"Cepat kau bayar hutangmu sekarang juga!" gertak seorang pria bertubuh kekar.
Tangannya mencekik kuat leher wanita yang ada didepannya.
"A-ku, akan melunasinya. Tapi, toollloong beri a-ku waktu," kataku terbata-bata menahan sakit cengkraman pria itu.
Dengan kasar dilepasnya wanita itu sampai tubuhnya terjatuh membentur tanah.
"Kuberi waktu kau sampai 2 minggu untuk melunasi hutangmu! Kalau sampai kau tidak menepati janjimu, akan kujual kau sebagai wanita malam!"
Wanita itu hanya terdiam meringis kesakitan. Pria itu berbalik meninggalkannya dengan kesal.
Dengan perlahan Ana berdiri dan berjalan tertatih-tatih.
"Aku harus segera melunasi hutang
orang tuaku agar tidak tersiksa seperti ini lagi."
"Entah apa yang harus aku lakukan untuk melunasinya, setiap hari aku bekerja tanpa henti tak kenal lelah."
Kupandangi langit malam ini dihiasi bintang yang indah.
"Ayah,Ibu... aku merindukan kalian." gumamku dalam hati.
Tak terasa air mataku membasahi pipiku dan aku menangis tersedu-sedu.
Beverly Juliana Pricilla. Umurku 23 tahun, berkulit sawo matang, mata bulat bewarna coklat, rambut panjang dan mempunyai lesung pipi di pipi kanan dan kiriku.
Jika aku tersenyum, aku tampak begitu manis. Postur tubuhku ideal. Aku seorang gadis yatim piatu. Orang tuaku meninggal 2 tahun yang lalu karna sebuah kecelakaan pesawat yang menewaskan semua penumpang di dalamnya.
Kini aku sebatang kara di kota ini. Anggota keluargaku yang lain tak ada yang mau mengadopsiku. Dan seakan tak pernah mengenalku. Mungkin karna orang tuaku meninggalkan begitu banyak hutang, sehingga mereka enggan mendekatiku.
Aku bekerja dan berjuang sendiri untuk mencukupi kebutuhanku dan membayar hutang sedikit demi sedikit. Aku hidup serba kekurangan, tapi aku bersyukur dengan hidup yang kujalani apa adanya. Aku menjalani keseharianku dengan penuh semangat meski begitu sulit setiap harinya.
Aku kembali berjalan menuju tempat kerjaku. Di malam hari, aku bekerja sebagai penjaga toko. Aku memasuki toko dan meletakkan tas serta berganti pakaian seragam kerjaku.
Aku mulai menata barang pada rak yang tertata rapi.Tak lama, masuk seorang pelanggan. Aku segera berlari menuju kasir menyambut pelanggan itu dengan ramah.
"Selamat malam Tuan," kataku menyapa sambil tersenyum kecil.
Pelanggan itu hanya melewatiku tanpa peduli. Kuperhatikan dia dari kejauhan. Penampilannya sangat tertutup.
Dia memakai jaket hitam yang tebal dan longgar, memakai topi hitam, masker hitam dan kacamata hitam.
Hanya orang aneh yang memakai kacamata hitam seperti itu di malam hari. Mungkin, dia ******* atau buronan begitu fikirku. Aku bergidik memikirkannya. Ia mendekatiku dengan membawa sekeranjang yang penuh dengan minuman kaleng dan Snack.
Aku mescan satu-persatu barang yang ia beli. Dengan gugup tanganku gemetar. Pikiranku kacau membayangkan hal yang menakutkan.
*Bagaimana kalau dia perampok dan aku akan disandera olehnya? Atau mungkin dia ****** yang akan melemparkan bom di tempat ini?
Mataku berkeliling melihat kesekitar dan tidak ada seorang pun disini. Aku menarik napas dalam-dalam mencoba untuk tenang.
"Total pembelanjaan anda (Seratus Dua Puluh Lima Ribu)Tuan," kataku gugup.
Tanpa kata, ia mengeluarkan dompet dan merogoh beberapa lembar uang.
Lalu ia menyodorkan (Seratus Lima Puluh Ribu) padaku. Dengan ragu, aku menerimanya dan memberinya (Dua Puluh Lima Ribu). Dengan kasar ia menerima uang itu dan bergegas pergi.
Aku menghela napas lega karna tidak terjadi apapun. Aku merasa bersalah padanya karna berpikir yang tidak-tidak.
Aku kembali meninggalkan meja kasir dan melanjutkan pekerjaan yang tertunda tadi. Baru selangkah aku berjalan, mataku tertuju pada sebuah dompet di meja kasir.
