Jam kosong adalah sebuah anugrah yang langka, terlebih tanpa adanya tugas yang dititipkan. Benar-benar surganya para pelajar. Seperti saat ini, di setiap sudut kelas, suara-suara bising memenuhi telinga. Diiringi suara gendang-gendang meja dan suara fals yang sengaja dimerdukan, ditambah riuh sorak-sorak yang nantinya akan menuai kerinduan. Seorang gadis menguap malas di bangku pojok kanan, tangannya menumpu dagu dengan tatapan mata pada luar jendela.
“Oi, Afya! Ayo keluarin ledakan lo!” Salah seorang dari kerumunan bangku depan berteriak pada gadis itu. Membuatnya menoleh, lantas beranjak.
“Enggak dulu, Ngab. Gak mood gue,” balas gadis bernama Afya itu.
“Lah lo mau ke mana itu?” Gadis berambut panjang bergelombang di kerumunan bangku depan, bertanya dengan heran.
“Nyari ketenangan, lumayan buat nambah ilmu dalam,” kelakar Afya sembari melambaikan tangannya dari luar kelas.
“Jangan di bawah pohon ya! Nanti kemasukan setan!” Selepas itu, kelas kembali ramai.
Afya Calyta. Gadis berambut sepundak dengan tinggi 154 cm dari kelas 1-5 itu adalah gadis yang minim ekspresi wajah. Tatapan sayu tanpa senyuman serta gurat wajah yang jarang berubah, membuatnya terlihat suram.
Setelah berbelok di beberapa koridor, ia mengarahkan langkahnya ke taman belakang sekolah. Hendak menenangkan hatinya yang sedikit kacau beberapa hari ini. Hidungnya mengendus-endus daisy kuning yang ia petik dari sebelah kanannya. Merasa tak ada satupun aroma yang tercium, gadis itu meremasnya.
"Nakal banget sih. Kalo ada yang liat, kita bakal kena poin."
"Bentar aja, Sayang."
Kasak-kusuk bisikan di belakang tembok pemisah membuatnya penasaran. Terlebih saat salah satu dari suara itu terdengar familiar di telinganya. Tanpa memikirkan apapun lagi, ia melongokkan kepalanya sedikit untuk mengintip. But, someone said, “Curious kill the cat.”
Pupil sayunya seketika membelalak, antara tak percaya dan tak ingin percaya bahwa orang yang tengah mengadu bibir di depannya adalah orang yang sama dengan laki-laki yang disukainya. Afya lekas menarik kepalanya—kembali bersembunyi di balik tembok pemisah, sembari membungkam mulutnya dengan telapak tangan. Napasnya terengah-engah, dadanya terasa sesak, apa oksigen tengah berhenti mengalir?
Setelah beberapa saat setelah otaknya mulai menerima dan memberi perintah responsif pada otot gerak, mata sayu gadis itu berembun. Ia mengulas senyum tipis yang terlihat miris. Ia bergumam pelan, “Apa-apaan ini?”
Meski mata sayu itu telah berembun dan siap menumpahkan sesak yang ia rasa, namun ... tidak bisa. Terlalu sesak, ini—ini tidak bisa ia terima begitu saja. Afya terlalu sibuk memikirkan dadanya yang terlampau sesak tanpa menyadari bahwa dari arah jam dua, laki-laki dengan jaket hijau botol menghampirinya. Menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, lantas menarik lengan gadis itu dengan tiba-tiba. Memberinya dekapan hangat yang sekiranya bisa meluluhkan cengkraman besi yang menyesakkannya.
“Nangis aja gak papa.” Laki-laki itu berucap pelan.
“Kalau bisa, gue juga mau ...,” balas Afya pelan, tangannya mencengkram lengan jaket milik laki-laki itu. Afya juga inginnya menangis agar sesak di dadanya mereda.
Tatapan matanya tidak fokus. Buram, semua mulai mengabur.
Sebagai gantinnya, laki-laki itu mengeratkan pelukannya sembari memejamkan mata rapat-rapat. Saat dirasa benang kusut mulai sederhana, mereka mengurai pelukannya.
