NovelToon NovelToon

Cursed And Love

PROLOG

Skotlandia, 2019

"Masih mau di sini?"

Serena tersentak, lamunannya buyar saat tangan kekar melingkar di perutnya. Ya, Van memeluknya dari belakang sambil mengecup lembut leher wanita itu.

"Beberapa hari lagi, aku masih ingin berada di sini." Sahut Serena lembut sambil menahan geli karena Van terus menerus menciumi leher dan juga wajahnya.

"Baiklah, akan aku batalkan pemesanan tiketnya," Ucap Van.

Serena terpekik kecil saat Van tiba-tiba membalikkan tubuhnya hingga mereka berhadapan, pria itu menatapnya dengan intens.

"Ada apa? Kenapa melihatku seperti itu?" Jemarinya membelai lembut wajah pria tampan itu.

"Aku mencintaimu." Ucap Van dengan wajah serius.

"Aku tahu." Sahut serena tanpa melepas belaiannya pada wajah pria itu.

Van mendengus. Wajahnya yang tadi serius kini tiba-tiba cemberut, bibirnya dimajukan seperti anak kecil.

"Kenapa hanya membalas dengan itu?!" Rengeknya kesal, "balas lah ucapanku dengan kalimat penuh kasih sayang," Pria itu menenggelamkan wajahnya di dada Serena.

Serena hanya tertawa, ia balas memeluk Van dengan erat karena gemas. Pria dingin berotot yang wajahnya terlihat seperti akan memakan siapapun itu akan menjadi bayi besar setiap kali bersamanya.

"Pfft, aku juga mencintaimu. Sangat mencintaimu." Bisik Serena lembut.

"Hmphh, iya seperti itu!" Balas Van dengan ketus.

Lagi-lagi ia tak bisa menahan senyumnya, Van sangat menggemaskan saat bertingkah seperti anak kecil begini. Namun ia menyadari sesuatu yang janggal.

"Van...." Lirih Serena.

"Heheheh, maafkan aku." Kekeh Van dengan wajah polos dan mata berbinar sambil mendongak menatap Serena yang wajahnya sudah memerah.

"Dasar mesum." Serena mencubit lengan Van hingga pria itu meringis kesakitan.

Bagaimana wanita itu tidak kaget, Van menempel erat padanya lalu ada sesuatu yang bangun dan mengeras di bawah sana dan terasa sangat jelas bersentuhan dengan tubuhnya. Seharusnya ia tidak membiarkan pria itu menempel pada dadanya, karena sudah sangat jelas akan berlanjut dengan hal seperti ini.

"Akhhh! Turunkan aku!" Serena lagi-lagi kaget saat Van tiba-tiba mengangkat tubuhnya dan membawa wanita itu menuju kamar mereka.

"Hmn, kau harus bertanggung jawab," Ucap Van dengan senyuman lebar.

Pintu tertutup dengan keras, tak selang berapa lama juga terdengar alunan suara dari aktivitas panas mereka di dalam sana.

*****

Suara kicauan burung terdengar merdu saling bersahutan, Serena terbangun karena cahaya matahari yang masuk dari sela-sela tirai menumbuk tepat di wajahnya.

Wanita itu masih mengumpulkan sisa nyawanya yang belum sepenuhnya sadar. Tubuhnya pegal seperti baru saja dipukuli, bahkan sepertinya ia akan sedikit kesusahan untuk berjalan dengan normal.

Bagaimana tidak, kemarin malam Van benar-benar seperti iblis yang menyantapnya hampir semalaman. Pria itu memang melakukannya dengan lembut, meskipun begitu tenaga Van tidaklah main-main hingga waktu bermain mereka menjadi sangat panjang.

Ah, untuk apa aku mengingat itu!

Wajah Serena memerah, ia menepuk-nepuk pipinya dengan kedua tangan lalu berusaha untuk bangun.

Baru saja wanita itu ingin berdiri, tetapi ia dikagetkan dengan suara pintu yang dibuka.

"Ratuku yang cantik, sudah bangun?" Ucap Van dengan senyum manis.

Pria itu bersandar di ambang pintu sambil terkekeh melihat Serena yang kesusahan berdiri, sorot matanya terlihat bangga saat melihat satu-persatu bercak ungu kemerahan yang menghiasi kulit Serena di beberapa bagian.

"Aku sudah buat sarapan kesukaanmu, mau langsung makan atau mandi dulu?" Ucap Van sambil membantu Serena untuk berdiri, "atau mau aku mandikan?" Tambahnya lagi dengan senyum jahil.