Aku mengambil dompet itu dan membukanya. Terlihat kartu identitas didalamnya
"Kurasa ini milik pria tadi," kataku menebak.
Aku menatap lekat-lekat foto yang terpampang di dompet itu.
"Seperti tidak asing, aku seperti pernah melihatnya entah dimana dan kapan," kataku sambil mengingatnya.
Jordan Fransisco itu nama yang tertera di kartu identitas dan lagi-lagi aku merasa tak asing mendengar namanya.
Otakku berputar mencoba mengingatnya.
"Aaaahhh!! entahlah."
"Lalu, harus kuapakan dompet ini?" tanyaku pada diriku sendiri.
Aku membuka semua bagian di dompet itu. Terdapat (lima) kartu kredit, kartu identitas,
SIM, kartu nama dan sepuluh lembar uang (lima puluh ribu).
Kuamati lagi kartu identitasnya. Tertulis alamat rumahnya yang berada jauh dari kota ini. Kurasa dia pendatang di kota ini, mungkin dia sekedar bekerja di kota ini.
Aku juga melihat kartu nama di dompetnya dan tertera nomor telepon pemiliknya.
"Aku akan menyimpannya dulu dan akan aku hubungi nanti."
Ana menyimpan dompet itu ke dalam saku celananya.
Kriet! bunyi pintu terbuka.
Aku membalikkan badan dan mataku langsung melotot terkejut karena tak kusangka pria itu akan kembali lagi.
Pria itu melangkah mendekatiku, ia membuka kacamata dan masker hitamnya. Ia memandangku dengan tatapan tajam namun menawan.
Aku terpesona olehnya, tak kusangka dibalik penyamarannya itu terdapat wajah yang begitu tampan.
Ia mendekatiku dengan sangat dekat dan menundukkan wajahnya menatapku dengan mata besarnya. Aku hanya terdiam mematung merasa kikuk didepannya.
Keringat dingin mulai bercucuran saat ia meraba buah dadaku, dan tangan itu mulai turun kebawah merogoh saku celanaku.
Dia mengambil dompetnya kembali dan berbalik pergi tanpa sepatah katapun. Aku tercengang beberapa saat. Tidak kusangka apa yang telah terjadi padaku barusan.
Argh!! teriakku histeris.
"Ini pelecehan!!" kataku kesal.
Aku berlari keluar dan membanting pintu mencari sosok pria bre****k itu. Tapi aku terlambat bertindak karna kebodohanku sendiri.
Aku berlari meninggalkan toko. Mencarinya kebingungan dan tak mendapatkan hasil.
Hosh... hosh... Hosh. Nafasku terengah-engah berlarian hampir (tiga puluh menit).
"Aku sungguh tak terima ia melecehkanku seperti itu!" kataku dengan emosi yang meledak.
"Tapi, aku juga bodoh karna hanya diam saja seakan aku menerimanya!" gumamnya.
Aku mencoba berpikir apakah aku salah atau benar sampai aku teringat bahwa tidak ada seorang pun di toko saat ini.
"Astaga!! Mati aku kalau sampai bos tau aku meninggalkan toko begitu saja!"
Aku bergegas lari secepat mungkin dan sampai di toko dalam waktu dua puluh menit. Aku membuka pintu dan Pak Burhan sudah berdiri dengan melipatkan tangannya melihatku dengan mata tajamnya sampai aku tak berani untuk menatapnya. Aku hanya menundukkan kepala, takut dan merasa bersalah.
"Ana... kau di pecat hari ini." kata Pak Burhan dengan nada datar. Sontak aku terkejut mendengarnya.
"Saya minta maaf Pak, karna meninggalkan toko begitu saja, tapi tolong beri saya kesempatan untuk memperbaikinya," kataku memohon.
"Apakah kau tau apa yang terjadi ketika kau meninggalkan toko?" tanya Pak Burhan dengan nada emosi.
Aku menggelengkan kepala dengan lemah, tak tahu yang sebenarnya terjadi.
"Uang kasir lenyap tanpa tersisa Ana, aku tidak menyangka kau bisa teledor sepeti ini," kata Pak Burhan kecewa.
"Saya sangat minta maaf Pak, tolong dengarkan penjelasan saya, tadi ada pelanggan yang..." kataku terhenti.
Belum sempat aku menyelesaikan penjelasan ku, Pak Burhan dengan emosi mendobrak meja kasir dengan kasar.
Brak !
"Cukup Ana! aku tidak mau mendengar penjelasanmu!" bantah Pak Burhan.
"Aku sudah memberimu keringanan, karna tidak memintamu mengganti kerugian hari ini!" ucap Pak Burhan dengan nada tinggi.
"Aku mengerti keadaanmu yang sangat kekurangan dan tanpa keluarga yang bisa membantumu, aku mengasihanimu saat ini."
