...Warning⚠️: Novel ini mengandung muatan dewasa seperti adegan, rokok, kata-kata kasar, minuman keras, dan lainnya. Pembaca diharap bijak pada pilihannya. Terima Kasih....
...🍀...
Bulan menahan napas saat mendengarkan ketiga sahabatnya bercerita tentang pengalaman mereka ketika melakukan ciuman pertama. Dimana ketiganya bercerita sambil menahan gejolak dalam dada yang nampak sekali ingin lagi mereka ulangi.
Seru, sampai bulan yang mendengarkannya pun ikut menggigit bibir. Dia... belum pernah melakukannya.
Yeshika menjambaki rambutnya frustrasi, saat ia mengingat momen buruk dimana pertama kali berciuman malah ketahuan oleh adiknya sendiri. Dan ciuman kekasihnya menjadi candu baginya.
Tak kalah asyik cerita Nadin. Berciuman pertama kali dengan pacarnya yang merupakan seorang abdi negara. Tak sengaja, karena saat itu Nadin ingin mencium pipi, tahu-tahu pacarnya memutar wajah hingga bibirnya ketemu dengan bibir kekasihnya.
Wina. Saat itu di atas puncak gunung, pertama kali merasakan ciuman bibir. Dingin suhu pegunungan tak lagi terasa lantaran aliran darahnya menjadi panas seketika.
Dan ketiga sahabatnya serentak menoleh pada Bulan yang hanya mesem-mesem mendengar cerita mereka. Kini gilirannya untuk memberitahu mereka bagaimana ciuman pertamanya terjadi.
"Eng...." Bulan menggaruk lehernya yang tak gatal. "Aku ke toilet dulu, deh."
"Eeeittts!" Serempak ketiganya menahan tubuh Bulan yang ingin berdiri. Tatapan mengintimidasi itu membuat Bulan mau tak mau menghela napas. Saat itulah mereka sadar, kalau Bulan belum pernah berciuman dengan calon suaminya.
"Yang bener kamu?"
Yeshika sampai menarik bantal yang Bulan peluk, mendekat agar mendengar suara Bulan yang sengaja ia perkecil.
"I-iya.." Jawabnya amat pelan.
"Astaga. Itu cowo normal, kan?"
"Heh!" Nadin menepuk paha Wina hingga gadis bercelana pendek itu mengelus-elus pahanya kesakitan.
"Jangan gitu, dong. Kali aja kak Andra cuma mau jaga Bulan sampe mereka sah menikah." Jawab Nadin memecahkan ketakutan Bulan.
"Iya. Kak Andra bilang gitu.." Sahut Bulan pula.
Bukan tak pernah Bulan memberi kode. Dia terlampau sering menunjukkan sikap ingin dicium. Tapi Andra hanya mengelus kepalanya dengan sayang. Lelaki berusia 27 tahun itu selalu saja begitu pada Bulan.
"Ah, ngga ada cowo yang kuat sama kamu, Mbul. Percaya, deh." Seru Yeshika.
"Iya, Mbul. Aku yang cewe aja liat kamu suka iri. Pinggang tipis, bibir seksi, rambut panjang bergelombang, dada, Pinggul. Aduhaiii.. kalo ini sih, cowo kamu yang ngga bener!" Wina sampai meliuk-liukkan tangannya untuk menggambarkan lekuk tubuh Bulan. Gadis itu sampai melempar Wina dengan bantal.
"Serius kamu udah pancing, Mbul?" Tanya Nadin kemudian.
Bulan meremas ujung tanktop-nya. "Sering, Din. Tapi kak Andra bilang sabar, dia mau aku utuh saat malam pertama."
"Etdah! Ngga sampe sana juga, kali. Emang dia ga nafsu sama lu, Mbul? Kok aku ga percaya, ya." Seru Wina kesal.
"Mbul." Yeshika menggeser duduknya. "Jangan-jangan... Andra.... gay."
"Weeeiiii..." Serentak Wina dan Nadin menyerukan Yeshika yang terlalu blak-blakan di depan Rembulan.
"Bukan apa nih, ya. Soalnya badan Andra kan, kekar. Dia suka nge-gym kan, Mbul?" Tanya Yeshika dan Bulan mengangguk-angguk.
"Kalian pernah denger ngga, kalo tempat gym biasanya sarang cowo macho yang... begini." Yeshika memberi tanda dengan membengkokkan tangannya.
"Masa, sih..." Bulan mulai resah. Selama ini dia malah suka dengan bentuk tubuh atletis Andra. Bulan suka menempel di bahu dan dadanya yang bidang itu. Bagi Bulan, laki-laki yang punya perut kotak-kotak seperti tahu dan dada selebar bantal tidur adalah lelaki yang sangat tampan. Bulan selalu menelan ludah jika melihat abs pria itu.
Tapi setelah mendengar pernyataan sahabatnya...
"Iihhh, Yeshi. Jangan gitu, dong. Kasian tau, Bulan." Nadin merangkul Bulan dan menepuk-nepuk bahunya. "Nggak gitu kok, Mbul. Kan, gak semua cowo kekar itu homo. Banyak kok, yang normal. Kalo misalnya nih, dia emang begitu, buat apa dia nikahin kamu. Ya, kan?"
Yang lain manggut-manggut juga akhirnya setelah mendengar ucapan Nadin.
"Anggap aja cobaan menjelang pernikahan, Bul. 2 bulan lagi, loh. Sabar aja.." imbuh Wina pula.
