NovelToon NovelToon

TAKDIR CINTA KHADIJAH

BAB 1. KABAR DUKA

...Jika Alasan Menikah Muda Hanya Untuk Terhindar Dari Zina. Mengapa Tidak Mati Muda Saja Untuk Terhindar Dari Dosa....

...☘️...

Malang 2021.

Sebutan lain kota ini adalah kota bunga.

Kota Malang adalah sebuah kota yang terletak di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota ini terletak 90 km sebelah selatan Surabaya. Kota Malang sendiri merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya.

Malang merupakan salah satu kota di Indonesia dengan banyaknya destinasi wisata hingga tempat-tempat kuliner yang sangat terkenal. Menjadikan salah satu Kota terbesar di jawa timur ini dijuluki sebagai surga wisata.

Selain memiliki julukan yang sama dengan kota Bandung, yaitu Paris Van Oost Java (Paris di Timur Jawa), kota Malang juga dijuluki sebagai Switzerland van Java (Kota Swiss Eropa di Jawa).

Di sebuah sudut jalanan kota, Seorang gadis bercadar tengah berlari an di bawah gerimis yang mengguyur tubuhnya. Bukan sedang bermain atau bersenang-senang.

Dengan mata yang sudah berkaca-kaca gadis tersebut mencoba menguatkan hatinya, berharap jika yang baru saja dia dengar hanya mimpi belaka, Namun agaknya semua sangatlah nyata.

Air mata nya luruh begitu saja, tatkala mendengar sebuah kabar yang dia dengar, memberi tahu kan bahwa kedua orang tuanya telah tiada.

Khadijah.

Sosok gadis muda berusia 24 tahun, memiliki segudang talenta dan pesona dalam dirinya. Merupakan seorang Mahasiswa kedokteran yang tengah mengenyam pendidikan di kota Malang.

Kehidupan bahagia berubah tatkala cinta pertama dan separuh hati Khadijah berpulang pada Sang Maha Kuasa.

Harapan bisa membanggakan harus berakhir tatkala keduanya pergi untuk selamanya, salah satu tujuan dan alasan mengapa Khadijah kuliah kedokteran adalah karena kedua orang tuanya sangat mendukung dan menginginkan Khadijah menjadi Seorang Dokter. Agar kelak bisa bermanfaat bagi keluarga serta banyak orang diluar sana.

Dengan sisa tenaga yang masih ada, Khadijah mulai menyeka air mata nya, dan kembali berlari menuju terminal Bus kota Malang, tujuannya hanya satu Kota Jombang, Kota kelahirannya dan tempat dimana orang tuanya kini menunggunya.

Hancur hati Khadijah tatkala mengingat bagaiman dulu orang tuanya sangat berharap Khadijah akan menjadi sosok kebanggaan bagi keluarga.

Waktu menunjukan pukul 19.45

Sudut kota yang mulai sepi tidak menyurutkan niat gadis bercadar itu untuk segera sampai pada kota tujuannya, dan menemui orang tuanya, meski mungkin untuk yang terakhir kali.

Sejujurnya Khadijah tidak yakin jika masih akan ada kendaraan yang beroperasi hingga malam begini, Namun Khadijah yakin kekuatan Allah yang akan membantu nya.

Khadijah terus berusaha berlari sekuat tenaga. Meski dengan air mata yang terus membasahi pipi. Air mata Khadijah seakan tidak pernah ada habisnya, meski telah beberapa kali dia berusaha untuk menyeka dan menahannya. Hingga cadar yang dia kenakan telah basah karena Air mata.

Tinnn !!!

Sebuah klakson yang seketika mengagetkan Khadijah, hingga terpaksa Khadijah menghentikan langkahnya.

“Khadijah !!”

Sebuah mobil berhenti tepat di samping Khadijah berdiri. Jujur saja Khadijah tidak mengetahui siapa yang tengah berada di dalam nya, namun dari suara nya, Khadijah yakin jika itu merupakan seorang Pria.

