah salah satu kebiasaan Yudith.
Duduk sendirian di bangku urutan kedua dari belakang barisan tepi dekat jendela dengan kepala menunduk. Rambut pendeknya membingkai wajah serius yang sedang menyimak buku di atas meja.
Kedatangan dua teman sekelas tidak mengusiknya sama sekali. Mereka adalah kedua siswi yang waktu itu menggunjing Yudith, namanya Ratna dan Lody. Wajah Ratna tampak masam, mata mengerling Yudith sinis. Gadis berambut panjang sepunggung itu membanting tasnya di atas meja.
Niatnya ingin menarik perhatian Yudith, hendak memprovokasi, mau cari-cari perkara supaya punya alasan untuk melampiaskan kekesalan hati pada Yudith.
"Sudah senang satu kelompok sama Andreas. Eh, malah ada si tukang ngempe juga. Sial benar."
Itulah persoalannya. Ratna kesal karena harus satu kelompok tugas dengan Yudith. Yang lebih menyebalkan, Andreas yang juga satu kelompok dengan mereka cenderung memperhatikan Yudith alih-alih dirinya.
"Jangan-jangan, dia yang minta supaya bisa satu kelompok sama Andreas." Lodi menimpali, kemudian bibir tipis gadis itu tersenyum sinis.
Orang kalau sudah dibutakan oleh rasa benci, otak pun tidak lagi bisa berpikir rasional. Semua buruk, semua negatif di matanya. Namun, tidak semudah itu memprovokasi si ratu cuek ini. Yudith tetap tenang, tetap pada posisinya, bergeming bagai patung. Kalau bahunya tidak sesekali tampak bergerak saat menarik napas, gadis itu bisa dikira manekin.
"Kalian ini menyedihkan sekali."
Suster Vero datang. Melempar tatapan sinis sambil melangkah ke bangkunya di samping Yudith. Bahkan kehadiran sahabatnya pun tidak membuat Yudith mengalihkan fokus dari buku yang sedang dibaca.
"Daripada ngoceh enggak penting kayak gitu, mending baca buku pelajaran biar kalo ada ulangan mendadak enggak kelimpungan. Nilai jelek, nanti yang disalahkan Yudith juga. Kalian itu, jalan kesandung pun bakal Yudith yang disalahin."
Seandainya yang menegur bukan seorang calon suster kepercayaan suster kepala sekolah, Ratna dan Lodi pasti siap adu mulut sampai berbusa. Menyadari akan sangat berisiko bila bermasalah dengan orang macam Suster Vero, keduanya hanya membuang muka sembari berkomat-kamit tidak jelas.
Suster Vero mengembuskan napas kasar, menatap Yudith putus asa. "Kamu ini---"
"Selamat pagi," ucap Yudith sebelum Suster Vero memuntahkan unek-uneknya, pun tanpa mengalihkan pandangan dari novel misteri yang sedang dia tekuni.
Sekali lagi, Suster Vero mengembuskan napas kasar sembari membanting bokong di bangku. Mau bagaimana lagi? Seperti itulah Yudith. Entah kehidupan seperti apa yang sudah dia jalani dulu hingga terbangun sifat cuek luar biasa seperti ini. Kepribadian pun sangat kuat dan berkomitmen. Sepertinya, waktu satu bulan belum cukup untuk mengenal Yudith lebih dalam.
Saat jam istirahat, Yudith dan Suster Vero pergi ke kantin. Bukan untuk jajan, melainkan untuk membantu para suster petugas kantin melayani pembeli.
"Kamu mau beli apa, Dek?" tanya Yudith pada salah satu pembeli yang berdiri bertumpu pada dua kruk.
Di saat berhadapan dengan pelanggan yang kebanyakan adalah anak-anak PLB, SD, dan SMP, Yudith bisa menjelma menjadi sosok yang lebih luwes. Senyum senantiasa menghiasi wajahnya, sesekali gigi gingsul pun terlihat saat dia tersenyum lebih lebar.