Serena mencubit perut pria itu, "ini masih pagi!".

Van lagi-lagi terkekeh dan mengangkat tubuh wanitanya yang mungil itu, membawanya ke kamar mandi. Van menurunkan Serena dengan hati-hati seakan tubuh itu akan hancur jika ia terlalu kasar.

"Panggil aku jika sudah selesai." Ucap Van lembut sambil berlalu meninggalkan Serena yang sedang membersihkan dirinya di kamar mandi.

Pria itu berlalu dan duduk di ruang tamu untuk menunggu Serena selesai mandi, sofa yang ia duduki sekarang menghadap jendela yang di luarnya terdapat hutan dengan pembatas padang rumput luas antara rumah dan hutan itu.

Pikirannya kembali mengingat masa lalu, bayangan saat ia dan Serena berlarian di padang rumput itu seperti sebuah sinema yang diputar berulang di kepalanya.

Ia masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana awal mereka bertemu, ia masih ingat betapa cantik wanita yang sekarang menjadi miliknya itu saat tersenyum dan berlarian ke arahnya. Sangat cantik.

Ah! kenapa aku mengingat masa lalu....

Van mengusap wajahnya, masa lalunya terasa indah hanya saat Serena hadir ke dalam hidupnya. Sisanya terasa hampa dan menyesakkan, meskipun begitu ia sudah berdamai dengan sangat baik juga tentang hal itu.

01 : Pertemuan [1]

Skotlandia, 2014.

Suara alunan melodi yang berasal dari piano terdengar lembut. Nada yang indah, meskipun entah kenapa terdengar sendu.

Serena membiarkan jemarinya menari di atas tuts piano yang menciptakan nada-nada indah berirama, wajahnya datar tanpa ekspresi. Belum selesai lagu itu dimainkan, ia tiba-tiba berhenti sambil menghela nafas berat.

"Sudahlah...." Lirihnya.

Gadis itu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke halaman rumah. Cuaca di awal musim semi memang sangat bagus, tetapi suasana hatinya hari ini sedang tidak baik. Ia melihat lurus ke arah anak kecil yang berlarian mengejar kupu-kupu di depan rumahnya.

"Apa sebaiknya aku keluar juga?" Matanya masih fokus melihat ke arah anak-anak yang sudah berlari menjauh.

Ya, Serena memutuskan untuk pergi ke luar sebentar. Sangat disayangkan jika ia menyia-nyiakan musim semi yang berharga ini. Ia berniat untuk piknik di tempat yang dulu selalu ia datangi dengan ibunya, membawa beberapa alat lukis dan menikmati waktunya sebentar di sana tidak buruk juga.

"Mari kita lihat...." Ucapnya sambil membuka lemari pendingin.

Gadis itu mengambil beberapa bahan makanan untuk ia masak dan dibawa saat ia pergi nanti. Kakinya melangkah menuju dapur, tetapi ia berhenti di depan meja yang terdapat foto seseorang di atasnya.

Serena melihat datar foto itu, "aku masih hidup, ibu," segaris senyum tipis tiba-tiba terukir di bibirnya, "aku berusaha...." lirihnya lagi.

Sesaat setelah itu ia langsung berlalu, kembali ke niat awalnya untuk memasak beberapa makanan. Semua dilakukannya dengan cepat. Setelah menyiapkan beberapa keperluan untuk melukis, Serena langsung keluar rumah sambil menenteng tas kecil berisi makanan dan membawa peralatan lukis.

Kakinya melangkah menyusuri jalan setapak yang mulai membawanya memasuki area hutan, suara kicauan burung dan hewan-hewan lainnya seakan menyambut kedatangan dan juga mengiringi langkahnya.

Ia sudah mengenal daerah itu, sejak kecil ia sering bermain di sana dengan sahabatnya ataupun ibunya. Mereka selalu pergi ke sana setiap musim semi tiba, meskipun ini adalah pertama kalinya lagi bagi Serena karena ia tidak pernah datang ke tempat itu lagi sejak beberapa tahun terakhir.

"Masih sama ya...." Ucapnya tenang sambil menghirup udara segar dari semilir angin yang sejuk.

Serena menghentikan langkahnya, ia sudah sampai. Sebuah padang rumput luas yang di penuhi oleh bunga Dandelion , tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama ibunya.

Sudah lama ia tidak mencium aroma rumput dan pepohonan dari tempat itu, "rasanya seperti kembali ke masa lalu." Lirihnya.

Beberapa ingatan yang mengganggu kembali berputar di benaknya, tetapi Serena berusaha menepisnya sebisa mungkin dan segera menyibukkan dirinya.