"Aku sangat kecewa padamu Ana, jadi tolong pergi sekarang juga!" kata Pak Burhan dengan tegas.
Air mataku keluar begitu saja. Aku berjalan melewati Pak Burhan menuju ruang karyawan mengambil barang-barangku dan meninggalkan seragamku disana.
Aku menuju pintu keluar dan terdiam sejenak. Lalu aku kembali masuk dan mendekati Pak Burhan.
"Saya sangat menyesal Pak, saya minta maaf dan terimakasih atas semuanya," kataku terisak.
Pak Burhan tidak menjawab dan memalingkan wajahnya. Dengan langkah berat, aku pergi meninggalkan toko.
"Hari ini hari yang buruk! Kenapa begitu sialnya hari ini." desahku kesal.
"Pria bre****k itu!! Akan aku temukan dia dan membayar semua perbuatannya padaku!" kataku geram.
"Aku kehilangan pekerjaan dan harus cari pekerjaan lain sesegera mungkin. Aku bingung dan harus bagaimana kedepannya," kataku cemas. Aku memutuskan untuk pergi ke rumah sahabatku, Neysa yang tak jauh dari sini.
Aku merogoh tasku mencari telepon seluler yang sudah usang termakan usia karna tidak mampu membelinya. Aku bersyukur benda ini setia tanpa pernah mengeluh. Aku melakukan panggilan ke nomor Neysa.
"Halo Ney, kamu dimana?"
"Aku masih bekerja Ana, ada apa?"
"Aku ingin bertemu denganmu Neysa, aku akan menunggumu sepulang kerja."
"Baiklah, tunggu aku di di dalam rumah. Aku meletakkan kunci di bawah karpet di depan pintu."
"Oke!"
Ana memutus sambungan telepon. Ana berjalan sekitar tiga kilometer untuk sampai di rumah Neysa. Sesampainya di rumah Neysa. Aku merogoh karpet depan pintu mencari kunci sesuai petunjuk Neysa, dan kutemukan kuncinya. Lalu aku membuka pintu dan masuk ke dalam. Aku langsung berbaring di kursi ruang tamu.
"Hari ini sungguh melelahkan," ucapku lemah.
Aku mencoba bersantai sembari menunggu sahabatku.Terlihat remot tv diatasi meja dan aku meraihnya.
Sudah lama aku tidak menonton tv karna aku tidak mempunyainya di kostku. Aku merasa sedikit terhibur hanya dengan menonton tv.Terlihat sepasang kekasih di dalam drama yang membuatku asyik menontonnya.
Kriet...! Suara pintu terbuka.
Aku menoleh dan terlihat Neysa tiba dengan membawa kotak kardus kecil di tangannya, yang entah apa isinya dan menyodorkannya padaku.
"Apa ini Ney?" tanya Ana penasaran.
"Aku membawa cemilan kesukaanmu.Itu donat," ucap Neysa tersenyum tipis.
Ana tersenyum lebar karna ia sangat menyukai donat. Anamembuka kotak itu dan tersaji beberapa donat dengan rasa yang berbeda. Ana melahap dengan senang donat itu satu persatu.
"Sekarang ceritakan padaku. Apa yang terjadi padamu?" tanya Neysa penasaran.
Aku menghela napas panjang dan menceritakan pada Neysa apa yang terjadi padaku hari ini.
Neysa kaget dan tak menyangka dengan apa yang ia dengar. Aku menangis di depan Neysa dan Neysa memelukku lembut.
"Sudahlah Ana, kau masih punya aku yang akan membantumu," ucap Neysa menenangkan.
"Aku akan memberimu pinjaman uang sampai kau mendapatkan pekerjaan," sambung Neysa.
"Baiklah, terimakasih Neysa," kataku lega dan senang.
"Tapi, siapa laki-laki itu Ana?" tanya Neysa antusias.
"Entahlah, aku tidak mengenalnya, tapi aku tau namanya."
"Jordan Fransisco, itu nama yang aku temukan di dompetnya."
Neysa serentak kaget mendengar nama yang disebutkan. Sampai ia tergagap-gagap menyebutkan nama itu.
"Jo... jo... jo... Jordan Fransisco katamu? Aku tidak salah dengarkan Ana?" tanya Neysa balik.
"Tidak Ney, memang itu namanya. Dia memang sangat tampan, tapi kepribadiannya sangatlah buruk!" kataku kesal.
Neysa segera meraih handphonenya dengan tergesa-gesa, dan mengetik nama itu di internet.
"Apakah dia yang kau maksud?" kata Neysa sambil memampangkan ponselnya kepada Ana.