Ratna menyeruak di antara kerumunan anak-anak yang sedang mengantre. Meskipun tidak suka, anak-anak itu tidak berani protes.
"Woe, Yudith! Buatin aku mi ayam dua!" Ratna berteriak, dagu terangkat dan cara bicaranya seperti majikan.
Memprovokasi Yudith di tempat umum sama saja dengan mempermalukan diri sendiri. Jangankan menanggapi, menoleh saja tidak. Dia tetap fokus melayani anak-anak yang sudah mengantre lebih dulu.
Ucapan terima kasih dari anak-anak yang sudah mendapatkan apa yang dibeli, membuat Ratna gusar luar biasa. "Woe! Kamu lihat aku ada di sini enggak, sih?"
Seorang suster petugas keluar dari ruang dalam sembari membawa nampan berisi dua mangkuk mi ayam yang harusnya untuk pembeli lain, tetapi demi kenyamanan dia berikan untuk Ratna terlebih dahulu.
"Dua mi ayam, kan? Ini ambil. Lain kali tolong lebih sopan. Dilihat anak-anak enggak pantas."
Wajah Ratna memerah. Menerima nampan sedikit kasar dan bergegas pergi tanpa sepatah kata pun.
"Dasar anak itu. Mentang-mentang keponakan Suster Angelin, kelakuannya barbar." Sembari menggumam, suster petugas kantin itu menggeleng miris.
Yudith menghampiri dan berkata, "Sepertinya Suster lupa meminta uang pembayaran dari Ratna."
"Astaga! Iya, bener ... aku lupa, Dith!"
"Biar aku saja yang minta." Suster Vero bergegas keluar.
Itulah Yudith. Untuk hal-hal yang menurutnya tidak penting, dia akan cuek saja meskipun melihat dan mendengar. Akan tetapi, jangan harap ketidakadilan atau kelalaian akan lolos dari perhatiannya walaupun dia terlihat tidak memantau.
Gara-gara hal itu juga banyak teman yang tidak menyukainya. Terlalu kaku dan taat aturan sama dengan membosankan dan menyebalkan. Kejadian tidak mengenakan terus membayangi langkah Yudith, seperti jerat setan yang hendak melilit lalu membinasakannya.
Masih menyimpan dendam atas kejadian di kantin, malamnya saat jam belajar, Ratna dan Lodi kembali berulah.
Yudith baru saja meletakkan lonceng, tadi dia pergunakan untuk mengundang seluruh siswi kelas satu yang tinggal di Wisma Flamboyan ini untuk memenuhi jadwal belajar, dimulai dari pukul delapan hingga pukul sembilan. Tiba-tiba Ratna menjerit histeris, mengatakan bahwa dia kehilangan uang.
"Yang benar aja lo? Jangan ngada-ngada, dech." Ririsma menatap dengan mata menyipit. Dia tahu betul temannya yang satu ini sangat suka mendramatisir keadaan.
"Ya, benerlah! Masa aku bohong? Lihat, nih, dompetku kosong!" Ratna bersungut-sungut sambil membuka lebar-lebar dompet warna merah mudanya.
Suasana ruang belajar jadi gaduh. Selama ini belum pernah ada yang mengeluh kehilangan uang atau apa pun, semua aman terkendali, rasanya aneh bila tiba-tiba ada yang berkoar kehilangan uang. Dan seperti biasanya, Yudith tidak turut dalam keributan. Dia tidak terusik dan terus menekuni buku pelajarannya.
"Ada apa ini ribut-ribut?"
Salah satu suster pengawas masuk dan mereka pun langsung berceloteh, semua ingin didengar, ingin menjadi yang terdepan memberi informasi, padahal kejadiannya juga masih abu-abu.
"Satu saja yang bicara!" Suasana seketika hening. "Siapa yang kehilangan uang?"
Sementara semua mata menatap Ratna dan mulut serempak menyebut namanya, Ririsma menghela napas bosan lalu menghampiri Yudith dan duduk di sebelahnya.
