Sinta, nama yang cantik bukan? Ayahku menamainya dengan harapan agar aku bisa memiliki karakter seperti Sinta istri Rama.
Namaku Sinta Ismayana. Nama belakangku tentu saja nama keluarga Ayahku. Ayahku adalah Danang Ismayana, Siapa yang tidak mengenal namanya sebagai seorang pengusaha. Sedangkan Ibuku, Kartika. Istri yang berada dibalik sosok gagah Danang Ismayana
Aku hidup dalam keluarga yang serba berkecukupan. Ayahku adalah seorang pengusaha properti, dan Ibuku hanya ibu rumah tangga yang sesekali juga membantu pekerjaan ayah. Keluarga kami sangat harmonis. Kami sangat dekat satu sama lain, sehingga tidak ada dinding pembatas ketika kami saling bercerita.
Sebenarnya aku kesepian saat dirumah. Ya, aku tidak memiliki saudara. Aku adalah anak satu-satunya di keluarga ini. Padahal sedari kecil, aku selalu menginginkan adik. Terkadang aku mengundang sepupuku yang lebih kecil ketika libur sekolah untuk menemaniku. Aku sangat senang mereka bisa menemaniku di rumah.
Beranjak dewasa aku mulai melanjutkan studiku di perguruan tinggi ternama di kotaku. Orang bilang, aku anak cerdas dan beruntung terlahir di keluargaku yang kaya. Tapi aku hanya menganggap apa yang mereka bicarakan sebagai bonus. Bagiku yang paling penting adalah kasih sayang dan kebebasan dalam mengejar mimpi-mimpiku.
Secara tidak sengaja aku juga menemukan Mas Jana, Janardana Hadinata. Ia adalah pewaris dari keluarga Hadinata yang sedang bergelut di bidang properti. Mas Jana adalah orang yang kemudian menemani dan mengisi hari-hariku. Meskipun usia kami terpaut jauh, kami bisa saling bekerja sama dan menyayangi layaknya pasangan pada umumnya. Dialah yang selalu menjadi penyemangat dan mendorongku untuk terus berkembang. Sama seperti Ayah dan Ibuku.
Hari-hari berlalu begitu cepat, aku lulus dari kampusku sebagai lulusan terbaik. Ayah dan Ibu tentu saja sangat bangga, terlebih Mas Jana. Dia selalu mengatakan tidak salah memilih wanitanya. Dia sangat bahagia dapat menjadi teman dalam perjalananku ini. Dan menjadi saksi atas keberhasilanku untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang kusayangi.
***
Beberapa waktu kemudian, Ayah mengundang Mas Jana kerumah. Dalam perjamuan ini Ayah menanyakan bagaimana rencanaku, pun dengan Mas Jana. Aku memberitahu Ayah dan Ibu akan mencoba mendaftar beasiswa Master di negara tetangga. Mas Jana juga mendukungku sepenuhnya.
Bagaimanapun juga, aku akan menjadi Istrinya. Dan dia mendukungku karena aku harus menjadi ibu yang cerdas untuk anak-anak kami nanti. Di kesempatan malam ini juga, Mas Jana mengatakan kepada Ayah bahwa ia benar-benar serius ingin menikahiku dan membahagiakanku.
Jelas saja aku terkejut. Bagaimana bisa tiba-tiba tanpa memberitahukan padaku sebelumnya Mas Jana langsung bilang kepada Ayah dan Ibu. Tentu saja aku yang sedang makan langsung tersedak.
"Uhuk... Kamu apaan sih, Mas! kenapa enggak bilang duluan ke aku. Kan aku jadinya kaget."
Kataku sambil mencubit kaki Mas Jana yang duduk di sebelahku.
"Om, Tante... Meskipun Sinta mungkin belum mengerti saya sepenuhnya. Buat saya tidak masalah. Saya akan mencoba lebih mengenal Sinta lagi. Saya yakin, sambil jalan nanti pasti kami akan semakin menyamakan langkah juga." Kata Mas Jana kepada Ayah dan Ibuku tanpa menggubris protesku sama sekali.