"Udah, ah. Kok jadi sedih. Kita tuh, jauh-jauh dari Jakarta cuma mau bantuin Embul buat cari gaun pernikahanya yang tinggal 2 bulan lagi. Jadi, stop panas-panasin Bulan. Sekarang, ayo kita main game sebelum tidur.." Seru Nadin dengan semangat.
Mereka mulai berisik lagi di kamar Wina. Bermain, bercanda, tak lupa kudapan yang dibeli demi mengisi perut di kala gosip dan kehebohan lainnya membuat mereka jadi begadang.
Tetapi di tengah itu, Bulan jadi kepikiran ucapan teman-temannya. Dia setuju dengan Nadin di awal, bahwa Andra mungkin saja tengah menjaga dirinya. Tapi sebagai perempuan normal, Bulan juga kepengen keningnya dikecup, atau ingin mencicipi manisnya ciuman bibir seperti yang teman-temannya ceritakan. Apalagi Andra cinta pertamanya.
Sudah berapa kali Bulan memberi kode, tapi Andra tak pernah mau memberikannya kecupan walau singkat. Padahal mereka sudah berpacaran selama 2 tahun. Tapi Andra benar-benar membatasi dirinya.
Keesokan harinya, Bulan mengajak Andra bertemu. Ucapan teman-temannya sebenarnya membuat Bulan terus berpikir buruk. Itu sebabnya dia ingin memastikan sesuatu.
"Hei, maaf aku telat." Andra baru datang dan langsung duduk di sebelah Bulan. Lelaki itu meneguk gelas berisi lemon tea dingin milik Bulan.
"Panas banget." Ucapnya sambil mengibas-ngibaskan kerah kemejanya.
Bulan, yang sudah beberapa hari tidak bertemu Andra, merasa rindu. Melihat lelaki itu saja sudah membuatnya bahagia.
Ia lalu mengelap keringat Andra dengan tisu. Pelan-pelan, sampai Andra meraih tangan Bulan dan mengecupnya.
"Makasih, ya."
Bulan terenyuh saat Andra mengecup dan mengusap-usap punggung tangannya. Lelaki itu sangat perhatian, juga sangat bisa Bulan rasakan kasih sayangnya. Itu sebabnya dia tak percaya dengan ucapan teman-temannya.
"Kamu udah pesan makan?"
Bulan menggelengkan kepala. "Belum. Aku nunggu kakak datang."
"Ngga perlu nunggu, sayang. Langsung pesan aja. Kalau aku tadi telat lama, gimana. Kamu pasti jadi laper banget." Ucap Andra fokus membaca menu yang ada di atas meja. Lalu tangannya naik, memanggil pelayan.
Bulan terus memperhatikan kekasihnya, menatapnya saat Andra menyebut makanan apa saja yang ia pesan, lalu pesanan Bulan sendiri yang bahkan ia tidak tanya, sebab Andra sangat tahu apa yang disukai Bulan. Bagaimana dia tidak jatuh cinta setiap hari dengan Andra?
Apalagi tubuh atlestisnya itu. Alasan pertama yang membuatnya menyukai Andra pada pandangan pertama. Bulan menyukai lelaki bertubuh tegap tinggi dan punya kotak-kotak di perutnya. Seperti Andra, lelaki itu suka sekali olahraga. Pasti enak banget kalo dipeluk. Ada di dekat Andra, Bulan seperti memiliki penjaga.
"Kamu kenapa liatin aku kaya gitu?"
Bulan tersenyum, lalu memeluk lengan besar Andra. "Gapapa. Aku kangen aja."
"Aku juga kangen.." Andra mengusap pucuk kepala Bulan. "Kamu masuk shift malam, ya?"
"Iya. Bentar lagi harus kerja." Jawab Bulan lesu karena harus berpisah. Dia melirik jam, masih ada waktu satu jam lagi. "Nanti malam kakak kemana?"
"Nge-gym. Udah lama aku ga kesana. Badan aku jadi kayak ga enak gitu kalo ga olahraga."
Bulan memegangi bahu kekar Andra. Memakai kaos polo pres tubuh membuat ototnya terlihat sempurna "Uuu.."
"Udah, jangan diliatin." Andra menurunkan lengan bajunya yang disingkap Bulan.
"Hehee. Aku tadi pengen nyuruh kakak pake muscle shirt- Aduh!" Bulan mengusap dahinya saat Andra menyentilnya pelan.
"Kamu seneng kalo aku diliatin cewe-cewe?"
"Ya enggaklah." Bulan memeluk lagi lengan Andra. "Aku tuh, sayang banget sama kakak."
"Aku juga sayang banget sama kamu." Ucap Andra mengelus rambut Bulan.
"Oh, ya." Bulan duduk mencondong ke arah Andra. "Aku mau ke Jakarta minggu depan. Aku udah ajuin cuti. Perginya sama Yeshi, Wina, juga Nadin. Mereka bakalan balik ke Jakarta jadi aku mau ikut dan liburan sebentar kesana. Boleh, kan..."
"Berapa hari?"
"Tiga hari aja kok. Ya-ya-ya.." Bulan menyatukan kedua telapak tangan, memohon agar Andra mengizinkan.
Andra melihati Bulan yang memasang wajah melas supaya dirinya kasihan. "Pengen banget, ya?"
"Bangettt. Kakak kan, tau. Aku belum pernah ke Jakarta. Temen-temen aku semua pindah dan kuliah disana. Jadi mereka mau ajak aku main. Kakak kan, sering ke Jakarta. Aku juga pengen..." rengek Bulan yang bergelayut manja di lengan Andra.
