Kota jakrta pagi itu diguyur hujan deras, sejak pukul lima subuh sampai sekarang sudah pukul enam pagi, hujan masih turun dengan derasnya.
Selain hawa dingin dari dinginnya AC di dalam sebuah ruang kamar, ditambah cuaca hujan deras di luar sana juga makin mendukung untuk kedua orang di dalam sebuah kamar apartemen itu kembali melakukan adegan panas.
"Ah, Anja ... Kamu selalu bisa membuat aku ketagihan meski sudah berulang kali melakukan dengan kamu," bisik pria itu dengan suara serak.
Mereka berdua kembali bermain dengan panas saling memberi dan menerima dan baru berhenti setelah mencapai puncak kenik-matan.
Pria yang baru saja menggagahi Anjani turun dari ranjang, karena mendengar suara ponselnya yang berdering.
Asistennya menelpon bahwa pagi ini ada meeting penting, hanya mengingatkan sang tuan untuk tidak lupa.
Setelah selesai mendengar penjelasan asistennya, pria itu menyimpan hp nya kembali di atas meja, kini matanya melihat ke arah luar jendela, dimana di luar sana masih hujan deras.
Jika pria itu saat ini harus membersihkan badan di kamar mandi, berbeda dengan Anjani yang masih betah tiduran di atas ranjang.
Mata wanita cantik itu tidak terpejam, dengan posisi tiduran miring, wanita itu memeluk erat selimut yang membungkus tubuh polosnya.
Apa yang sedang dirasakan wanita cantik itu, hingga membuatnya kini sedang meneteskan air mata.
Air mata yang di setiap tetesnya memiliki arti makna, dan hal ini hanya berani ia lakukan ketika sendiri, karena di saat di depan semua orang ia harus memasang topeng tersenyum manis, seolah hidupnya baik-baik saja, padahal jauh dari kata tersebut.
Kupu-kupu malam adalah kata yang diperhalus untuk menyebut pekerjaannya, bagaimana mungkin hatinya bahagia jika di rumah saja ia memiliki suami, dan apakah suaminya tahu pekerjaannya ini? jawabnya tentu tahu, dan apakah suaminya mengijinkan? Jawabnya tentu mengijinkan.
Dan jangan ditanya bagaimana perasaan Anjani mengetahui sikap suaminya itu, karena sudah jelas rasanya sakit.
Tapi Anjani memiliki alasan yang kuat, sampai membuatnya rela hingga harus tenggelam sampai membuatnya sulit untuk keluar.
Saat itu, tepatnya dua bulan yang lalu, putrinya yang bernama Lucia tiba-tiba jatuh sakit, paru-parunya bermasalah dan di haruskan untuk di rawat di rumah sakit, tentu biaya rawat inap sangat mahal.
Dan karena Anjani dan suaminya adalah dari keluarga miskin tentu tidak bisa membayar biaya rumah sakit itu, Anjani berdebat dengan suaminya.
"Mas Nudin! Tolong mas cari pinjaman, aku tidak mau Lucia kenapa-napa! Dia harus sembuh Mas." Anjani menangis, sumpah hatinya sakit mengingat keadaan putri kecilnya yang saat ini baru berusia empat tahun, tengah di fonis sakit paru-paru.
Kata dokter semua terjadi karena anak sering mengisap asap rokok saat orang dewasa merokok. Apa lagi selama ini Lucia dekat dengan papanya, dan Mas Nudin memang perokok.
"Apa kamu pikir minjam uang itu seenak membuang uang! Kemana aku harus pinjam uang!" bentaknya pada Anjani.
"Mas! Kamu itu papanya! lalu dalam situasi seperti ini kamu harus menyuruh siapa untuk meminjam uang!" Anjani balik membentak, tanpa ingat bahwa saat ini mereka berada di rumah sakit, tentu suara keras mereka berdua menganggu pasien yang lain.
"Maaf, Ibu Bapak. Tolong jaga suaranya, karena dapat mengganggu istirahat pasien yang lain," suara suster menegur mereka berdua.