Ayah dan Ibu tersenyum lebar. Sekilas aku melihat mereka saling memegang tangan dengan erat. Bagaimana tidak, anak perempuan satu-satunya telah menemukan separuh hatinya. Dan yang paling membuat mereka bahagia adalah ketulusan hati, tanggung jawab, dan kasih sayang Mas Jana yang ia tunjukkan padaku selama 3 tahun belakangan.
Bahkan yang lebih membuat Ayah dan Ibu juga menyayangi Mas Jana adalah sifatnya yang tidak pernah memaksakan kehendak. Dukungan yang diberikan kepadaku untuk melanjutkan pendidikan sesuai dengan keinginanku.
Makan malam kali ini sangat berbeda dan sangat hangat. Layaknya keluarga yang sesungguhnya. Ah, aku jadi berandai-andai. Seandainya kami jadi menikah nanti pasti keluarga kami pasti akan menjadi lebih hangat lagi. Aku benar-benar tidak salah memilih orang untuk menjadi anggota baru di keluarga ini.
Tidak lama kemudian ponselku berdering. Aku segera mengambilnya karena aku teringat bahwa hari ini adalah pengumuman beasiswa. Ada notifikasi surat elektronik yang masuk. Aku memberanikan diri untuk membukanya. Aku deg-degan tidak karuan. Pelan-pelan aku membukanya. Kata demi kata kubaca secara teliti.
"Alhamdulillah, Yah, Bu, Mas... Aku diterima."
Aku berteriak sambil menghambur kearah Ayah dan Ibu.
Aku terharu. Begitu juga dengan orang tuaku dan Mas Jana. Mereka yang selalu mendorongku untuk bisa sampai sejauh ini. Kuhampiri Mas jana setelah memeluk Ayah dan Ibuku.
"Terimakasih banyak, Mas. Tanpamu mungkin aku akan malas-malasan dan tidak bisa menggapai impianku"
Mataku berkaca-kaca sambil memegang erat kedua tangan Mas Jana. Ia menatapku dengan penuh rasa syukur yang tidak mampu diungkapkan kata. Rasa itu tergambar jelas dalam simpul senyum di wajahnya yang sangat teduh.
Terimakasih mas, aku mencintaimu
Setelah makan malam hari itu aku menata hati dan semakin memantapkan diriku untuk melanjutkan studi di negeri Gajah Putih. Aku sudah menginginkan ini sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Dan ternyata aku mendapat kesempatan pada jenjang S2 ku.
Meskipun jadwal keberangkatanku masih sekitar 3 bulan lagi, namun Ibu sudah heboh dengan segala persiapan untuk anak satu-satunya ini. Adapun aku, hanya belajar untuk menguasai bahasa lokal dasar dan belajar lebih lanjut untuk Bahasa Inggris. Karena menurutku bahasa adalah salah satu kemampuan dasar utama yang harus dimiliki jika kita menjadi pendatang di negara lain.
Belakangan aku memperhatikan Ayah sedikit murung. Aku tahu Ayah sedih akan melepas anak perempuan satu-satunya untuk pergi bersekolah di negara lain. Sejak kecil aku memang tidak pernah tinggal terpisah dari keluargaku. Meskipun Ayah tidak mengatakan kekhawatirannya aku tahu persis bagaimana khawatirnya dari guratan-guratan di wajahnya yang mulai nampak jelas. Ibu juga tidak jauh berbeda dengan Ayah. Kekhawatirannya begitu jelas terlihat dalam semua pembicaraan yang kita lakukan.
Dulu Ayah juga menempuh pendidikan tingginya di Thailand. Tapi untuk melepas putrinya bersekolah disana juga mungkin akan terasa berat. Ayah tidak dapat berbuat apapun kecuali menasihatiku agar berhati-hati ketika berada di Thailand nanti.