"Hm. Yaudah. Tapi jangan lama-lama." Jawab Andra.
"Yeaayy. Makasih, sayang." Bulan refleks mencium pipi Andra, yang membuat lelaki itu mematung sesaat.
"E-eh. Maaf, maaf.." Bulan merasa bersalah. Ia mengusap-usap pipi Andra yang ia kecup tadi.
"Ngga apapa. Kenapa dihapus? Kamu kan, tunangan aku."
'Iya benar. Tapi kenapa kamu kayak kaget gitu pas aku cium?'
"Aku pikir kakak bakalan marah."
Andra meraih tangan Bulan, "Aku bukannya ga suka kamu cium atau apapun itu. Aku tau kamu pengen kayak orang-orang. Kamu tau kan, aku cuma pengen jaga kamu. Supaya saat menikah, kamu utuh dan aku pasti bakalan seneng banget bisa jaga kamu sampai kita sah."
Bulan tertunduk. Benar, sih. Andra ga salah. Tapi kadang ada hasrat yang ingin dituntaskan saat dia bersama Andra seperti ini. Bukan pervert. Bulan sudah cukup dewasa soal itu.
"Aku ngerti, kok."
"Good." Andra mengelus kepala Bulan dengan kasih sayang. Lalu mereka mengobrol panjang sambil makan makanan yang tersaji di atas meja.
Bulan sibuk bercerita tentang undangan yang belum juga diantar oleh percetakan, ketering, dan baju pengantin yang akan dia beli besok. Ditengah itu, ponsel Andra berbunyi hingga Bulan harus berhenti bicara. Terlebih melihat Andra yang tampak mulai gelisah.
"Kenapa?" Tanya Bulan.
"Em.. kamu jam berapa masuk kerja?"
"Satu jam lagi."
Andra menggaruk kepalanya. "Gini, sayang. Temen aku butuh bantuan banget. Kamu ga apapa kan, kalo aku tinggal disini. Maaf, aku ga bisa antar kamu ke resto. Maaf banget, ya." Andra merogoh dompet dan meletakkan beberapa lembar uang biru dan pergi setelahnya.
Melihat betapa buru-burunya Andra, membuat Bulan tergerak ingin mengikuti. Dia pengen tahu, apa yang membuat Andra seperti itu.
Bulan menyetop taksi, meminta supir mengikuti mobil putih milik Andra di depan. Dengan perasaan tak enak, Bulan terus memantau mobil milik kekasihnya.
Gadis itu memilin jari-jari. Jantungnya berdegup kencang karena ini kali pertama dia mengikuti Andra. Apa lelaki itu akan marah kalau tahu Bulan mengikutinya? Setidak percaya itukah Bulan padanya?
Entahlah. Bulan hanya ingin memastikan sesuatu. Bahwa semua kecurigaannya soal Andra salah. Wajar jika Andra tidak mau menyentuh, karena ingin menjaga dirinya. Hanya saja Bulan sedikit terusik.
Mobil Andra berhenti di sebuah kos-kosan cukup mewah. Dia memantau, melihat pergerakan Andra yang buru-buru masuk ke dalam pagar hitam.
Kos-kosan siapa ini? Bulan tegang dan penasaran, dia turun dari taksi dan mengikuti Andra dengan cepat.
Andra berhenti di salah satu deretan pintu kamar di sebuah lorong. Dia mengetuk pintu dengan sabar, lalu terbukalah pintu itu.
Ketegangan Bulan semakin mengendur dan luruh berganti dengan tubuhnya yang serasa tak memiliki tulang saat dilihatnya Andra berpelukan dengan seorang lelaki yang baru saja membukakan pintu. Pelukan manja, lelaki itu bahkan merebahkan kepalanya di dada Andra.
Bulan yang mengintip dari balik tembok lorong, merasa dunianya runtuh tatkala menyaksikan betapa perhatian Andra pada lelaki itu. Mengecek wajah, tangan, dan menangkup kedua pipi lelaki itu dengan wajah khawatir.
Tubuh Bulan bergetar dengan hati berdenyut, menyangga tubuhnya dengan bersandar di tembok. Andra ternyata memang tidak pernah punya perasaan padanya, karena lelaki itu tidak mencintai seorang wanita, melainkan pria. Bulan terjongkok pasrah disana, tatkala ia mendengar pintu ditutup dan dikunci dengan Andra di dalamnya.
TBC.....
Jangan lupa baca Dear Majikanku yang Lumpuh, yaa. Bantu komen disana🫰
Bulan rasanya ingin menjerit meneriaki nama Andra saat pria itu masuk dan debaman pintu terdengar jelas di telinganya.
Bulan menggelengkan kepala. Nggak mungkin. Andra bukan cowok seperti itu, kan. Bayangan Andra yang membelai rambutnya, mengecup tangannya, dan mengobrol sambil mengelus punggung tangannya dengan lembut kembali terbayang di kepala Bulan. Tapi yang ia lihat barusan itu.. apa.
Gadis itu mendekati pintu. Dia ingin memastikan langsung, bahwa apa yang ia pikirkan saat ini adalah salah. Bisa aja itu memang temannya yang lagi sedih dan butuh Andra. Ya, mungkin begitu.