"Iya benar! Dia orangnya," kataku histeris.
"Astaga Ana! Kau beruntung bertemu dengannya," kata Neysa histeris kagum.
Aku bingung dengan Neysa yang berkata begitu.
"Bagaimana bisa dikatakan beruntung setelah mendapat pelecehan dan dipecat karna pria itu," kata Ana bingung.
"Dia aktor terkenal Ana! Tidakkah kau tau itu?"
Ana menggelengkan kepala tidak mengerti apa yang dibicarakan sahabatnya itu.
"Dia adalah aktor tertampan, terpopuler, terkaya, dan masih banyak lagi kelebihan yang ia miliki!" kata Neysa memuji dengan semangat.
Ana hanya melongo mendengarnya. Ana kaget berkali-kali dengan apa yang ia dengar.
Ana berjalan pulang menuju kostnya. Sambil meminum minuman kaleng kesukaanya. Ana teringat perkataan Neysa yang masih terngiang di benaknya.
"Kenapa harus orang seperti dia yang melecehkanku seperti itu?" katanya bergeming.
"Harus bagaimana aku memberinya pelajaran?" gumamnya.
Emosinya semakin memuncak saat mengingatnya. Dilemparkan kaleng kosong itu dengan penuh amarah, dan melambung tinggi.
Pang!
"Aargh!!" teriak seseorang.
Ana terkejut dengan suara itu. Tak disangka kaleng itu terlempar tepat di kepala seorang pria. Pria itu melotot padaku dari kejauhan.
Maaf!! kataku kaku gemetar dan berlari secepat mungkin.
Aku tidak berani menoleh dan terus berlari. Aku mendengar langkah kaki dari belakang yang berusaha mengejar ku. Nafasku hampir terhenti karna berlari entah berapa kilometer yang kutempuh.
"Hei kau, berhenti di sana!!" teriak pria itu yang juga terengah-engah.
Aku berusaha menghindar dan mencari tempat bersembunyi. Aku masuk ke sebuah parkiran apartemen dan banyak mobil di sana. Aku bersembunyi di belakang mobil dan mengintip pria yang masih mengejarku.
"Hosh... Hosh... Hosh. Kemana gadis itu?Kenapa cepat sekali larinya."
Matanya mengamati sekeliling mencari sosok wanita itu. Ia mengarahkan pandangannya dibelakang mobil BMW hitam. Ia melihat bayangan wanita yang ia cari.
Ia mulai mendekat perlahan tanpa suara. Ana begitu terkejut melihatnya. Mata dan mulutnya terbuka lebar tak mengira pria itu berada tepat didepannya.
Ana berdiri dengan gemetar, ia menatap pria itu. Terdapat goresan kecil di wajahnya yang tampan itu.
"Aku minta maaf," kataku pelan.
"Kenapa baru sekarang minta maaf? Kenapa kau langsung lari setelah melemparku dengan kalengmu itu!" katanya kesal.
"Ya aku tau," kata ana datar.
"Kau tau apa? Kalau kau tau kenapa kau berlari seperti melihat hantu?" katanya kesal. Pria itu tak habis pikir pada wanita didepannya. Ana hanya terdiam membisu tak merespon.
"Kau harus tanggung jawab!" kata pria itu tegas.
Ana langsung mendongakkan wajahnya.
"Tanggung jawab apa? Aku hanya tidak sengaja melemparnya," kata Ana heran.
"Lagipula kau juga tidak terluka. Kenapa aku harus tanggung jawab? Aku sudah meminta maaf padamu, apakah tidak cukup?" kata ana tak mau kalah.
Pria itu tersenyum kecil dan mendekatkan wajahnya pada ana.
"Kau tidak melihat ini?" katanya menunjukkan goresan luka kecil pada Ana.
"Ya... aku melihatnya, tapi itu hanya goresan kecil!" tegas Ana.
"Tetap saja kau harus bertanggung jawab!" katanya sinis.
Ana menghela napas sembari membuka tasnya dan mengambil beberapa lembar uang. Ana menyodorkannya kepada pria itu.
"Ini lebih dari cukup untuk membeli plester pada luka kecilmu," kata ana ketus.
Hahahaha ... pria itu tertawa geli melihat jumlah uang yang Ana sodorkan padanya.
"Apakah kau miskin? Uang itu yang kau bilang lebih dari cukup?" katanya mengejek.
Ana melemparkan uang itu tepat diwajah pria itu dengan geram.
"Ya... aku memang miskin! Lalu kenapa? Atau kau jijik dengan orang miskin sepertiku? Kau tau betapa susahnya aku mendapatkan uang ini? Mungkin orang sepertimu yang hanya bisa meminta pada orang tuamu, tak akan pernah bisa merasakanya!" amarah Ana melonjak.