Menyadari panggilan itu untuknya, Khadijah lantas bertanya.

“Maaf siapa ya?”

Sosok yang sebelumnya memanggil Khadijah pun keluar, dan kini benar-benar menampakkan diri nya, sekelebat wajahnya Khadijah tahu siapa laki-laki itu.

'Mas Dirga' Batin Khadiah

“Kamu mau kemana malam-malam begini?”

Khadijah masih terdiam dengan perasaan kalut nya, hingga beberapa kali sosok di hadapan nya mengulangi pertanyaan nya.

“Mau ke Jombang Mas Dirga”

Laki-laki yang Khadijah ketahui bernama Dirga, merupakan Senior di Fakultas yang sama, dan merupakan As Dos sekaligus Ketua BEM di kampus tempat Khadijah kuliah.

“Malam-malam begini ?”

Dirga tampak tidak percaya mendengar ucapan Khadijah, pasalnya jangankan pergi ke luar Kota, pergi ke Kampus saja jika sudah malam rasa-rasanya Khadijah pun enggan. Wanita Sholihah yang Dirga ketahui sangat menjaga kehormatannya.

Namun dari penuturan Khadijah, Dirga tahu jika telah terjadi sesuatu pada lawan bicaranya. Dan benar saja, Dirga menangkap sudut mata indah Khadijah melelehkan cairan bening disana.

“Masuklah aku akan mengantar mu”

Tidak ingin kembali bertanya, Sadar karena bisa jadi justru pertanyaan nya akan membuat Khadijah tidak nyaman. Lantas Dirga memilih untuk menawarkan diri mengantar Khadijah hingga ke tempat tujuannya.

“Tidak usah Mas, Khadijah bisa sendiri”

Tidak mungkin Khadijah menerima tawaran Dirga, sementara Khadijah sangat memegang teguh adab terhadap lawan jenis yang jelas bukan mahram nya.

"Malam begini ?. Kamu mau naik apa ?"

Sadar jika Khadijah akan kesulitan jika tetap kekeh menolak tawaran yang dia berikan.

“Percaya lah aku tidak akan macam-macam pada mu”

Dirga mencoba meyakinkan Khadijah. Selain karena iba juga mungkin saja karena alasan lain yang belum bisa Dirga katakana pada Khadijah.

Cukup lama Khadijah bergelut dengan pikiran nya, bukan tidak percaya hanya saja Khadijah cukup takut akan timbul fitnah diantar mereka.

“Apa tidak merepotkan ?”

Tanya Khadijah setelah benar-benar yakin dengan keputusannya.

Gelengan kepala menjadi jawaban Dirga atas pertanyaan Khadijah sebelumnya, dan Khadijah cukup lega melihatnya.

Khadijah tidak lagi memikirkan yang lainya, selain sat hal saja yaitu, segera sampai di tanah kelahiran nya.

Khadijah sendiri merasa sangat bersyukur karena pertolongan Allah selalu datang disaat yang tepat. Disaat Khadijah benar-benar membutuhkannya.

Berada dalam satu mobil Bersama seorang pria tentu membuat Khadijah merasa tidak nyaman rasanya, hingga keheningan mendominasi suasana diantara mereka.

‘Ehemmm’

Suasana sunyi seketika berganti tatkala Dirga berdehem begitu saja. Namun bukan kaget Khadijah hanya bereaksi biasa saja. Wajah yang selalu menundukkan pandanganya. 'Benar-benar istimewa' batin Dirga dalam hatinya.

“Maaf. Memangnya mau kemana kamu malam-malam begini”

Meski mencoba menahan pertanyaan nya, Namun rasa penasaran membuat Dirga kembali bertanya.

Dirga tahu jika Jombang merupakan tempat diaman Khadijah, namun yang tidak Dirga ketahui adalah alasan di balik kepulangan Khadijah yang tiba-tiba.

