NovelToon NovelToon

Hujan

Bab 1 - Hujan

Suara angin mendesing tiba-tiba saat jendela tua terbuka lebar karena hembusan kencang dari luar.

Tirai tipis melambai liar, terseret badai yang mendadak menggila. Sekilas kilat membelah langit, menerangi ruangan kecil yang penuh dengan tumpukan buku, gelas kopi dingin, dan lembaran-lembaran naskah yang berserakan.

Di tengah ruangan, seorang penulis duduk membungkuk di meja kayu lapuk.

Wajahnya letih, rambut acak-acakan, tatapannya kosong menembus kertas kosong di depannya dan tangannya menggenggam pena, tapi tak bergerak.

Angin masuk lebih kencang, lembar-lembar tulisan yang selama ini ditulisnya dengan penuh perjuangan terangkat, beterbangan ke segala arah.

Beberapa menabrak dinding, yang lain terjun bebas ke lantai dan ada yang tersangkut di rak buku, ada pula yang keluar lewat jendela, lenyap ditelan senja.

Penulis hanya menatap tak berdaya, tak peduli. Matanya berkaca, tapi tidak menangis, mulutnya bergerak pelan, hampir tak terdengar.

"Apa gunanya semua ini?" bisik penulis.

Angin terus meraung. Lembaran terakhir di atas meja ikut terangkat dan terbang, meninggalkan meja kosong seperti pikirannya.

Suara dering telepon rumah yang nyaring tiba-tiba memotong raungan angin.

Penulis tersentak, seolah baru bangun dari mimpi buruk dan tangannya gemetar saat meraih gagang telepon hitam di samping mesin ketik tua.

"Halo?" tanya penulis setelah menerima panggilan.

"Aku butuh naskahmu sekarang, hari ini tenggat terakhir, kalau tidak masuk malam ini, kita kehilangan slot terbit." tegas seorang wanita terdengar di dalam panggilan itu.

Penulis terdiam, matanya menatap kosong ke meja yang kini hanya menyisakan pena dan tumpukan kertas kosong.

"Aku, aku—naskahnya, hilang!" gugup penulis yang terdengar jelas oleh si penelepon.

"Apa maksudmu hilang? Kirim ulang draft terakhir! Sekarang!" bentak si penelepon dengan teriakan.

Sambungan diputuskan oleh penulis itu yang kini terpaku diam dan menjatuhkan lututnya ke lantai.

Suara angin menyelinap lagi, penulis mendadak berdiri dan menyapu pandangan ke seluruh ruangan, buku-buku berserakan, kertas menempel di rak, lantai, bahkan di langit-langit dan naskah utama yang paling penting sudah tidak dapat ditemukan.

Ia berjalan cepat ke jendela, teringat bahwa beberapa lembar kertas terbang keluar.

"Satu lembar naskah terakhir, yang mengandung klimaks cerita, melayang ringan keluar jendela, menari bersama senja?" batinnya mengingat tentang beberapa lembar kertas yang terbang keluar jendela.

"Tidak jangan yang itu!" panik penulis itu sembari melotot ke arah jendela.

Ia menoleh ke luar, di bawah sana, halaman rumah basah oleh gerimis dan angin belum juga reda, tanpa pikir panjang, ia meraih jaket yang tergantung dan berlari keluar.

Dengan langkah tergesa, ia menyusuri taman, jalanan kecil, bahkan berjongkok memeriksa semak dan rerumputan. Mata liarnya mencari jejak tinta di kertas yang mungkin menempel di pagar, tersangkut di dahan atau terseret ke selokan.

Suasana gelap, hanya lampu jalan yang redup menemani pencariannya.

"Di mana kau!? Kumohon, hanya satu halaman itu," setengah berteriak penulis itu yang masih panik akan naskah milik yang hilang itu.

Penulis berlari menyusuri jalan berbatu yang basah dan nafasnya tersengal, rambut dan bajunya basah oleh gerimis.

Lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di genangan air dan dia hampir putus asa, tapi langkahnya terus membawanya ke taman kecil di ujung blok.

Tiba-tiba, ia berhenti.