Pria itu tersenyum kecut dan mendekati Ana. Tangannya hendak meraih Ana tapi Ana menjauh.
"Mundur! Jangan mendekat selangkah pun!" gertak Ana. Pria itu diam tak berkutik dan Ana pun pergi tanpa sepatah katapun.
"Dia gadis yang galak, tapi dia sangat manis." pujinya sambil tersenyum senang.
"Kretak!! Bunyi apa itu?" tanyanya heran.
Bunyi itu berasal dari sepatunya yang menginjak barang sebuah liontin berbentuk hati dan terdapat foto seorang gadis kecil yang dipeluk hangat oleh ibunya. Namun foto itu amat usang mungkin karna benda ini sudah lama termakan umur.
"Sepertinya ini milik gadis galak tadi," katanya menebak.
Pria itu mengamati lagi liontinnya terdapat sebuah inisial dibelakang foto.
BJP...
Entah apa arti singkatan itu, pria itu memandang gadis itu dari kejauhan.
"Semoga kita bertemu lagi lain waktu gadis galak," katanya berharap sambil tersenyum senang.
***
Angin kencang menerpa tubuhku, terasa dingin yang menusuk tulang. Sayup-sayup kudengar bisikan angin melintas di telingaku.
Mataku terbuka perlahan dan kulihat cahaya putih bersinar terang menyapa.
Dibalik cahaya itu, kulihat seseorang bersembunyi diantara cahaya lainnya. Dia menoleh ke arahku tersenyum lembut kepadaku.
Ibu... Ibu...! Ana rindu Bu... Ana menangis histeris dan berlari ingin memeluk Ibu.
Kudekap Ibu begitu erat, tangan Ibu mengelus lembut rambutku. Kupandang wajah Ibu yang begitu hangat dan sangat kurindukan setiap hari.
Tangan Ibu mengusap air mataku yang bercucuran membasahi pipi. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.
Namun kurasakan tatapannya begitu tenang, seakan memberiku kekuatan yang besar. Ibu kembali tersenyum kepadaku dan menghilang sekejap mata dalam dekapanku.
Ibu... Ibu, jangan pergi Bu... Ana ingin bersama Ibu... Ibu! Aku terbangun dari tidurku, aku tersadar dan kembali menangis.Terasa begitu sakit karna semua itu hanyalah mimpi.
🎵Heart beats fast
Colors and promises
How to be brave
How can I love when I'm afraid to fall
But watching you stand alone
All of my doubt, suddenly goes away somehow
Lagu A Thousand Years, Christina Perri menggema merdu memenuhi ruangan. Pertanda dering ponsel berbunyi. Kuraih ponselku yang terletak di atas meja. Terpampang nama Neysa sahabatku.
"Hay Ney ada apa?" tanyaku.
"Ana aku punya berita baik untukmu," seru Neysa.
"Tentang apa Ney?" tanyaku penasaran.
"Di kantorku pagi ini, aku mendapatkan informasi kalau perusahaan sekarang sedang membutuhkan CS girl, dengan kontrak tetap dan kenaikan gaji 30% tiap tahunnya," kata Neysa menjelaskan.
"Benarkah? Ini berita bagus Ney, aku sangat senang," kataku senang sambil tersenyum lebar.
"Ya ana, aku senang bisa membantumu. Cepatlah ke kantor sekarang juga untuk menyerahkan berkas CV mu," petunjuk Neysa.
"Oke... aku segera kesana secepatnya. Aku benar-benar sangat berterima kasih Ney! kau sahabat terbaik," kataku memuji.
"Sudahlah Ana, kau tau bahwa kita sudah seperti saudara yang saling membutuhkan. Aku sempat khawatir kau akan depresi karna pengangguran dan selalu dikejar-kejar rentenir preman itu," kata Neysa khawatir.
"Ya kau benar, aku sudah lelah menghadapi preman itu. Baiklah tunggu aku (lima belas menit) lagi untuk sampai kesana," jelasku dan menutup sambungan telepon.
Aku dan Neysa sudah berteman saat kami berusia 4 tahun. Begitu juga keluargaku. Ayah Neysa adalah rekan bisnis Ayahku saat Ayahku bekerja di salah satu kantor swasta dulu.
Kehidupanku tidak sebaik Neysa yang mempunyai pendidikan tinggi dan hidup yang berkecukupan. Aku sempat akan diadopsi oleh mereka, tapi aku menolak. Karna mereka sungguh baik padaku dan aku tak mau membuat mereka kesusahan karnaku. Dan aku memutuskan untuk hidup mandiri.
***
Ana mempersiapkan diri Serapi mungkin untuk tes wawancara dan berharap lolos kali ini.