Mendengar pertanyaan laki-laki di sampingnya, sontak mata Khadijah kembali berkaca-kaca. Hingga helaan nafas menjadi pilihan Khadijah untuk menenangkan hatinya.

“Menemui bapak dan ibu Mas” Lirih Khadijah pada akhirnya.

Dirga lantas menautkan kedua alisnya, terlihat guratan halus di keningnya, jujur masih tidak habis pikir kenapa harus malam-malam begini, ‘batin Dirga’.

“Memang tidak bisa besok saja?”

Pertanyaan yang pada akhirnya keluar dari mulut laki-laki di samping Khadijah. Dan gelengan kepala menjadi jawaban Khadijah atas pertanyaan Dirga sebelumnya.

“Orang tua mu sakit ?”

Kembali Dirga melontarkan pertanyaan nya pada Khadijah.

“Bapak dan Ibu Dijah baru saja meninggal Mas"

"Innalilahiwainailahi Rojiun" Ucap Dirga tatkala mendengar kabar duka mengenai orang tua Khadijah.

Dirga dapat melihat kesedihan dimata Khadijah, air mata yang berusaha di tahannya tampak keluar dan kembali membanjiri wajah yang tertutup oleh cadar yang dia kenakan.

Dan setelah mengetahui semua, Dirga memilih untuk diam dan tidak lagi bertanya tentang apa pun pada Gadis di sampingnya.

Dirga jelas tahu jika Khadijah sangat membutuhkan ketenangan di hatinya.

Jujur saja Dirga ingin sekali rasanya mengusap punggung Khadijah, sekedar untuk menguatkannya, namun nalurinya mengatakan tidak. Karena Khadijah sendiri sudah pasti akan menolak.

***

...🍁Assalamualaikum🍁...

Selamat Datang di Novel terbaru Saya, Semoga terhibur dengan tulisan saya meski masih jauh dari kata Sempurna.

Semoga selalu dalam lindungan dan Rahmat Allah SWT.

Sebelumnya Saya ucapkan Banyak terima kasih pada semua Readers yang sudah membaca Tulisan saya. Yang jelas Masih sangat jauh jika dibandingkan dengan Jutaan Novel lainya.

Semoga sedikit yang bisa saya torehkan dapat menjadikan hiburan dan inspirasi yang baik untuk para Readers semuanya.

Namun disini saya juga ingin menyampaikan sepatah dua patah kata berkaitan dengan isi hati saya.

Mohon untuk kakak kakak semua yang merasa novel saya ini tidak layak, tidak menarik Silahkan tinggalkan saja, Tidak perlu memberikan like , Komen ataupun penilaian bintang berapapun.

Penilaian kakak yang mungkin berupa bintang 1, 2 , 3 atau 4 sejujurnya cukup meresahkan di hati dan karya saya.

Karena disini saya tidak hanya mengisi waktu luang semata, tidak hanya mengembangkan imajinasi saya, Tidak hanya menghalu semata.

Di beberapa tulisan mungkin ada yang dengan sengaja membuat penilaian buruk 🙏. Entah karena tujuan apa, tentu hanya Allah semata yang mengetahuinya 😭

Jujur Sedih.

Saya tidak meminta Kakak kakak Readers semua untuk membaca buku saya, kalau suka silahkan di baca, kalau tidak suka mohon tinggalkan saja.

Mohon Bijaklah dalam menggunakan jari jempol anda 🥰🥰🥰🙏🙏🙏

...🍁🍁🍁🍁🍁🍁...

...Selamat Membaca Dan Semoga Terhibur...

...Wassalamu'alaikum wr.wb ...

BAB 2. PERTEMUAN TERAKHIR.

...Padahal Hanya Dunia. Wahai Diri Yang Tidak Tahu Diri ...

...☘️...

Gelap semakin menyapa, Kabut malam semakin menambah dingin suasana, Ditemani rintik hujan yang selalu setia membersamai.