Di bawah pohon besar, berdiri seorang gadis muda, rambutnya basah, menempel di pipinya, mengenakan gaun sederhana yang kini lepek karena hujan dan di tangannya selembar kertas yang penulis itu kenali, sedang dipegang hati-hati seperti sesuatu yang rapuh dan berharga.

Gadis itu sedang membaca, begitu tenggelam dalam kata-kata, hingga tidak sadar diperhatikan.

Penulis mendekat, pelan, takut mengganggu momen itu.

"Itu, itu punyaku." gumam penulis yang suaranya langsung terdengar oleh gadis itu.

Gadis itu menoleh, matanya besar, bersinar meski basah oleh hujan, ia menatap penulis sejenak, lalu melihat kembali ke kertas.

"Aku tak tahu kenapa tapi aku merasa aku harus membacanya." ucap gadis itu terlihat anggun.

Ia menatap penulis lagi, kali ini dengan senyum tipis, jujur dan hangat.

"Tulisanmu menyelamatkanku malam ini."

Penulis terdiam, dadanya sesak dan hujan seperti lenyap dari kesadarannya, tangannya perlahan terulur.

"Aku harus menyerahkannya ke editor, tapi, terima kasih karena membacanya." ucap penulis dengan gugup.

Gadis itu menyerahkan kertas itu perlahan. Ujung-ujungnya basah, tinta mulai luntur di beberapa tempat tapi masih bisa terbaca.

Saat tangan mereka bersentuhan, ada keheningan, bukan karena cuaca dan karena perasaan.

"Kalau tulisanmu bisa menyelamatkanku aku yakin, itu juga bisa menyelamatkanmu." ucap gadis itu yang melihat keadaan penulis yang kini terlihat tidak baik-baik saja.

Penulis memandangnya seolah baru mengingat siapa dirinya, ja mengangguk, menggenggam kertas itu erat, lalu berbalik.

Penulis menggenggam naskah yang basah dengan hati-hati, lalu menatap gadis itu sekali lagi dan hujan masih mengguyur pelan, seperti belum ingin berhenti.

"Kalau kamu belum ada tempat untuk berteduh, apartemenku tidak jauh dari sini. Kau bisa menghangatkan diri sampai hujannya reda." ucap penulis yang sedikit ragu meskipun dia benar-benar tulus.

Gadis itu menatapnya beberapa detik, seolah menilai niatnya. Tapi sorot matanya tetap lembut, tidak takut, tidak curiga hanya terlihat sepi dan kosong.

"Kalau kau tidak keberatan aku mau." jawab gadis itu dengan penuh wibawa.

Suasana hangat menyambut mereka. Ruangan kecil yang tadinya kacau kini terasa berbeda, meskipun masih berantakan, tapi ada kehidupan.

Lilin menyala di atas meja karena listrik sempat padam dan asap dari air panas mengepul dari dua cangkir teh.

Gadis itu duduk di dekat jendela, mengenakan jaket lusuh milik penulis dan mulai memandangi hujan di luar.

Penulis duduk di seberangnya, naskah sudah diamankan dan dikeringkan sebaik mungkin.

Beberapa detik hanya diisi dengan diam. Tapi bukan diam yang canggung, melainkan ketenangan yang nyaman.

"Uhm, siapa namamu?" tanya penulis dengan penasaran dan juga karena bingung dengan obrolan apa yang harus dia mulai.

"Liliana.." jawab gadis dengan datar.

"Terima kasih, Liliana karena memungut kembali naskahku yang hampir hilang dan karena telah membacanya."

Liliana menatap tulus dan berkata, "Aku rasa, aku memang harus menemukan tulisan itu, atau mungkin tulisan itu yang menemukan aku."

Keduanya saling berpandangan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, penulis merasa tidak lagi sendirian.

Di luar, hujan masih turun. Tapi di dalam, ada kehangatan yang mulai tumbuh pelan-pelan.

Penulis hendak membuka suara lagi. Suasana antara mereka mulai mencair, bahkan ada senyuman samar di wajah Liliana.