Meskipun hanya sekedar CS girl yang terpenting pekerjaan ini halal dengan gaji yang lebih tinggi dari pada perusahaan lainnya.
Ana sangat bersemangat hari ini. Kupandangi wajahku di depan cermin dan tersenyum manis.
"Ana kau pasti bisa melewatinya semangat!" kataku memberi semangat pada diriku sendiri.
Ana mempersiapkan beberapa barang seperti ponsel, lipstik, bolpoin, dan dompet ke dalam tas. Ana mencari kalung liontin kesayanganku yang diberikan ayah padaku saat aku kecil.
Ana merogoh dan mengacak-ngacak kembali isi tasku dan liontin itu tidak ada. Ana panik dan terus mencarinya. Ana menggeledah isi kamarku namun tetap tak kutemukan.
Ponselnya kembali berdering, Neysa kembali meneleponku.
"Ana dimana kau? Aku sudah menunggumu (tiga puluh menit), tapi batang hidungmu tak tampak sama sekali," kata Neysa bingung.
"Astaga! Maafkan aku Neysa, aku segera kesana sekarang juga!" kataku tergesa-gesa dan memutus sambungan telepon.
Ana melupakan waktu karna sibuk mencari liontinku. Ana segera berlari menuju halte bus. Sialnya, bus yang menuju rute kantor Neysa sudah lewat (tiga puluh menit) yang lalu.
"Aku benar-benar terlambat!" Ana mencoba berpikir cepat.
Terlihat mobil sport Lamborghini hitam akan melintas melewatiku dan Ana mempunyai sebuah ide nekat.
Ana berlari memotong jalan tepat di depan mobil itu dan nyaris tertabrak.
Ciitt!! Decit mobil berbunyi dengan nyaring. Mobil itu spontan berhenti di hadapanku.
Ana melakukan aksi nekat berniat menumpang mobil tersebut dan cepat sampai di kantor Neysa. Pengemudi itu tak kalah terkejutnya denganku.
Tapi Ana seperti tak asing dengan wajah pengemudi itu. Pengemudi itu keluar dari mobil dan ternyata pengemudi itu adalah pria yang pernah melecehkannya di toko beberapa hari lalu.
Dengan langkah cepat Ana berada tepat di depan Jordan.
"Plak! Tamparan mendarat tepat di pipi si, Jordan brengs*k!"
"Kau gila? Kenapa kau menamparku seenaknya?" katanya kesal.
Ana dengan angkuh menatap tajam dan tersenyum sinis.
"Kau lupa padaku pria mesum?" ejek Ana.
"Apa kau bilang? Pria mesum katamu?" Jordan tampak kesal dan tak habis pikir dengan wanita cantik didepannya.
"Apakah kepalamu terbentur sesuatu dan kau lupa ingatan? Entah sudah berapa korban yang sudah kau lecehkan sepertiku," kata Ana sinis.
Semua mata tertuju pada mereka berdua, orang-orang disekeliling mereka dengan sergap merekam mereka yang sedang beradu mulut.
Ini berita besar bagi masyarakat umum, karna seorang Jordan Fransisco seorang aktor tampan yang terkenal dengan kewibawaannya, tiba-tiba mendapat tamparan dan hinaan oleh seorang perempuan.
Jordan menarik tangan Ana dan masuk ke dalam mobil. Dengan pasrah Ana menurutinya. Jordan menyalakan mobilnya dan pergi.
"Ayo kita bicarakan baik-baik masalah ini disuatu tempat," kata Jordan datar.
"Tidakk! Sekarang bukan waktu yang tepat. Antar aku ke PT Mandala internasional dengan cepat." perintah Ana.
"Kau kira aku supirmu? Bisa-bisanya kau memanfaatkan orang disaat seperti ini," kata Jordan emosi.
"Cepatlah! Jangan banyak bicara! Atau kau mau aku permalukan lagi di tempat umum!" gertak Ana.
Jordan menuruti dan menggelengkan kepalanya karna heran dengan sikap gadis ini. Jordan mencoba memandangi gadis di sebelahnya itu.
Ana terlihat begitu manis dengan wajah kesalnya meski hanya dengan riasan tipis natural.
Matanya bulat kecoklatan, rambut panjangnya terurai anggun, meski ana berpakaian seadanya, tapi postur tubuh Ana tampak proposional bagi seorang perempuan. Jordan mencoba mengingat kembali wajah Ana.
"Hei... bukankah kau gadis di toko yang mencoba mencuri dompetku, dan aku memergokimu saat itu?" tanya Jordan menebak.
Ana menoleh dan menyipitkan matanya karna kesal dengan perkataan Jordan.