Tidak ingin semakin membuat Khadijah gelisah, Dirga memilih fokus dan menambah laju kecepatan nya dalam berkendara. Beruntung perjalanan kali ini malam hari, sehingga Dirga tidak harus bergelut dengan kemacetan.

Jarak tempuh yang harus di lalui keduanya kurang lebih 2 sampai 3 jam dari kota Malang menuju Jombang.

Suasana tampak sepi dan sunyi tatkala Khadijah dan Dirga hanya saling diam saja. Selain diam Dirga juga menangkap mata sayu Khadijah, tatapan nya jauh kedepan, entah apa yang saat ini tengah Khadijah pikirkan, ‘batin Dirga’.

Setelah cukup lama berkendara, mobil yang dikemudikan Dirga telah sampai pada tujuannya, tidak sulit menemukan rumah tingga orang tua Khadijah yang telaknya memang berada di pusat kota Jombang.

Khadijah tampak masih diam, Dirga sendir dapat membaca kesedihan dan kebingungan di mata gadis yang ada di sampingnya.

“Ayo kita turun”

Ajak Dirga pada akhirnya.

Tangis Khadijah luruh seketika, kembali dia berusaha menguatkan hati dan batinya, mesi sejujurnya sangat berat bagi Khadijah.

Sungguh sakit hati yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, kehilangan orang tua merupakan kerugian terbesar bagi manusia yang memahaminya.

Sebagai muslimah tentu Khadijah tahu jika orang tua terlebih itu ibu nya telah berpulang, makan hilanglah satu keberkahan besar dalam hidupnya yaitu ‘Doa Ibu’.

Khadijah meyakini jika berkat doa ibu nya lah harapan terbesar dalam hidupnya saat ini bisa di raih nya.

Melihat banyaknya orang berkerumun di rumah nya, tentu membuat Khadijah kembali merasakan sesak di dada, sesuatu yang tidak pernah Khadijah harapkan sebelumnya.

Kematian memang sudah bagian dari takdir dan pasti akan datang pada siapa saja yang bernyawa, Namun Khadijah tidak pernah menyangka jika hal ini akan terjadi secepat ini, terlebih Khadijah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya secara bersamaan.

Gontai langkah kaki Khadijah berjalan masuk menuju rumahnya, tempat dimana akan menjadi saksi pertama kali Khadijah mengenal sosok ibu bapaknya hingga hari ini pula untuk yang terakhir kali Khadijah melihatnya.

Air mata itu tidak kuasa Khadijah tahan lagi, tatkala dua manik mata Khadijah melihat pada dua keranda yang tentu berisi kedua orang tuanya disana.

Sejujurnya ingin Khadijah meronta dan memohon agar orang tuanya kembali, namun agaknya keinginan nya terlalu tinggi, harapannya sia-sia saja, karena Takdir Allah telah memilih nya.

Dalam kesedihan, Khadijah hanya bisa menangis dan meluapkan segala rasa di depan jenazah Bapak Ibu nya, menyadari jika ini merupakan terakhir kali dan Khadijah sungguh sangat tidak rela melepas keduanya.

“Pak… Bu…”

Bergetar suara Khadijah menahan tangis yang selalu saja membuatnya tak kuasa menahan kesedihan nya.

“Dija ndak mau di tinggal sendiri Pak Bu…”

Tidak hanya suara namun tubuh Khadijah pun bergetar dengan tangisan yang tidak bisa tertahan, pilu dan terdengar menyakitkan.

“Ikhlas yo Nduk, Bapak ibu sudah tenang disana”

Usapan lembut dari sosok pria paruh baya yang sebelumnya menyambut kedatangan Khadijah. Laki-laki yang Khadijah panggil Abah. Merupakan paman dan kakak kandung Bapak nya.