Namun, petir menyambar dengan keras. Suara gemuruhnya menggetarkan kaca jendela, dan sesaat cahaya terang dari kilat menyinari seluruh ruangan. Hujan di luar terlihat seperti tirai perak yang deras menutup dunia.

Refleks, keduanya menoleh ke jendela.

Sunyi sesaat setelah guntur bergemuruh. Hanya suara hujan.

"Petir itu, hampir terasa menyentuh kita."

Ia berbalik untuk melanjutkan obrolan, tapi Liliana sudah tidak ada.

Kursi di dekat jendela kosong, jaket lusuh yang tadi dipakai Liliana tergeletak di sandaran kursi, basah dan cangkir teh di meja masih mengepulkan uap.

Tidak ada suara pintu dibuka, tidak ada langkah kaki, tidak ada tanda-tanda kepergian.

Penulis terpaku, jantungnya berdetak kencang, ia berdiri dan memeriksa setiap sudut ruangan, kamar mandi, dapur kecil, bahkan lorong depan.

Tidak ada siapa pun.

"Liliana…?" tanya penulis dengan suara pelan yang nyaris tidak terdengar.

Angin malam masuk lewat celah jendela yang tak tertutup rapat. Tirai bergoyang pelan di lantai, di samping kursi tempat Liliana tadi duduk, ia melihat sesuatu.

Sebuah lipatan kertas, bukan bagian dari naskah yang sebelumnya tidak ada.

Tangannya gemetar saat mengambil dan membukanya.

Tulisan tangan halus terbaca samar di kertas yang sedikit lembab, "Kau menyelamatkanku lewat kata-katamu, sekarang, selesaikan ceritamu dan jangan berhenti!" kata Liliana di dalam kertas itu.

Penulis menatap tulisan itu lama, tak tahu harus merasa takut, bingung, atau terinspirasi.

Lalu, ia duduk kembali di meja, menyalakan lampu baca yang mulai berkedip dan mengambil pena.

Dia pun mulai menulis dengan sambutan hujan reda dan cahaya yang matahari yang menyinari ruangannya.

Bab 2 - Hujan

Matanya terbuka perlahan, napasnya pendek, bingung dan langit-langit di kamarnya tampak seperti biasa, putih gading dengan ukiran kayu tua, tirai besar menjuntai, tertiup lembut oleh angin pagi dari jendela yang terbuka sedikit.

Tapi, tubuhnya terasa dingin dan basah.

Liliana mendongak perlahan, selimutnya lembap, gaun tidurnya basah di bagian bawah dan rambutnya pun terasa berat, seperti habis terkena hujan, ia menyentuh pipinya dan ada sisa tetesan air di sana.

"Aku di mana?" gumam Liliana merasa kebingungan.

Pintu kamarnya terbuka terburu-buru. Seorang pelayan muda masuk dengan napas terburu-buru dan mata khawatir.

"Nona! Syukurlah, Anda sudah bangun! Anda, Anda basah kuyup? Padahal semalaman tidur di kamar ini! Tidak ada hujan dan tidak ada kebocoran" seru pelayan yang baru saja masuk ke dalam kamarnya.

Liliana masih terdiam, duduk tegak di tempat tidur dan Ia menatap tangannya, jemarinya sedikit bergetar, seolah masih mengingat genggaman seseorang.

"Saya, saya akan memberitahu Tuan terlebih dahulu, ia pasti ingin tahu Anda telah sadar."

Pelayan buru-buru pergi dan Liliana perlahan menoleh ke jendela, hujan tak turun di luar. Udara kering dan matahari pagi bahkan sudah menembus dedaunan di taman.

Tapi rasa dingin hujan, masih melekat di kulitnya.

Ia berbisik pada dirinya sendiri, suara nyaris tak terdengar.

"Namanya siapa? Aku tahu aku pernah mendengar suaranya."

Tiba-tiba, di atas meja kecil di samping tempat tidurnya, selembar kertas basah tergeletak. Liliana memandanginya, kaget itu adalah halaman naskah yang sebelumnya dia baca, dan bukan miliknya.