Tangan Bulan menggantung. Ingin mengetuk pintu, tapi dia harus memikirkan jawaban apa yang akan ia beri pada Andra apabila ternyata mereka tidak seperti yang Bulan pikirkan. Atau apa yang harus ia lakukan jika ternyata memang Andra punya kelainan seperti yang ia sempat bayangkan.
Bulan menarik napas perlahan. Dia menatap pintu cukup lama, sampai tekatnya bulat dan ia pun mengetuk pintu.
Satu kali. Tidak ada jawaban. Bulan kembali mengetuk, kini lebih kencang dan tempo cepat tanpa jeda, sampai si pemilik kamar kesal dan membuka pintu sambil marah-marah.
"Apa, sih? Bisa nggak, ngetuknya pelan-pelan. Di dalam gak budek, tau- Eh." Lelaki itu segera menutup mulut, seperti menyadari siapa yang tengah ia berikan omelan.
Tubuh Bulan bergetar, melihat lelaki itu berdiri tanpa baju di tubuhnya. Terlihat bercak merah kebiruan di leher dan dadanya. Gadis itu menegang dengan tangan yang mengepal saat ia mendengar suara Andra.
"Beib. Siapa?"
Air matanya langsung terjatuh dengan napas tertahan. Andra....
"Di-dia..." lelaki itu sempat tegang, juga Andra yang muncul dan berdiri mematung disana.
"B-bulan.."
Sejenak mereka berdiam, mencerna apa yang sekarang tengah terjadi diantara mereka. Lalu kemudian, Andra cepat-cepat memakai bajunya dengan wajah pias. Tidak pernah dalam dugaannya bahwa Bulan, si gadis penurut ternyata membuntutinya.
Bulan masih diam dengan sesegukannya. Rasanya ini hal yang paling buruk yang pernah terjadi dalam hidupnya. Memergoki Andra berselingkuh, ah.. mungkin tidak sesakit ini ketika ternyata selingkuhannya adalah seorang yang lebih cantik darinya. Tapi ini...
Rasanya ingin roboh, namun Bulan cepat mundur tatkala Andra mendekatinya dengan panik.
"Bulan ... Bulan.."
Gadis itu menangis dalam diam. Dadanya terguncang, namun ia masih bertenaga saat Andra mencoba meraih tangannya, Bulan segera menepisnya.
Suara Andra bergetar. Wajahnya menunjukkan ketakutan saat ternyata rahasianya diketahui oleh calon istrinya.
Dengan berani Bulan menatap mata resah Andra. Mata yang selama ini Bulan pikir menyiratkan kasih sayang, ternyata ia tertipu besar.
'Katakan ini mimpi, kumohon...'
"Bulan... please, dengerin aku..." Andra berucap dengan wajah mengiba, meminta Bulan untuk mau mendengarkannya sebentar saja. Karena dia ingin menceritakan segalanya.
Bulan menggeleng cepat. Begitu hancur perasaannya. Cinta pertama dan hubungan dua tahun lamanya, itu semua apa? Bulan hanya bisa menangis tanpa suara. Dia sudah tidak mampu berpikir dikala Andra telah meleburkan semua harapan dan cintanya.
"Kenapa..." lirih Bulan dengan sesegukan. Dadanya sakit, terasa menyesakkan.
"Bulan ... "
"Kenapa!" Teriak Bulan keras, sampai urat lehernya keluar. Wajah Bulan merah, menahan marah dan kesedihan sekaligus.
Andra hanya menunduk. Melihat sorot kecewa di mata Bulan membuatnya tidak bisa mengatakan apa-apa. Lelaki itu mengepalkan tangan kuat-kuat, mengutuk dirinya.
"Kenapa kamu mau nikah sama aku ... padahal kamu ga cinta sama aku ..." Bulan sesegukan. Kepalanya terasa berat, ini seperti dihantamkan ke tembok berkali-kali.
"Maaf..."
Bukan itu yang ingin ia dengar. Bukan itu...
"Kita.. mau nikah, Andra... semua itu apa..." Suara Bulan terputus-putus. Sesak di dada begitu menyiksa hingga yang bisa Bulan lakukan hanya menangis. Namun ia ingin jawaban. Dia ditipu habis-habisan oleh Andra, orang yang sangat dicintainya.
"Kamu jahat, ... kamu jahat." Bulan memukuli dada Andra. Dia memukuli lelaki itu dengan tenaga yang sudah hilang. Andra yang bersalah hanya diam. Dia membiarkan Bulan melakukan apapun, karena dia sadar telah menghancurkan cinta perempuan itu.
"Stop, stop!"
Lelaki yang menjadi pasangan Andra melerai. Tampak wajahnya tak suka ketika Bulan memukuli Andra.
"Udahlah. Buat apa nangis? Kamu ga liat, Andra ga suka sama kamu. Dia pacar aku, jauh sebelum dia mengenal kamu. Andra sengaja deketin kamu supaya orang tuanya berhenti nyuruh-nyuruh dia buat nikah! Kalo kamu udah ngerti, sana pergi. Ngeganggu aja!"
"Bobi!" Teriak Andra pada pria itu.
Ah.. begitu, ya. Air mata Bulan tumpah sejadi-jadinya. Itukah alasannya? Sungguh...
"Jahat sekali..." Lirih Bulan.
"Bulan, please-"
Bulan menghindari tangan Andra yang ingin menggenggamnya. "Cukup. Hubungan kita selesai, dan cepat beritahu ibumu, aku memutuskanmu."
"Bulan!"