Sejujurnya Khadijah sendiri tidak ingin meratapi, hanya saja naluri sebagai anak membuatnya berharap orang tuanya akan kembali.

“Abahh… Umi… Nanti Dija gimana kalau tidak ada mereka”

Untuk saat ini Khadijah membiarkan kedewasaan dalam dirinya hilang begitu saja, Khadijah sudah seperti anak kecil yang tidak bisa ditinggal pergi orang tuanya. Sungguh karena setelah ini dia hanya kan sendiri.

“Ada Abah dan Umi nduk, Kamu yang sabar yo”

Umi Aminah yang sejujurnya juga bersedih atas kepergian kedua adik iparnya, mencoba menenangkan Khadijah.

Umi Aminah sadar jika ini tidak lah mudah, dan untuk sesaat keduanya membiarkan Khadijah melepaskan kerinduan Bersama Almarhum orang tuan yang esok pagi akan segera di kebumikan.

Pelukan hangat Umi Aminah menjadi penenang bagi Khadijah.

Sementara dari kejauhan, Dirga hanya bisa menatap dan memandangi kesedihan yang dirasakan Khadijah.

Khadijah tertunduk lemas tak berdaya, dengan mushaf kecil di tangannya, Khadijah mulai membekali orang tuanya dengan doa, berharap jika apa yang di bacakan akan sedikit meringankan beban mereka ketika berada di alam kubur nya.

Jika dulu orang tua nya yang selalu membekali Khadijah dengan doa-doa dan harapan besar nya, maka saat ini giliran Khadijah lah yang akan membekali kedua orang tua nya dengan doa, untuk mengiringi perjalanan Panjang tanpa tujuan untuk kembali pulang.

Dalam suasana duka masih terus Khadijah menitihkan air mata nya, namun lembut suara Khadijah membaca mushaf diatas tangannya, membuat semua orang yang mendengarnya turut larut dalam lantunan ayat suci Al-Quran bacaannya.

**

Pagi Hari.

Kerumunan tetangga, sanak, dan saudara kembali memadati kediaman Almarhum orang tua Khadijah.

Memandikan, Mengkafani, dan Menyolatkan telah di lakukan malam tadi, namun hingga saat ini masih ada sanak saudara yang akan kembali menyolatkan jenazah Almarhum orang tua Khadijah.

Manik mata Khadijah terlihat sayu, selain karena sedang sedih tentu karena setelah semalaman mata itu tidak terpejam, Khadijah hanya duduk menunggu di pusaran kedua orang tuanya, sembari berdoa dan menitipkan harapan untuk dipertemukan kembali di Jannah nya.

“Nduk”

Abah Hasim menyentuh pundak Khadijah dengan lembut. Senyuman dan anggukan Abah Hasim menjadi pertanda jika waktunya telah tiba.

Menyadari hal itu, sudut mata Khadijah kembali berkaca-kaca. Betapa tidak dia begitu merasakan sesak di dada nya, karena setelah ini dia tidak akan lagi bisa melihat kedua orang tuanya.

Kenangan masa kecil muncul begitu saja di benak Khadijah, menyadari betapa waktu sangat cepat berlalu.

“Abahh….”

Bergetar suara Khadijah, jujur meski berat namun Khadijah telah ikhlas dan rela Yang Maha Kuasa memanggil kedua orang tuanya.

“Bapak ibu mau di berangkatkan sekarang”

Lembut Abah Hasim berkata pada keponakan yang sudah dianggapnya seperti anak nya.

Anggukan kepala, dan tangis yang membasahi pipi, menjadi bukti jika Khadijah sudah benar-benar ridho dan rela untuk mengantar kedua orang tuanya hingga ke tempat peristirahatan terakhir mereka.

“Sabar ya Nduk, kita doakan saja bapak dan ibu agar tenang di sana” Umi Aminah menimpali.

Khadijah di papah Umi Aminah dan beberapa saudara lainya. Berjalan menuju luar rumah yang tampak lebih ramai dari kemarin malam saat Khadijah datang.