3 Bulan kemudian
Tak terasa hari keberangkatanku ke Thailand hanya esok pagi. Aku sudah mempersiapkan barang-barang yang akan kubawa dan mulai memasukkan barang-barangku ke dalam koper. Ibuku yang ternyata sedari tadi memperhatikanku dari pintu kemudian masuk ke kamarku.
"Ibu ngapain disitu, ayo bantuin aku.. Orang anaknya mau ke luar negeri kok enggak dibantuin nyiapin apa-apa.." Kataku menggodanya.
Ibu berjalan masuk dan mulai membantuku membereskan barang-barangku.
"kamu beneran siap kan Ta? Jangan kamu bayangin cuma ke luar kota. Ini luar negeri. Jauh dari keluarga, teman-teman juga mungkin kamu belum punya" aku bisa melihat raut wajah khawatir Ibuku. Meskipun beliau berusaha menyembunyikannya, aku tahu sebenarnya ia tak rela putri kecilnya ini belajar di negara tetangga dan harus jauh-jauh darinya. Aku berhenti sejenak, memeluk Ibuku yang duduk di sampingku.
"Tenang saja, Bu, sekarang kan komunikasi sudah canggih. Aku pasti akan videocall Ibu setiap hari. Ibu tidak perlu khawatir, putrimu ini pasti bisa jaga diri... Aku janji, aku akan selesaikan studiku secepat mungkin." Ibu memegang tanganku yang memeluknya sambil tersenyum. Setidaknya, ia merasa sedikit lega.
Bell rumah berbunyi, aku segara menyelesaikan pekerjaanku dan turun ke bawah. Mas Jana sudah berbincang dengan Ayah di ruang tamu. Aku segera menghampiri dan menyapanya.
"Maaf ya Mas lama, aku beres-beres baju nih.." Kataku pada Mas Jana sambil berjabat tangan dan duduk di sampingnya.
Mas Jana tersenyum dan membalas. "Enggak kok, kan ada Om Broto... Nih lg ngobrol serius sama Om Broto ngomongin kamu.."
Ayah hanya cekikian dan berlalu sambil berbisik kepadaku. "Udah sana, ngobrolnya dipuas-puasin. Kamu besok kan udah berangkat ke Thailand.. Nanti kangen lagi. Ayah gak akan ganggu kalian." Kata Ayah sambil berlalu menjauh dari kami berdua.
"Ayah bisa aja deh godain anak gadisnya.. Sana kalo mau ngurusin kerjaan." Balasku sambil mendorong punggung Ayah.
Aku kemudian duduk menghampiri Mas Jana. Dia menanyakan sejauh mana persiapanku untuk berangkat besok pagi,apakah masih ada yg kurang, atau ada yg masih perlu dicari.
"Mas aku ada yang lupa. Antar aku ke Supermarket sebentar yuk... Mau kannn?“ Aku merengek padanya.
"Oke sayang.. Panggil Ayah sama Ibumu dong, aku ijin bawa kamu keluar dulu sebentar." Jawab mas Jana.
Aku naik ke atas memanggil Ayah dan Ibu sambil bersiap-siap. Mereka kemudian turun menemui Mas Jana. Aku tidak tahu apa yg mereka bicarakan. Mungkin sedang mengolok-olokku seperti biasanya. Setelah ganti baju aku kemudian turun kebawah menghampiri Mas Jana dan Ayah Ibuku.
"Hayo, pasti kalian lagi ngomongin aku kan.." Kataku pada mereka
"Dih, pede banget sih... Orang kita lagi ngomongin kerjaan sama Mas Jana.. " Jawab Ibuku dengan nada mengejek.
"Udah ah Ta, yuk berangkat sekarang Ta.. Udah makin sore nih. Om, Tante, saya keluar sama Sinta dulu ya... Nanti saya balikin tepat waktu kok hehee." Pamit Mas Jana kepada Ayah dan Ibu.