Teriakan Andra tak lagi ia hiraukan. Bulan berlari keluar dengan hati yang remuk. Perasaan cinta yang luar biasa di hatinya dibakar dan terbang menjadi abu oleh Andra sendiri. Bagaimana sakitnya, Bulan tidak pernah berpikir sekalipun kalau cintanya akan berakhir seperti ini. Tidak pernah.
Dan kini, tidak akan ada lagi pernikahan. Dia harus mengatakan semuanya pada orang tua Andra, dan juga pada ibunya sendiri.
...🦋...
Bulan tersedu-sedu dalam pelukan sahabatnya. Setelah mendengarkan cerita Bulan yang ternyata sesuai dugaan, mereka jadi kasihan dan prihatin. Terlebih acara pernikahan Bulan sebentar lagi. Melihat rintihan Bulan membuat hati ketiganya ikut teriris.
"Bulan..." Nadin yang paling depan memeluk Bulan. Gadis itu ikut berlinangan air mata. Bulan tersedu-sedu sampai baju Nadin ikut basah.
Wina dan Yeshika pula naik ke ranjang dan ikut mengelus punggung Bulan supaya gadis itu bisa lebih tenang.
"Aku ga nyangka.. hiks..."
"Bulan, udah ya. Aku tau kamu pasti sedih banget. Tapi Andra loh, bukan cowok yang cocok untuk ditangisi!" Tukas Yeshika mengerang kesal. Kalau aja Andra ada di disini, udah pasti gadis itu akan menonjok wajahnya.
"Emang kasus ini ga sedikit..." Ucap Wina, mengenggam tangan Bulan. "Banyak dari mereka menikah cuma untuk menyembunyikan diri dari pandangan buruk orang-orang."
"Tapi kenapa harus aku...."
Suara Bulan dipelukan Nadin membuat semua diam. Benar, Bulan gadis baik. Kenapa Andra jahat menjadikannya korban atas penyimpangan yang dia lakukan? Demi menutupi semua, dia memanfaatkan perasaan Bulan padanya.
Setelah beberapa jam, Bulan mulai tenang. Dia bersandar di kepala ranjang, mengompres mata yang bengkak. Setelah dipikir-pikir, benar juga. Buat apa dia menangisi Andra. Tidak ada gunanya, terlebih Andra tidak akan menyesal karena dia tidak selera dengan perempuan.
Bulan mengecek ponsel. Banyak sekali panggilan tak terjawab dari Andra, juga rentetan pesan permintaan maaf dan penyesalan Andra. Tidak guna. Itu tidak membuatnya lebih baik. Lalu ada pula pesan dari bosnya. Ah, sial. Dia pasti dipecat kalau mendadak tidak datang tanpa kabar begini.
"Mbul, kamu gimana. Ikut kita aja, ya.."
Ketiga temannya tengah bersiap-siap menuju acara pesta teman mereka. Sebenarnya Bulan diundang, tetapi dengan kondisi yang sekarang, Bulan tidak mungkin menunjukkan wajahnya.
Yeshika mendekat, "Mbul, dari pada di kamar, trus buat kamu jadi ngelamun ga jelas, mending ikut kita aja."
"Bener, Mbul. Ayo, kita senang-senang. Lagian kamu kan, kerja terus. Pasti udah lama ga party. Ayo kita kesana!"
Bulan menyedot ingusnya, kayaknya bener juga. Dari tadi matanya sampe capek nangis terus. Rambutnya lepek, kepalanya pusing.
"Gimana? Kita tunggu, nih. Inget, cowo lu itu gay. Ga guna ditangisi." Tukas Wina mencoba membuat Bulan berpikir logis.
"Ayo, Mbul. Udah lama kita ga nongki cantik. Udah lama ga tebar pesona..."
"Go Bulan, Go!"
Ketiganya kompak memberi semangat, membuat Bulan akhirnya terkekeh pelan.
"Iyaa iyaa. Oke. Aku ganti baju dulu." Ucapnya dengan suara parau.
"Yeaayy!" Kompak ketiganya riang saat Bulan masih bisa berpikir dengan baik.
Bulan membuka lemari, mengambil satu dress bertali spaghetti burgundy yang sudah lama sekali tidak ia kenakan. Sebab dilarang oleh Andra sialan itu.
Bulan lalu mengambil dangle earrings miliknya dan memasang di telinga. Senyumnya muncul melihat anting kesayangannya akhirnya terpakai juga.
Kemudian ia mengaplikasikan make up tipis, eyeliner, lipstik merah dan sepatu heels yang membuatnya terlihat lebih percaya diri dan... anggun.
"Wuaaah... Bulan kita..."
"Nah, gini kalau Bulan kita yang biasa jadi chef di dapur bermake-up, beuhhh...."
Senyum Bulan muncul. Benar juga, ya. Selama pacaran dengan Andra, lelaki itu banyak ngatur. Ga boleh dandan, sampai pakai baju minim dan high heels pun Bulan tinggalkan. Bodohnya semua itu dibalas dengan kisah cintanya yang tragis.
Bulan menatap diri di cermin. Tidak dipungkiri, hatinya masih sakit dan suasana batinnya sendu. Tapi dia tidak mau begini terus, menangisi gay sialan itu. Dia harus bangkit.
"BERANG-BERANG MAKAN COKLAT. BERANGKAAAT!!" Seru teman-teman Bulan serentak, dan mereka menuju lokasi dengan mobil Wina.
~
"Yang ini kan, gedungnya? Aku takut salah, deh."