“Makasih,” Afya melirik name tag si laki-laki yang sedikit tersingkap, “Miko ... Bagaskara.”
“Sama-sama, Afya Calyta.”
Mata sayu itu terlihat menyedihkan sekarang. Senyum tersungging tipis sebelum akhirnya hilang. Raut wajah tanpa ekspresi milik keduanya, seakan menyiratkan suatu kesamaan.
Jika saja pertemuan mereka hanya sampai sini, maka cerita ini tidak akan pernah ada.
Lamat-lamat kutatap wajah laki-laki rupawan dengan dua tahi lalat kecil di bawah bibirnya yang kini tengah menunduk menatap buku di meja. Rambut hitam tebalnya jatuh menutupi dahi, wangi shampo miliknya yang terbawa angin. Tanpa sadar, kesadaranku telah melanglang buana.
“Afyaa, paham tidak, sih. Malah bengong gitu!” Aku tersentak kala laki-laki itu menegur, memasang cengiran, lalu berucap, “Maaf, Kak, hehe. Eum, tapi Afya udah paham kok. Bener deh!”
“Bener loh, ya! Nomor selanjutnya dikerjakan, aku mau ke kamar mandi sebentar,” ujarnya sambil bergegas pergi. Aku mengangguk saja.
Hari ini, hari libur biasa. Aku meminta Kakak untuk mengajariku materi yang akan dipelajari minggu depan. Tidak, bukannya aku suka belajar. Hanya saja, jika bersamanya, mabuk bilangan pun, aku sanggup.
Kenapa? Tentu saja karena aku menyukainya. Sebagai ... laki-laki.
Namanya Alden Ferdian. Ia bukannya kakak kandung atau kakak angkat, ia temanku. Hanya karena kami selisih empat semester, Mama menyuruhku memanggilnya Kakak.
Ah, aku harus mengerjakan bilangan eksponen ini atau ia akan berubah menyebalkan.
“Sudah?” Beruntung aku telah menyelesaikannya setelah Kak Alden kembali. “Ya, silahkan di cek,” kataku.
Tak lama, ia mengusak rambutku dengan lembut. Senyum non-manusiawi terbit di wajah rupawannya. Ah, tidak adil. Seketika rona-rona merah merebak di pipiku.
“Pinter! Berkat Alden yang tampan ini, kamu jadi semakin pintar! Eum ... sebagai hadiahnya, coba ganti ‘kakak” dengan ‘mas’ atau ‘kangmas’, bagaimana?” Bibirku berkedut geli. “Apa-apaan itu? Tidak mau, ah!”
“Masa demi Kakakmu yan tampan ini, kamu enggak mau?”
Aku menahan tawa melihat kenarsisannya yang sudah meledak. “Enggak logis Kak Alden, mah.”
“Sekaliii aja, Afyaa,” rengeknya lagi. Aku tidak mengerti dengan fetish laki-laki ini. Aku mengerutkan keningku sejenak, berpikir. Yah, sebenarnya tidak ada ruginya bagiku untuk menuruti permintaannya, hanya saja ... ini cukup memalukan.
“Ekhem, ee—eum ... Mas Alden.” Ini benar-benar menggelikan!
Aku mengangkat pandanganku saat dirasa tidak ada respon dari si pemberi perintah. Di depanku, ia terduduk mematung sembari memegang dadanya, matanya membulat penuh, bibirnya berkedut. “Uwahh! Emang, ya, yang kedaerahan itu mantap jiwa!”
Ia meraih bahuku, menepuknya sekali, “Mulai sekarang, panggil ‘Mas Alden’ aja, oke!”
Aku sedikit melotot, menggeleng dengan kekuatan penuh, “Tidak mau! Geli, tauu,” keluhku. Kak Alden mencebik pelan, menghela napas pasrah, “Iya, deh, iya.”