"Drama sekali." Gadis asal Jakarta itu bergumam, sembari mengambil buku dari tas lalu meletakkan kasar di atas meja. Sementara Yudith tetap bergeming seolah semua baik-baik saja.
"Tasku tadi ada di sini, yang masuk ke sini sebelum yang lain hanya Yudith!" Semua mata beralih menatap Yudith gara-gara ucapan Ratna.
"Kamu menuduh Yudith?" Dari nada suara, sepertinya suster ini sangsi kalau Yudith telah mencuri.
Yudith tetap santai dan cuek, tetapi Ririsma tidak. Gadis berkacamata itu tidak terima sahabatnya dituduh. "Jangan sembarangan nuduh lo! Gue selalu ada sama Yudith! Suster Olin jangan percaya omongannya!"
"Aku enggak sembarangan nuduh! Enggak mau tau, pokoknya aku mau semua tas dan laci meja diperiksa! Aku sudah mencatat nomor seri uangnya, satu lembar lima puluh ribuan!" Ratna berbicara seolah sudah sangat yakin kalau uangnya akan ditemukan di situ.
"Kembali ke tempat masing-masing dan letakkan tas di atas meja." Suster Olin memberi perintah. Matanya menatap tajam para gadis yang hiruk-pikuk mengeluarkan tas dari laci meja.
Sebenarnya, Suster Olin sudah merasa curiga kalau ini hanya akal-akalan Ratna. Dia menyetujui melakukan pemeriksaan hanya untuk menghindari keributan yang lebih besar.
Mau tidak mau, Yudith pun meninggalkan sejenak bukunya untuk mengeluarkan tas dari laci. Gadis itu tidak menyadari ada sesuatu yang jatuh saat dia menarik tasnya, tetapi Ririsma melihat. Sesuatu itu adalah selembar uang lima puluh ribu.
Tanpa pikir panjang Ririsma segera mengambil uang tersebut lalu meremasnya. Setelah sejenak mengedar pandangan dengan lirikan, di bawah meja, dia menyentil gumpalan kertas berharga itu. Entah mendarat di mana dia tidak mau tahu.
Selama sebulan berteman dengan Yudith, Ririsma hafal betul kalau gadis minim kata itu tidak pernah membawa uang ke mana-mana. Almari terkunci bagi Yudith adalah tempat yang paling aman.
Lagi pula, buat apa membawa uang kalau tidak pernah jajan pun. Jadi, dalam waktu yang super singkat dan hanya menilik dari kebiasaan Yudith, serta keyakinan bahwa Yudith tidak mungkin mencuri, otak encer Ririsma bisa menarik kesimpulan. Dia menduga, Ratna sedang mencoba memfitnah sahabatnya itu. Dasar jahat.
"Kenapa belum mulai belajar?" Suster Vero masuk sambil mengedar pandangan heran.
"Ratna kehilangan uang lima puluh ribu. Mau diadakan pemeriksaan." Suster Olin menjawab sembari meneliti selembar kertas yang diberikan oleh Ratna.
Langkah Suster Vero terhenti saat merasakan sesuatu yang mengganjal terinjak oleh kakinya. Dia mengangkat kaki untuk memeriksa, lalu memungut gumpalan kertas yang sudah gepeng karena tertekan. Perlahan dia mengurainya.
"Ini lembar uang lima puluh ribuan!"
"Hah?!" Ratna tercengang dan buru-buru menyongsong Suster Vero yang berjalan mendekat. "Coba lihat."
Sebelum Ratna berhasil mencomot lembaran kusut kertas berharga itu, Suster Olin sudah mendahului lalu mencocokkan nomor serinya.
"Cocok. Nih, uangmu." Suster Olin menyerahkan uang itu pada Ratna yang wajahnya terlihat masam alih-alih senang. "Minta maaf sama Yudith sana."
"Apa?!" Mata Ratna melebar, mulutnya pun menganga.