"Aku tidak bermaksud mengambil dompetmu itu brengs*k! Dan aku bukan pencuri!! Aku berniat mengembalikan dompetmu setelah pulang kerja, dan aku tak mengira kau akan kembali lagi secepat itu," ujar Ana.
"Dan dengan seenaknya kau meraba tubuhku lalu menghilangkan begitu saja," imbuhnya geram.
"Benarkah? Aku juga tidak bermaksud meraba tubuhmu yang jelek itu, aku hanya memeriksa tubuhmu untuk menemukan dompetku, itu saja." goda Jordan.
Ana merasa terhina dengan kata-kata Jordan yang mengejek tubuhnya jelek.
"Cihh! Pria brengs*k sepertimu juga bisa berkata pedas rupanya. Karnamu hidupku sial akhir-akhir ini!" jawab Ana ketus.
Mobil Jordan berhenti di depan PT.Mandala internasional. Dengan wajah yang sangat kesal, Ana turun dari mobil dan membanting pintu dengan kasar.
Jordan masih mengamati Ana dari kejauhan. Meskipun Ana bersikap kasar, tetapi Ana seperti meninggalkan kesan spesial bagi Jordan.
"Sepertinya dia gadis baik, hanya sedikit kasar dan terlalu nekat," ujar jordan.
Mobil Jordan hendak meninggalkan tempat, namun mata Jordan tertuju pada sebuah mobil sport Ferrari biru yang ia kenal.
Pemilik mobil itu adalah Morgan Narendra. Kakak kandung Jordan. Mata mereka bertemu dan saling menatap tajam.
Hubungan mereka tidak akur sejak 10 tahun silam, dan sejak itulah Jordan meninggalkan rumah dan keluarganya karna suatu permasalahan di keluarga mereka.
Morgan turun dari mobilnya dengan pakaian setelan jas formal bewarna abu-abu yang senada dengan dasi yang menggantung dilehernya. Tampak sangat karismatik ketika dia berjalan santai menuju mobil Jordan.
Dengan gagah, Jordan juga keluar dari mobilnya dan bersandar pada mobil dengan melipatkan tangan di depan dada yang membuat orang-orang melihat kearah mereka berdecak kagum.
"Lama tidak bertemu Jordan? Sepertinya kau sangat baik selama 10 tahun ini," ujar Morgan sinis.
"Tidak usah berbasa-basi! Aku tidak butuh omong kosongmu itu!" ujar Jordan kesal.
"Hahaha... kau tetap tidak berubah Jordan, masih sangat licik dan biad*p seperti dulu," ujar morgan.
"Hahaha... yaa kau benar, aku memang tidak berubah dan masih licik seperti dulu, tapi kau lebih biad*p dari diriku," ujar Jordan geram.
Morgan mengepalkan tangannya dengan geram dan menggertakkan gigi karna kesal.
Mata mereka saling bertatap tajam, suasana menjadi seram seketika, karna aura kebencian yang mereka pendam.
"Lalu untuk apa kau kesini Jordan? Apakah kau hanya ingin melihat perusahaan yang kubangun sekarang?" ujar Morgan sombong.
"Perusahaanmu kau bilang? Perusahaan ini masih milik Ayah dan belum jatuh padamu, Sepertinya kau sama liciknya denganku," balas Jordan.
"Apakah kau masih mengakuinya sebagai Ayahmu? Kau sudah tidak kami anggap keluarga sejak 10 tahun lalu," balas Morgan ketus.
Jordan diam tanpa kata seakan menerima perkataan kakaknya itu. Merasa kalah, Jordan berbalik dan masuk ke mobil tanpa sepatah katapun. Mobilnya melaju meninggalkan kakaknya yang masih terdiam melihatnya pergi.
***
Ana berlari dengan cepat karna jam wawancara telah lewat lima belas menit yang lalu. Ana berusaha mencari Neysa karna ia tidak tahu dimana aula wawancara diadakan.
"Perusahaan ini begitu besar dan aku harus kemana," kata Ana panik.
"Ana! Kemarilah cepat! Sebentar lagi namamu akan dipanggil!" seru Neysa. Ana berlari menghampiri Neysa.
"Maaf Ney... aku terlambat dan membuatmu repot."
"Kenapa kau sangat terlambat Ana, peserta lainnya sudah melewati wawancaranya dan aku mencoba membujuk HRD untuk tidak memanggil namamu lebih dulu."
Ana merasa lega karna bisa mengandalkan sahabatnya itu.
"Sudahlah, ayo cepat ikuti aku." perintah Neysa.
Mereka berlari menuju aula wawancara. Tak lama nama Ana dipanggil untuk wawancara.