Anjani tidak dapat melakukan apa-apa lagi, ia frustasi campur bingung gimana caranya supaya suaminya peka.
Merasa berdebat dengan suaminya hanya sia-sia, ahirnya Anjani milih mencari pinjaman sendiri, kini wanita cantik bermata sembap kerena banyak menangis itu pergi dari rumah sakit, tujuannya mendatangi saudaranya, berharap mereka bisa membantu.
Tapi harapan tinggallah harapan, setibanya Anjani di rumah saudaranya mereka tidak ada yang bisa membantu, karena jumlah uang yang mau Anjani pinjam cukup besar, dan Anjani maklumi karena saudaranya itu juga hidup miskin seperti dirinya.
Anjani tidak patah semangat begitu saja, ia memberanikan diri mendatangi rumah renternir, segala resiko sudah ia pikirkan, yang penting Lucia sembuh.
Sore itu Anjani tiba di rumah renternir yang bernama Pak Barun, orangnya gendut dengan wajah berewok, ia seorang duda.
Melihat Anjani datang ke rumah dengan tujuan minjam uang, mata lelaki itu langsung berbinar, kapan lagi bisa melihat wanita cantik dan masih muda seperti Anjani.
Tiba-tiba hujan turun deras di luar sana, Anjani merasa cemas.
Pak Barun berdiri dari duduknya kemudian menuju pintu, sepertinya laki-laki itu sedang mengunci pintu.
"Di luar hujan kamu berteduh di sini dulu ya?"
Anjani perasaannya langsung was-was mendengar ucapan Pak Barun barusan, ia mendadak takut, khawatir Pak Barun akan bertindak macam-macam padanya.
Dan benar saja apa yang di takutkan Anjani itu kini jadi kenyataan, Pak Barun yang sudah dibisiki setan mau mem-per-kosa Anjani.
"Pak Barun jangan lakukan ini padaku Pak!" teriak Anjani yang kini sudah di bawah Kungkungan Pak Barun.
Anjani sudah menangis rasanya sudah lelah dengan semua ini, namun diantara ia menahan Pak Barun supaya tidak menyentuhnya, tangan Anjani berusaha meraih vas bunga di atas meja dan ....
Bug!
Anjani memukulkan kuat vas bunga yang terbuat dari beling itu ke kepala Pak Barun, ada celah untuk Anjani kabur, wanita malang itu ahirnya kabur ia melompat dari jendela kaca, untung saja jendela itu tidak di tralis.
Begitu Anjani keluar dari rumah Pak Barun, air hujan langsung membasahi tubuh Anjani, di bawah guyuran air hujan dan petir yang menggelegar di langit, Anjani menangis sejadi-jadinya.
"Nak, Mama akan berjuang untukmu," ucapnya untuk menguatkan hatinya yang rapuh.
Dikata sudah tidak berdaya, Anjani saat ini sudah tidak berdaya, ia tidak tahu lagi harus kemana untuk meminjam uang, sedangkan suaminya tidak bisa diandalkan.
Di tengah kesedihannya yang terus berjalan di bawah guyuran air hujan, Anjani tiba-tiba mengingat temannya, yang selama ini ia tahu hidup kecukupan, Anjani berniat mau menemui temannya itu, dengan harapan bisa membantunya.
Tiba di rumah temannya sudah malam hari sekitar pukul delapan malam.
"Anjani baju kamu basah."
Kalimat pertama Siska yang menyapa kedatangan Anjani, kemudian mengajak Anjani masuk ke dalam rumahnya.
Anjani menceritakan tujuannya mau meminjam uang untuk membayar rumah sakit anaknya.
Tapi lagi-lagi Anjani harus menelan kekecewaan karena ternyata Siska orang terakhir yang menjadi harapan besar Anjani bisa membantunya, ternyata tidak bisa membantu, dan malah memberitahu pekerjaan yang selama ini Siska geluti, sebagai wanita malam.