"Kenapa Ratna harus minta maaf sama Yudith?" Suster Vero menatap heran pada Yudith yang tengah asyik berkencan dengan bukunya.
"Tadi dia nuduh Yudith yang nyuri hanya gara-gara Yudith paling dulu masuk ruangan." Ririsma berseru kesal, matanya melirik tajam ke arah Ratna. "Padahal kan sama gue!"
Suster Vero menatap sinis pada Ratna. "Aku laporkan pada Suster Angelin baru tau rasa kamu. Sekarang minta maaf sama Yudith."
Sungguh salah langkah. Jebakan tidak kena sasaran, justru dia dipermalukan. Rasa-rasanya Ratna ingin berteriak memaki Suster Vero yang terus menatapnya.
Namun, menyadari situasi tidak akan menguntungkannya dan kalau dia terus berkeras hati, bisa-bisa Suster Vero benar-benar akan mengadu pada Suster Angelin, akhirnya Ratna melangkah menghampiri Yudith.
Yudith menatap datar pada Ratna yang berdiri di sampingnya. "Lupakan. Syukurlah uangnya enggak jadi hilang." Setelah itu dia kembali menunduk, menekuni bukunya.
Alih-alih lega karena sudah dimaafkan bahkan sebelum dia sempat meminta maaf, Ratna malah tampak gusar. Meninggalkan Yudith dengan langkah mengentak-entak.
[Bersambung]
Ruang belajar asrama putra ini begitu hening. Andreas yang diserahi tanggung jawab untuk menertibkan teman-temannya, tidak perlu melakukan apa-apa karena semua aman dan teratur, berjalan lancar dengan sendirinya.
Kalau dipikir-pikir tidak aneh mereka mampu menertibkan diri sendiri, alih-alih urakan seperti remaja pada umumnya. Tergolong remaja-remaja anti-mainstream pastinya pola pikir mereka pun tidak umum.
Banyak sekolah yang lebih bagus, tidak mengikat mereka untuk tinggal di asrama, tidak mengharuskan mereka melayani anak-anak berkebutuhan khusus, dan peraturan pun tidak ketat, tetapi saat para petugas promosi dari yayasan datang ke SMP mereka dan menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan SMK Mulia Harapan, remaja-remaja putra yang sekarang ada di ruangan ini tanpa ada paksaan bersedia mendaftar. Perlu diketahui juga bahwa 90% dari mereka tidak mengambil ikatan dinas, termasuk Andreas.
Remaja berparas manis itu duduk di bangku paling belakang bersama seorang teman berkulit cokelat gelap, rambut keriting halusnya dipotong cepak, namanya Fitus.
"Kau lagi buat apa? Tidak belajar malah lihat-lihat benda apa itu?"
Fitus melongok untuk melihat apa yang sedang dipandangi Andreas. Di tangan Andreas terdapat kalung berwarna hitam dengan liontin hati yang bisa dibuka. Andreas memperlihatkan benda tersebut pada Fitus.
"Coba lihat foto ini. Apa menurutmu mirip seseorang?"
Karena foto yang tersemat di dalam liontin hati sangat kecil, Fitus sampai mengangkatnya untuk mendapatkan penerangan lebih. Foto anak perempuan, rambutnya tidak sampai menyentuh bahu, kulit cokelat eksotis, dan senyum tipisnya terlihat sangat manis.
Masih sambil memandangi foto tersebut, dahi Fitus mengernyit, berpikir wajah anak perempuan itu sepertinya tidak asing.
"Ah!" Tiba-tiba dia berseru sambil memukul meja. Sontak saja suasana langsung gaduh karena yang lain---yang tadinya serius belajar dibuat kaget olehnya.
"Apa kau tu buat ribut-ribut?" Salah seorang teman menegurnya menggunakan aksen Nusa Tenggara Timur, daerah asal Fitus, padahal dia aslinya orang Jawa.
Hal itu sudah lumrah terjadi. Mereka berasal dari beberapa daerah, bahkan pulau yang berbeda. Jadi, sering saling menirukan logat, biasanya untuk lucu-lucuan dan mereka akan tergelak-gelak bila pelafalannya aneh.