"Baiklah, mari nikmati hari ini, Serena." Ucapnya dengan semangat, meskipun itu hanya usaha yang dilakukannya untuk menutupi perasaannya.

Ia merentangkan selembar kain yang cukup lebar untuk alas duduk di sana, begitu juga dengan makanan dan peralatan lukis yang dibawanya. Serena menggigit sebiji apel sebelum memulai untuk melukis.

Kanvas kecil dan juga pallet lukis sudah siap di depannya, tetapi ia belum juga mulai menyapukan kuas di atas kanvas polos itu. Matanya menyipit melihat pemandangan di depannya, beberapa saat lagi ia langsung berdiri.

"Nah, ini baru sudut yang bagus." Ucapnya senang.

Serena berpindah sedikit dari tempat awal ia duduk tadi karena menurutnya akan sulit untuk melukis dari sana. Selanjutnya hanya keheningan yang diisi oleh semilir angin dan juga kicauan burung yang mengelilinginya, gadis itu kini fokus dengan lukisan yang ia buat.

Tanpa ia sadari, sejak tadi ada sepasang mata yang mengintainya dari kejauhan. Bahkan kini posisinya semakin mendekati tempat Serena berada, tepat di belakangnya adalah semak-semak dan juga pepohonan, tentu saja siapapun tidak akan menyadari jika ada yang sedang memperhatikan mereka dalam diam.

Suara ranting yang patah mengejutkan Serena untuk sesaat, gadis itu menoleh kaget ke arah belakangnya dengan tatapan waspada. Namun semua kekhawatirannya itu hilang begitu melihat seekor burung yang terbang ke atas pohon dari arah suara yang ia dengar tadi.

"Mengagetkan saja." Celetuknya sembari melanjutkan kegiatannya.

Ia kembali fokus dengan lukisannya, hingga tanpa ia sadari mahluk yang tadi memperhatikannya dari semak-semak kini semakin mendekat. Sangat dekat, tanpa suara. Kaki dan tangannya yang di penuhi oleh tanah merangkak perlahan menuju Serena, tepat di belakangnya.

"ARGHHH KENAPA HARUS TERCORET?!" Serena tiba-tiba berteriak karena tanpa sengaja merusak lukisannya sendiri.

Teriakan itupun tentu saja membuat mahluk di belakangnya ikut kaget, suara keras berupa geraman buas terdengar yang sontak membuat Serena membalikkan badannya dengan kaget.

Gadis itu mematung, nafasnya berhenti sebentar dengan wajah tegang. Apa yang ia lihat di depannya barusan benar-benar membuatnya kaget sekaligus bingung.

Tetapi itu hanya sebentar, matanya teralihkan pada tempat di mana ja meletakkan tas miliknya tadi. Serena langsung berdiri, mahluk, bukan, orang itu mengambil dan membawa kabur tas miliknya.

"HEYY! PENCURI! KEMBALIKAN TASKU!" Teriak Serena.

Ia tak tahu pasti apa yang ia lihat, yang jelas itu adalah seseorang bertubuh tinggi dan pakaian compang camping dan berjalan seperti...., monyet?. Lupakan soal monyet, ia hanya melihat punggung orang itu jadi tidak tahu ia adalah laki-laki atau perempuan.

Gadis itu langsung berlari mengejarnya, bukan karena makanan ataupun tasnya. Namun di dalam sana ada barang yang sangat berharga untuknya, yaitu foto ibunya.

"Hah ... hah! Di mana dia?!" Serena terengah-engah sambil memegangi kakinya yang sakit karena berlari di atas tanah yang berkerikil tanpa alas kaki karena tadi ia melepas sepatunya saat sedang melukis.

Ia kehilangan jejak orang itu, ditambah lagi sekarang ia sudah berada jauh dari tempatnya tadi, ia sudah berlari cukup jauh. Namun matanya menangkap beberapa potongan roti dan buah anggur yang berceceran, itu adalah makanan dari tas miliknya.

Tak jauh dari tempat ia berdiri, terlihat punggung seseorang dari balik semak-semak. Serena sangat yakin itu adalah pencuri yang mengambil tas miliknya tadi.

Kau bersembunyi di sana heh?

Dengan perlahan ia melangkah mendekati semak itu dan berusaha untuk tidak mengeluarkan suara.

Hanya tinggal beberapa langkah, tangannya siap memukul orang itu tetapi kini ia malah terjatuh dan menjerit saat melihatnya dari dekat.