Kami kemudian masuk ke dalam mobil. Mas Jana melajukan mobilnya tidak begitu kencang. Mas Jana memang orang yang sangat baik, dia sangat perhatian kepadaku dan keluargaku. Meskipun usia kita terpaut hampir 13 tahun, Mas Jana mampu mengimbangi dan membimbingku dengan sabar.
Di sepanjang jalan aku melamun, membayangkan seperti apa kehidupanku di Thailand nanti. Membayangkan berpisah dengan keluargaku dan Mas Jana. Ah, sejujurnya aku juga sedikit berat. Tapi aku sendiri yang memilih jalan ini.
"Ta.. Kok diem aja sih? " Kata Mas Jana membuyarkan lamunanku. Tangannya kemudian memegang tanganku.
"Hah.. Aku cuma bayangin nanti hidup di Thailand seperti apa kok, Mas. Sejujurnya aku berat jauh sama kamu Mas.. Tapi mau bagaimana lagi." Jawabku sambil menatap ke depan.
"Sayang... Ayo jalani saja. Kamu selesaikan sekolahmu di sana. Aku akan bekerja di sini. Nanti setelah kamu pulang, aku janji akan segera menikahimu." Kata Mas Jana sambil mengusap kepalaku.
Aku begitu terharu hingga air mataku berlinang. "Mas, jangan macam-macam ya nanti aku tinggal.. Janji ya Mas, Mas enggak akan tinggalin aku..." Aku balik memegang tangan Mas Jana.
"Sayang, apa aku pernah tidak menepati janjiku? Atau kita nikah sekarang aja hahaha." Kata Mas Jana sambil tertawa.
"Mas, kalo kita nikah sekarang yang ada nanti aku gak jadi berangkat ke Thailand... Mana mau pengantin baru LDR karena sekolah." Jawabku sambil menepuk pelan pundak Mas Jana.
Kami tertawa lepas.
Sesampainya di Supermarket aku segera mencari barang-barang yang akan aku bawa. Seperti biasa Mas Jana selalu yang membayar. Kita memang belum menikah, tapi Mas Jana adalah tipe orang yang sangat bertanggung jawab. Sehingga jika pergi dengannya, dia yang selalu mentraktirku.
Tiba-tiba ponselku berdering. Aku membuka pesan di aplikasi Whatsapp yang ternyata dari Ibu.
Ta, Ibu sama Ayah mau kondangan. Mungkin pulang nya malam. Rumah enggak ada orang soalnya bi Vivi tadi pamit mau pulang. Kunci ada di tempat biasa yaa.. Kamu jangan pulang malam-malam. Inget besok harus berangkat pagi ke bandara.
"Siapa Ta? " Tanya Mas Jana.
"Dari Ibu, Mas. Katanya sekarang mau berangkat kondangan nanti pulangnya malam. Terus aku disuruh jangan lama-lama perginya.. " Jawabku sambil mengetik balasan untuk Ibu
"Oke Sayang, ayo kita mampir makan terus pulang ya." Balasnya.
"Siap Bos. Aku ikut aja deh." Kataku sambil melempar senyum padanya.
Mas Jana kemudian melajukan mobilnya ke sebuah warung penjual Bakmi Jawa langganan kami. 15 menit kemudian kami sudah sampai. Aku dan Mas Jana turun dari mobil. Mas Jana memesan kepada penjual.
"Mie Goreng 1, Nasi Goreng 1, sama Teh panas 2 ya pak.." Pesan Mas Jana kepada penjual Bakmi. Si penjual mengangguk tanda mengerti.
Aku dan Mas Jana memilih duduk di meja lesehan. Tidak lama kemudian pesanan kami sudah selesai karena tidak ada antrian. Hanya ada beberapa orang yang sedang menikmati makanan mereka.