Mereka sudah keluar dari mobil, dan dihadapkan dengan deretan gedung besar.
"Duh, yang mana satu? Jangan sampe ya, kita salah masuk." Ujar Wina.
"Cek satu-satu aja nggak, sih.."
Ketiganya sibuk menatap ponsel, memperhatikan alamat yang ada di undangan digital.
Ditengah kebisingan teman-temannya, Bulan melihat dua orang yang baru ia labrak siang tadi masuk ke dalam bangunan bertuliskan Bar and Lounge. Padahal baru berpisah, mereka langsung menunjukkan diri seperti itu? Nggak tahu malu.
Tanpa berpikir lagi, Bulan langsung masuk mengikuti keduanya. Darahnya mendidih, tak sabar dia ingin membalas perbuatan dua bajingan yang tengah bersenang-senang di atas penderitaannya. Malam ini juga, Bulan akan melampiaskan emosinya....
Ditengah kebisingan teman-temannya, Bulan melihat dua orang yang baru ia labrak siang tadi masuk ke dalam bar. Padahal baru berpisah, mereka langsung menunjukkan diri seperti itu? Nggak tahu malu.
Bulan masuk tanpa sepengetahuan teman-temannya, ke dalam bar mengikuti Andra dan kekasih laki-lakinya.
Bulan mendapati dua orang itu berada di dalam ruang kecil bersekat kaca, hingga terlihatlah apa yang mereka lakukan di dalam. Cowok bernama Bobi itu tengah tertawa-tawa di pelukan Andra. Pria itu, wajahnya kusut, tetapi tetap tersenyum saat Bobi mengajaknya bercerita.
"Brengsek." Desis Bulan. Dia berjalan sambil meraih satu botol minuman yang ada di meja orang yang tak ia kenal. Bulan menenggaknya sambil berjalan mendekati Andra.
Pemandangan hina. Dia benci melihat itu. Mungkin dia bisa menerima jika Andra memilih perempuan yang lebih baik darinya. Ya, Bulan cukup sadar diri. Mendapatkan Andra yang seorang anak pengusaha adalah hal hebat baginya. Dibanding dirinya yang hanya tamatan SMA dan bekerja sebagai asisten chef di sebuah resto mewah tengah kota. Dia akan memaklumi, tapi bukan dengan cowok itu...
Ketawanya lebar banget kayak badut. Bulan benci. Dia mau menghabisi cowok sialan itu.
Bulan menenggak minuman yang ternyata membuatnya sempoyong, pusing, dan mendadak perasaan sepahit minuman keras itu menimbulkan rasa kecewa di hatinya menjadi begitu terasa. Bulan... menangis.
"Bulan."
Andra berdiri, terkejut melihat Bulan yang berani masuk ke dalam sebuah tempat hiburan malam.
Dilihatnya pula gadis itu menggenggam sebotol minuman keras. Wajahnya basah. Bulan belum bisa menerima apa yang terjadi pada dirinya.
"Bulan, tolong jangan seperti ini." Andra mendekat, ingin menenangkan Bulan.
TRANG!
Gadis itu menghentakkan botol yang ia genggam ke tembok, hingga suara pecahan kaca membuat semua orang diam dan kini menatap mereka yang di dalam ruang bersekat kaca.
Botol pecah yang ia pegang diarahkan Bulan pada Andra yang ingin menyentuhnya. Dia memang masih sayang, tapi untuk disentuh, dia merasa jijik.
"Jangan berani menyentuhku!" Dengan tangan lain, Bulan menghapus kasar air matanya. Dia tak ingin terlihat lemah, tapi air mata sialan ini terus saja mengalir. Agaknya Bulan sedikit mabuk...
Suasana di club malam itu menjadi begitu menegangkan. Tak ada yang berani mendekat terlebih Bulan mabuk. Bisa saja dia melayangkan pecahan botol ke sembarang orang.
Andra berusaha tenang di tengah ancaman Bulan. Dia tahu gadis itu takkan menyakiti, tapi ini Bulan mabuk. Kedipan matanya pun begitu lamban. Bulan tidak bisa berdiri dengan benar.
"Bulan, mari kita bicarakan baik-baik."
"Ngga ada yang perlu dibicarakan lagi. Kita udah selesai. Tapi ngeliat kamu langsung bahagia gitu buat aku semakin terluka." Ucapnya dengan nada rendah. Walau tangannya masih mengacungkan botol pecah, wajah Bulan tidak terlihat mengancam. Justru yang ada, matanya terlihat lelah.
"Bulan, aku memang brengsek udah nyakitin kamu. But trust me, aku benar-benar sayang sama kamu."
Bullshit. Bulan benci sekali mendengarnya. Bisa-bisanya udah ketangkep basah ngamar dengan laki-laki, bilang sayang ke dirinya? Cuma orang bodoh yang percaya.
"Bulan. Ini bukan seperti dirimu. Tolong ya, kita bicarakan baik-baik."
Bulan menatap wajah Andra yang mulai berbayang. Kepalanya pusing.
"Bulan-"
Andra mendadak mundur saat Bulan menaikkan lagi tangannya, mengancam dengan botol pecah yang ada di tangannya.
"Jangan dekat-dekat ..." Bobi, dia berusaha melindungi Andra, berdiri seolah menjadi tameng bagi mantan tunangan Bulan. Melihatnya Bulan semakin benci saja.
"Bulan. Maafin aku. Kuakui, aku memang sayang sama kamu. Tapi..." dia menoleh pada Bobi di sebelahnya, dan itu membuat Bulan sangat mengerti maksudnya.