Diluar rumah, Khadijah melihat beberapa orang perangkat desa dan tokoh agama tengah bersiap memberangkatkan jenazah orang tuanya. Menyampaikan kabar duka, dan ucapan bela sungkawa pada keluarga yang di tinggalkan.

Hingga berakhir pada 12 orang pria mengangkat keranda jenazah orang tua Khadijah, 6 orang pada setiap keranda yang di bawa. Sungguh lemah dan sakit sekali rasanya, hingga Khadijah hanya bisa kembali menitihkan Air mata nya.

Pemandangan pertama yang Khadijah lihat ini, tentu juga merupakan pemandangan terakhir kali bagi dirinya menemani dan mengantarkan kedua orang tua nya hingga tempat peristirahatan terakhirnya.

Laillah Ha Illawlloh….

Laillah Ha Illawlloh….

Laillah Ha Illawlloh….

Kalimat yang terdengar mengiringi langkah kaki orang-orang pengantar jenazah kedua orang tua Khadijah hingga tujuan terakhir mereka ‘Pemakaman’.

Usapan lembut selalu Umi Amina berikan pada Khadijah, meski tidak mengatakan apa pun, Umi Amina tahu Khadijah sangat membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekitar nya.

Rombongan pengiring jenazah telah tiba di pemakanan, termasuk Khadijah yang juga telah berada disana.

Abah Hasim yang didapuk sebagai pemangku agama sekaligus wali Khadijah mulai memimpin prosesi pemakaman.

Doa tidak lupa dia panjatkan untuk mengantarkan kepergian Adik sekaligus adik ipar nya.

Sekuat tenaga Khadijah kembali menahan air matanya, namun rasa-rasanya begitu sulit bagi Khadijah, terlebih ketika melihat gundukan tanah diatas kuburan Bapak ibu nya sedikit demi sedikit mulai meninggi dan semakin menutupi.

**

BAB 3. NASIHAT ABAH

...Mati Itu Pasti. Tanpa Menunggu Kata Tapi...

...☘️...

7 hari sudah kepergian orang tua Khadijah.

Banyak sanak saudara yang masih terlihat berada di kediaman Khadijah, sekedar untuk menghibur dan membantu kerepotan Khadijah, karena selama 7 hari itu pula diadakan acara khataman dan tahlilan.

“Nduk…”

Melihat Khadijah yang masih larut dalam kesedihannya, Abah Hasim lantas mendekat dan menghiburnya.

“Kamu kenapa ?”

Sudut bibir Khadijah terangkat keatas, meski tertutup oleh cadar yang di kenakan nya, namun Abah Hasim tahu jika Khadijah tengah tersenyum pada dirinya.

“Jangan terlalu lama larut dalam kesedihan, Ndak baik” ujar Abah Hasim mengingatkan.

“Enjih Abah”

Khadijah mengangguk patuh.

Khadijah berusaha ikhlas dan membenarkan ucapan Abah nya. Meski masih selalu terbayang kedua orang tuanya, dan masih begitu merindukan kehadiran mereka.

Abah Hasim lantas duduk dan mendekat pada keponakannya. Melihat Khadijah dengan wajah sedihnya, Abah Hasim lantas memberikan wejangan pada nya.

“Nduk”

Panjang lebar Abah Hasim berbicara.

Sesungguhnya setiap orang pasti akan mendapati kematian nya. Tidak ada satu orang pun yang tahu kapan ia akan mati. Kita pernah ditinggalkan oleh orang terdekat kita, kelak kita juga akan meninggalkan orang-orang terdekat kita.

Merasakan kesedihan atas meninggalnya seseorang adalah hal yang normal dan manusiawi. Bahkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam pun pernah merasakan kesedihan yang mendalam, ketika beliau kehilangan istri tercinta, paman yang selalu menemani beliau, dan sahabat-sahabatnya yang telah gugur. Sampai-sampai pada masa itu dalam kitab sirah disebut sebagai ‘amul huzni atau sebagai Tahun kesedihan, karena dalam waktu satu tahun Nabi ditinggalkan oleh orang-orang terdekatnya.