Kami segera menghabiskan makanan. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 7.30 malam. Aku mengajak Mas Jana pulang karena sudah malam. Ia kemudian berdiri dan membayar makanan kami. Setelah itu kami masuk ke dalam mobil. Mas Jana melajukan mobilnya ke arah rumahku yang berjarak kurang lebih 20 menit.
Sesampainya di rumahku Mas Jana memarkirkan mobilnya di halaman. Mas Jana membuka pintu belakang dan membantu membawakan barang-barang yang kami beli tadi. Aku berjalan lebih dulu ke arah pintu dan mencari kunci di bawah pot bunga. Tempat Ibu biasa menaruhnya saat rumah dalam keadaan kosong.
"Sepi banget ya Ta, lampunya juga dimatiin semua tuh." Kata Mas Jana padaku
"Iya mas.. Kan pergi semua. Mas temenin aku sampai Ayah Ibu pulang ya. Takut dong aku dirumah sendiri. Kan sekarang lagi banyak maling." Balasku pada Mas Jana sambil membuka pintu rumah.
"Iya deh aku temenin, lagian mulai besok kan kamu udah di Thailand... Biar puas dulu ya ketemunya hahaha." Mas Jana menggodaku tapi aku pura-pura tidak mendengar
Setelah pintu terbuka aku mengajak Mas Jana masuk ke dalam rumah. Aku menghidupkan lampu sembari berjalan naik ke kamarku. Seperti biasa, Mas Jana akan membawakan semua barang-barangku. Ia tidak pernah keberatan meskipun terkadang aku merasa tidak enak hati. Tapi ya sudahlah, toh dia juga tidak keberatan
Aku mengeluarkan barang-barang yang tadi kubeli. Sambil mengingat kalau-kalau ada yang masih kurang.
"Oiya Mas, aku lupa sesuatu. Mas mau kopi? Biar aku buatkan sebentar.. Mas tunggu disini ya.." Kataku pada mas Jana.
Tanpa menunggu jawabannya aku turun ke dapur untuk membuat secangkir kopi dan segelas susu untukku. Aku membawanya naik, Mas Jana bersandar di sandaran tempat tidurku. Aku menaruh kopi, susu, dan camilan di meja.
"Minum dulu, Mas. Sudah aku buatin nih.. Keburu dingin nanti" Kataku pada mas Jana sambil menunjukkan kopi yang sudah kubuat.
Mas Jana kemudian berdiri menghampiriku dan meneguk kopinya. Aku sibuk membereskan peralatan make up ku di atas meja rias. Tiba-tiba Mas Jana memelukku dari belakang. Aku tersentak.
"Mas, kamu mau ngapain?" Aku berusaha untuk melepaskan pelukannya. Tapi tenagaku tidak sekuat tenaganya.
“Aku cuma mau memelukmu saja.. Tidak lebih.” Balasnya sambil menempelkan pipinya di telinga kananku.
Aku akhirnya pasrah saja, toh mulai besok juga aku akan jauh dengannya. Ia semakin mempererat pelukannya, dan mengendus di sekitar telingaku. Aku mulai agak takut kalau-kalau Mas Jana berbuat macam-macam.
"Mas kamu mau ngapain sih.. Awas ya kalo macam-macam" Ancamku padanya sambil mencoba untuk lepas dari pelukannya.
Mas Jana tidak menanggapiku sama sekali. Ia malah semakin mempererat pelukannya. Aku mulai panik, takut ia melanjutkan aksinya. Jujur saja, selama kita menjalin hubungan Mas Jana tidak pernah melakukan hal yang melampaui batas. Ia selalu mengatakan bukannya tidak mau, tapi ia menghormatiku dan keluargaku.
"Tenang, aku hanya ingin seperti ini sebentar aja.. Karena mulai besok aku tidak bisa bertemu denganmu lagi secara langsung. Cuma lewat videocall saja. Yakin kamu enggak mau aku peluk gini?" Mas Jana malah menggodaku.