"Akhhhh!!" Serena menjerit hingga terjatuh.

Sosok di depannya itu adalah seorang laki-laki yang mungkin seumuran dengannya, tapi yang membuat Serena ketakutan adalah karena laki-laki itu sepertinya gila atau sejenisnya.

"Grrrrr...."

Laki-laki itu memeluk erat beberapa potong roti dan buah yang telah ia curi, matanya melihat Serena dengan tajam. Entah apa yang terjadi sekarang, tetapi ia benar-benar menggeram seperti seekor anjing yang marah pada Serena.

"K-kau ini siapa?" Ucap Serena masih dengan wajah takut.

02 : Pertemuan [2]

Serena masih terkejut, tetapi ketakutannya mulai mereda karena menyadari laki-laki itu sepertinya tidak berniat menyerangnya. Bisa dilihat dari caranya memeluk makanan layaknya anak kecil yang tidak mau mainannya diambil, sepertinya ia hanya kelaparan dan menginginkan makanan.

Jujur saja Serena masih merasa takut, tetapi ia mencoba untuk memberanikan diri demi bisa mengambil barang berharga miliknya. Gadis itu bangkit secara perlahan dan waspada, setiap gerakannya membuat laki-laki itu menggeram.

"H-hei,...Tidak apa-apa, jika kau mau makanan itu ambil saja," Ucapnya pelan, "aku hanya ingin tasku kembali, kau bisa ambil semua makanannya." Tutur serena meskipun ia tak tahu apakah laki-laki itu mengerti ucapannya atau tidak.

Tak ada balasan, laki-laki itu terus menggeram sambil memeluk erat makanan di dalam pangkuannya. Ia menatap serena dengan mata tajam yang terlihat dari sela-sela rambut yang memanjang menutupi wajahnya. Terlihat jelas juga manik netra berwarna kuning keemasan yang mencolok dari kulit pucatnya.

"Dengar," Serena merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebatang permen, "aku akan memberikan ini jika kau mengembalikan tas itu." Ucapnya sambil menyodorkan permen itu perlahan tetapi sontak membuat laki-laki di depannya terkejut dan menggeram lebih keras.

"Ah, apa kau tidak bisa mengerti ucapanku?" Ucapnya sedikit frustasi.

Ia membuka bungkus permen itu dan memasukannya ke dalam mulutnya, menjilatinya dan menunjukannya lagi pada laki-laki di depannya.

"Ini enak, jika kau memberikan tas itu padaku," Ia menunjuk tas yang berada di samping laki-laki itu, " maka aku akan memberikan ini padamu." Ucapnya sambil mengeluarkan sebatang permen lagi dari sakunya.

Laki-laki itu tak bergeming, matanya fokus menatap permen yang ada di tangan Serena. Begitu pun Serena yang mulai tersenyum karena melihat laki-laki itu sepertinya mengerti dengan apa yang ia ucapkan.

Serena sedikit kaget saat laki-laki di depannya bergerak maju perlahan, sebelah tangannya masih memeluk sisa makanan dan yang sebelahnya lagi terulur untuk meraih permen yang ada di tangan Serena.

Terlihat jelas laki-laki itu ragu dan takut, tapi Serena juga ikut maju perlahan mengulurkan permen itu dengan hati-hati.

"Tidak apa-apa, ambilah." Ucap Serena pelan.

Dan secepat kilat, permen itu sudah berpindah dari tangannya. Laki-laki itu mengambilnya dengan cepat dan langsung mundur lagi menjauhi Serena.

Walaupun masih terlihat ragu, laki-laki itu perlahan memasukkan permen itu ke dalam mulutnya. Ia mengikuti apa yang Serena lakukan tadi, sesaat setelah mengecap permen itu ia menjadi aneh.

Laki-laki tadi mematung hingga makanan yang ada di pelukannya tanpa sadar terjatuh, Serena juga bingung apa yang terjadi padanya. Namun beberapa saat kemudian laki-laki itu mengeluarkan permen yang ada di mulutnya dan menatapnya dengan mata berbinar. Ya, sepertinya dia menyukainya karena rasanya manis dan enak.

"Pfft, apa kau menyukainya?" Kekeh Serena saat melihat pemandangan di depannya, "bagaimana? Enak bukan?" Tambahnya lagi.

Laki-laki tadi kembali menoleh ke arah Serena, tatapannya yang tadinya dipenuhi rasa takut dan waspada kini terlihat lebih tenang.

"J-jadi..., tasku-"

Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, laki-laki itu sudah berlari menjauh dengan cepat. Meninggalkan Serena yang mematung keheranan sekaligus lega.