Perusahaan PT Mandala internasional adalah perusahaan yang bergerak dibidang industri makanan dan sudah berdiri selama 20 tahun.
Perusahaan ini juga menempati perusahaan paling besar se-Asia sehingga karyawan yang bekerja di perusahaan ini adalah orang-orang terpilih yang mempunyai nilai kerja apik dan cerdas. Semua karyawan diberi gaji diatas rata-rata termasuk karyawan bawah sekalipun.
***
Peserta diwawancarai satu persatu selama 10 menit dan Ana menjawab wawancara dengan baik dan sportif. Wawancara selesai dan Ana sangat senang karna Ana lulus dan bisa bekerja mulai besok. Ana keluar dari ruangan dan segera menghubungi Neysa untuk memberitahukan berita bahagia ini padanya.
"Halo Ney... dimana kau?" tanya Ana.
"Hay Ana, maaf aku meninggalkanmu karna aku masih banyak pekerjaan," jelas Neysa.
"Ooh... baiklah tidak apa, aku hanya ingin memberitahumu kalau aku diterima dan bisa bekerja mulai besok," kata ana senang.
"Wahh, aku sangat senang mendengarnya Ana, selamat Ana," ujar Neysa.
"Terimakasih Ney, ini semua berkatmu, aku akan mentraktirku nanti malam," kata Ana girang.
"Ya baiklah... nanti malam aku hubungi lagi setelah pulang kantor," ujar Neysa.
"Oke... aku tunggu." kata Ana dan menutup telepon.
Ana berjalan pelan dan santai sambil mengamati perusahaan yang begitu megah dan mewah.
Ini pertama kalinya Ana bekerja di perusahaan yang begitu besar seperti ini. Sampai tak terasa Ana sampai di tempat yang tidak ia tahu.
"Astaga! Dimana aku? Bukankah jalan keluar lewat sini? tapi,sepertinya aku salah jalan," kata Ana bingung.
Ana menoleh kesana kemari tapi tidak ada seorangpun yang melintas, Ana terus berjalan tanpa arah dan tujuan sampai Ana menemukan sebuah ruangan pribadi.
Ana mencoba mengintip ruangan itu dibalik pintu yang sedikit terbuka. Barang-barang furniture yang ada di ruangan itu terlihat sangat mahal. Mata Ana tertuju pada sebuah foto keluarga yang tergantung kokoh di ruangan.
Wajah pemuda yang ada di foto itu tampak mirip dengan pria yang ia temui kemarin malam. Ana sangat penasaran dan ingin melihatnya dari dekat, ia memberanikan diri untuk masuk perlahan.
Ana mengamati foto besar itu dan memang benar adanya bahwa pria itu adalah pria yang ia lempari kaleng waktu itu.
"Ya ampun bukankah dia pria yang waktu itu? Kenapa bisa ada di foto itu?" gumam Ana bingung.
"Masa iya dia CEO di perusahaan ini? Tapi, kalau memang dia, bisa mati aku! Karna aku sudah berlaku kurang ajar padanya," ujar Ana berpendapat.
Kletak... kletak... kletak. Seseorang berjalan menuju ruangan. Tapi Ana tidak menyadarinya.
"Siapa kau?" kata seorang wanita yang sedang memergokinya.
Ana terkejut dan membalikkan badannya. Seorang gadis cantik dan anggun dengan rambut panjang terurai dan pakaian setelan jas wanita yang membalut indah tubuhnya. Sedang berdiri di depannya dengan tatapan mencurigai.
"Maaa... maaa...maaf, saya salah masuk ruangan, permisi kalau begitu," kata Ana grogi.
"Tunggu..." ujarnya. Langkah Ana terhenti dan Ana semakin panik.
Ana takut wanita ini salah paham dan permasalahan ini akan menjadi panjang. Tapi di sisi lain Ana mengakui kesalahannya karena masuk tanpa izin.
"Siapa kau? Dan sedang apa disini? Kenapa kau dengan lancang menerobos masuk ruangan CEO Morgan," katanya ketus.
"Maafkan saya Nona, tadinya saya hanya kesasar karna kantor ini begitu besar. Lalu saya menemukan ruangan ini dan melihat foto itu," jelas Ana.
"Foto itu? Ada apa dengan foto itu?" tanya wanita itu curiga.
"Pria yang berada di tengah foto itu Nona, saya pernah bertemu dengannya," ujar Ana.
"Hahaha... tentu saja kau pernah bertemu dengannya. Karna dia adalah CEO muda yang sukses di perusahaan besar dan semua orang mengenalnya," kata wanita itu.
"Ada apa ini?" tanya seseorang yang tiba-tiba datang di pertengahan pembicaraan kami.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!