"Aku tidak mau bekerja seperti itu Siska!" suara amarah Anjani sebelum ia pergi dari rumah Siska.
Namun lagi-lagi Anjani harus tertampar kenyataan dan kali ini tentunya lebih sakit dan ngilu untuk dirasakan.
"Jika dari pihak keluarga tidak bisa melunasi biaya admistrasi rumah sakit, maka silahkan putrinya dibawa pulang di rawat di rumah saja."
Aaaaa! Anjani hanya bisa menjerit dalam hati begitu mendengar ucapan dokter, beginikah menjadi orang miskin, tak berarti kehadirannya bila tanpa uang.
Malam itu tidak ada pilihan lain ahirnya Anjani mendatangi rumah Siska dan setuju dengan pekerjaan yang Siska tawarkan sebagai wanita malam.
Semua itu ia lakukan hanya untuk anaknya demi anaknya. Dan mulai sejak malam itu sampai sekarang Anjani bekerja menjadi wanita malam, hanya bedanya ia hanya melayani satu pria yang sudah menyewanya.
"Aku pergi dulu ya? jangan lupa bahagia." Pria tampan itu mencium bibir Anjani sekilas. Membuyarkan lamunan Anjani seketika.
"Mas Reza, hati-hati di jalan."
Pria tampan itu menoleh dan tersenyum ke arah Anjani sebelum ahirnya membuka pintu dan pergi meninggalkan Anjani sendiri.
Reza Adipati Pratama, gumam Anjani.
Pukul sembilan pagi Anjani baru tiba di rumahnya, baru saja kakinya menjejak di teras rumah, telinganya sudah mendengar sambutan istimewa dari ibu mertua, sangking istimewanya sampai membuat hati sesak.
"Kerja kok pulang jam segini, sudah tidak mengurus suami juga tidak mengurus anak!" Ibu Mei bicara ketus, menatap tajam ke arah Anjani.
"Ya, Bu. Memang seperti ini pekerjaan saya," ucap Anjani santai ia tidak mau berdebat dengan ibu mertuanya, karena itu melelahkan.
"Kerja ya kerja! Tapi jangan lupa urus suami dan anak dong!" bentak Ibu mei dengan kasar.
Hal seperti ini selalu melelahkan, ingin rasanya Anjani diam tidak menjawab tapi sangat tidak sopan jika ia lakukan.
Anjani hanya menjawab iya dan langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. ibu mertuanya memang selalu seperti itu, akan mengomel setiap kali Anjani pulang kerja.
Tapi juga senang kalau Anjani kasih uang, lagian siapa sih yang akan menolak jika di kasih uang.
Bahkan uang belanja mingguan untuk mertuanya selalu tidak kurang dari dua juta, tapi ya seperti itu ibu mertuanya suka ngomel.
Tidak pernah bersyukur apa pun yang sudah Anjani kasih, bahkan saat ini sudah tinggal di rumah yang bagus, meski rumah ini Reza yang belikan, tapi keluarga Anjani tahunya Anjani yang beli rumah.
"Anak Mama sudah cantik ..." teriak Anjani begitu masuk ke kamar Lucia, anak kecil berusia empat tahun itu sedang bermain dengan susternya.
Ya, setelah Anjani mendapat uang banyak dari Reza, ia milih memperkejakan suster untuk menjaga Lucia, supaya hatinya tenang saat pergi keluar meninggalkan Lucia.
"Mama, Luci kangen." Lucia yang sedari tadi duduk di permadani langsung berdiri dan berlari memeluk kaki Anjani.
Anjani tersenyum kemudian ia berjongkok mensejajarkan tingginya dengan Lucia. "Mama juga kangen sama Luci." Anjani menciumi pipi Lucia. "Mama mandi dulu setelah ini kita ke rumah sakit ya?"
Lucia mengangguk dan tersenyum mendengar ucapan Mamanya. "Luci mau sembuh."
Anjani langsung memeluk tubuh mungil putrinya. "Luci pasti sembuh sayang."