Ia menjangkau ponselnya yang tergeletak di meja, menyalakanya guna mengecek jam. “Wah, udah jam segini, aku pulang dulu ya.”
Ia bangkit, aku juga. Sebelum benar-benar pulang, ia kembali mengacak-acak rambutku hingga berantakan. Membuat rona merah menjalar dengan cepat di wajahku. Tepat setelah pintu tertutup, aku meloncat-loncat ria, berguling-guling di kasur sembari menggigiti bantal. Tidak adil, efeknya ternyata sekuat ini.
Tak kusangka, itu adalah kenangan terakhir bersamanya sebelum sesuatu terjadi.
Malam harinya, malam yang sudah benar-benar larut, aku belum juga terlelap. Mama dan Papa belum juga pulang. Aku ... sendirian. Namun, saat aku akhirnya mulai terlelap, kegaduhan terdengar di depan.
Diawali suara mobil yang masuk ke bagasi, dobrakan pintu, serta dentingan hak sepatu dan marmer yang beradu keras. Serta, perdebatan. Lagi. Hal yang sama sudah terjadi berturut-turut selama seminggu terakhir. Hanya kerena sudah larut malam, bukan berarti mereka bisa bebas membuat kericuhan. Manusia memang makhluk egois, menambah rasa muak saja.
Kali ini gebrakan meja dan pecahan gelas terdengar lebih keras dari malam-malam sebelumnya. Sepertinya, pertikaian ini sudah mencapai puncaknya. Aku beranjak membuka pintu dengan boneka beruang coklat di pelukanku.
“Dari mana saja kamu sampai pulang selarut ini, hah?!” Bentakan Papa membuat bulu kudukku berdiri. “Untuk menunjukkan kalau bukan cuma kamu saja yang bisa selingkuh!” Mama memanaskan suasana.
“Enggak usah ngasih alibi yang enggak jelas sumbernya begitu!”
“Terus, ini!” Suara kertas berhamburan terdengar sayup, “Foto ****** perempatan mana ini?! Udahlah, capek aku begini terus! Pisah ajalah kita!”
Aku yang berdiri di balik tembok ruang keluarga, sedikit membeku.
“Yaudah kita pisah aja! Besok aku kasih surat cerainya! Sekalian ngurus hak asuh Afya!” Papa mengambil suara. Aku mencengkram lengan boneka beruang dengan erat, seolah tengah menyalurkan emosi yang ikut menumpuk di dada.
Aku akhirnya menampakkan diri dengan bonekaku yang menggelantung di tangan kiri. Tanpa kusadari, mulai saat itulah aku tak lagi bebas berekspresi. “Tidak perlu,” ujarku pelan. Seperti dugaan, mereka terkejut dengan kedatanganku.
“Aku—aku akan hidup bersama Nenek.” Aku harus bisa mengambil pilihan yang tidak akan kusesali nantinya.
Alis-alis Mama bertemu, “Apa? Tidak bisa, Afya! Kamu akan bersama Mama!”
“Enggak! Afya itu anak perempuan, harus bersama papanya!” Papa mencoba mengambil bagian.
Sejujurnya, tanganku mengepal hingga buku-buku jariku memutih. Dapat kurasakan bahwa tubuhku bergetar karena emosi. Aku menatap ujung sepatu Mama, “Egois sekali,” cibirku pelan.
Atensi mereka kembali teralih padaku, “Apa?”
“Seenaknya saja memutuskan tanpa mempedulikan aku sebagai anak kalian! Apa Mama dan Papa tau? Jika sejak awal Mama dan Papa selalu memikirkan perasaanku, hal-hal memuakkan begini tidak akan pernah terjadi!” Aku menggigit bibirku kuat. Dadaku berdegup kencang, pertama kalinya aku melawan.
“Setidaknya, kali ini, hargai permintaanku. Aku ingin hidup dengan Nenek saja.” Aku menarik napas, “Setidaknya Mama dan Papa bisa memenuhi kebutuhan sehari-hariku agar tidak membebani pada Nenek.”
Mama hendak menjangkauku, namun aku lekas berbalik. “Afya ....”