"Brengsek..." lirihnya. Bulan yang dipengaruhi alkohol tak bisa berpikir logis karena perasaannya sakit sekali. Air matanya tumpah, dia mulai sesegukan lagi.
Tampak pula tangan Bobi melingkar di lengan Andra, tempat favoritnya dulu.
Tentu itu membuat gejolak amarah Bulan menjadi-jadi. Dia mendongak, mencoba menahan air yang sialnya, lolos dari matanya tanpa bisa ia tahan.
"Bulan, please..."
"Kenapa harus aku..." lirih Bulan terisak. Pertanyaan yang terus melayang di benaknya. Bulan menangis sampai bahunya terguncang. Andra tidak bisa menjawabnya.
Kalaupun memang Andra tidak bisa mencintai perempuan, kenapa harus mencari korban, dan kenapa harus dia. Mungkin Andra tidak akan merasakan apa-apa. Tapi dia, Bulan, mengalami patah hati dan traumatis. Apa dia tahu?
"Lo emang brengsek..." Bulan menangis sampai tak peduli banyak mata yang memperhatikannya. Bahunya terguncang, Bulan tak bisa mengendalikan air matanya.
Lalu tiba-tiba, Bulan merasa lengan kanannya disentuh seseorang dengan lembut. Sentuhan yang menjalar dan meraba dari bahu, siku, dan punggung tangan Bulan.
Siapa ini? Pandangannya yang agak buram, juga sentuhan lembut itu membuat Bulan hanya diam, perlahan tangan besar yang menyentuhnya mengambil alih botol itu dari tangan Bulan.
"Jangan gegabah..." Suara berat itu berbisik di telinga Bulan. Aromanya memabukkan. Seketika pikiran Bulan memaksanya untuk sadar. Bau maskulin menyenangkan ini tercium jelas karena Bulan bisa merasakan tubuh bidang menempel di punggungnya.
"Emosi tidak bisa membuatmu berpikir jernih..." Bisikan di telinga membuat Bulan ingin menoleh.
Ia berbalik badan, melihat siapa yang ada dibelakangnya ini. Namun saat ia memutar tubuh, kakinya tidak bisa berdiri dengan benar karena pandangannya terasa berputar.
Tangan besar itu menahannya, memeluk pinggang Bulan yang hampir saja terjatuh, sampai Bulan mendaratkan pipinya di dada pria itu. Beberapa detik merasakan degupan jantung orang asing ini membuat pikiran Bulan sempat teralihkan. Belum lagi aroma tubuh ini...
"Hei. Jangan sentuh Bulan!"
Itu suara Andra, Bulan masih bisa mendengar itu walau otaknya tengah sibuk membaui aroma yang malah menumpulkan kesadarannya.
"Andra! Apa, sih. Biar aja dia. Jangan urusin cewek itu lagi."
Sial. Bulan benci suara itu. Bobi, si cowok brengsek pertama yang ia benci setelah Andra. Dia menjadi orang yang tertawa paling lebar saat Bulan setengah mati menahan perasaannya yang hancur.
Bulan berdiri tegak atas bantuan lengan pria itu, memutar tubuhnya menghadap Andra dan Bobi yang saling bersisian.
"Udah sana, pulang! Gara-gara lo acara kita jadi berantakan." Seru Bobi lantang saat pecahan kaca sudah tidak ada di tangan Bulan. "Lo tuh seharusnya nyadar! Ketertarikan Andra itu gue, bukan el-"
BUK!
Satu hantaman Bulan layangkan pada lelaki non-tulen yang telah memporak porandakan hidupnya. Tidak bisa lagi ia tahan. Kepalan tangan akhirnya melayang sempurna ke hidung Bobi.
"Aaahhh Brengsekkk!" Bobi mengerang. Terlebih Andra tidak membantunya, malah berdiri menatap Bulan dengan tatapan penuh penyesalan. Berbeda dengan Bulan. Dia menatap Andra dingin. Baginya, setelah malam ini, ga akan ada malam cekam seperti ini lagi dalam hidupnya.
Tidak peduli dengan kerusakan, tatapan, juga bisikan orang-orang, Bulan melangkah pergi tanpa mengatakan apa-apa pada Andra. Dia berlalu begitu saja dengan langkah yang tak seimbang. Sesekali ia menabrak orang, lalu kembali berjalan sampai sosoknya hilang dibalik kerumunan.
Kemunculan bulan dari balik pintu besar membuat ketiga temannya langsung menghampiri. Mereka sejak tadi mencari Bulan yang bahkan meninggalkan tasnya di mobil.
"Bulaan!"
Bulan terduduk di depan dengan air mata yang kembali jatuh. Sesak sekali. Dia menangis tersedu-sedu dipelukan ketiga temannya.
Ini sakit... Bulan tidak bisa mengataknnya. Namun sahabatnya mengerti, suara tangisan Bulan menggambarkan semuanya.
...🍀...
Sampai di rumah, Bulan yang masih dalam keadaan hati remuk, harus menghadapi mamanya.
"Darimana kamu? Udah gila ya, batalkan pernikahan gitu aja?"
Bulan yang masih diambang pintu rasanya ingin kembali ke nightclub dan banyak minum disana. Bodoh memilih pulang dan harus mendengar ocehan Nita.
"Liat, setelah putus malah balik lagi main ke klub-klub. Mau jadi apa? Kamu gak kerja? Bolos, kamu? Gila, ya!"