Ada air mata yang jatuh di sudut mata Anjani saat mengatakan hal tersebut, ia juga sangat ingin Lucia sembuh tidak perlu bolak-balik harus kontrol ke rumah sakit.
Lucia kembali bermain dengan susternya, Anjani langsung masuk ke kamarnya untuk mandi.
*
*
*
Setelah istirahat setengah jam di rumah, kini Anjani bersama Lucia sudah berada di rumah sakit, hanya berdua saja tanpa mengajak pengasuh Lucia.
Ya, memang seperti itu bila Anjani sedang tidak bekerja, ia lebih suka berdua saja bersama Lucia tanpa harus mengajak orang lain.
Saat ini Lucia sedang di periksa oleh dokter. Anjani menunggu di samping ranjang pasien, dalam hatinya selalu sedih setiap kali melihat putri kecilnya di periksa, ingin sekali semua ini selesai dan berganti Lucia sehat seperti dulu.
"Bagaimana Dokter keadaan putri saya sekarang?"
Begitu pertanyaan Anjani setelah dokter selesai memeriksa Lucia.
"Semua sudah mulai membaik, Bu. Putri Ibu cukup rutin untuk selalu kontrol dan jaga pola makan."
"Lucia mau cembuh doktel," ucap Lucia menyahut cepat.
Anjani dan dokter tersenyum ke arah Lucia, anak kecil itu memang selalu semangat meski sedang merasakan sakit, seolah rasa sakit itu tidak dirasakan.
"Anak cantik pasti sembuh," ucap dokter sembari mengusap puncak kepala Lucia, anak kecil itu tersenyum lebar, hatinya sangat senang mendengar ucapan dokter.
Siang itu setelah keluar dari ruang pemeriksaan, Anjani menggendong Lucia, anak kecil itu mengalungkan tangannya di leher sang ibu.
"Luci mau jalan-jalan," rengeknya khas anak kecil.
"Jalan-jalan? Baiklah akan Mama temani," ucap Anjani lembut kemudian mencium sekilas pipi Lucia.
Setelah masuk ke dalam mobil, Anjani meminta sopirnya untuk mengantarnya ke sebuah taman, karena Lucia sangat suka tempat yang terbuka, dari pada pusat permainan di dalam mall.
Lucia langsung melompat-lompat senang begitu keluar dari dalam mobil setelah sampai di taman.
"Mama kejal aku."
"Luci jangan lari-lari." Anjani mengejar Lucia yang berlari, khawatir bila Lucia akan jatuh.
Anjani pura-pura kesulitan untuk menangkap Lucia yang sedang berlari, dan anak kecil itu semakin terdengar riang tawanya.
Anakku mama sudah lama tidak mendengar suara tawamu sebahagia ini, Mama ingin kamu sembuh, Nak? Akan mama lakukan apa pun untukmu, batin Anjani sembari terus bermain lari-larian dengan Lucia.
Hati seorang ibu itu akan lemah, apa bila diarahkan dengan masalah anak, bahkan seandainya bisa digantikan, lebih baik ibunya yang sakit dan anaknya yang sehat.
"Lucia tertangkap," suara Anjani ketika berhasil memeluk Lucia, dan anak kecil itu semakin tertawa riang sembari memeluk erat leher ibunya.
Rasanya hangat sekali jika dipeluk oleh buah hati, terkadang sesakit dan sesulit apa pun yang harus Anjani lalui, akan terasa semangat jika sudah mengingat anaknya.
"Luci pasti sembuh ya, Ma. Lucia sayang, Mam."
Tiba-tiba Lucia berkata dan kemudian langsung mencium pipi kanan ibunya.
Anjani menggigit bibir bawahnya supaya tidak pecah tangisnya, setiap kali Lucia bicara selalu menyayat hati Anjani sebagai seorang ibu, ia sangat merasa bersalah, andai waktu bisa diulang ia akan melarang Lucia dekat-dekat dengan suaminya jika sedang merokok.