Aku tidak menjawabnya sama sekali. Sejujurnya aku juga merasakan perasaan nyaman saat Mas Jana memelukku seperti ini.
"Apa kamu tidak akan merindukanku, Sayang?" Tanya Mas Jana padaku.
"Tentu saja aku akan merindukanmu.. Aku kan sudah terbiasa bersamamu, Mas. Tapi mau tidak mau kita harus menabung rindu untuk kebaikan bersama Mas.." Jawabku.
Mas Jana membalikkan tubuhku sehingga kita saling berhadapan. Ia meraih kedua tanganku dan memegangnya.
"Sayang, aku percaya padamu.. Jaga dirimu baik-baik. Ingat, kamu akan menumpang di negeri orang. Kamu akan jauh dariku dan orang tuamu. Mungkin akan sangat berat.. Segera selesaikan sekolahmu, dan setelah itu kita akan menikah.."
Mataku berkaca-kaca. Aku beringsut memeluk Mas Jana dengan erat. Air mata yang sedari tadi sudah menggenang di pelupuk mata tidak dapat tertahan lagi. Aku segera mengusap yang sudah terlanjur keluar. Aku menangis tertahan. Sedih rasanya harus terpisah jarak dengan orang terkasih. Meskipun kapan saja kami bisa saling berkunjung.
Aku sadar Mas Jana menaruh kepercayaan yang begitu besar kepadaku. Ia begitu menyayangiku, dan bersungguh-sungguh akan menikahi gadis kecilnya ini. Aku sadar, ada harapannya yang begitu besar kepadaku.
Mas Jana melepas pelukanku. Ia memandangiku sambil tersenyum. Sejurus kemudian ia mendaratkan bibirnya di bibirku. Mencium dengan sekilas. Sangat lembut.
"Bolehkah aku melakukannya?" Ia bertanya kepadaku.
Aku tidak menjawabnya, hanya memandang wajahnya dan mengangguk. Aku gugup, tapi aku tahu bahwa aku juga menginginkannya. Mas Jana menciumku dengan sangat lembut. Hanya itu saja, tidak ada yang lebih. Aku menikmati ciuman yang ia berikan.
Mas Jana melepas ciumannya dan memelukku dengan erat. Aku membalas pelukannya.
"Maaf, aku sudah menciummu.. Dan terimakasih telah membuatku semakin percaya kepadamu." Katanya padaku.
Aku masih tertegun dan tidak bisa menjawab. Aku hanya tersenyum dan memeluknya dengan erat. Tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Tidak lama kemudian ada suara pintu terbuka. Ternyata Ayah dan Ibu sudah pulang.
Mas Jana bergegas menghabiskan kopinya dan berpamitan denganku.
"Sayang, aku pamit dulu ya kalau gitu. Ini sudah malam, Om dan Tante juga sudah pulang. Besok aku antar ke Bandara ya.." Pamit mas Jana sambil menyambar ponsel dan kunci mobilnya.
"Baiklah Mas, makasih ya Mas udah mau direpotin hehehe.." Balasku sambil meraih tangannya.
Mas Jana hanya mengangguk dan mencium keningku. Lalu kami turun ke bawah untuk menemui Ayah dan Ibu.
"Loh, mau kemana Mas? Kok kami baru datang langsung mau pulang?" Kata Ayah pada Mas Jana
"Iya Om, kan sudah malam.. Sinta juga harus istirahat karna besok dapat jadwal penerbangan pagi.." Balas Mas Jana pada Ayah.
"Wah ya sudah kalau begitu, hati-hati dijalan ya Mas.. Jangan ngebut-ngebut. Makasih ya Mas sudah mau direpotin." Kata Ibuku sambil memegang kedua tangan Mas Jana.