Yayasan Mulia Harapan memiliki banyak cabang yang hampir merata di seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Jadi tidak heran bila siswa-siswinya ada yang berasal dari luar provinsi, bahkan luar pulau.
"Maaf, konco," ujar Fitus konyol, sembari melambaikan tangan.
Suara gelak tawa sejenak meramaikan ruang belajar, kemudian hening saat semua kembali menekuni bukunya masing-masing.
Andreas mengambil kembali kalungnya dari tangan Fitus. "Apa yang kamu pikirkan, tiba-tiba teriak begitu?"
"Yudith." Kali ini Fitus berbisik. "Jadi, kau sama dia sudah berteman? Dia dari Madiun juga?"
"Menurutku juga begitu." Andreas menyelipkan kalung itu di dalam sebuah buku, Alkitab.
"Kok, menurutmu?"
"Aku menemukan kalung ini di jalanan pasar. Lebih tepatnya aku melihat kalung ini jatuh dari tubuh anak perempuan, yang setelah aku pikir-pikir memang mirip Yudith. Waktu itu aku hanya melihat bagian belakangnya saja. Aku sempat mengejar mau mengembalikan kalung ini, tapi dia sudah naik mobil sama seorang pria. Mungkin ayahnya."
"Wah! Dan kau menyimpannya sampai sekarang. Membawanya ke sini pula."
Fitus bersiul pelan sembari menaik-turunkan kedua alisnya. Gara-gara itu Andreas memukul kepalanya menggunakan buku.
"Enggak sengaja kebawa karena selalu aku taruh di dalam Alkitab ini. Jarang baca Alkitab, jadi lupa kalau ada kalung di situ. Aku bawa ke sini juga karena ibuku yang maksa. Waktu pertama kali melihat Yudith, aku kaget. Enggak sadar langsung maju ngajak kenalan. Bersyukur sekali dulu kalung itu enggak aku buang."
"Patut bersyukur pula karena ibu kau memaksa membawa itu Alkitab. Siapa tau saja kalian berjodoh, kawan."
Andreas hanya tersenyum tipis. Rasanya sangat sulit dipercaya bila tidak mengalaminya sendiri. Peristiwa itu terjadi sudah sekitar satu tahun lebih. Walaupun ingatan sudah samar-samar karena memang tidak pernah menganggap kejadian itu spesial, tetapi dia masih ingat betul hari itu adalah hari Minggu. Kejadiannya sepulang dari gereja.
Dari arah belakang Andreas melihat anak gadis itu berjalan beriringan dengan seorang pria dewasa, membawa cukup banyak barang belanjaan. Tadinya dia tidak menaruh perhatian khusus, tetapi karena melihat ada sesuatu terjatuh dari anak gadis itu dan yang bersangkutan tidak menyadari, Andreas buru-buru mengambil benda yang ternyata sebuah kalung tali hitam berliontin hati, sebelum dipungut orang lain atau terinjak oleh pengguna jalan yang berlalu-lalang.
Dia bergegas mengejar si pemilik, tetapi sayangnya terlambat. Ketika dia baru muncul di ujung jalan, mobil yang dinaiki anak gadis itu sudah melaju.
Saat menyimpan kalung tersebut di dalam Alkitab yang selalu dia bawa bila ke gereja, pun tidak punya pikiran apa-apa. Ya, hanya mengikuti naluri saja. Bahkan setelah hari itu dia lupa, ingat lagi satu minggu kemudian ketika membawa Alkitab ke gereja lalu membuka liontin hatinya.
Pada waktu melihat foto yang ada di dalamnya, Andreas juga biasa saja. Dia menyimpannya kembali di dalam Alkitab, berhubung Alkitab tersebut dibungkus wadah yang ada ritsletingnya, kalung itu jadi aman di situ sampai sekarang.
"Fit." Andreas mencolek lengan Fitus yang sedang asyik mengerjakan tugas.