Tapi kini semua sudah terjadi, Lucia terlanjur divonis sakit paru-paru.
"Mama, aku mau balon, yang walnanya melah, hijau, dan bilu."
Lucia tiba-tiba berteriak menyadarkan lamunan Anjani.
Ada sekitar dua jam Anjani menemani Lucia bermain di taman, dan mereka tiba di rumah sekitar pukul empat sore, tadi sempat mampir ke minimarket untuk membeli beberapa kebutuhan rumah yang sudah habis.
Begitu tiba di rumah, Lucia langsung digendong pengasuhnya untuk dibawa masuk ke dalam kamar, karena saat ini Lucia sedang tidur.
Anjani ikut berjalan di belakang pengasuh Lucia, namun baru masuk ke ruang keluarga tangannya sudah ditarik oleh Nudin suaminya.
"Berikan aku uang sepuluh juta sekarang!" bentak Nudin sembari mencekal kuat pergelangan tangan Anjani.
"Tidak ada uang lagi untuk kamu Mas!" Anjani menatap tajam.
Nudin langsung marah mendengar kalimat penolakan Anjani, karena uang tersebut untuk nya bermain judi malam ini, dan apa bila Anjani tidak memberikan uang padanya, maka sudah gagal total rencananya.
Anjani menolak memberi uang, karena suaminya sudah sering meminta uang dengan jumlah nominal besar tanpa Anjani tahu uang itu untuk apa? Tiap kali ditanya jawabnya selalu perempuan tidak harus tau.
"Berani kau tidak memberi uang padaku!"
Plak!
Anjani memegangi pipinya yang terasa perih.
Tidak mau berdebat lagi ahirnya Anjani memberikan uang senilai sepuluh juta yang di transfer langsung ke rekening Nudin.
Setelah mendapatkan apa yang dimau, Nudin tertawa sembari berjalan keluar dari rumah.
Anjani hanya bisa elus dada melihat sikap suaminya itu yang makin kesini makin memperbudak dirinya, selalu minta uang dan dihabiskan untuk hal yang tidak jelas.
Apa kamu bisa berubah mas? Aku sebagai wanita seperti tidak ada nilainya di matamu, batin Anjani sembari tersenyum getir.
Anjani masuk ke dalam kamarnya, ia membaringkan tubuhnya di atas kasur empuk, matanya menatap langit-langit kamar, bila sudah seperti ini Anjani pasti menangis.
Bukan tidak bahagia, tapi apa pun pekerjaannya saat ini adalah sesuatu yang tidak Anjani inginkan, tapi mengharuskan Anjani untuk terus bekerja sebagai teman ranjang pria lain.
Puas menangis, ahirnya Anjani tertidur.
*
*
*
Pukul sembilan malam, Anjani keluar dari dalam kamar, wanita itu sudah cantik dengan balutan dress warna Sage panjang selutut, ia berjalan menuju kamar Lucia, sampai di dalam kamar Lucia, Anjani menciumi pipi putrinya itu, yang kini sudah tudur pulas.
Maafkan Mama, selalu baik-baik sayang, batin Anjani saat mencium pipi Lucia.
Anjani beralih menatap pengasih Lucia. "Titip anak saya ya? Jaga dia baik-baik."
"Baik, Bu."
Anjani kemudian pergi dari kamar Lucia, saat tiba di lantai satu, bertemu mertuanya.
"Bu, Anjani pamit kerja," pamitnya pada ibu Mei.
Ibu Mei menghela nafas panjang. "Yasudah hati-hati di jalan."
Anjani menyalami tangan ibu Mei dan mencium punggung tangan itu.
Anjani pergi tidak membawa mobil, ia biasa pergi dengan naik taksi, tetangga pemilik rumah di depan rumah Anjani selalu melihat Anjani pergi malam-malam seperti saat ini, karena mereka selalu sedang duduk di teras di setiap jam-jam seperti ini.