"Tidak masalah Tante.. Kan kita sudah seperti keluarga. Ya sudah kalau begitu saya pamit dulu ya Om, Tante." Kata Mas Jana sambil berjabat tangan bergantian dengan Ayah dan Ibu.
Ayah dan Ibu mengangguk sambil tersenyum. Aku mengantar mas Jana sampai halaman. Kupeluk tangannya seperti anak kecil yang takut ditinggal oleh kakaknya.
"Hati-hati di jalan ya Mas... See you tomorrow morning.. Daaaa..." Kataku sambil melambaikan tangan pada Mas Jana yang masuk ke dalam mobil.
Mas Jana tersenyum dan melajukan mobilnya keluar dari rumahku. Aku menunggunya di depan hingga mobilnya berbelok dari gang kompleks ku dan tidak terlihat lagi.
Aku masuk ke dalam dan mengunci pintu rumah. Ayah dan Ibu sudah menungguku di ruang keluarga atas. Aku tahu bahwa mereka akan sedih jika aku pergi apalagi ke negeri orang yang tidak bisa seenaknya bertemu. Mereka memberikan banyak sekali nasihat. Dalam beberapa hal aku sampai tidak kuasa menahan air mataku dan menangis. Menyadari begitu besarnya cinta orang tua kepada anak-anaknya. Mereka tidak menuntut dan meminta apapun, hanya selalu mengusahakan yang terbaik untuk anaknya.
Malam itu aku tidur terlambat. Aku pasti akan sangat merindukan kamarku, rumahku, Ayah, Ibu, dan tentu saja Mas Jana. Mereka adalah orang yang paling mengerti aku dan selalu ada dalam hidupku.
Sejujurnya, hal yang paling ku takutkan adalah jika aku merindukan rumah...
Dan tidak bisa sebebas mungkin bertemu orang-orang tersayang
Ayam jantan sudah mulai berkokok. Aku membuka mataku dan melihat jam di sudut kamar tidurku, ternyata sudah pukul 5 pagi. Ibu mengetuk pintu, memintaku untuk segera mandi dan sarapan.
Hari ini aku akan berangkat ke Thailand. Hidup di sana untuk melanjutkan studi selama beberapa waktu. Mungkin beberapa waktu kedepan akan menjadi waktu yang berat bagiku, dan tentunya Mas Jana karena kami akan terpisah jarak.
Ponselku tiba-tiba berdering. Aku segera mencari sumber suaranya karena aku lupa menaruhnya dimana. Setelah ketemu kulihat di layar ada pesan masuk dari Mas Jana.
Tadi Ibumu menelpon ku, aku diminta sarapan di rumah bersamamu juga. Segeralah bersiap-siap Sayang, sebentar lagi aku akan berangkat ke rumahmu.
Aku tersenyum sendiri. Orang tuaku sudah sangat menerima mas Jana. Mereka sangat mempercayai Mas Jana. Kuletakkan kembali ponselku di atas kasur. Aku segera bergegas masuk ke kamar mandi untuk mandi.
Aku berendam dalam bathup sebentar saja. Menikmati kali terakhir aku menggunakan kamar mandi ini sebelum berangkat ke Thailand. Setelah selesai aku segera keluar dan berganti baju.
Tidak lama kemudian bel rumah berbunyi. Samar-samar dari kamarku aku mendengar ada orang datang. Aku mempercepat ganti baju dan bergegas untuk turun dari kamarku menuju ruang tamu. Aku melihat dari tangga Mas Jana sudah datang dan sedang berbincang-bincang dengan Ibu.
"Loh Mas, kok sudah datang... Perasaan belum lama kirim pesan. Kamu terbang ya? Hahaha.. " Kataku menggodanya.
"Enggak lah.. Kan ini masih pagi, jalanan masih sepi. Gimana udah siap belum?" Balas Mas Jana.
"Udah kok Mas.. Yuk kita sarapan bareng dulu. Ayo Bu, perutku sudah minta diisi. Lagian ini makanan terakhir masakan Ibu sebelum aku berangkat ke Thailand." Kataku pada Ibu.