"Huh?" Fitus hanya melenguh tanpa menghentikan aktivitasnya.
"Jangan bilang siapa-siapa soal kalung ini."
"Kenapa?" Fitus yang tidak menganggap penting perkara kalung, hanya merespon dengan suara tanpa memberi muka.
"Pokoknya jangan bilang-bilang, titik!"
Fitus menghentikan aktivitasnya lalu menatap jahil. "Traktir makan bakso warung pojok langganan, ko. Tak bisa tanpa kompensasi, tugas berat jaga rahasia orang---"
Dia langsung membekap mulut saat Andreas kembali memukul kepalanya menggunakan gulungan buku tulis. Namun begitu, suara desisan memperingatkan seketika terdengar dari beberapa teman yang merasa terganggu.
Hari-hari dilalui para siswa-siswi SMK Harapan Mulia dengan belajar dan melayani---melayani anak-anak berkebutuhan khusus. Pagi sampai siang sekitar pukul dua, mereka sekolah. Setelah itu, istirahat sebentar lalu pukul empat sore harus pergi ke wisma anak-anak untuk menjalankan piket, hingga pukul enam.
Hari Sabtu, minggu pertama di bulan kedua setelah rutinitas sekolah dimulai, Yudith, Suster Vero, Andreas, Fitus, Ratna, yang tergabung dalam satu kelompok, mendapat tugas untuk membantu para perawat Wisma Hidrosefalus. Mereka melayani anak-anak berkebutuhan khusus berkepala besar yang hanya bisa berbaring saja.
Sementara Ratna yang selalu kepengin berdekatan dengan Andreas terlihat masygul karena bertugas di ruangan berbeda, Yudith yang tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada pemuda tampan itu malah sedang duduk di atas matras berhadapan dengannya.
Gadis manis itu menjadikan diri sebagai sandaran untuk salah satu anak berkepala besar. Kali ini dia tidak mengenakan seragam sekolah, tetapi seragam praktik berupa blus dan celana putih dilengkapi dengan kain kerudung putih mirip milik suster biarawati. Andreas pun mengenakan seragam yang sama. Remaja putra ini duduk di hadapan Yudith sambil memegangi tabel alphabet dan angka.
"Cahaya, ayo, coba tunjuk yang mana huruf M?" Andreas meraih tangan lemas anak itu, mencoba merasakan pergerakan yang sangat halus pada jari yang hendak menunjuk ke arah huruf M berada lalu membimbing untuk menyentuhnya.
Meski kondisi fisik tidak lebih baik dari yang lain, tetapi Cahaya menjadi satu-satunya anak dalam ruangan khusus penderita hidrosefalus yang masih bisa diajak berinteraksi.
"Cahaya memang pinter," puji Yudith, sukses membuat bibir bocah yang hampir tidak bisa menggerakkan kepala itu tersenyum lebar. Kelopak mata berbulu lentik berkedip cepat, mendorong cairan bening keluar dari sudut-sudut mata. Yudith segera mengelap menggunakan sapu tangan yang sedari tadi ada di sampingnya.
"Iya, donk, Bu Yudith. Siapa dulu gurunya?" Andreas mengerling Yudith sambil menaik-turunkan alis.
Sementara Cahaya tergelak-gelak dan Andreas terus melakukan banyak hal konyol pada wajah---tadinya dimaksudkan untuk menjahili Yudith pada akhirnya beralih untuk membuat Cahaya senang---Yudith hanya menatap datar.
"Cahaya, ayo, makan bubur dulu." Suster Vero masuk membawa mangkuk, Andreas seketika menghentikan aksinya. "Kamu ini, suka sekali godain Yudith." Suster Vero yang sudah sempat melihat kekonyolan Andreas, menegurnya.
"Cuma ingin ngajak ngobrol, Suster. Biar enggak sepi. Bosen, ngantok. Lagian aku godain Cahaya, lho, Sus. Bukan Yudith."