"Dan ketika ia menatapnya terakhir kali, Liliana telah lenyap dari dunia tempat hujan turun."

Ia menggenggam kertas itu, matanya membelalak, napasnya tercekat.

"Aku masuk ke dalam ceritanya?"

Langit-langit tinggi dengan lukisan emas, chandelier raksasa berkilau di tengah ruangan. Lantai marmer putih mengilap, dinding-dinding dilapisi kain tenun dan karya seni paling langka, ini bukan kamar biasa.

Ini adalah kamar utama Liliana Evangeline Virelli, satu-satunya putri dari keluarga terkaya di dunia, pemilik kekaisaran bisnis multinasional yang mencakup segalanya, dari teknologi, properti, farmasi, hingga media.

Saat matanya terbuka, kebingungan masih menyelimuti pikirannya dan tubuhnya dingin, gaun tidurnya basah sebagian, seperti baru keluar dari hujan meski jendela tertutup rapat dan sistem iklim kamar dikontrol sepenuhnya oleh AI.

Beberapa pelayan sudah berkerumun di luar ruangan, berbisik, panik, tak berani masuk. Tapi satu orang mendorong pintu dengan tangan gemetar.

Ayahnya—Damien Virelli, tokoh paling berkuasa di dunia, wajahnya biasanya dingin dan tak terbaca. Tapi kali ini, topeng itu runtuh, ia berlari masuk, jasnya terburai, dan berlutut di sisi ranjang.

"Putriku,.kamu sadar, Nak? Kamu benar-benar bangun setelah lima tahun." kata Damien dengan suaranya yang serak.

"Ayah…?" tanya Liliana dengan suara pelan dengan perasaan penuh haru hingga meneteskan air matanya.

"Dunia mengira kamu koma dan ada yang bilang kutukan, ada yang bilang disabotase. Tapi tak ada yang bisa membangunkanmu selama ini, tak ada teknologi, tak ada kekayaan yang bisa menebus tidur panjangmu." kata Damien yang kini masih nampak tidak percaya dengan matanya yang memerah.

Ia mencium tangan putrinya, sesuatu yang tidak pernah dilakukan sebelumnya, pelayan menunduk, menahan air mata.

"Lili tidak tidur, Lili hanya berada di tempat lain. Di ruangan kecil, bersamanya, hujan dan naskah?" jawab Liliana dengan penuh keraguan.

"Dengan siapa kamu bersama?" tanya Damien dengan tegang.

Liliana tidak menjawab, ia hanya menatap jendela. Lalu, tangannya meraih lembar kertas yang entah bagaimana kini ada di meja marmer samping tempat tidur. Halaman itu basah sebagian, dan tertulis dengan tangan seseorang yang bukan siapa pun dari kediamannya ini.

"Dan ketika ia menatapnya terakhir kali, Liliana telah lenyap dari dunia tempat hujan turun."

Damien merenggut kertas itu dan membaca cepat, wajahnya berubah, ia langsung berdiri.

"Temukan siapa pun yang menulis ini! Gunakan seluruh jaringan, beli setiap penerbit, setiap agensi jika perlu." teriak Damien memberikan perintah pada para pelayannya.

"Jangan!" lirih Liliana.

"Dia menyentuhmu. Secara harfiah atau tidak itu cukup, Ayah akan tahu siapa yang telah masuk ke kesadaran mu putriku!" kata Damien dengan sorot matanya yang tajam mengarah melihat putrinya.

Liliana hanya menutup mata, tapi jauh di dalam dirinya, ia tahu, ada ikatan yang tidak bisa dijelaskan oleh kekuasaan atau sains dan ia tidak ingin pria itu ditemukan untuk dikendalikan, ia ingin menemukan pria itu untuk mengenalnya kembali.

Ruangan itu sunyi, kecuali suara lembut piano otomatis di sudut ruangan yang memainkan melodi klasik. Liliana duduk di sofa panjang berlapis beludru biru gelap.

Ia masih mengenakan pakaian tidur putih yang bersih, tapi rambutnya belum dikeringkan sepenuhnya.