Mereka juga berpikir aneh pada Anjani yang selalu pergi malam-malam, apa lagi selalu pergi sendiri dan menggunakan taksi.
Mereka juga berpikir apa pekerjaan Anjani yang membuat Anjani selalu pergi malam-malam.
Bahkan pikiran negatif mengenai Anjani yang bekerja sebagai wanita malam mulai ada dipikiran tetangganya itu.
"Perempuan kok tiap malam keluar, padahal dia punya suami, dan tidak jarang aku melihat dia pulang pagi, hah! Kerja apaan dia? Jual diri?"
Ucap ibu-ibu itu sedang ghibah bersama temannya. Dan temannya hanya tersenyum mendengar ucapannya.
Mobil taksi yang Anjani tumpangi mulai berjalan meninggalkan area perumahan tersebut.
Dalam perjalanan menuju apartemen Reza, Anjani hanya melamun menatap ke arah luar jendela.
Hatinya ingin di rumah menemani putrinya, tapi keadaan harus memaksa dirinya keluar dari rumah.
Anjani tersenyum getir, benar-benar miris takdir hidupnya.
Tanpa terasa sudah dua puluh menit dalam perjalanan, dan kini mobil taksi sudah sampai di apartemen Reza.
Setelah membayar tagihan taksi, Anjani keluar dari dalam mobil tersebut, berjalan menuju pintu masuk apartemen.
Anjani langsung menuju lift dan menekan nomor lantai tempat Apartemen Reza berada.
Saat di dalam lift, Anjani hanya sendirian, wanita cantik itu tanpa sadar meneteskan air mata, ia segera menghapusnya sebelum ahirnya pintu lift terbuka bahwa sudah sampai.
Anjani melangkah keluar dan berjalan menuju pintu kamar apartemen Reza, tanpa perlu menekan bel apartemen, Anjani cukup menekan tombol password yang sudah ia ketahui.
Begitu sudah masuk ke dalam, Anjani seketika mengambil nafas dalam, menguasai diri supaya tetap tenang.
Meski sudah sering bertemu dengan Reza, tapi di hati Anjani masih suka ada perasaan takut pada pria itu.
Di lihat dari rak sepatu yang masih kosong, sudah dapat dipastikan bahwa Reza belum pulang, Anjani putuskan untuk memasak, sedikit-sedikit ia tahu makanan kesukaan Reza.
Malam ini Anjani mau memasak yang ringan saja, yaitu sekedar telur dadar asam manis.
Saat Anjani sedang fokus masak, tiba-tiba merasakan ada tangan kokoh yang melingkar di pinggangnya, Anjani sempat kaget, tapi setelah menyadari siapa pemilik tangan kokoh itu, Anjani kembali tenang.
"Masak apa, Sayang?" Reza bertanya sembari mencium dalam-dalam leher jenjang Anjani.
"Hanya telur dadar di masak asam manis, Mas."
Reza mengintip masakan Anjani, dan mencium sekilas pipi Anjani sebelum ahirnya masuk ke dalam kamar untuk mandi.
Satu jam kemudian, Reza dan Anjani kini duduk di ruang makan, mereka makan malam bersama.
Setelah makan malam selesai, seperti biasa mereka akan mengobrol tentang keseharian mereka yang dilewati, di ruang televisi.
Setelah hampir pukul sebelas malam, Reza mengajak Anjani masuk ke dalam kamar. Reza yang setiap malam selalu Anjani hangatkan tentu malam ini tidak akan terlewatkan, dan mereka kembali melakukan hal menyenangkan.
*
*
*
Kini Reza dan Anjani saling memeluk setelah selesai melakukan kegiatan yang menyenangkan.
Reza menatap lekat wajah Anjani, membawa tangan Anjani ke pipinya. "Aku mencintaimu, aku mau kita miliki status hubungan, apa kamu mau menjadi kekasihku?"
Anjani terdiam mendengar ucapan Reza barusan, terkejut tidak menyangka seorang Reza Adipati Pratama mengatakan cinta padanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!