“Dan, selamat malam. Tolong jangan berisik agar tidak mengganggu tetangga.” Aku segera berbalik, berjalan memunggungi mereka yang diam terpaku. Selepas menutup pintu kamar, aku ambruk di dalamnya. Meringkuk di lantai berselimut karpet berbulu.
Di antara kekalutan ini, wajah Kak Alden nampak samar-samar. Apa yang harus kulakukan, Kak?
Aku menatap boneka beruang yang tergeletak begitu saja di depanku, si saksi bisu atas kejadian malam ini. Saksi atas rasa sesak yang tak bisa meluap agar segera pergi.
Aku terkekeh miris, “Menyedihkan.”
...***...
Keesokan harinya, mereka tetap sarapan bersama seolah tak terjadi apa-apa. Menyapaku dengan senyuman lebar walau sepintas tatapan mereka menyorot sendu. Seolah ada gejolak kesedihan yang mendalam. Sebenarnya, apa yang membuat mereka seperti itu?
“Afya, sini sarapan dulu.” Mama mengajakku dengan senyumannya, matanya sedikit menyipit karena sembab. Aku tersenyum tipis, “Enggak dulu, Ma. Afya mau ke tempat Kak Alden, mau pamitan.”
“Afya ...,” Papa menghela napas pelan, “setidaknya untuk sarapan bersama yang terakhir kalinya.”
Benar juga. Akhirnya, aku ikut mengambil tempat di tengah-tengah mereka. Namun, mau sebagaimana pun Mama membuatnya, tetap terasa hambar bagiku. Sesak lagi. Membuatku muak saja.
Tak berapa lama, aku beranjak. “Afya selesai. Terimakasih atas makanannya.” Langkahku terhenti sejenak, “Afya mau ke tempat Kak Alden dulu. Tas Afya masih ada di kamar,” ujarku pelan.
Aku bergegas pergi sebelum kebulatan tekadku berubah. Berjalan dengan berat hati menuju taman bermain yang dijanjikan. Dari jarak empat meter, siluetnya mulai terlihat. Aku merapikan rambut panjangku yang terhembus angin.
“Kak Alden,” panggilku.
"Kak Alden."
Siluet itu perlahan menoleh, bak adegan slow motion, rambutnya tertimpa angin dengan raut wajah dihiasi senyuman. “Kenapa? Tumben ngajak ketemu di sini,” ujarnya.
“Enggak papa, pengin ngerasain suasana yang beda aja.” Aku menautkan tangan di belakang badan. Memasang senyuman yang terasa hampa. Ia terkekeh pelan, “Apa-apaan itu?”
“Aku cuma mau bilang, terima kasih atas waktu yang Kakak luangin buat aku selama ini. Terima kasih atas tenaga yang rela Kakak buang demi aku. Intinya, terima kasih karena selalu ada buat Afya Calyta ini.” Aku mencoba memasang cengiran. Tiba-tiba saja pipi Kak Alden merona walau tipis-tipis.
“Apa, sih? Tiba-tiba ngomong beginian. Kamu itu kan udah aku anggap adik aku sendiri, Afya. Kalau cuma segitu mah enggak masalah!”
Adik ... ya? Aku berdeham pelan, mengabaikan dadaku yang menyesak, “Mau aja, masa tidak boleh?”
Ia menggaruk tengkuknya, canggung. “Ya-ya, boleh aja sih cuma aneh aja gitu.” Aku meringis pelan.
“Udah itu aja, Afya pergi dulu ya, Kak. Perlu diingat bahwa Afya ini sayang sama Kak Alden!” Aku mendeklarasikannya, walau tak urung pipiku bersemu malu. Ia terkekeh pelan, “Yaudah, Alden ini juga sayang sama Afya!”
“Daah ... Kak, sampai jumpa lagi,” semoga.
Aku berbalik pergi. Namun, sebelum benar-benar pergi, aku mengucapkannya. Dengan pelan tanpa berharap bahwa ia akan mendengarnya.