Ayahnya berdiri di dekat jendela, punggung menghadapnya, matanya menatap keluar, tapi pikirannya jelas berada di tempat lain.

"Ayah tolong! Lili mohon, jangan cari dia dan jangan libatkan orang-orang kita." ucap Liliana lembut tapi ada ketegasan yang menyertai ucapannya.

"Ayah tidak bisa, Liliana." jawab Damien pelan dengan penuh penegasan.

Ia berbalik, langkahnya berat, tapi matanya penuh keyakinan.

"Ayah telah kehilanganmu sekali, dan dunia ini dengan segala uang dan kekuatannya tak bisa mengembalikanmu. Lalu tiba-tiba, kamu bangun, setelah bertahun-tahun tak bergerak, dan satu-satunya jejak adalah tulisan dari seseorang tak dikenal? Itu bukan hanya kebetulan saja." kata Damien.

"Tapi dia tidak melakukan apa-apa yang membahayakan. Justru, aku merasa dia yang telah menyelamatkanku." kata Liliana.

"Atau dia memanipulasimu dari dalam, kamu tak tahu siapa dia dan bisa saja dia seseorang yang tahu cara menjebol pertahanan bawah sadarmu, seorang ahli dan seorang ancaman." ucap Damien yang semakin merasa kesal.

"Dia bukan ancaman, dia adalah seseorang yang hancur. Yang hampir menyerah dan aku merasa seperti aku dipanggil untuk menemukannya." kata Liliana dengan suaranya yang pecah tapi mencoba kuat.

Damien terdiam, tapi ia memijit pelipisnya.

Lalu ia menatap putrinya dengan mata seorang pria yang terbiasa mengambil keputusan dunia tapi kini dihancurkan oleh rasa takut kehilangan.

"Kau terlalu berharga, dunia ini bisa bertahan tanpaku, tapi tidak tanpamu."

"Agen-agen kita sudah menyebar. Teknologi pelacakan kami membaca bahwa tulisan itu menggunakan tinta dari jenis langka, tiga wilayah kemungkinan dalam 24 jam, aku akan tahu siapa dia." ucap Damien dingin.

Liliana berdiri dengan mata yang berkaca-kaca, dia berkata, "Kalau Ayah temukan dia dan menyakitinya Ayah akan kehilangan Lili."

Hening, kalimat itu menggantung di antara mereka seperti petir yang tak kunjung menyambar.

Damien hanya menatap putrinya penuh luka dan kekacauan dalam diri seorang ayah yang tidak tahu bagaimana mencintai selain dengan melindungi. Tapi perlindungan kini mulai berubah jadi penjara.

Bab 3 - Hujan

Cahaya pagi menyelinap masuk dari jendela yang setengah terbuka. Di meja kayu tua, puluhan lembar naskah kini telah tersusun rapi. Penulis itu duduk diam, menatap kertas terakhir dengan tatapan penuh perasaan, seolah setiap kata adalah potongan jiwanya yang ia letakkan perlahan.

"Aku tidak tahu dari mana datangnya, tapi saat aku menulis tentang dia, semuanya terasa hidup." gumam penulis.

Ia mengembuskan napas dalam-dalam. Lalu, mengambil cangkir kopinya, yang kini sudah dingin.

Ia berdiri, meregangkan badan, dan menatap jendela tempat angin dulu menerbangkan kertasnya.

Tapi kenangan tentangnya begitu nyata, seolah mereka benar-benar berbicara. Tertawa dan bertukar pandang dalam senyap hujan.

Tiba-tiba, sebuah notifikasi email masuk di laptopnya.

Di sisi lain, seorang wanita dengan rambut digulung rapi dan kacamata baca duduk di mejanya, membaca halaman demi halaman yang dikirim oleh penulis itu semalam. Ia membaca cepat di awal, tapi kemudian dia berhenti, matanya membelalak.

Tangan kirinya perlahan menutup mulutnya, shock.

"Ini— ini bukan dia yang dulu. Ini luar biasa." bisik editor.

Naskah yang semula datar dan murung kini terasa hidup, intens, dan mengandung lapisan emosi yang dalam. Ada adegan dialog yang terasa nyata, narasi yang mendalam, dan satu tokoh yang begitu kuat dan memikat—Liliana.