Nita mengomel panjang lebar pada Bulan. Gadis itu sudah tidak ada tenaga. Dia hanya diam, karena dijawab pun tidak ada gunanya.
"Kenapa sih, kamu gak bisa mikir pakek otakmu itu? Seharusnya gak jadi masalah kalau Andra pecinta sesama jenis. Jadi dia gak nyentuh kamu! Kamu itu ngaca, gak ada pengusaha sebaik Andra yang mau menerima kamu. Diangkat derajatnya kok malah nolak. Bodoh!"
Bulan memejamkan mata. Dikata-katain bodoh oleh Nita, memang bukan pertama kali. Tapi hari ini di hatinya terdapat luka menganga. Apa tidak bisa Nita mengerti sedikit saja?
"Udah kubilang kan, kalo laki-laki dari belahan manapun itu sama aja! Kamu aja yang ngimpi-ngimpiin rumah tangga harmonis. Taii! Jadi ketimpa tangga, kan! Udahlah, bilang sama Andra, kamu terima pernikahan itu. Biarin aja dia sama pasangan homonya. Yang penting hidupmu enak, banyak duit! Aku bilang begini karena dulunya juga bego kayak kamu!"
Bulan menghela napas perlahan, kepalanya pusing. "Ma... please. Hari ini... aja." Bulan mau istirahat.
"Aku malu. Kamu gak mikir gimana aku jadi omongan orang-orang kalo tau kamu batal nikah, hah? Mau ditaro dimana mukakku? Sialan!!" Pekik Nita menggebu kesal. Sementara Bulan memijit pelipisnya yang berdenyut.
"Kalo kamu gak mau nikah sama Andra, pergi aja dari rumah ini. Kamu ikut Dina di Jakarta. Besok orang suruhannya akan datang kesini. Aku gak mau tau, kamu harus ikut dia! Dia mau biayain hidupmu. Sana pergi, malu aku kamu disini!"
BRAK! Nita membanting pintu kamarnya dengan keras, membuat jantung Bulan ikut berdetak kaget.
Air matanya kembali mengalir. Sial sekali. Orang tua satu-satunya pun tidak mengerti. Bukan mendukung, Nita malah memakinya habis-habisan.
Bulan menjatuhkan high heels yang sejak tadi ia tenteng. Terserahlah, dia merasa hidupnya memang sudah berantakan.
Lagian, memang perlu dia pindah ke rumah Dina. Adik mamanya yang sejak kecil ingin membawanya karena Dina gak punya anak perempuan. Disana, Bulan akan mendapatkan pendidikan gratis dan tentu saja suasana yang baru. Dia membutuhkan itu.
Bulan masuk ke kamarnya, lalu berdiri di depan cermin. Rambutnya lepek, make up-nya berantakan, sama seperti hidupnya saat ini.
Bulan menarik napas. Rasanya lelah, kepala juga berdenyut karena minuman tadi. Bulan ingin segera memejamkan mata. Namun matanya malah semakin melebar ketika melihat sebelah anting kesayangannya hilang.
"Loh." Bulan menyentuh telinga, menengok kesana kemari. Kemana anting sebelahnya? Kok cuma satu?
Ukh!
Bulan merasa sialnya double. Anting kesayangnnya... Malah hilang entah kemana.
...🍀...
"Bulaan.. selamat datang, sayang." Dina memeluk Bulan yang baru saja sampai di rumahnya.
Koper dan segala macam bawaannya diambil alih oleh asisten Rumah Tangga Dina.
"Ayo, masuk."
Wanita yang tidak ada miripnya dengan Nita itu merangkul Bulan masuk. Dia sudah mendengar berita gagalnya Bulan menikah, hingga muncul ide untuk membawa gadis ini ke rumahnya, dan menguliahkan keponakan kesayangannya ini.
"Nah, Bulan. Ini rumah tante. Bulan kan, ga pernah kesini. Dari dulu tante mulu yang kesana." Ucapnya cemberut, kemudian tersenyum lagi. "Sekarang Bulan tinggal disini, ya."
Bulan memperhatikan sekeliling. Luas sekali. Rumah tantenya sangat besar dan mewah.
"Bulan kamarnya di atas, ya. Dekat kamar Selatan dan Samudra."
Hah? Ah, Sepupunya, ya. Bulan saja lupa wajah mereka. Kapan ya, terakhir ketemu. Ada mungkin, 7 tahun yang lalu.
"Nah, Bulan. Nanti kalau mau berenang ada disana, itu dapur, dan ....." Dina menunjuk-nunjuk berbagai tempat pada Bulan yang hanya diam mengikuti arah tangan Dina.
"Oh, itu dia! Samudra Biru, Bulan datang, nih. Cepat turun!"
Mendengar itu, mata Bulan naik ke atas, dimana lelaki bernama Samudra Biru berdiri di lantai atas dengan kedua tangan bersangga pada besi pembatas lantai.
Bulan melihat wajah sepupunya sebentar. Dengan cepat kilat Bulan mengalihkan wajah saat matanya menangkap tubuh atletis Samudra Biru yang hanya memakai kaos tanpa lengan. Itu mengusiknya.
Entah kenapa, melihat laki-laki berbadan tegap tak lagi membuat Bulan berselera seperti dulu. Trauma, baginya laki-laki seperti itu kemungkinan besar adalah pecinta sesama jenis seperti Andra, si brengsek yang telah berhasil mematikan hatinya.
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!