"Ish, kamu ini. Minggir!" Suster Vero menyepak Andreas, yang bersangkutan kembali bertingkah konyol dengan berpura-pura jatuh terguling.
Keakraban seperti ini sudah lazim terjadi. Tidak ada kecanggungan ataupun jarak meski status mereka adalah orang awam dan calon biarawati.
Yudith hanya diam, tidak mengacuhkan Andreas. Akhirnya, remaja putra itu beranjak dan pindah duduk di sofa panjang dekat pintu masuk. Lalu meraih buku milik Yudith yang sedari tadi ada di atas sofa. Misteri Cahaya di Puncak Menara, begitulah tertulis di sampul buku.
"Wah! Novel detektif. Punyamu ya, Dith? Aku pinjam, ya?"
"Enggak boleh," jawab Yudith singkat dan lugas.
Mengajak Yudith mengobrol itu sama saja seperti orang berjalan menyusuri gang buntu. Menabrak pembatas dan ... sudah. Diam di tempat atau balik arah.
Dengan orang yang tidak akrab, Yudith hanya akan memberi jawaban yang dibutuhkan, tanpa ada ekstra penjelasan ataupun sekadar basa-basi. Sejauh ini teman akrab Yudith hanya Suster Vero dan Ririsma.
"Andreas!" Seorang siswi berambut panjang dikucir ekor kuda muncul di pintu.
"Ada apa, Nur?"
"Tolong gantikan aku sebentar ... mau solat dulu."
"Oke, siap." Andreas bergegas bangkit dari sofa lalu ngeloyor pergi setelah berpamitan pada Yudith dan Suster Vero.
Meskipun yayasan ini merupakan yayasan Katolik, tetapi yang bersekolah maupun yang bekerja di situ beragam dan tidak ada larangan beribadah sesuai kepercayaan masing-masing.
Setelah beraktivitas, kisaran pukul satu siang, Yudith, Suster Vero, Andreas, dan Ratna, menikmati waktu istirahat dengan makan siang di kantin. Sebenarnya mereka mendapat jatah makan dari asrama, tetapi khusus hari ini ingin jajan.
Mereka duduk di bangku yang melingkari meja batu pualam bulat, di bawah pohon rindang bagian depan kompleks. Tepat di depan bangunan kantin yang saat ini lagi ramai pembeli.
Selagi yang lain lahap menikmati nasi pecel, Yudith malah asyik menulis. Makanannya diabaikan begitu saja.
"Makan dulu, Dith," Suster Vero menegur.
"Aku catat dulu hasil observasi Cahaya. Takut lupa. Oh, iya, Ver ... tadi Cahaya minum obat jam setengah dua belas, kan?"
"Iya. Kan aku yang kasih." Andreas yang menjawab. "Oh iya , kamu asal dari mana, Dith?" Andreas menatap Yudith intens meski yang ditatap tidak memberi respons.
"Saradan." Yudith tetap menunduk, fokus menulis.
"Lah, itu wilayah Madiun, kan? Aku dari Madiun kota, dekat alun-alun."
"Enggak pernah ke sana."
Benar-benar seperti menabrak pembatas tak kasatmata. Andreas pun langsung bungkam. Suster Vero terkekeh saat melihat Andreas menjatuhkan bahu dan memasang wajah bosan.
"Kamu sok banget, sih! Diajak ngomong baik-baik jawabnya gitu!" Rasa iri membuat Ratna jadi kesal.
Dia sudah berusaha setengah mati menarik perhatian Andreas, tetapi hasilnya nihil. Eh! Si wajah standard ini diperhatikan malah sok jual mahal. Siapa yang tidak kesal, coba?
"Kenapa kamu yang sewot?" Suster Vero berujar ketus.
"Suster, makan, Sus. Tuh dilarerin."
Andreas membanyol untuk menghentikan Ratna yang sudah hendak membalas. Mata gadis itu mendelik tajam. Dan satu-satunya yang tidak terpengaruh oleh situasi itu hanya Yudith.
[Bersambung]
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!