Ia segera menulis email panjang berisi pujian, "Apa yang terjadi denganmu? Naskah ini, aku tidak bercanda, ini bisa menjadi karya terbaik tahun ini. Ada sesuatu yang hidup di dalamnya. Ini seperti kau menulis dari dunia yang bukan hanya milikmu."

Penulis membaca email itu dengan setengah tersenyum, setengah bingung dan kemudian ia menatap tangannya.

"Lucu, aku juga merasa aku bukan lagi penulis naskah ini seperti dia yang menuntunku menulis ulang kisahku sendiri."

Ia menatap kembali halaman terakhir.

Kemudian, suara di luar apartemen, sebuah mobil hitam berhenti, tapi penulis tak sadar.

Di layar laptop, kata terakhir dari naskah, "Dan tanpa sadar, sang penulis telah menulis pintu menuju dunia yang tak pernah ia kenal tapi telah mengenalnya sejak lama."

Tok… tok… tok…

"Sean Lawrance!"

Suara berat itu terdengar dari balik pintu, dan Sean yang sempat menegang sejenak akhirnya membuka perlahan dengan rasa campur aduk.

Begitu pintu terbuka…

"SEAAAAANNNN!!"

Teriakan serempak dan tawa lepas langsung mengisi udara.

Di hadapannya berdiri tiga orang, Elio, si pembuat onar dari masa kuliah, Tara, gadis ceria yang selalu jadi ketua kelompok, dan Hugo, pendiam tapi cerdas luar biasa.

Wajah-wajah lama yang sudah bertahun-tahun tak ditemuinya, kini berdiri di depan pintu apartemennya kecuali Elio, dengan membawa kantong kopi dan kotak donat.

Sean membeku sejenak terkejut, lalu perlahan senyum hangat merekah di wajahnya.

"Astaga, kalian ada apa ke sini?" tanya Sean kebingungan.

"Kamu kira kami bakal biarin kamu nulis masterpiece dan gak datang ngerayainnya?" ucap seorang gadis bernama Tara yang masuk sembari menjentik dahi Sean.

"Editor kamu udah bocorin, katanya kamu akhirnya nulis sesuatu yang 'gak bikin dia pengen berhenti'." kata Elio sembari mengangkat kopinya.

Sean tertawa, menutup pintu, dan mengajak mereka masuk, ruangan itu segera berubah bukan lagi sunyi dan melankolis, tapi penuh suara obrolan, tawa, dan aroma kopi hangat. Sejenak, dunia luar menghilang.

"Ini dia naskahnya? Tentang apa sih? Liliana, ya?" tanya Hugo yang sedari tadi melihat naskah milik Sean.

Sean menoleh dan tersenyum samar.

"Iya, Liliana nama tokoh utamanya," ucap Sean pelan tapi tulus.

"Dia tokoh fiksi?" tanya Tara merasa bingung.

Sean terdiam sejenak dan menjawab, "Aku juga masih bertanya-tanya."

...----------------...

Lampu gantung kristal bergoyang perlahan diterpa angin dari jendela yang terbuka sedikit. Di dalam kamar besar dengan nuansa putih keperakan itu, Liliana duduk sendirian di atas tempat tidur, memeluk lututnya sambil memandangi langit malam.

Sudah 24 jam berlalu sejak ayahnya mengirim orang-orang untuk mencari Sean dan kini, tidak satu pun dari mereka bisa dihubungi kembali.

Tidak ada sinyal, tidak ada jejak dan tidak ada laporan.

Bagi banyak orang, itu mungkin akan terasa mencemaskan, tapi bagi Liliana hal itu membuatnya tenang.

"Syukurlah..." bisik Liliana pelan.

Ia menunduk, menahan senyum kecil itu, ka tahu sekeras apapun ayahnya mencoba mengontrol dunia, selalu ada celah kecil yang tidak bisa ia jangkau masalah satu celah itu adalah Sean.

Tapi, senyumnya perlahan memudar, matanya menerawang.