Namun meski manusiawi, bukan berarti seseorang boleh untuk melampiaskan kesedihan atas wafatnya seseorang dengan meluapkan secara berlebihan. Sampai-sampai ia menangis selama berhari-hari tanpa berhenti. An-Niyahah (ratapan) adalah tangisan dan rengekan seperti suara rengekan burung merpati. Perbuatan tersebut dilarang sebab hal itu menunjukkan penentangan (rasa tidak puas) terhadap takdir.

Menangisi orang yang sudah wafat sambil menampar-nampar wajahnya sendiri, merobek pakaiannya, bahkan sampai menggoyang-goyangkan jasad yang sudah terbujur kaku tentu tidak dibenarkan. Seseorang juga dilarang untuk terus meraung membicarakan kebaikan-kebaikan dan jasa si mayit selama masih hidup sebelumnya. Hal ini seperti yang Rasul sampaikan dalam sabda beliau,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

‏‏‏

“Bukan dari golangan kami orang yang menampar-nampar wajah, merobek robek pakaian, dan menyeru dengan slogan jahiliyah.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Hikmah dari larangan seseorang untuk meratapi orang yang sudah meninggal terlalu berlebihan adalah sebagai bentuk pengingat bahwa manusia adalah makhluk yang sangat lemah di hadapan Allah. Tidak ada manusia yang kuat dan mampu untuk melawan takdir Allah.

Larangan tersebut juga sebagai bentuk pencegahan agar seseorang tidak menunjukkan sikap menolak takdir Allah. Karena kematian adalah salah satu takdir Allah yang tidak bisa diganggu dan dicegah. Boleh jadi dengan kematian seseorang adalah suatu hal yang baik bagi orang yang meninggal, dan justru yang harusnya diratapi adalah orang yang masih hidup untuk memikirkan nasib mereka selama hidup apakah akan selamat atau tidak.

“Begitu Yo Nduk. Jadi sudah cukup Nangis nya” Ujar Abah Hasim

‘Astaghfirullah’ batin Khadijah dalam hati.

Jujur Khadijah memang sedang lemah imannya, meski tanpa di beri tahu Abah, sebenarnya Khadijah sendiri tahu, Namun lemahnya hati membuat Khadijah larut dalam kesedihan berulang kali. Khadijah cukup beruntung masih ada Abah dan Umi yang selalu setia menemani.

“Terima kasih Bah..”

Khadijah mulai kembali menyeka dan membersihkan sisa-sisa Air mata. Anggukan kepala menjadi jawaban Abah Hasim atas ucapan Khadijah sebelumnya.

“Lalu setelah ini apa Nduk rencana mu”

Melihat Khadijah mulai tenang, Abah Hasim memulai membuka topik baru diantara mereka. Dan gelengan kepala menjadi jawaban Khadijah atas pertanyaan Abah Hasim pada diri nya.

Abah Hasim lantas tersenyum pada Khadijah. Hal ini memang berat untuk di putuskan secepat ini, dan Abah Hasim memahami.

“Ndak papa, besok pagi saja kita bicara lagi”

Abah Hasim menepuk pundak Khadijah dan memintanya untuk beristirahat, karena tentu Khadijah juga Lelah setelah 7 hari menyiapkan tahlilan bagi kedua Almarhum orang tuanya. Meski dibantu oleh sanak saudara dan para tetangga, namun bukan berarti Khadijah lantas bersantai saja.

“Enjih Abah”

Setelah cukup berbincang Bersama keponakannya, Abah Hasim beranjak dari duduknya dan meninggalkan Khadijah di kamarnya.

Sementara Khadijah sendiri yang juga merasa Lelah, memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya.