Aku menggandeng tangan ibu dan mas Jana ke ruang makan. Bi Vivi belum juga kembali, jadi kali ini Ibu menyiapkan segalanya sendiri.
Ayah ternyata sudah menunggu di meja makan. Ada raut sedih sekaligus bahagia di wajahnya. Mungkin Ayah masih belum ikhlas melepaskan putri satu-satunya untuk melanjutkan studi di negeri orang. Tentu saja aku juga merasa agak berat.
Jujur saja, momen pagi ini membuatku sedih. Mengetahui kenyataan mulai hari ini aku tidak tinggal dengan mereka untuk beberapa waktu kedepan.
Ibu yang paham dengan atmosfer yang tidak mengenakkan segera memecah keheningan diantara kami.
"Sini biar ibu yang siapkan makanan untuk kalian.. " Kata Ibu sambil berdiri.
Dengan sigap Ibu membalikkan piring-piring kami dan mengisinya dengan nasi, sayur, lauk lengkap. Menuangkan susu dan air putih dalam gelas-gelas kami.
Mataku tiba-tiba terasa panas. Air mata sudah akan lolos dari pelupuk mata. Aku sangat sedih. Ini momen-momen yang akan kurindukan nanti. Yang pasti akan selalu membuatku ingin pulang sesegera mungkin.
Aku menundukkan kepalaku. Rasanya air mata ini sudah tidak tertahankan. Aku berlari menuju tempat cuci piring, mengusap air mataku dengan air dan mengeringkannya dengan tisu. Setelah itu aku kembali ke meja makan. Aku tidak ingin semua orang tahu bahwa aku sedang menangis.
"Maaf, tiba-tiba hidungku terasa gatal. Aku ingin bersin, makanya lari ke wastafel. Tapi tidak bisa bersin.. Hahaha" Kataku mencairkan kembali suasana agar mereka tidak mencurigai bahwa aku hampir menangis.
"Ya sudah ayo segera makan. Ini sudah siang" Kata Ayah sambil mempersilahkan Mas Jana untuk makan.
Sarapan pagi itu berlalu dengan sangat hening. Tidak ada suara keluar dari mulut kami kecuali dentingan sendok dan garpu pada piring-piring kami. Semuanya menjadi sunyi, jelas hal yang sangat berbeda dari biasanya.
Saat kami selesai makan bel rumah berbunyi.
"Biar aku saja yang buka pintu." Kataku pada semua orang.
Aku kemudian beranjak dari dapur menuju ruang tamu. Aku menengok dari jendela, ternyata Bi Vivi kembali. Segera kubuka pintu dan mengajak Bi Vivi masuk. Aku berlari kecil menuju dapur diikuti Bi Vivi.
Sesampainya di dapur kulihat Ibu sedang membereskan peralatan makan Kami. Bi Vivi dengan sigap mengambil alih yang sedang Ibu kerjakan.
"Biar saya saja Bu, Ibu duduk saja.." Kata Bi Vivi pada Ibu.
Ibu menyusul kami duduk di meja makan dan meneguk teh yang dibuatnya tadi. Mas Jana kemudian membuka pembicaraan.
"Om, Tante apa mau ikut antar Sinta ke Bandara? Sama saya saja, nanti saya antarkan pulang lagi. " Kata Mas Jana memecah keheningan di meja makan.
"Tentu saja.. Aku dan Ibumu akan ikut ke Bandara. Bagaimana bisa kami tidak mengantarkan anak manja ini.." Jawab Ayah sambil meledekku.
Aku hanya nyengir. Bisa-bisanya Ayah malah menggodaku padahal besok kita sudah berada di negara yang berbeda. Terpisah jarak yang jauh. Ini kali pertama bagiku berpisah dengan orang tuaku. Pasti akan terasa sangat berat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!