“Afya sayang Alden sebagai ... laki-laki.”
Angin musim semi yang berhembus kali ini, sedikit membawa rasa pahit.
Matahari telah tergelincir dari puncaknya saat aku baru sampai di bumi bagian lainnya. Berteman suara deru mobil yang perlahan berhenti, aku memakukan tatapanku keluar jendela. Menatap rumah minimalis yang akan menjadi naunganku selama beberapa tahun ke depan.
Kami tak langsung keluar, seolah tau ada yang masih ingin dibicarakan. Aku mengelus lengan boneka beruang kesayanganku.
“Afya ....” Papa membuka suara. Kepalaku tertoleh. Menanti ia melanjutkan bicaranya. “Kami minta maaf atas segalanya. Kami tau ini egois, tapi, maksa bertahan cuma nambah penderitaan. Baik bagi kami, juga Afya. Entah siapa di antara kami yang lebih dulu bermain api, yang jelas semua kena dampaknya.” Wajah sendu mereka terlihat melalui kaca spion depan.
“Waktu kebersamaan kami sebagai pasangan, terenggut oleh jam kerja. Akhirnya tanpa sadar, kami mencari pelampiasan lain,” lanjut Papa. Mama menarik napas berat, dengan suara parau ia berkata, “Bukannya kami tidak mencoba untuk memperbaiki atau mempertahankannya, berkali-kali kami mencobanya ... but, didn’t work. Sampai kami ngerasa ada di titik ‘Ah, there’s no way to get back up’ dan kami akhirnya ... memilih mengakhiri ini.”
Aku pun sadar, aku tidak berhak merasa paling tersakiti di sini. Layaknya sebuah perang, baik pihak pemenang maupun pihak yang kalah, sama-sama kehilangan banyak hal.
“Mungkin, sekarang kamu belum mengerti atas apa yang kami maksud. Namun, seumpama, suatu saat kamu telah cukup dewasa untuk mengerti, tolong ... jangan meniti jejak kami.” Papa mengulas senyum pedih.
Hening beberapa saat, hingga aku tergerak memeluk mereka. Mau se-memuakkan apapun, mereka tetap orang tuaku. Mereka membesarkanku penuh kasih sayang dan pengertian, menanti pencapaian besar dariku suatu saat nanti. Kami pernah tertawa dan menangis atas hal yang sama. Walau pada akhirnya seperti ini, mereka pernah menyayangi sampai lupa sekitarnya.
Sesak. Lagi.
“Terima kasih karena udah ngebesarin Afya penuh cinta. Afya bahagia bisa lahir sebagai anak Mama dan Papa.” Suaraku sedikit tercekat, pandanganku memburam. “Walau pada akhirnya kita seperti ini, Afya bakal selalu ingat, kalau kita juga pernah menjadi keluarga yang paling bahagia.” Pada akhirnya, suaraku bergetar, seolah tidak lagi kuat untuk menahan rasa sesak ini.
Dadaku sesak, serasa dihimpit batu besar. Di ruang mobil yang sempit ini, suara tangisan kami bersaut-sautan tanpa tahu malu. Kami tidak lagi peduli pada sekitar, hanya berfokus untuk meluapkan kesedihan ini bersama. Walau nantinya akan tetap tersisa, setidaknya tidak akan membuat kami sulit bernapas.
Sekitar beberapa waktu, kami keluar dari mobil dengan mata bengkak yang mengerikkan. Pun dengan ingus kami yang mendadak meler-meler tak karuan. Sebelum keluar tadi, kami sempat berbenah diri terlebih dahulu.
Papa mengeluarkan satu koper besar dan satu koper sedang milikku. Lalu menggeretnya hingga halaman. Sedang Mama membawa koper kecilku, membiarkanku hanya memeluk boneka beruangku di belakangnya.
“Hei,” bisik Papa pada Mama yang berada dua langkah di belakangnya, walau aku masih bisa dengar. Mama menyejajarkan langkahnya dengan Papa.
“Apa?”