Apa itu? Dia pergi begitu saja?

Serena mengerjapkan matanya berkali-kali seperti orang kebingungan.

Matanya melihat ke arah tas yang tergeletak di atas tanah, benda itu sudah kotor dan acak-acakan. Ia mengambilnya dan buru-buru merogoh isinya lalu disusul dengan hembusan nafas lega.

Foto ibunya masih utuh tanpa lecet sedikitpun, Serena langsung memeluknya dengan erat diiringi dengan senyuman tipis yang terukir begitu saja di bibirnya.

"Maaf, ibu...." Lirihnya pelan.

Beberapa saat dalam posisi itu hingga suara tupai yang berlarian di ranting pohon mengejutkannya, Serena tersadar jika ia sekarang berada terlalu jauh masuk ke dalam hutan.

Gadis itu segera memasukan foto ibunya ke dalam tas dan bergegas ingin pergi, tetapi sebelum itu ia menoleh lagi ke arah laki-laki tadi menghilang.

Untuk apa aku memikirkannya....

Serena menatap lama ke arah sana sebelum akhirnya benar-benar pergi.

*****

Aroma Lavender memenuhi seisi ruangan, saat dalam perjalanan pulang tadi Serena memetik beberapa tangkai bunga Lavender untuk ia bawa pulang dan meletakkannya di vas bunga yang ada di kamarnya.

Gadis itu menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya, rasanya sangat segar karena ia baru saja mandi. Ia melirik tas kotor yang tergeletak di atas meja rias, tas itu belum ia cuci karena terlalu lelah.

"Hari ini sangat melelahkan," Ucap Serena sambil mengingat kembali apa yang terjadi padanya di hutan hari ini.

Matanya menatap datar langit-langit kamar, pikirannya berkelana ke sana ke mari dan dipenuhi oleh banyak pertanyaan.

"Siapa dia?" Ucapnya pada diri sendiri dengan wajah keheranan.

Apa dia orang hilang? Orang gila? Apa dia tinggal di sana? Kenapa aku baru melihatnya sekarang? Apa aku harus melaporkannya pada polisi?

Banyak sekali pertanyaan di dalam benaknya, gadis itu berbaring lurus terlentang dengan wajah serius sambil memejamkan matanya sehingga terlihat seperti orang pingsan dengan dahi berkerut.

Semua pertanyaan itu memenuhi kepalanya, tetapi beberapa saat semuanya buyar saat suara dering telpon rumah berbunyi.

Serena bangun dari tempat tidurnya dan segera mengangkat telpon itu, "Halo-"

"Hey kenapa kau tidak menghubungiku?! Kalau aku tidak menelpon lebih dulu kau pasti tidak akan pernah menghubungiku bukan?" Suara seorang laki-laki langsung terdengar begitu telpon diangkat.

Wajah Serena langsung cemberut, jika ia tahu siapa yang menelpon maka pasti tidak akan ia angkat.

"Hey apa kau mendengarku? Halo-"

"Ya ya aku mendengarmu, aku sedikit sibuk dan malas menggunakan benda ini (telpon)." Sahut Serena dengan datar.

"Huh? Dasar...." Terdengar nada kecewa dari orang yang ada di telpon itu.

Yang menelponnya sekarang adalah sahabat Serena sejak kecil, sekarang dia sedang berada di Kota lain karena melanjutkan pendidikan di sana. Sahabatnya itu sering menelpon untuk memastikan Serena baik-baik saja. Mereka sudah seperti saudara, tetapi Serena selalu menyembunyikan masalahnya karena tidak ingin merepotkan.

Cukup lama mereka berbincang lewat telpon sebelum akhirnya pembicaraan itu berakhir meskipun dominan diisi oleh omelan dari sahabatnya karena Serena selalu menjawab dengan cuek dan tidak bersemangat.

Serena menghela nafas pelan, ia tahu jika sahabatnya itu mengkhawatirkannya. Lagipula sejak kecil mereka memang begitu, ia sedikit bicara dan lebih banyak mendengarkan saat mereka bersama. Jadi tidak perlu mengkhawatirkan tentang apa Serena menyakiti perasaan sahabatnya atau tidak.

"Aku merindukannya...." Ucap Serena pelan.

Ia kembali ke kamarnya dan bersiap untuk tidur karena memang sudah larut malam, ia terlalu lelah hingga tidak menyadari jika di luar keadaan sedang riuh dengan para warga di sekitar sana yang berkumpul dan beberapa mobil polisi yang lalu-lalang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!