Liliana mengerutkan alisnya, pelan dan bergumam, "Kenapa aku terus memikirkan dia, sih?"

Ia mengubur wajahnya ke dalam bantal sebentar, lalu mengguling ke sisi tempat tidur. Wajahnya memerah samar, suara hatinya mulai mengganggunya.

"Dia cuma penulis biasa, wajahnya juga cuma ya, lumayan agak, ya agak tampan, sih?" ia mendengus, menampar pipinya sendiri ringan.

"Astaga, Liliana, kamu baru muncul dari tidur lima tahun, dan yang kamu pikirkan malah cowok yang bahkan kamu nggak yakin nyata?"

Tapi lalu bayangan Sean muncul kembali di benaknya, cara matanya menatap penuh kebingungan, tapi juga ketulusan. Cara ia menawarkan tempat berteduh tanpa ragu, meski baru bertemu dan bagaimana ia menulis tentangnya.

"Apa dia juga memikirkan aku?" lirih Liliana.

Angin malam meniup tirai dengan lembut. Dan Liliana kembali menatap ke luar jendela. Jauh, di luar sana, di dunia yang luas ada seseorang yang telah mengubah takdirnya, tanpa ia sadari sepenuhnya.

Dan kini, ia mulai menyadarinya, ia tidak ingin pertemuan itu menjadi satu-satunya.

Hujan mulai turun, tetes-tetesnya menghantam jendela besar seperti denting piano yang pelan namun menggema.

Liliana berdiri di depan jendela, mengenakan gaun tidur lembut berwarna pucat. Ia menatap langit, namun dadanya mulai terasa berat.

"...Kenapa… susah bernapas…?" bisik Liliana sambil menekan dadanya.

Langit mengguntur, matanya melebar dan tubuhnya limbung, sebelum sempat memanggil siapa pun— keadaan berubah jadi gelap.

Liliana berulang kali mengedipkan matanya, meskipun begitu. Keadaan saat ini, terasa sunyi.

Cahaya lampu gantung kecil menyambut pandangannya yang baru terbuka. Aroma khas kayu tua dan kopi basi memenuhi udara.

Liliana duduk tegak, matanya berkedip beberapa kali, napasnya terengah, tangan menyentuh seprai asing.

"Ini, kamar penulis itu?" lirih Liliana yang kini tercengang.

Ia melihat sekeliling tumpukan buku, naskah, jaket digantung seadanya, tak salah lagi.

Lalu bunyi pintu terbuka.

Sean masuk dengan jaket basah, rambutnya meneteskan air hujan. Ia membawa dua kantong belanja plastik. Saat melihat Liliana duduk di tempat tidurnya, matanya membelalak.

"Li—Liliana?!" tanya Sean yang kini terkejut mendapati seorang gadis yang tiba-tiba saja menghilang dan memberikan dirinya secercah cahaya harapan untuk tidak putus asa.

Ia terdiam, kantong belanja hampir jatuh dari tangannya dan air hujan masih menetes dari dagunya.

"Apa ini mimpi?" Sean bertanya-tanya dengan kebingungan yang masih tidak dapat dia percayai.

Liliana tidak menjawab, ia masih belum percaya pada dirinya sendiri, tapi yang bisa ia lakukan hanyalah menatap Sean dalam diam, dalam hujan yang sama, untuk kedua kalinya.

"Aku juga nggak tahu kenapa aku ada di sini," ucap Liliana pelan, hampir seperti bisikan.

Sean perlahan melangkah mendekat dan ia menaruh kantong belanja di meja, lalu berdiri di depan Liliana.

Keheningan itu hanya dipecahkan oleh suara hujan dari luar.

Mereka saling menatap, ada sejuta pertanyaan, tapi juga ketenangan aneh.

"Kalau ini mimpi, aku harap aku nggak segera bangun." kata Sean dengan senyumannya yang kaku juga canggung.

"Kalau ini kenyataan, aku nggak mau kembali." kata Liliana yang juga tersenyum samar.

"HAHAHAHA!" keduanya pun akhirnya tertawa bersama-sama.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!