“Nanti abis dari sini, mampir ke tempat makan dulu. Ada yang mau aku omongin.” Aku tidak tau bagaimana ekspresi Mama saat ini karena aku di belakang.
“Apa? Kenapa harus di tempat makan?”
“Aku lapar lagi,” keluh Papa, rasanya aku ingin menangis saja. Yang keluar air mata, yang hilang malah nutrisi perutnya.
“Dasar! Yaudah, tapi nanti anterin ke rumah, mana belum packing lagi.”
“Iyalah, tenang aja.” Aku meringis dalam hati, apakah mereka terliat seperti pasangan yang akan berpisah? Aku tidak habis pikir.
Di dalam sana, Nenek menyambut kami dengan senyum lembut yang menenangkan hati. Sementara Mama dan Papa berbincang dengan Nenek, aku disuruh meninjau kamar yang akan kutempati nantinya. Aku tau apa yang mereka bicarakan.
Mengabaikan hal itu, aku berfokus menatap ruangan dengan dinding bercat pastel di depanku. Terdapat jendela lebar di sisi kanan, meja belajar dan lampu tidur yang elegan.
Sprei berwarna biru malam dengan selinut putih. Memang tidak jauh berbeda dengan kamar lamaku. Hanya saja, aku tau, tidak akan ada Mama yang membangunkaku pagi-pagi, tidak akan ada Papa yang merecoki Mama sewaktu memasak, tidak akan ada lagi sarapan yang penih canda tawa. Semua ... mulai berubah.
Perlahan, aku menghela napas. Entah sejak kapan, semua yang kuliat seolah abu-abu. Tidak ada warna cera yang menyegarkan mata. Aku terdiam beberapa saat, hingga suara Papa memanggilku dari luar. Aku bergegas ke depan.
“Iya?” sahutku.
“Papa sama Mama pergi dulu ya. Afya jangan nakal-nakal sama Nenek, nanti Nenek sakit kepala,” pamit Papa. Mama menambahkan, matanya mulai berkaca-kaca kembali, “Mama sama Papa bakal sering-sering jenguk Afya di sini, kok.”
Mama mendekat ke araku memelukku dengan erat, “Mama sayang Afya, sangat sayang. Jaga diri baik-baik ya, Nak.”
Tatapanku menyendu. “Afya juga sayang Mama sama Papa. Jaga kesehatan ya Ma, Pa.”
Papa memelukku selepas Mama mengurai pelukannya. Ia mengecup puncak kepalaku lembut. “Papa bakal sering ke sini, kok. Nanti kita bisa makan bersama lagi, jalan-jalan juga.” Aku mengangguk dalam dekapan hangatnya.
“Dahh! Baik-baik sama Nenek, ya!”
Aku mengangguk sembari membalas lambaian tangan Papa dan Mama dari balik kaca mobil. “Mama, Papa, juga!”
Deru kendaraan roda empat itu mulai memelan seiring jauhnya jarak yang tercipta. Nenek membawaku masuk, menyuruhku untuk beristirahat agar tidak kelelahan. Aku malah meraih koper kecilku, hendak menata isinya. Namun urung saat kedua ponselku ikut tergeletak bersama barang-barang lainnya. Aku akan menyalin data di ponsel lamaku ke ponsel baru, tanpa kecuali. Sembari menunggu prosesnya selesai, aku menata barang-barang seperti laptop dan chargernya, alat kosmetik, aksesoris, dan beberapa lainnya.
Melihat proses transfer data selesai, aku merebahkan tubuhku sejenak, hendak memeriksa kelengkapan yang sudah terkirim. Namun, jariku terhenti kala foto laki-laki tampan dengan seragam voli-nya terpampang indah di layar ponsel.
Bagaimana jika dia tau aku tidak lagi di sana? Akankah ia membenciku?
Aku menghela napas berat, seperti Mama dan Papa yang akan memilai awal baru, aku juga akan menata kembali hidupku.
Walau pada akhirnya, semua telah mengabur menjadi abu-abu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!