Belum sempat Khadijah merebahkan tubuhnya, Khadijah kembali di kagetkan dengan suara notifikasi ponsel nya.

Bip Bip

Bunyi pesan suara dari ponsel Khadijah yang mengisyaratkan ada pesan masuk ke dalam ponselnya.

Dengan sisa tenaga, Khadijah meraih ponsel nya dan melihat sebuah nama yang jelas tertera disana ‘Mas Dirga’ Batin Khadijah.

Khadijah lantas membuka pesan Whatsapp yang di kirim oleh Dirga dari ujung telepon sana.

“Assalamualaikum Dirga, apa kabar?”

Begitulah pesan singkat yang Dirga kirim pada Khadijah.

“Waalaikumsalam Mas Dirga. Alhamdulillah Kabar Baik”

Balas Khadijah.

“Alhamdulillah. Syukurlah kalau begitu. Oya maaf kemarin tidak sempat berpamitan saat pulang”

Kembali Dirga mengirim pesan balasan untuk Khadijah.

“Tidak papa Mas, Khadijah malah yang seharusnya berterima kasih. Mas Dirga sudah mengantarkan Dijah pulang kerumah”

Balas Khadija

“Tidak masalah Dija ❤️ ” Balasan Dirga pada Khadijah.

Melihat Emoticon cinta dalam pesan singkat yang di kirim oleh Dirga, sejujurnya cukup Mengejutkan bagi Khadijah.

Namun Khadijah memilih untuk diam dan tidak menanyakan apa maksud dan tujuan dari emoticon sayang tersebut.

Setelah cukup saling berbalas pesan, Khadija memilih untuk mengakhiri obrolan diantara keduanya.

Malam semakin larut menyisakan seberkas cahaya rembulan yang menembus jendela kamar Khadijah.

Meski mata enggan terpejam namun benar apa kata Abah, Khadijah tidak bisa terus memikirkan kesedihan di hatinya.

**

Pagi hari.

Sinar surya mulai menyapa, indahnya mentari yang menyinari bumi sungguh membuat Khadijah merasa bersyukur atas nikmat nafas yang masih diberi.

Khadijah terbiasa melakukan Sholat Duha setelah selesai dengan urusan dapur nya. Hal ini biasa Khadijah lakukan ketika di Kos. Hidup di kota orang dengan mengandalkan beasiswa tentu juga tidak mudah bagi Khadijah.

Beruntung Khadijah sangat pandai dalam memperhitungkan keuangan. Sehingga meski bajet tipis dia tidak pernah Boncos bahkan Khadijah masih sempat menabung dari sisa-sisa uang pemberian orang tuanya.

Beruntung hingga hari ini masih ada Umi Amina yang menemani Khadijah. Semalam setelah selesai Acara Tahlilan dan Khataman semua saudara telah pulang ke kota masing-masing.

“Nduk”

Masih dengan mukena yang membalut tubuhnya, Khadijah melihat sosok umi Amina berdiri diambang pintu kamarnya.

“Iya Umi?” Jawab Khadijah sembari merapikan Mukena dan sajadah nya.

Keduanya lantas duduk bersama di pinggiran tempat tidur kamar Khadijah, seberkas senyum Umi Amina mengingatkan Khadijah pada senyum ibu nya yang telah tiada.

“Sudah selesai sholat nya?”

“Sudah Umi”

Umi Amina terlihat tersenyum dan menghela nafasnya, entah mengapa Khadijah merasa ada sesuatu yang penting yang ingin Umi Amina katakana pada nya.

“Umi hanya ingin menyampaikan pesan Abah mu Nduk”

Umi Amina tampak serius dalam ucapannya, dan spontan Khadijah pun mendekatkan posisi duduknya dengan Umi Amina, tidak ingin melewatkan setiap detai informasi yang di sampaikan Umi Amina dari Abah Hasim paman nya.

**

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!